Sebelum pria paruh baya itu stabil emosinya, aku mengajak Zhao Man mendekati kakek tua yang masih pingsan di atas tempat tidur.
Setelah memastikan kakek tua ini hanya pingsan karena syok berlebihan, barulah aku lega. Kalau sampai dia mati ketakutan, urusannya akan jadi rumit.
Persis di saat itu, kakek tua yang pingsan tiba-tiba bangun sendiri. Ketika melihat aku dan Zhao Man masih berdiri di depan tempat tidurnya, hampir saja pingsan lagi marahnya. Dengan jari gemetar menuding kami, dia memaki: "Kalian... kalian ini binatang yang menyamar dengan kulit manusia..."
"Paman, jangan terburu-buru menghina dulu. Kami ini polisi." Aku menatap kakek tua itu sambil berkata. Mengingat Zhao Man sudah membuka identitas, aku akan terus mendukung sandiwaranya. Sebenarnya ini bukan benar-benar akting, karena secara fundamental Zhao Man memang pegawai negeri yang wewenangnya bahkan melebihi polisi, terutama dalam menangani kasus-kasus supernatural seperti ini.
Tiba-tiba, pria paruh baya yang tadi merangkak di tanah sambil terisak bangkit dengan mata merah. Ia mendekati kami dan membenarkan identitas kami pada ayahnya. Namun sang kakek tua tetap tak menurunkan kewaspadaannya, hanya memandangi kami tanpa sepatah kata pun.
"Di mana ibumu?!" Kakek itu tiba-tiba menoleh ke arah anaknya.
Suasana di rumah menjadi sunyi senyap. Sang kakek pun menyadari situasi, namun tak seperti anaknya yang meledak dalam tangisan. Tubuh kurusnya gemetar ringan, dua aliran air mata tua mengalir pelan dari bola mata yang keruh...
Setelah kami bertiga berhasil menenangkan sang kakek dan anaknya, kami menyatukan mayat tanpa kepala sang wanita dengan kepalanya dan menempatkannya sementara di ruang selatan. Zhao Man kemudian merawat dan membalut luka di bahu si pria gemuk.
Semua aktivitas ini menghabiskan waktu semalaman. Setelah ayam berkokok dan fajar menyingsing, kami berlima duduk melingkar di kursi-kursi ruang luar.
Dari percakapan sebelumnya, aku mengetahui nama pria paruh baya ini adalah Wang Acheng. Pria yang sebelumnya kuhancurkan dengan Lóng Hŭ Qī Shè Yìn adalah kakaknya bernama Wang Licheng.
Aku, pria gemuk, dan Zhao Man duduk di kursi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sambil memandang Wang Acheng dan ayahnya Kakek Wang. Aku terus menunggu mereka berbicara jujur kepada kami tentang seluruh proses mereka pergi ke "Pulau Yin-Yang" itu.
Setelah lama terdiam, Wang Acheng menghela napas panjang. Dari sakunya dia mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, lalu menghisap dalam-dalam sebelum menghembuskannya. Dia menoleh memandang ayah tuanya, dan setelah sang ayah mengangguk, barulah Wang Acheng mulai menceritakan secara detail pengalaman mereka kemarin kepada kami.
Ternyata keluarga empat orang ini bersama paman besar mereka membeli kapal penangkap ikan khusus untuk mengangkut barang dan penumpang. Mereka jarang memancing, lebih sering mengangkut barang dan orang. Saat berangkat kemarin, perjalanan mereka lancar. Namun saat pulang, langit tiba-tiba gelap disertai kilat di sekelilingnya, persis seperti pertanda badai akan datang.
Pemandangan ini membuat keluarga Wang yang sedang mengemudikan kapal sangat panik. Mereka segera meningkatkan kecepatan kapal, berharap bisa kembali sebelum badai datang. Meski kapal kosong tanpa muatan (sehingga daya apungnya lebih baik), mereka tidak berani mempertaruhkan nyawa dalam cuaca buruk seperti ini.
Namun mereka baru berjalan tidak sampai beberapa ratus meter, sudah melihat sebuah pulau tak bernama di kejauhan depan.
Melihat badai akan segera datang, Lao Wang sang nahkoda segera mengambil keputusan. Ia memanggil putranya untuk mengarahkan kapal ke pulau tak bernama itu. Rencananya adalah menambatkan kapal di sisi pulau, naik ke darat untuk menghindari badai, baru melanjutkan perjalanan setelah cuaca reda.
Bagaimanapun juga, keselamatan jauh lebih penting daripada waktu.
Posisi kapal nelayan itu tidak terlalu jauh dari pulau. Setelah lebih dari sepuluh menit, mereka berhasil merapatkan kapal ke sisi pulau, menjatuhkan jangkar, dan semua penumpang cepat-cepat naik ke darat.
Tapi setelah naik ke darat, mereka menunggu lebih dari setengah jam namun hanya melihat langit mendung tanpa tanda-tanda hujan.
Wang Licheng, putra sulung Lao Wang, mengusulkan agar semua orang menjelajahi pulau tak bernama ini. Siapa tahu mereka bisa menemukan harta karun. Begitu urusan menyangkut harta, manusia pasti akan terlibat.
