Masih berjongkok di tempat, tiba-tiba kilatan merah melintas di depan mata. Perutku terasa nyeri hebat disusul aliran energi Zhen yang cepat berkumpul di perut bagian bawah. Tubuhku terpelanting ke tanah, rerumputan yang terpotong di sekitarku berjatuhan menutupi tubuhku yang tergeletak.
Meski perutku sakit luar biasa, wanita berbaju merah itu belum pergi dan belum menemukanku. Aku menahan sakit sambil terpaku di tanah seperti patung, bahkan napas pun kutahan.
Kurasakan, pisau cahaya merah tadi tidak langsung membelah tubuhku menjadi dua karena perlindungan spontan energi Zhen dalam tubuhku.
Ternyata "Energi Zhen Wuji" ini memiliki kemampuan melindungi tuannya secara otomatis. Pantas saja wanita berbaju merah itu mati-matian ingin merampasnya dariku.
Tapi sekarang benar-benar berada di ujung hidup dan mati, aku sadar diriku sebenarnya masih sangat rapuh, juga sangat takut mati. Bahkan ketakutannya sampai mematikan. Begitu manusia benar-benar terjebak dalam situasi tanpa harapan, nekat melawan, justru akan menjadi tidak takut mati. Tapi begitu diberi kesempatan lolos, hasrat bertahan hidup yang bawaan sejak lahir itu akan menguasai seluruh tubuhku, membuatku rela mengorbankan martabat demi bisa terus hidup.
Setelah wanita berbaju merah itu membersihkan area seluas ini dari rumput liar dengan Teratai Darah Kumis Naga di tangannya, barulah ia memutar badan dan melesat pergi.
Aku merangkak di tanah, perlahan mengangkat kepala. Setelah memastikan wanita merah itu sudah jauh, barulah aku menahan sakit untuk duduk.
Di perutku, baju sudah basah oleh darah segar yang merah menyala. Ku buka bagian baju yang tercabik oleh pisau cahaya merah itu, terlihat luka mengerikan sepanjang lebih dari 10 cm di perutku. Aliran darah deras seperti keran air yang dibuka terus mengucur keluar.
Melihat luka besar di perutku ini, segera kukumpulkan energi Yang dalam tubuh ke area luka. Meski darah sementara berhenti, lukanya tak bisa sembuh cepat. Cara terbaik sekarang adalah mencari rumah sakit untuk desinfeksi dan jahitan luka.
"Tapi krisis yang kuhadapi saat ini belum sepenuhnya teratasi. Wanita berbaju merah itu bisa mengejarku kapan saja. Sebelumnya, beberapa kali aku hampir ketahuan olehnya. Setelah terluka parah begini, kesempatanku untuk lolos semakin kecil."
"Lagipula, bekas darah yang mengalir dari tubuhku pasti akan dilacaknya. Saat itu terjadi, tak ada tempat persembunyian yang aman bagiku."
"Shisan, seberapa parah lukamu?" Suara Taotie terdengar.
"Masih bisa ditahan. Darah sudah berhenti, untuk sementara belum mati," jawabku.
"Kalau begitu teruslah lari ke kota kecil di depan. Selama bisa masuk ke sana, nyawamu akan selamat," kata Taotie.
Kutarik napas pendek. "Jika aku kabur ke depan dengan gerakan kasar, pasti akan meninggalkan jejak darah. Begitu wanita itu menemukan dan mengikuti jejaknya, aku benar-benar tak punya tempat bersembunyi."
"Selain mengambil risiko ini, apa lagi pilihanmu?" Taotie membalas.
Mendengar perkataannya, aku menggeleng pasrah. Menggigit gigi, bangkit dari tanah dan melesat cepat ke depan sambil menahan sakit.
Seperti dugaanku, gerakan kasar ini membuat luka di perut yang sudah berhenti berdarah kembali mengucur. Darah merembes melalui pakaian, menetes perlahan ke tanah.
Sambil melesat cepat ke arah kota kecil, kuperhatikan belakangku khawatir wanita berbaju merah itu muncul lagi.
Kali ini setelah berlari cukup jauh, wanita misterius itu tak juga mengejar.
“Tapi aku tetap waspada, terus mempercepat gerakan tubuhku. Setelah lebih dari dua puluh menit, samar-samar kulihat cahaya di depan. Tempat bercahaya itu kemungkinan adalah kota kecil.”
“Hatiku melonjak gembira. Ketika hampir sampai di kota itu, tiba-tiba suara Taotie bergema:”
“Shisan, cepat sembunyi! Wanita itu mengejarmu lagi!”
“Goblog!” Aku tak bisa menahan umpatan pelan. Segera kuhentikan lari, mataku menyapu sekeliling. Daerah sekitar benar-benar tandus, bahkan tak ada satu pohon pun untuk bersembunyi.
