Saat kulihat dari celah jerami bahwa wanita itu menatap ke arahku, jantungku seolah diremas kuat oleh tangan tak kasat mata.
Dia menatap sebentar, lalu mulai mengangkat kaki dan berjalan perlahan menuju tumpukan jerami ini. Langkahnya sangat pelan, bahkan suara telapak kakinya menyentuh tanah lebih sunyi daripada seekor tupai.
Di tanah lapang di hadapanku ini, permukaannya dipenuhi daun-daun kering. Andai saja curah hujan di pegunungan tinggi ini tidak jarang, mungkin tempat ini sudah lama berubah menjadi rawa berlumpur hitam.
Menyaksikan wanita berbaju merah semakin mendekat, rasa gugupku memuncak. Meski bersembunyi dalam tumpukan jerami, menahan seluruh energi Yang dalam tubuh, bahkan menghentikan detak jantung dan pernapasan sementara, tetap saja aku tak bisa lolos dari sorot kedua matanya.
Meremehkan lawan adalah kesalahan fatal. Saat ini kegelisahan dan rasa tak puas menggerogotiku. Aku tak rela ditemukan dan dibasmi begini saja, tapi situasi sudah di luar kendaliku.
Tiba-tiba, suara "sha sha sha" bergemuruh dari dalam semak. Sekelompok tikus berlarian keluar dari sampingku, menghilang ke segala arah.
Melihat gerombolan tikus yang kabur dari jerami itu, wanita itu langsung berhenti. Kedua matanya mengerut dengan ekspresi jijik yang menusuk. Dia tetap berdiri sampai tikus-tikus itu benar-benar hilang, baru kemudian kembali menatap tajam ke tumpukan jerami persembunyianku.
Kali ini, dia tidak melanjutkan langkah ke depan, mengibaskan tangan kirinya. Sebuah angin dahsyat tercipta dari tangannya, menyapu ganas ke arah tumpukan jerami tempatku bersembunyi.
Aku yang bersembunyi di dalam hanya bisa pasrah menyaksikan angin itu mendekat, tak berdaya sama sekali, tak berani bergerak sedikitpun.
Saat angin itu menyentuh tumpukan jerami, seluruhnya tertiup terbalik ke belakang. Aku tetap jongkok tak bergeming, beruntung sebagian besar jerami yang beterbangan itu jatuh menimpaku. Meski tumpukan itu roboh, tubuhku yang bersembunyi masih tertutup rapat.
Wanita berbaju merah itu melihat tak ada yang bersembunyi setelah tumpukan jerami roboh. Setelah melirik sekilas, dia berputar dan melompat lincah, melesat cepat ke arah timur.
Melihat bayangan wanita berbaju merah itu menghilang dalam kelam malam, aku tetap jongkok tak bergerak. Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit dan yakin dia telah pergi, barulah aku perlahan keluar dari tumpukan jerami.
Membersihkan jerami kering di badan, pertama kuputar badan dan membungkuk hormat pada jerami yang telah menyelamatkan nyawaku. Lalu kulesatkan diri ke arah berlawanan dari wanita berbaju merah itu.
Saat ini, wanita itu pastilah fokus mencariku. Selama aku tak ditemukan, pria gemuk, Qiu Shasha, dan Zhao Man akan aman. Lagipula tujuan utama kedatangannya kali ini bukan mereka, melainkan Pedang Pemotong Kegelapan di tubuhku dan metode latihan "Energi Zhen Wuji".
Saat aku melesat keluar sejauh beberapa li, Taotie yang bersembunyi di dalam giok kuno tiba-tiba berbicara padaku: "Shisan, cepat cari tempat bersembunyi! Wanita itu mengejar lagi!!"
Mendengar perkataan Taotie, hatiku berdebar kencang. Aku mengira sebelumnya sudah berhasil melepaskan diri dari wanita berbaju merah itu, tak disangka dia ternyata bisa menemukan secercah petunjuk dalam waktu sesingkat ini dan memburuku lagi.
Aku melihat sekeliling yang gersang tak berpenghuni, sama sekali tak menemukan tempat persembunyian. Di hati timbul rasa panik. Aku menatap Taotie dan bertanya, "Taotie, di tempat ini bahkan menyembunyikan tikus saja sulit! Sekarang aku tak punya tempat untuk bersembunyi!"
Taotie lalu berkata padaku, "Di pohon depan itu!"
Mendengar perkataannya, aku segera menoleh ke arah yang ditunjuknya. Benar saja, tak jauh dari sana ada dua pohon poplar. Waktu sangat mendesak, tak sempat untuk berpikir panjang. Tanpa ragu, aku segera melesat menuju kedua pohon poplar itu.
Berlari ke bawah pohon, tubuhku menggunakan momentum untuk melompat, lalu melesat naik ke atas pohon. Setelah menemukan dahan yang cocok untuk bersembunyi, aku berjongkok di atas pohon sambil kembali mengerahkan metode latihan "Mao Shan Qian Xi Shu", menyatukan diri dengan pohon ini sambil menunggu wanita berbaju merah itu mengejar.
Setelah lebih dari satu menit, benar saja dari kejauhan terlihat bayangan hitam bergerak cepat mendekat.