Semua setuju. Selagi langit masih mendung, mereka memutuskan untuk memeriksa pulau ini. Meskipun tidak menemukan apa-apa, toh mereka tidak kehilangan apa-apa.
Ini bukanlah khayalan kosong. Setelah lama tinggal di sekitar Sungai Kuning, semua tahu legenda berusia ratusan tahun: Pada zaman kuno, ada Kekaisaran Daxi yang perkasa di selatan Tiongkok. Semua istana dan kuil di ibukotanya dihiasi dengan emas dan perak, berkilauan mempesona.
Pada awal abad ke-16, Kekaisaran Daxi digulingkan oleh pasukan tak dikenal yang melakukan invasi, merampas sejumlah besar emas. Para bangsawan Daxi yang lolos membawa sisa harta emas dan mutiara, melarikan diri ke wilayah Dinasti Ming. Setelah mempersembahkan upeti, mereka mendapat perlindungan dari pasukan kuat Tiongkok masa Ming, sehingga terhindar dari malapetaka. Legenda mengatakan tempat persembunyian terakhir mereka adalah di salah satu pulau di Sungai Kuning, hidup damai tanpa konflik dengan dunia luar.
Meskipun sebagian besar emas-perak-perhiasan yang dibawa oleh keturunan Kekaisaran Daxi ini telah diserahkan kepada pemerintah Dinasti Ming, sisa kecil yang tertinggal—meski dianggap remeh oleh negara besar—tetaplah angka astronomis bagi rakyat biasa. Dengan mendapatkan ini, beberapa generasi pun takkan sanggup menghabiskannya.
Sejak itu, legenda tentang sebuah pulau terus hidup di sepanjang tepian Sungai Kuning... Mengingat pulau di Sungai Kuning sendiri sangat langka, mereka pun sepemikiran.
Aku pernah mendengar kabar ini sebelumnya, tapi tingkat kebenarannya samar: Pertama, tak ada catatan tentang Kekaisaran Daxi dalam dokumen sejarah awal abad ke-16. Kedua, sampai sekarang tak ditemukan reruntuhan kerajaan itu di wilayah selatan China.
"Kalian jangan bilang tidak, di pulau itu kami benar-benar menemukan emas, sangat banyak emas, seumur hidup tidak akan habis!!" Pada saat itu, Wang Acheng menatap kami dan berkata.
“Benar ada emas?! Jangan asal ngibul ya, awas Pangye bawa kamu minum teh di kantor polisi!” Begitu mendengar ada emas di pulau itu, mata lebar si pria gemuk langsung berbinar.
“Sudah sampai situasi begini, saya sungguh tidak berani bohong.” Wang Acheng mengibaskan tangan sambil menjawab pria gemuk itu.
Mendengar ini, aku langsung paham. Kenapa tadi malam setelah turun dari kapal, keluarga mereka buru-buru pulang ke rumah. Meski ada yang pingsan, tetap tutup mulut. Ternyata alasannya seperti ini.
Semua karena emas! Keserakahan ini hampir membunuh seluruh keluarga mereka!
Mereka ingin monopoli emas di pulau itu. Makanya gigi patah pun ditelan sendiri.
“Lalu setelah menemukan emas itu?” Aku melanjutkan pertanyaan pada Wang Acheng.
Wang Acheng menjawab: “Saat melihat kilau emas di tanah, kakak sulung saya langsung berlari ke sana. Tak disangka baru sampai di situ, dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Saat kami kejar, ditemukannya sudah tergeletak pingsan di tanah. Emas-emas di sekitarnya pun tiba-tiba lenyap. Setelah mencari sekeliling, kami putuskan mungkin kakak sembunyikan. Karena tak bisa dibangunkan, akhirnya kami bawa pulang dulu untuk ditanyai setelah siuman.”
“Jadi tangisan ibumu yang memeluk ‘kakak’ yang pingsan itu kemarin malam cuma pura-pura?” tanyaku.
Wang Acheng pipinya memerah, tidak berbicara, perlahan mengangguk kecil mengakui.
Sampai saat ini, garis besar peristiwa sudah kuketahui. Sebelumnya, kakak Wang Acheng pasti 1000 persen adalah manusia replika dari "Pulau Yin-Yang". Adapun emas di pulau itu, kurasa itu hanyalah ilusi yang diciptakan Energi Yin Misterius jahat untuk menarik korban...
Memikirkan ini, kusampaikan seluruh kebenaran pada Wang Acheng dan ayahnya. Menatap Wang Acheng yang terperangah, kulanjutkan: "Wang Acheng, sudah kujelaskan sebab ibu mu meninggal tragis. Maukah kau membalas dendam untuk Lao niang mu?! Mengungkap kebenaran semua ini?!"
"Ingin!!" Wang Acheng langsung mengangguk setuju tanpa berpikir.
"Kalau begitu bersiaplah sekarang juga. Segera berangkat, bawa kami ke 'Pulau Yin-Yang' itu." Kataku sambil bangkit dari kursi.
