Saat dua bendera hitam-putih ditancapkan oleh Bai Wuchang dan Hei Wuchang di tanah sekitarku, udara di sekitar berdesir. Kabut kelabu di sekitar bendera mulai membentuk pusaran-pusaran kecil.
Melihat ini, aku tahu keadaan semakin buruk. Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain terbaring menunggu ajal.
"Tapi aku lebih baik mati daripada mati dengan menanggung tuduhan palsu yang memalukan!" Setelah berpikir sampai di sini, aku segera mengangkat kepala dan berteriak sekuat tenaga ke Hakim Cui yang berdiri di hadapanku: "Sebelum kau menyiksa rohku, aku ingin menjelaskan satu fakta! Yin Sima Wuyan dan Yin Shuai Gui Wang bukan kubunuh, melainkan oleh seorang wanita misterius berbaju merah!!" Jika benar aku yang membunuh, aku akan mengaku. Tapi tuduhan palsu ini tidak akan kuterima sampai mati!
"Berkubang dosa di ambang maut masih berani menyangkal?! Cukup bicaramu! Aku tidak akan mengampunimu!!" Hakim Cui menggeram marah. Tangannya yang terulur mencabut bendera ritual dari tanah dan mulai mengibaskannya ke arahku dengan garang.
Setiap kibasan bendera di tangan Hakim Cui membuat energi Yin semakin menyelimuti tubuhku. Perlahan tubuhku terasa ringan, seolah mulai melayang ke udara...
Apakah rohku akan dicabut paksa dari jasad oleh Hakim Cui ini?!
Meski tak rela, aku tak bisa melawan. Aku merasakan "diriku" perlahan terpisah dari raga, melayang ke atas. Namun kesadaranku tak bisa mengontrol gerakan ini, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang mencengkeram dan menarikku tanpa ampun!
"Apakah hidupku akan berakhir di sini?……A-aku ingin melihat Rushuang sekali lagi sebelum mati." Saat pikiran ini muncul, aku menoleh ke arah Rushuang. Terlihat dia dijepit oleh dua Yin Shuai, tak bisa bergerak sama sekali. Energi Yin di tubuhnya hampir habis. Dia juga menatapku, kedua matanya basah oleh air mata, terus menggelengkan kepala...
"Rushuang, maafkan aku. Ayah Ibu, maafkan aku..." Ketika aku merasa "diriku" hampir terlepas dari tubuh jasmani, tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Lalu muncul sosok bayangan di hadapanku.
Tanpa jeda, sosok itu langsung menerjang Hakim Cui yang sedang mengibarkan bendera.
Melihat kedatangan sosok itu, mata Hakim Cui memancarkan sinar tajam. Dia berhenti mengayunkan bendera hitam-putih, lalu menyodokkan telapak tangan ke arah sosok tersebut.
Begitu Hakim Cui berhenti mengibarkan bendera, aku tiba-tiba merasakan seluruh tubuhku menjadi sangat berat, lalu jatuh terhempas kembali ke tubuh jasmaniku...
Di saat yang sama, suara dingin sang sosok menggema:
"Jíjí rú lǜ lìng! She!!" Cahaya kuning samar memancar dari kedua tangannya, menghantam tinju kanan Hakim Cui.
"Braak!!" Tabrakan tinju dan telapak tangan itu memicu gelombang energi Yin-Yang yang menyapu kabut abu-abu di sekeliling. Hakim Cui terpental mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berhasil menahan diri.
Sementara sosok bayangan yang baru saja menyerang Hakim Cui terhuyung mundur lebih dari sepuluh langkah sebelum akhirnya bisa menstabilkan postur tubuhnya.
"Hmph! Lagi-lagi ada taoist busuk dari Sekte Naga Harimau Maoshan yang nekat menyusup ke alam baka, benar-benar tidak tahu hidup mati!!" Hakim Cui memandang sosok di sampingku dengan janggut hitamnya yang berkibar tanpa angin, kedua matanya memancarkan niat membunuh yang pekat.
Mendengar ucapan Hakim Cui, aku segera menoleh ke sosok di sebelahku. Hatiku langsung berdesir kaget - ternyata yang datang adalah Pria Bertopi yang juga mengenakan baju kematian sama sepertiku!
Kini topi bambu hitam yang selalu menutupi kepalanya telah hilang, wajah tampannya penuh coretan debu hitam...
Meski wajahnya penuh kotoran, aura unik yang memancar dari Pria Bertopi ini membuatku langsung mengenalinya sekilas.
Setelah menyadari identitasnya, hatiku langsung tersadar: Ternyata kertas jimat merah pemberiannya yang untuk bertahan hidup itu berfungsi juga sebagai pelacak perjalananku.
Tapi sekalipun dia datang, mustahil bisa menandingi Hakim Cui. Dari pertarungan tadi jelas terlihat kesenjangan kekuatan mereka. Lalu mengapa dia masih nekat datang menyelamatkanku?