Hanya sebentar sudah sampai di dekat sini. Melihat tidak ada orang di sekitar, dia tidak berlama-lama dan segera melesat meneruskan perjalanan ke depan.
Melihat sosok wanita berbaju merah itu menjauh, aku menarik napas panjang, menyeka keringat dingin di dahi, dalam hati mengutuk: "Sialan, wanita ini lebih galak daripada anjing polisi! Ke mana pun aku lari, dia bisa mengejar, benar-benar hantu yin yang tak mau pergi."
"Shisan, kita tak bisa berlama-lama di sini. Cepat lari ke kota kecil di selatan yang kaya energi Yang! Begitu kau masuk kota dengan energi Yang yang kacau-balau, dia akan kesulitan menemukanmu," kata Taotie dari dalam giok.
Mendengar perkataan Taotie, aku mengangguk lalu melompat gesit dari pohon, menerobos kegelapan menuju selatan.
Namun belum sampai setengah li aku berlari, Taotie dalam giok kuno itu kembali memperingatkan: "Wanita berbaju merah itu menyusul lagi!"
Sialan! Bayangan wanita itu seperti melekat di tubuhku. Andai tak ada "Mao Shan Qian Xi Shu" yang kugunakan sepanjang jalan, pasti sudah lama dia menangkapku.
Jarak ke kota kecil di depan masih sangat jauh. Tak mungkin lagi kabur. Mataku menyapu cepat ke sekeliling, lalu melihat semak rumput liar setinggi pinggang di tanah lapang sebelah kiri. Aku segera berlari ke sana.
Untuk menghindari kehancuran rumput yang akan membocorkan posisi, aku melompat tinggi dan mendarat langsung di tengah semak. Berjongkok setengah, aku menyamarkan postur tubuh dengan rumput-rumput liar di sekeliling.
"Persis saat aku baru saja berjongkok, sosok merah tiba-tiba muncul di tanah lapang di depan. Wanita berbaju merah itu yang mengejarku masih menutupi wajah dengan selendang merah, berdiri kurang dari sepuluh meter dariku sambil mengamati sekeliling dengan cermat.
Tiba-tiba, dia berdiri tegak dan menatap ke arah semak tempatku bersembunyi, sambil berteriak keras:
"Zuo Shisan, aku tahu kau pasti bersembunyi di sana! Keluar sekarang sebelum kemarahanku meledak, atau kubumihanguskan tempat ini!!" Saat wanita itu berbicara, kedua matanya memancarkan hawa dingin. Aura pembunuh yang menusuk langsung menyebar dari tubuh rampingnya, menciptakan atmosfer menakutkan yang penuh niat membunuh dan keputusasaan seperti jurang.
Meski percaya dengan ancamannya, aku tetap tak berniat keluar.
"Hehehehe... Benar-benar tak mau keluar, ya?" Wanita itu tersenyum. Meski tersenyum, sorot mata hitamnya yang dalam seperti pisau tajam. Hanya dengan satu pandangan, seluruh tubuhku seolah terjatuh ke jurang tak berdasar.
Tiba-tiba dia menyerang lagi. Melalui celah semak, kulihat jelas di tangan kirinya sekarang ada Bunga Teratai Darah Kumis Naga. Kekuatan bunga ini sudah kusaksikan sebelumnya, membuat hatiku berdebar-debar tak karuan.
Saat mantra itu diucapkannya, bunga teratai darah kumis naga di tangannya perlahan mulai mengambang di udara, dikelilingi pancaran cahaya merah yang terus berkedip. Wanita berbaju merah itu kembali berseru ke arah hamparan rumput lebat: "Zuo Shisan, aku beri kesempatan terakhir. Jika tidak segera keluar, akan kutebas kau bersama hamparan rumput liar ini menjadi dua!!" Suaranya dingin bagai es, bukan sekadar gertakan. Tak perlu diragukan, kemampuan dan kedengkian hatinya sanggup mewujudkan ancaman itu.
Setelah berdiri menunggu sejenak, wajah wanita itu semakin muram. Dengan satu tangan, ia membentuk mudra cepat sambil berseru lantang: "Bunga teratai darah kumis naga, Jíjí rú lǜ lìng! She!!" Begitu mantra selesai, kilatan merah menyambar dari bunga teratai itu. Sebilah pisau cahaya merah melesat membentuk lengkungan magis nan mistis, bagai bayangan bulan sabit yang terdistorsi riak angin di permukaan sungai.
Kecepatan bilah cahaya merah itu luar biasa. Seketika ia menyambar ke arah semak tempatku bersembunyi. "Swis!!" Suara tajam mengiris udara. Hamparan rumput di sebelah kiriku terbelah dua oleh tebasan energi itu.
Melihat pemandangan ini, napasku seakan membeku. Sebelum sempat bereaksi, bilah cahaya merah kedua telah menyusul. Kali ini, sasaran bidiknya tepat ke arah tempatku berdiri.
Aku berjongkok di tempat tanpa bergerak sedikitpun, juga tidak berusaha menghindari pisau cahaya itu. Saat ini, aku lebih memilih terpotong menjadi dua oleh pisau merah ini daripada ditangkap dan disiksa sampai mati oleh wanita itu.
