"Baik, kau setuju itu bagus." Di saat yang sama, Raja Yama yang duduk tak jauh di depan aku dan Rushuang membuka suara.
Mendengar perkataan Raja Yama, aku menoleh ke arahnya. Kulihat Raja Yama mengeluarkan benda merah dari tangannya dan menyerahkannya ke Hakim Lu yang berdiri di sampingnya.
Setelah menerima benda merah itu dari Raja Yama, Hakim Lu berjalan menghampiriku. Saat sudah dekat, dia menyodorkan benda merah pemberian Raja Yama tadi.
Aku menunduk memandang. Benda di tangan Hakim Lu itu ternyata sebuah liontin giok berwarna merah.
"Ini...??" Tanyaku bingung sambil menatap giok merah di tangan Hakim Lu.
Hakim Lu tersenyum padaku: "Giok ini hadiah dari Raja Yama. Ini adalah paspor alam baka, sekaligus alat komunikasi kami denganmu."
"Ini telepon?" Tanyaku pada Hakim Lu.
"Hmm... Giok ini memang memiliki fungsi serupa dengan telepon di Dunia Manusia. Di mana pun dan kapan pun, kami bisa menghubungimu melalui giok ini, begitu juga sebaliknya." Hakim Lu menjelaskan sambil menatapku.
"Shisan, hadiah dari Raja Yama ini harus kau terima." Hakim Lu mengulang perkataannya dengan tatapan mantap.
Aku menatap Hakim Lu dengan canggung: "Tuan Hakim, tangan saya lumpuh total, sama sekali tidak bisa digerakkan..."
Hakim Lu baru tersadar, segera mengeluarkan pil hitam seukuran coklat dari jubahnya: "Telan ini, dalam sekejap lenganmu akan pulih."
Setelah ragu sejenak, kubuka mulut dan menelan pil misterius itu.
Pil itu aneh, larut seketika di mulut seperti kabut, menghilang tanpa jejak. Seluruh tubuhku tiba-tiba memanas, luka tulang selangka mulai mati rasa dan gatal...
"Coba gerakkan lenganmu sekarang," pinta Hakim Lu sambil mengamatiku.
Setelah mendengar perkataan Hakim Lu, aku setengah percaya tidak percaya mencoba mengangkat lengan kananku. Tiba-tiba terasa sakit di luka tulang pipa, tapi lengan itu bisa bergerak! Hatiku dipenuhi sukacita, setelah mengucapkan terima kasih, segera kuraih giok merah dari tangan Hakim Lu sambil bertanya, "Lalu bagaimana cara menggunakan ini?"
Hakim Lu menjawab, "Lihat titik putih di tengah giok ini? Saat ingin menghubungi kami, tekanlah jari tengahmu di titik itu."
"Oh begitu, cukup sederhana. Kalau giok merah ini, bisakah istriku Rushuang masuk ke dalamnya?" Tak mau menyia-nyiakan harta karun ini, kuperinci semua fungsinya.
"Bisa saja, tapi..." Suara Hakim Lu terhenti tiba-tiba, seolah ada yang ditahannya.
"Tapi apa?" Aku segera bertanya, firasat buruk mulai menghantui.
Tiba-tiba Raja Yama yang duduk di depan menyela, "Meski kau setuju bekerja untuk alam baka, kami bisa mengembalikanmu ke dunia manusia kapan saja. Tapi istri hantumu itu belum boleh ikut."
"Mengapa?!" Dadaku sesak oleh kepedihan. Bukankah tujuanku mempertaruhkan nyawa ke alam baka ini hanya untuk membawa Rushuang pulang? Jika gagal, apa artinya semua ini?!
Aku menoleh melihat Rushuang yang berdiri di sampingku, mendapati ia saat ini juga sedang mengerutkan alis, menundukkan kepala memikirkan sesuatu, matanya menatap lantai dengan tatapan kosong. Ekspresinya yang seperti itu membuat hati teriris. Di dalam hatinya saat ini seolah ada ribuan simpul yang belum terurai...
"Bagaimanapun juga, kau melanggar masuk ke alam baka adalah fakta. Jika aku sebagai Raja Yama sama sekali tidak menindaklanjuti, lalu membebaskan kalian berdua begitu saja, bukankah alam baka ini akan menjadi tempat umum? Siapa pun bisa datang berkunjung sesuka hati. Dengan contoh dari kalian, bagaimana aku harus menghadapi pelanggar di masa depan?" Raja Yama menatapku bertanya.
Mendengar perkataan Raja Yama, meski dalam hati tidak ingin mengakui, tapi ucapannya memang benar adanya. Jika tidak ada hukum dan peraturan, siapapun yang melanggar masuk ke alam baka tidak perlu menerima hukuman, bukankah orang-orang Yang yang menguasai ilmu Yin-Yang akan berbondong-bondong datang berkeliaran di sini? Lagipula tidak akan ada konsekuensinya.
