Mendengar perkataan wanita berbaju merah tadi, di hatiku sudah mengutuk seluruh leluhurnya sampai delapan belas generasi. Dia menganggap dirinya seperti kaisar zaman dulu yang mudah saja memerintahkan pembasmian sembilan generasi keluarga seseorang.
Dan sejak Kakek-Nenekku meninggal, yang paling kubenci adalah orang yang mengancam nyawa keluarga dan sahabatku.
Meski dalam hati aku sudah memaki-makinya habis-habisan, raut wajahku tetap berpura-pura tenang. Saat hendak bicara, pria gemuk di sampingku tak tahan lagi dan mendahuluiku: "Aku dasar nenekmu! Kau pikir diri penting? Hidung babi ditusuk daun bawang sok jadi gajah?! Gampangan ancam hapus seluruh sembilan generasi, aku yang akan basmi seluruh keturunanmu!!" Kelancangan pria gemuk ini bicara sembarangan sepenuhnya karena ia tak paham betapa mengerikannya wanita berbaju merah ini.
"Sebenarnya saat ia baru saja berbicara, aku sudah menendangnya. Tapi siapa sangka pria gemuk itu sama sekali tidak menghiraukanku, malah memaki wanita berbaju merah itu hingga disirami darah anjing."
"Wanita berbaju merah itu berdiri di pucuk pohon. Mendengar makian pria gemuk, ia menatap ke arahnya perlahan dengan mata peach, pandangannya dipenuhi niat membunuh yang mengerikan."
"Kau berani memakiku? Kau benar-benar berani memakiku barusan?" Ia menatap pria gemuk itu sambil mengulangi pertanyaannya dua kali berturut-turut.
"Pangye aku hidup seumur hidup, tidak ada yang berani kulakukan! Dasar kau turun dari situ! Jangan pikir karena cantik semua pria di dunia harus mengitarimu! Aku paling muak melihat wanita sepertimu, kau..." Ucapan Pangye belum selesai, tiba-tiba terdengar suara "kring...kring...kring..." lonceng, lalu bayangan merah melesat di sampingku. Dari belakang langsung terdengar jeritan Pangye yang menderita.
"Aduhhh!!~" Mendengar jeritan itu, jantungku berdebar. Aku segera menoleh dan melihat tubuh Pangye terlempar ke udara, jatuh telentang ke tanah dengan keras lalu diam tak bergerak.
Aku segera mengerahkan energi Yang untuk memeriksanya. Setelah melihat energi vitalnya masih utuh, napasku lega. Tadi aku benar-benar khawatir wanita berbaju merah itu akan membunuhnya.
"Hmph! Orang yang berani menghinaku takkan kubiarkan mati mudah. Akan kupelankan siksaan sampai dia menyesal pernah bertemu denganku." Wanita berbaju merah itu memandang tubuh Pangye yang tergeletak, suaranya dingin menusuk tulang seperti es yang membuat bulu kuduk merinding.
"Tapi karena dia sudah menyerang pria gemuk, saat ini tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku menyerahkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks ke tangan kiri, dengan cepat melukai jari untuk melepas segelnya. Tangan kanan langsung membentuk gerakan tangan keempat dari Lóng Hŭ Qī Shè Yìn sambil berseru: 'Qinglong berenang di awan mengarah ke Kun, bergerak waspada dengan kekuatan militer. Lóng Hŭ Qī Shè Yìn! She!!'" Setelah mantra selesai, cahaya merah di tangan kananku langsung menyala terang, energi Yang di sekitarku meningkat drastis.
Saat ini kita harus mengerahkan seluruh tenaga. Meski begitu, aku sudah punya firasat bahwa malam ini mungkin akan sangat berisiko. Karena tingkat kultivasi wanita ini... sungguh mengerikan.
"Oh? Baru berapa lama kita tak bertemu, kau sudah menguasai metode keempat dari Lóng Hŭ Qī Shè Yìn. Tubuh Tao Bawaan... memang luar biasa." Wanita berbaju merah itu tersenyum sambil menoleh kepadaku setelah merasakan energi Yang kuat yang memancar dari tangan kananku.
Aku malas berdebat lagi. Dengan cepat melesat ke depan, berencana mengalihkan perhatiannya dengan Pisau Naga Lilin di tangan kiri, lalu menyerang titik vitalnya dengan metode keempat Lóng Hŭ Qī Shè Yìn. Meski tidak bisa melukai parah, setidaknya harus membuatnya cedera.
"Hmph, kau memang cepat bertindak. Tapi ini—mencari mati!!" Mata wanita berbaju merah itu menyipit tipis. Tiba-tiba tubuhnya sudah berada di hadapanku. Begitu sadar, segera kusayat horizontal Pisau Naga Lilin ke wajahnya sekuat tenaga.
Walau terhalang selembar kain hitam, dari jarak sedekat ini, aku jelas melihat sudut bibirnya melengkung sedikit, menunjukkan senyuman meremehkan. Lalu tubuhnya berbalik cepat ke belakang, menghindar dengan mudah.
Melihat serangan pertama gagal, aku segera melanjutkan dengan mengayunkan Lóng Hŭ Qī Shè Yìn menggunakan tangan kiri ke arah titik vital di dadanya. Saat ini, aku sama sekali tidak mempedulikan norma kesopanan antara pria-wanita. Yang penting bisa selamat dari cengkeraman wanita ini, apalagi memikirkan hal sepele?!