Apakah menyelamatkanku lebih penting daripada nyawanya sendiri? Pemikiran seperti ini rasanya tidak masuk akal...
“Hakim Cui, Zuo Shisan dari Aliran Longhu hanya melanggar masuk ke alam baka. Jika bicara tentang hukum, aku juga paham beberapa pasal hukum Yinjie. Ada satu pasal jelas menyatakan: Pelaku pelanggaran masuk tanpa izin ke alam baka harus ditahan di Kota Kematian selama empat puluh sembilan hari sebagai hukuman peringatan. Tapi mengapa kau langsung menghancurkan tulang pipanya, lalu menyuling huni dan meramunya?! Jika kau benar-benar menegakkan hukum, di manakah 'hukum' yang kau gembar-gemborkan itu?!”
“Kurang ajar! Urusan penegakan hukum Hakim ini tak perlu diintervensi sampah dunia manusia! Si penjahat ini pertama melanggar masuk alam baka, lalu membunuh dua pejabat Yinjie. Kejahatannya tak termaafkan. Karena kau membelanya, niatmu jelas jahat. Hakim akan menangkapmu sekalian dan menyuling hunimu juga!!” Hakim Cui menancapkan bendera besar di tanah, bersiap menyerang Pria Bertopi.
Pria Bertopi menatap Hakim Cui: “Hakim Cui, jika itu keputusanmu, aku siap bertarung. Aku tahu diri bukan lawanmu, tapi tak mungkin datang untuk bunuh diri.”
“Hah! Banyak yang somong di depan Hakim! Hari ini kau akan jadi tumbal bendera ini!!” Hakim Cui melesat cepat, mengayunkan kepalan tangan ke arah Pria Bertopi.
Pria Bertopi melihat ini, alisnya berkerut. Kedua lengannya dengan cepat disilangkan di depan dada. Pukulan Hakim Cui itu menghantam keras lengan Pria Bertopi, membuatnya terpental ke belakang.
Saat terpental, Pria Bertopi dengan gesit mengeluarkan beberapa kertas jimat kuning dari tubuhnya. Dengan satu tangan membentuk mudra, ia melantunkan mantra: "Segala ilusi musnah, kembalilah sang diri sejati! Energi suci berkumpul di pusat kuning!" Kertas-kertas jimat di tangannya segera memancarkan cahaya samar, lalu dilemparkannya ke arah Hakim Cui yang sedang mengejarnya.
Melihat ini, Hakim Cui segera menghentikan langkahnya. Dengan gerakan cepat, ia mengibaskan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis. Satu per satu kertas jimat itu menempel di lengan baju Hakim Cui.
Pria Bertopi yang baru saja berdiri mantap tersenyum kecut. Dengan suara lantang ia meneriakkan: "Jíjí rú lǜ lìng!! She!!" Begitu mantra selesai, kertas-kertas jimat di lengan Hakim Cui tiba-tiba menyala disertai suara "Braak! Braak! Braak!..." Ledakan dahsyat memuntahkan percikan api yang menyilaukan, menyapu tubuh Hakim Cui dalam kobaran api...
Pria Bertopi melihat ini, segera berbalik dan menerjang ke arahku dengan cepat, sambil mengeluarkan selembar kertas jimat dari tangannya. "Shisan, keluarkan giok kuno yang diberikan Biksu Tua itu!!" teriaknya padaku.
Aku tertelungkup di tanah. Mendengar teriakannya, reflek ingin meraih tas ranselku. Namun realita menyadarkanku lagi: kedua lenganku lumpuh total, tak ada sensasi, tak bisa digerakkan.
Pria Bertopi itu sudah melesat dengan kertas jimat di genggaman, mendarap tepat di hadapanku.
"Dua lenganku lumpuh," kataku tergesa padanya.
"Lupa soal itu! Di mana kamu menaruh liontin giok itu?" Baru tersadar setelah mendengar penjelasanku, ia bertanya dengan panik.
"Di lapisan dalam tas ranselku." Melihat wajahnya yang tegang, aku segera menjawab tanpa berani menunda.
Pria itu segera merogoh tas ranselku mencari giok kuno pemberian Biksu Tua. Tapi tepat di saat itu, para Yin Shuai yang mengerubungiku—melihat Hakim Neraka terdesak—serempak menyerang Pria Bertopi di sampingku.
Pria Bertopi terpaksa mengurungkan niat mencari giok itu. Badannya mundur gesit menghindari kejaran para petugas neraka.
Melihat Pria Bertopi berbalik dan kabur, Sepuluh Yin Shuai segera mengejarnya. Di antara mereka, Yin Shuai Siang dan Malam mengayunkan tombak runcing di tangan mereka, menusuk ke arahku yang masih tergeletak di tanah!
