Aku berdiri di buritan kapal kayu tua ini, menoleh ke arah "Pulau Yin-Yang" yang semakin menjauh. Di hati terasa getir yang tak tertahankan.
Kali ini dibawa pergi oleh wanita berbaju merah ini, kemungkinan besar aku tidak akan selamat. Bahkan jika menemukan "Rumput Yin-Yang" di pulau ini, janjiku untuk menyelamatkan An Rushuang di alam baka tetap tak bisa terpenuhi.
Akankah dia terus menungguku di alam baka untuk kubawa pergi? Aku teringat kalimat yang diucapkannya saat perpisahan:
"Shisan, aku menantimu di sini..."
Saat aku mendengar Rushuang mengucapkan kata-kata itu, selain terharu, hatiku dipenuhi kepuasan. Aku puas memiliki istri yang mau mempercayaiku dan menungguku. Tapi kini ketika kurenungkan, hati ini hanya dipenuhi penyesalan demi penyesalan.
Inilah takdir? Sejak aku lahir, nasibku sudah ditakdirkan. Semuanya telah ditentukan oleh wanita berbaju merah di depanku. Aku hanyalah hewan ternak yang dia pelihara di bawah pengawasannya.
Sebelumnya aku masih berkoar tentang tidak mengakui takdir, bahwa nasibku ada di tanganku sendiri. Memikirkan hal itu, aku tersenyum kecut mengejek diri sendiri.
Wanita berbaju merah yang berdiri di sampingku mendengar tawaku, dengan ekspresi bingung dia bertanya: "Ada apa? Ada hal menyenangkan apa yang masih bisa membuatmu tertawa di saat seperti ini?"
Aku menatapnya dan berkata: "Jika sudah harus mati, buat apa meratap? Toh tertawa atau menangis akhirnya sama saja. Aku lebih memilih mati sambil tersenyum bahagia."
Alis wanita itu berkedut. Dengan senyum manis dia berkata: "Tak kusangka kau punya nyali. Jujur saja, aku mulai menyukaimu. Andai bukan karena kau memiliki Tubuh Tao Bawaan, mungkin akan kubiarkan kau hidup untuk melayaniku..."
"Kau berkhayal! Sekalipun bukan Tubuh Tao Bawaan, aku takkan pernah membungkuk melayani perempuan licik sepertimu. Kau tidak layak!!" Di ambang kematian, justru aku merasa lega bisa mencaci maki tanpa beban.
Wanita itu terkekeh-kekeh. Tiba-tiba tangannya menghunjam keras ke perutku dengan pukulan maut.
“Pukulannya terlalu cepat dan jaraknya sangat dekat, aku sama sekali tidak bisa menghindar, terpaksa menerima pukulan itu dengan keras.
Rasa sakit yang tajam menyebar, aku membungkuk memegangi perut dengan kedua tangan, hampir saja langsung berjongkok di atas kapal.
“Hehehehe... Sekarang kau bukan hanya menundukkan kepala padaku, tapi juga membungkukkan badan.” Wanita berbaju merah itu tersenyum sambil menatapku.
Aku menahan sakit dan berkata, “Tindakanmu ini sama saja dengan pemerkosaan yang menutup-nutupi diri, hanya keinginan sepihak belaka.”
“Aku memang suka keinginan sepihak. Sesampai di tujuan, pasti akan kubuat kau tunduk patuh. Tenang, takkan kubiar kau mati dengan tenang. Lelaki semenarik ini harus kumainkan sampai puas sebelum menyiksamu perlahan.” Wanita berbaju merah itu mengulurkan jari panjangnya, kuku merahnya menyentuh lembut dahiku.
Mendengar ucapannya, aku diam seribu bahasa. Di dalam hati telah kubulatkan tekad: selama bisa memberi waktu bagi Zhao Man, Qiu Shasha, dan si pria gemuk untuk melarikan diri, akan kugunakan kitab 《Xuan Huang Di Jing》 dari tas ranselku untuk bertarung habis-habisan. Sekalipun mati, harus kucabik beberapa helai daging dari tubuhnya!
Entah siapa orang yang mengemudikan kapal ini, perahu kecil di tangannya melesat lebih cepat dari kapal bermesin. Tak lama kemudian, tampak samar-samar tepi Sungai Kuning di kejauhan.
……
Tak lama kemudian, perahu kayu merapat ke tepi. Wanita berbaju merah membawaku naik ke darat dan terus berjalan ke depan.
Sepanjang jalan, dia berjalan tidak cepat, seperti sedang berjalan-jalan santai tanpa tujuan jelas. Awalnya menuju timur, lalu berbelok ke selatan, utara, barat...
Aku yang mengikutinya dari belakang merasa ini bukan perjalanan serius, tapi seperti diputari terus mengelilingi tepian sungai.
Setelah berputar lebih dari setengah jam, aku tak tahan lagi. Kutatap wajahnya dan bertanya, "Kukira kamu mau ke mana? Sekitar sini tidak ada hantu tembok, ngapain kita muter-muter di sini??"
Wanita berbaju merah itu langsung berhenti mendengar pertanyaanku. Tanpa menoleh, katanya, "Di sini memang tidak ada hantu tembok, tapi ada seekor keledai botak tua yang terus mengikuti kita..."
