Sebenarnya aku sudah curiga pada Zhao Man, dan sekarang setelah melihat matanya yang menghindar dan tertutup, hatiku semakin yakin. Tampaknya dugaanku sebelumnya tidak salah. Berbagai tanda menunjukkan Zhao Man memang menyembunyikan sesuatu dari kami selama ini.
Perasaan ini membuatku sangat tidak nyaman, seolah-olah aku ditipu. Perasaan ini tak kalah pedih dibanding saat mengetahui Qiu Shasha mendekatiku semata karena dipaksa dalang di balik layar.
Terus-terusan dikelabui dan dibohongi, aku benar-benar sudah muak...
Mengapa aku yang telah jujur memberitahu Zhao Man semua tujuan kami ke "Pulau Yin-Yang" dan rencana menyelamatkan An Rushuang, malah terus menerus dibohongi? Aku tak mengerti, tak bisa melihat jelas. Apakah benar pertemanan antar manusia tak bisa saling terbuka?
Apakah sifat manusiawi benar-benar tak sanggup menghadapi ujian sekecil apapun?
……
Setelah semua kenyang makan di sekitar api unggun, Qiu Shasha dan Zhao Man berjalan ke tepi sungai di balik semak-semak. Mereka ingin mengambil air untuk direbus dan cuci kaki sebelum tidur. Di lingkungan apapun, sifat alami perempuan yang mencintai kecantikan dan kebersihan tak pernah bisa dihalangi.
“Aku, pria gemuk, dan Wen Ge, tiga pria ini tidak punya mood untuk merebus air dan cuci kaki. Hari ini kami berjalan seharian, bertemu dengan Sekdes Yang dan lainnya yang ‘hidup kembali’, dan hampir mati di dua pohon hitam-putih aneh itu. Pengalaman ini membuatku lelah fisik dan mental, sekarang hanya ingin berbaring di tenda dan tidur nyenyak.”
Pria gemuk tiba-tiba mengeluarkan sebotol Shao Daozi dari tas ranselnya, melirikku dan berkata: “Shixiong, bukan aku tidak setia kawan, ini botol terakhir... mau... maukah kau minum?” Sambil bicara dia menyodorkan botol Shao Daozi itu padaku.
Kulihat, meski mulutnya bilang mau memberiku minum, tapi kedua tangan gemuknya mencengkeram erat botol Shao Daozi itu. Jangankan mengambilnya, bahkan kalau aku berusaha merebut pun belum tentu berhasil.
“Lupakan, aku tidak ingin minum sekarang. Pria gemuk, simpan saja untukmu. Satu botol itu bahkan tidak cukup untukmu.” Aku melambaikan tangan padanya.
Wajah pria gemuk langsung berseri mendengar ucapanku. Dia buru-buru menarik kembali botol itu, membuka tutupnya, lalu menenggak seteguk besar...
Saat itu, Zhao Man dan Qiu Shasha yang mengambil air di sungai pun kembali bersama-sama.
Setelah mereka selesai merebus air dan cuci kaki, kami mulai mengatur jadwal jaga malam. Untuk keamanan, aku tidak mengikutsertakan Wen Ge dalam jaga malam. Kewaspadaannya sama saja antara jaga atau tidak, aku tetap tidak bisa tidur nyenyak.
Jadi aku dan si pria gemuk berdua, satu orang berjaga paruh malam pertama, satu lagi paruh kedua.
Keputusan ini langsung disetujui kedua tangan Qiu Shasha. Sekarang dia malah berharap aku berjaga sendirian semalaman.
Setelah semua tertidur, aku dan si gemuk main suit untuk menentukan siapa yang jaga pertama. Sayangnya aku kalah, jadi giliranku jaga paruh malam pertama.
Melihat si gemuk masuk ke tenda tidur, aku duduk sendirian di dekat api unggun. Mataku menatap nyala api, tapi hati ini justru dipenuhi antisipasi.
Menanti-nanti datangnya pukul 12 malam.
Ekspedisi ke Sungai Kuning ini tidak sia-sia. Pertama kami menemukan "Pulau Yin-Yang", lalu di pulau misterius dan menyeramkan ini kami berhasil menemukan "Rumput Yin-Yang" yang kucari. Begitu jam 12 malam tiba, rumput itu bisa kupetik. Misi ke "Pulau Yin-Yang" pun selesai sempurna.
Dengan ini aku bisa menjemput Rushuang dari alam baka. Setiap kali membayangkan bisa bertemu Rushuang lagi, hatiku seperti guci madu yang tumpah - bahkan sudut bibir ini tak kuasa menahan senyum.
Entah sejak kapan, setiap mengingat Rushuang, hatiku langsung dilanda kerinduan membara. Ingin rasanya langsung terbang ke alam baka, memeluknya erat-erat, bercerita tentang semua yang terjadi sejak kepergiannya, lalu memanjakannya habis-habisan untuk melampiaskan rindu.
Melihat api unggun yang hampir habis terbakar, aku mengambil kayu di samping dan melemparkannya ke dalam.