"Waduh, dasar serigala berbulu domba! Ke bagian mana tubuhku kau raba?!" Wanita berbaju merah itu berkata sambil tertawa melihat tangan kananku menyasar payudaranya yang menonjol. Tubuhnya menghindar cepat ke samping, membuat seranganku meleset lagi.
"Hehehehe... Katanya pria semua munafik. Mulut bilang tak mau aku jadi istrimu, tapi..." Wanita itu mengedipkan mata, "tanganmu cukup jujur. Jika benar ingin meraba, tarik saja energi Yang di tanganmu. Kubiarkan kau puas-puas... Tapi," senyumnya mengerdip, "tidak takut istri hantumu menangis pilu?" Ekspresinya tetap santai seolah ini bukan pertaruhan nyawa, melainkan permainan belaka.
“Aku takut sama pamanmu！！” Aku tiba-tiba melangkah dua langkah ke depan, mengejar dan kembali mengeluarkan telapak tangan. Dari pertarungan tadi, sebenarnya aku sadar di hati: bahkan dengan mempertaruhkan nyawa, belum tentu bisa melukainya sedikit pun. Tapi aku ingin memancing amarahnya sekarang – hanya dengan membuatnya hilang akal, kami punya secercah harapan melarikan diri.
Wanita berbaju merah itu kembali menghindar. Saat itu juga, "Braak!!" suara tembakan menggema. Namun sebelum suara itu, tubuhnya sudah bergerak cepat mundur selangkah. Aku melihat kilatan cahaya api – di ujung hidungnya muncul goresan darah tipis, terluka oleh peluru Zhao Man yang melintas tadi.
Ternyata Zhao Man sebelumnya bukan sekadar menakuti Kak Wen dkk. Dia benar-benar menyimpan satu peluru terakhir. Tapi peluru itu terpaksa digunakan sekarang. Zhao Man memegang pistol dengan kedua tangan, memandang wanita berbaju merah yang membeku di tempat. Jelas dia tak percaya wanita ini bisa menghindari tembakan jarak dekat secepat itu.
Jangankan Zhao Man, bahkan aku sendiri terkejut. Tidak ada yang lebih paham dariku soal kemampuan menembaknya. Pada jarak sedekat ini, tembakannya pasti tepat sasaran. Jelas tadi itu bukan kesalahan tembak, tapi benar-benar dihindari oleh wanita berbaju merah mengerikan ini.
Tingkat kultivasinya sudah mencapai tingkat seberapa luar biasa, sampai bisa menghindari tembakan peluru?
"Wanita berbaju merah berdiri di hadapanku perlahan mengulurkan tangan, menyentuh ujung hidungnya dengan lembut. Saat melihat darah, wajahnya langsung berubah muram. Ia menoleh ke arah Zhao Man:
"Kau si buruk rupa berani melukaiku?! Mati saja!!" Sambil bicara, tubuhnya bergerak cepat menerjang Zhao Man.
"Kak Zhao, kabur!!" Aku berteriak memperingatkan sambil berlari sekuat tenaga ke belakang wanita itu.
Meski sudah maksimal, aku tak bisa mengejar. Dia sudah di depan Zhao Man. Sebelum sempat bereaksi, telapak tangan menghantam perutnya hingga tubuh Zhao Man terpental.
Wanita itu melangkah hendak mengejar. Tepat di saat itu, aku sudah di belakangnya dan menusukkan Pisau Naga Lilin dan Burung Feniks ke punggungnya sekuat tenaga.
Punggungnya seolah punya mata. Tanpa menoleh, tendangan tiba-tiba menghantam dadaku. Kekuatan dahsyat itu membuat Pisau terlepas dari genggamanku, tubuhku sendiri terlempar ke belakang.
"Setelah mendarat, aku menahan sakit dan berjuang bangkit dari tanah. Tendangan wanita berbaju merah tadi membuatku pusing tujuh keliling kehilangan arah. Sambil memegangi dada, aku berdiri tegak dan melihat sekeliling. Anehnya, Qiu Shasha terlihat sedang berlutut menghadap arah tempat wanita berbaju merah itu berada..."
Saat ini hatiku terasa seperti ditusuk ribuan jarum baja berduri. Rupanya Qiu Shasha tidak pernah benar-benar satu hati dengan kami.
"Mengapa dia bersujud pada wanita itu? Apa hubungan mereka?!"
"Pu~!!" Suara Zhao Man muntah darah tiba-tiba masuk ke pendengaranku. Aku langsung mengabaikan Energi Kehidupan Qiu Shasha dan menoleh ke arah Zhao Man.
Tampak Zhao Man sudah terbaring tak berdaya di tanah setelah dipukul wanita berbaju merah itu.
Wanita itu mengeluarkan kipas bulu merah dari balik bajunya. Dengan gerakan lembut tangan kanannya yang memegang kipas, sehelai bulu merah melesat seperti pisau langsung menghunjam punggung Zhao Man. Zhao Man mengerutkan alisnya, darah mengalir dari sudut mulutnya. Dia menatapku sambil berusaha membuka mulut dan membentuk dua kata:
"Cepat... lari..." Dua kata ini bukan kudengar, tapi kutebak dari gerakan bibirnya.
Mataku memerah di saat yang sama...