"Keledai botak tua?" Aku terkejut mendengar sebutannya, otakku blank sejenak. Spontan kubertanya.
Tapi wanita itu tak menjawab. Menatap tajam ke satu arah di depan, suaranya menggema, "Hei biksu botak! Sudah hampir satu jam kau ikut kami muter-muter, saatnya muncul sekarang!"
Begitu ucapannya melandai, gemuruh mantra Buddha bergema dari balik kegelapan di depan:
"Amitabha Buddha, semoga berkat tercurah..." Aku langsung mengenali suara itu - pasti biksu tua yang dulu memberikanku giok kuno berisi Taotie!
"Setelah mendengar kedatangannya, hatiku bergembira. Pada detik itu juga muncul secercah harapan untuk bertahan hidup. Berdasarkan interaksi sebelumnya, biksu tua ini tidak memiliki niat jahat padaku. Pasti dia datang untuk menyelamatkanku di saat seperti ini."
"Selain itu, tingkat kultivasinya juga sangat mendalam dan sulit ditebak."
"Kemudian, bayangan hitam perlahan muncul dan mendekati kami, aku dan wanita berbaju merah. Saat dia semakin dekat, barulah kulihat jelas - orang yang datang ini adalah biksu tua yang sebelumnya memberikanku giok hitam kuno itu."
"Hmph, botak tua! Kau selalu menghalangiku. Menurutmu aku yang pendendam ini akan membiarkanmu menghabisui masa tua dengan tenang?!" Wanita berbaju merah itu menatap sang biksu sambil berkata.
"Amitabha, pendapat Tuan keliru. Hamba tidak bermaksud melawan Tuan, namun Tuanlah yang melawan hukum langit dan jalan kebenaran. Jika Tuan bersedia meletakkan golok dan segera menjadi Buddha saat ini juga, kuil hamba akan menyambut Tuan untuk melantunkan sutra dan memperbaiki diri..." Biksu itu menyatukan telapak tangan sambil menatap wanita itu.
"Ketika mendengar kalimat 'meletakkan golok bisa langsung menjadi Buddha' dari mulut biksu tua itu, seketika aku teringat Zhao Man yang disiksa wanita berbaju merah hingga setengah mati dan berlumuran darah."
Memikirkan hal ini, api kemarahan langsung berkobar dalam hatiku. Tak tahan lagi, aku menatap biksu tua itu dan bertanya, "Mengapa orang baik harus melewati 81 cobaan berat untuk menjadi Buddha, sementara penjahat keji seperti mereka bisa langsung mencapai pencerahan hanya dengan meletakkan pisau penyembelihan? Apakah semua dosa masa lalu mereka diampuni begitu saja?" Seandainya aku punya kekuatan, bahkan jika wanita berbaju merah ini benar-benar bertobat, aku takkan pernah memberinya pengampunan.
Utang harus dibayar, nyawa dibalas dengan nyawa—itu hukum alam yang abadi. Wanita berhati ular dan kalajengking ini, tak terhitung korban tak bersalah yang sudah terkubur di bawah tangannya.
Biksu tua itu mengucapkan "Amitabha" sebelum menjawab, "Tuan, semakin banyak kejahatan dilakukan, semakin sulit kembali ke jalan kebenaran. Balas dendam hanya melahirkan lingkaran kebencian tak berujung. Hidup di dunia fana ini jangan terus terbelenggu kebencian. Kebaikan dan kejahatan seseorang tak bisa dinilai hanya dari satu kehidupan atau satu perbuatan. Dalam siklus reinkarnasi yang panjang, satu kehidupan hanyalah sekejap mimpi. Untuk apa melekat pada dendam?"
Sebelum sempat membalas, wanita berbaju merah tiba-tiba menyerang. Tangannya mencekik leherku sambil berbisik dingin, "Zuo Shisan, jangan kira aku tak berani menyiksamu hanya karena kau punya rahasia 'Energi Zhen Wuji' di otak! Meski tak bisa kubunuh, ada seratus cara untuk membuatmu hidup lebih sengsara daripada mati!!"
Dicekik erat-erat oleh tangan wanita berbaju merah, bukan saja tak bisa bicara, bahkan bernapas pun sulit. Di saat genting itu, biksu tua di seberang tiba-tiba bergerak lincah seperti kelinci liar, mendesak mendekati wanita berbaju merah.
Melihat ini, wanita berbaju merah mendengus dingin lalu melemparkanku. Dia mengeluarkan kipas bulu merah dari tubuhnya, lalu menerjang ke arah biksu tua itu dengan garang.
Kedua orang itu seketika bertarung. Aku berdiri di tempat menyaksikan wanita berbaju merah mengayunkan tangan kanannya, beberapa helai bulu merah melesat tajam ke arah tubuh biksu tua.
Sang biksu tua tetap tenang dalam situasi berbahaya. Dengan satu tangan, ia mengayunkan lengan membentuk setengah lingkaran di depan dadanya, menggunakan lengan jubahnya yang lebar untuk menangkis semua bulu merah itu.
Aku tersadar: Biksu tua ini hebat! Meski terlihat kaku, saat pertarungan sesungguhnya dimulai, ia sama sekali tidak ragu-ragu.