Memikirkan hal ini, aku menengadah melihat Raja Yama: "Paduka Raja Yama, melakukan kesalahan harus diakui. Aku tahu bersalah, dan bersedia menerima hukuman apapun atas kesalahan yang telah kuperbuat." Satu ya satu, dua ya dua. Berbuat salah harus siap dihukum, meski dihukum harus tetap tegak berdiri.
Raja Yama tersenyum mengibaskan tangannya setelah mendengar ucapanku: "Saat ini kami bukan hendak menghukummu, tapi memintamu mengerjakan suatu hal untuk kami."
"Hal apa?" tanyaku segera.
Raja Yama mengulurkan tangannya dan mengusap-usap janggut hitam panjang lurus di bawah dagunya, baru kemudian berkata padaku: "Pergilah ke Sungai Kuning di dunia manusia, cari sebuah pulau misterius bernama 'Pulau Yin-Yang' di tengah aliran sungai. Di pulau itu, temukan tanaman setinggi setengah manusia bernama 'rumput Yin-Yang' yang berwarna hitam dan putih, lalu bawa kembali padaku."
Setelah mendengar perkataan Raja Yama, aku segera menyambung: "Jika aku bisa menemukan 'rumput Yin-Yang' itu dan membawanya kembali, apakah Rushuang bisa ikut aku kembali ke dunia manusia?" Tanyaku pada Raja Yama.
Raja Yama mengangguk mendengar pertanyaanku, lalu berkata: "Bukan sekadar mengizinkannya pergi. Asal kau bisa membantuku menemukan 'rumput Yin-Yang' itu, aku akan memberitahumu lokasi 'Air Suci Sungai Luo'. Selama di dunia manusia, kau selalu ingin menghidupkan kembali istri hantumu ini - aku tahu..."
Detik itu juga hatiku dipenuhi kegembiraan tak terkira. Dengan semangat menyala, aku bertanya gemetar: "Yang Mulia... Apa... apa yang Paduka katakan tadi benar adanya?!"
Sebelum Raja Yama sempat menjawab, Hakim Lu yang berdiri di depanku menyela: "Shisan, pertanyaanmu tidak pantas. Yang Mulia tak pernah mengucapkan kata palsu."
Mendengar perkataan Hakim Lu, aku segera menoleh memandang Rushuang. Perempuan itu yang sedang kuperhatikan pun balas menatapku.
“Rushuang, kamu tunggu aku, aku... setelah pulang, pasti akan menemukan ‘rumput Yin-Yang’ itu, lalu menjemputmu. Aku pasti akan membuatmu kembali ke dunia manusia, terlahir kembali sebagai manusia.” Aku berkata pada Rushuang dengan gemetar karena terlalu beremosi.
Saat itu juga, bayang-bayang kesepian di kedalaman mata Rushuang tiba-tiba menghilang. Tatapannya padaku justru memancarkan kilau cahaya. Aku tahu, kilau itu adalah cahaya sukacita karena melihat masa depan kami berdua.
“Ya, Shisan. Aku akan menunggumu di sini.” Rushuang menatapku dengan serius.
“Ngomong-ngomong Raja Yama, setelah aku pergi untuk mengerjakan tugas kalian, kalian tidak akan menyulitkan istriku yang tinggal sendirian di sini kan?” Tanyaku cemas sambil menatap Raja Yama, mengingat kemunculan Ma Wuyan sebelumnya yang masih membuatku khawatir.
Meski yakin Rushuang akan tetap menungguku di sini, aku tetap takut. Jangan-jangan di alam baka ini muncul lagi “Ma Wuyan” baru yang jabatannya lebih tinggi dan levelnya lebih kuat. Jika sampai terjadi, Rushuang mungkin tidak bisa melindungi diri sendiri.
Raja Yama tersenyum mendengar pertanyaanku: “Shisan, pulanglah dengan tenang. Aku jamin tidak ada pejabat alam baka yang akan mengganggu istrimu ini. Tapi... perlu kau ingat, ‘Pulau Yin-Yang’ meski berada di dunia manusia, sulit ditemukan. ‘Rumput Yin-Yang’ di sana juga langka. Hanya mengandalkan kekuatanmu sendiri, mencari benda itu seperti memanjat langit.”
“Selama bisa bersama Rushuang, seberat apapun kesulitannya akan kujalani, selangka apapun barangnya akan kucari. Aku takkan menyerah atau mundur.” Aku menatap Raja Yama dengan penuh kesungguhan.
Mendengar ucapanku, Raja Yama menatapku lama dengan sorot mata tajam. Setelah lama terdiam, raut wajahnya melunak. “Bagus! Pemuda memang harus begitu. Karena tekadmu kuat, Semi-Raja Yama akan memberimu benda ini. Suatu hari kau akan membutuhkannya.” Sambil berkata demikian, sang dewa mengibaskan lengan jubahnya yang lebar. Sebuah benda berpendar merah melesat darinya dan terbang ke arahku.