Mengangkat kepala, memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit, tiba-tiba aku terserang inspirasi puisi, bergumam sendiri: "Satu Yin satu Yang satu kerinduan, bagai api bagai air bagai luka cinta. Perasaan dalam muncul dalam situasi, semakin rindu semakin terkenang semakin merindu!..."
Persis saat ucapanku habis, suara lain terdengar dari belakangku:
"Hati terikat hati bergantung hati saling menyandar, di dalam mimpi di luar mimpi merindukan sang kekasih." Itu suara Zhao Man.
Mendengar perkataan Zhao Man, aku segera menoleh memandangnya bertanya: "Kak Zhao, kamu belum tidur??"
Zhao Man tersenyum tipis, tidak menjawab, malah berjalan mendekat ke arahku. Dia duduk di seberang api unggun berhadapan denganku.
"Shisan, kenapa tiba-tiba di tengah malam kamu mengigaukan puisi?" tanya Zhao Man penasaran.
"Ini cuma omongan ngawurku, tidak memenuhi irama píngzè maupun sajak," jawabku malu-malu pada Zhao Man. Susah-susah berimprovisasi sekali, malah kedengaran Zhao Man, malu tujuh turunan.
Zhao Man tertawa ringan: "Aku juga sama, cuma ngasal. Kita setengah kati delapan liang."
Aku mengangguk, tak bicara lagi. Suasana sekitar tiba-tiba mulai canggung. Zhao Man yang keluar mencariku tengah malam begini pasti bukan sekadar menatap bintang, pasti ada urusan lain.
Kalau dia diam, lebih baik aku pura-pura bisu dulu.
Sambil berpikir begitu, aku kembali memandangi api unggun di hadapan, berpura-pura tak acuh...
Lama sekali, Zhao Man yang duduk di seberangku baru menghela napas pelan dan berkata padaku: "Shisan, ada satu hal yang selalu kusembunyikan darimu. Sebenarnya meski kau tak mengatakannya langsung, aku tahu kau sudah menyadarinya, benar kan?"
Ternyata, tujuan Zhao Man ikut aku dan pria gemuk mencari "Pulau Yin-Yang" ini pasti ada maksud tersendiri. Dan sekarang dia bersiap memberitahuku.
"Benar, aku memang tahu." Jawabku jujur, lalu menatap Zhao Man bertanya: "Kak Zhao, selalu ingin kutanyakan, sebenarnya apa yang kausembunyikan dari kami?"
Mendengar pertanyaanku, Zhao Man tidak langsung menjawab. Dia justru mengeluarkan selembar kertas kuning kusut dari sakunya dan menyodorkannya padaku.
Setelah kuterima, kulihat kertas kuning ini ternyata salah satu halaman dari buku 《Catatan Fenomena Aneh Sungai Kuning Sebelum Era Merdeka》. Halaman ini selalu disimpan Zhao Man sendiri, tak pernah diperlihatkan pada kami.
Rasa penasaran langsung memuncak. Segera kubuka kertas itu dan membacanya dengan bantuan cahaya api unggun.
Sisi pertama halaman ini berisi lokasi spesifik "Pulau Yin-Yang" dan frekuensi kemunculannya, tak ada yang istimewa. Ketika kubalikkan, sekumpulan huruf besar berwarna hitam langsung menarik perhatianku:
"Pulau Yin-Yang tak hanya melahirkan manusia yin-yang, tapi juga menumbuhkan rumput yin-yang dan dua pohon yin-yang. Rumput bagai tulang ayam, pohon bagai harta karun. Dapatkan rumput tetap rumput, dapatkan pohon kekal abadi."
Kalimat ini seketika membuatku terpaku. Segera kuteruskan membaca tulisan kecil di bawahnya...
"Setelah aku selesai membacanya, aku langsung mengerti mengapa Zhao Man terus menyembunyikan ini dariku dan si Gemuk. Di lembar kertas ini tertulis jelas bahwa getah dua pohon Yin-Yang hitam-putih di pulau ini, bila dicampur dan diminum, meski tak bisa memberi keabadian, dapat mengawetkan keremajaan seseorang hingga maut menjemput."
Aku baru paham kenapa Zhao Man bersikeras ikut kami mencari "Pulau Yin-Yang" di Sungai Kuning. Juga alasan dia menghalangiku membakar kedua pohon Yin-Yang itu dengan api—ternyata semua untuk tujuan ini.
Setelah selesai membaca lembaran itu, kulumat kertasnya dan mengembalikan ke Zhao Man. Kutatap wajahnya: "Kak Zhao, apakah tujuanmu ikut kami mencari 'Pulau Yin-Yang' adalah untuk menemukan dua pohon Yin-Yang pengawet keremajaan itu?"
Zhao Man tak menyangkal. Dia mengangguk mantap sambil menatapku serius:
"Keinginan untuk tampil cantik adalah kodrat manusia. Aku juga ingin wajahku tetap di puncak kecantikan selamanya."
Kulemparkan beberapa kayu ke api unggun sambil bertanya lagi: "Kak Zhao, apa kau benar-benar percaya semua yang tertulis di sini??"