“Namun tak jauh di sana ada kubangan lumpur penuh sampah. Melihat genangan kotor itu, kuuatkan hati dan berlari ke sana. Dengan gerakan gesit, tubuhku terjungkal ke dalam kubangan.”
“Kutahan napas, kututup mata. Kucoba mengabaikan bau busuk dan pemandangan menjijikkan sekitar. Dengan gigi terkunci, kudorong kepala dan tubuh lebih dalam ke dalam lumpur.”
“Seluruh kulitku merinding. Tapi untuk bertahan hidup, harus kulakukan ini. Tak lama, kudengar suara langkah halus wanita berbaju merah mendekat.”
“Langkahnya semakin dekat. Hatiku berdebar-debar. Tiba-tiba suara itu menghilang. Mungkin dia sudah sampai di dekat sini, sedang mencari-cari keberadaanku.”
Seluruh tubuhku terendam dalam kubangan lumpur, berusaha menahan detak jantung dan napas menggunakan "Teknik Pernapasan Tersembunyi Mao Shan", diam-diam berdoa semoga wanita itu tidak menemukanku melalui jejak darah.
Alasan aku memilih kubangan kotor penuh sampah yang sudah tak bisa lebih jorok ini, pertama karena bau busuk di sekitar sini cukup kuat untuk menutupi aroma darah di tubuhku.
Kedua, aku bertaruh bahwa wanita berbaju merah itu kemungkinan besar memiliki fobia kotoran - terlihat dari caranya mengejarku tapi selalu menghindari rerumputan dan semak, membuatku yakin dia pasti takkan mau mencari ke tempat sekotor ini.
Tiba-tiba kurasakan banyak serangga tak dikenal bergerak menyerbu tubuhku dari segala penjuru kubangan, baik di permukaan maupun dalam lumpur.
Perlahan kusadari ada serangga yang mulai menggigit perutku di dalam lumpur. Wanita itu belum pergi. Kutahan gigitan-gigitan ini, tapi serangga-serangca itu sepertunya mengiraku mayat - bahkan satu ekor masuk ke dalam perut melalui luka di perut bawahku.
Tiba-tiba rasa kram tajam yang tak tertahankan menyergap. Aku terbaring di kubangan lumpur busuk ini, kedua tangan menancap dalam ke dalam lumpur, mencengkeram erat bebatuan berserakan dan ranting kering di dalamnya, memaksa diri tetap membeku tak bergerak.
Seekor serangga bahkan merayap masuk ke lubang hidungku. Aku hampir tak kuasa menahan bersin, tapi takut wanita itu menyadari keberadaanku. Segera kugigit gumpalan lumpur besar hingga mulutku terkunci rapat, memaksa diri menahan sakit.
Serangga itu tak juga mau keluar. Ia terus berputar-putar di dalam rongga hidungku.
"Bangsat! Kalian serangga penghina ini bersenang-senanglah dulu! Nanti setelah wanita berbaju merah pergi, pasti kubalas dendam!"
Sambil menahan siksaan ini, dalam hati aku bersumpah: Aku akan mengingat semua ini. Dendam ini pasti akan kubayar berlipat ganda padanya!
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki wanita berbaju merah itu kembali terdengar. Ia berkeliling mengitari kubangan lumpur, bahkan melemparkan Bunga Teratai Kumis Naga Berdarah ke arah persembunyianku. Lumpur beterbangan, tapi beruntung kali ini aku luput dari serangannya.
Setelah lama memastikan aku tak ada di sekitar, langkah kakinya melesat kembali ke jalan yang tadi dilalui, semakin menjauh hingga akhirnya menghilang.
Aku khawatir wanita itu menjebak, sambil menahan sakit serangga yang mondar-mandir di perut, tetap terbaring diam di kubangan lumpur busuk ini. Setelah beberapa saat, suara Taotie kembali terdengar:
"Shisan, cepat bangun! Wanita itu sudah pergi jauh."
Mendengar perkataan Taotie, seketika aku melompat keluar dari lumpur. Dengan gerakan gesit, aku mendarat di tanah berlumpur. Tak peduli lumpur di badan, langsung kucabut serangga yang bersarang di lubang hidung dan kuhancurkan dengan injakan.
Aku memuntahkan gumpalan lumpur busuk dari mulut. Rasa mual ini sama mengerikannya dengan hukuman mati. Andai bukan untuk keluarga dan Rushuang, lebih baik mati daripada menanggung siksaan non-manusiawi ini.
Setengah membersihkan mulut, kutatap luka di perut. Cairan hitam yang berbau busuk memenuhi luka. Tampaknya serangga itu sudah masuk ke dalam perut, mustahil dikeluarkan dalam waktu singkat.
Menahan nyeri, kulepaskan semua pakaian dan melemparkannya ke arah berlawanan dari kota kecil. Ini untuk mengelabui wanita berbaju merah jika mengejar.
