Hanya mengenakan celana dalam, dengan tas ransel berlumpur di punggung, aku melesat cepat menuju kota kecil di depan.
……
Saat kedua kakiku menginjak kota kecil ini, hati yang selalu gelisah akhirnya merasa tenang. Sekarang sudah dini hari, jalanan kota sepi tak berpenghuni. Aku berputar mengelilingi kota ini terlebih dahulu, tidak menemukan rumah sakit, tapi menemukan klinik pribadi yang sedang buka.
Saat ini langit masih gelap, klinik itu juga terkunci. Aku mencoba keberuntungan dengan mengetuk pintu klinik itu beberapa kali. Dari dalam segera terdengar suara gonggongan anjing. Ada anjing di sini, pasti ada orangnya.
Memikirkan ini, aku menggedor pintu lebih kencang.
Tak lama kemudian, suara pria paruh baya terdengar dari dalam halaman:
"Siapa ini, tengah malam begini!"
"Dokter, saya... saya datang berobat." Aku menjawab sambil terengah-engah pada pria di halaman itu. Lari pontang-panting sepanjang jalan ditambah kehilangan banyak darah membuatku sulit bernapas saat ini.
"Berobat? Tengah malam datang berobat? Kalau tidak parah pulang saja dulu. Saya sudah tidur, besok datang lagi." Suara kesal pria itu langsung membalas dari halaman.
Emosiku sudah memuncak karena dikejar-kejar wanita berbaju merah sepanjang perjalanan. Mendengar jawaban pria itu, langsung naik darah. Segera kukumpulkan energi Yang di telapak kaki, dengan gerakan gesit melompati tembok rumahnya, lalu memanjat dan mendarat di dalam halaman.
Pria yang mengenakan piyama itu baru saja berbalik menuju rumah. Mendengar suara ribut, dia segera menengok ke belakang.
Ketika melihatku yang telanjang bulat, seluruh tubuhku penuh darah dan lumpur, dia terkejut. Dengan suara terputus-putus, dia bertanya: "Kamu... bagaimana kamu masuk? Sebenarnya mau apa?!"
"Aku tidak berniat jahat, hanya ingin kau obati lukaku." Sambil berkata demikian, kuangkat tangan kiriku yang selama ini menutupi luka di perut. Luka mengerikan itu masih mengeluarkan darah perlahan.
"Bagaimana... bagaimana bisa terluka seperti ini?" Pria paruh baya itu segera mendekat setelah melihat luka di perutku.
"Kena rampok di jalan, ditusuk mereka." Kubuat alasan sembarangan.
"Rampok?! Mereka tidak mengejarmu kan? Dengarlah adik, bukan kakak tidak mau menolong. Masih ada orang tua dan anak yang kutunggu. Janganlah kau membawa masalah ke rumahku..." Matanya melirik takut ke arah pintu.
"Tenang saja, mereka sudah pergi. Cukup desinfeksi dan jahit lukaku ini, aku akan segera pergi. Takkan membebanimu." Kataku tegas.
Pria itu merenung sejenak, lalu mengangguk setuju.
"Baik... ikutlah." Dia membawaku masuk ke salah satu ruangan.
“Adik, kamu berbaring dulu di kasur ini sambil menunggu sebentar ya, aku akan persiapkan dulu dan ganti baju, segera akan mendisinfeksi lukamu...” Pria paruh baya itu berkata sambil bergegas keluar dari rumah ini.
Aku terbaring sendiri di atas ranjang tunggal ini, perlahan mengumpulkan energi Yang ke luka di perutku, berusaha menggunakan energi Yang dalam tubuh untuk sementara mencegah luka semakin parah.
Saat itu, serangga yang masuk ke perutku tiba-tiba bergerak lagi. Kurasakan tubuhnya seperti lipan berkaki banyak yang mondar-mandir di antara ususku, rasa sakitnya membuat hatiku seperti diremas.
Penderitaan ini kutahan, sebab saat ini aku tak bisa mengeluarkan serangga itu sendiri. Semua hanya bisa mengandalkan pria paruh baya itu. Dengan gigi terkatup, kubawa semua ini dalam diam.
Wanita berbaju merah, suatu hari nanti akan kukembalikan sepuluh kali lipat segala perlakuanmu malam ini!
Pasti ada hari itu!
……
Setelah lama menunggu di kasur, pria itu tak kunjung datang. Rasa curiga mulai muncul. Tepat saat aku hendak bangun, tiba-tiba kudengar suara langkah kaki terburu-buru dari halaman - lebih dari satu orang.
Mendengar langkah kaki itu, dadaku sesak. Segera kubangun dan mendekati pintu, mengintip ke halaman melalui celah-celah.
Di luar halaman tiba-tiba muncul empat lima polisi berseragam yang tidak tahu dari mana datangnya. Pria paruh baya itu berdiri di samping mereka, menunjuk ke arahku. Para polisi langsung bergegas menerjang ke sini.
Sialan! Si keparat ini diam-diam melaporkanku ke polisi. Brengsek, sekarang aku bahkan tidak bisa kabur. Mereka benar-benar menjebakku seperti kura-kura dalam tempurung.
"Braak!!" Pintu ditendang terbuka oleh para polisi. Tiga polisi langsung membanjiri masuk, sementara satu lagi berjaga di luar. Melihat aku yang telanjang bulat di dalam rumah, dua dari mereka langsung melompat dan mencengkramku dengan kasar.
"Jangan bergerak! Diam di tempat!!"
"Mengapa kalian menangkap warga baik seperti aku?!" Meski sudah dikuasai dua polisi, aku tidak melawan. "Di mana keharmonisan sosial yang dijanjikan ini? Di mana masyarakat yang adil ini?"
"Jangan banyak bicara! Luka di tubuhmu ini dari mana?!" Seorang polisi berjanggut menatapku dengan mata berapi.
"Aku dirampok. Tidak lihat bajuku hilang semua? Mereka merampasnya. Luka di perutku juga akibat bacokan mereka," jawabku.
"Diamuk? Loe keluar malem-malem ngapain?!" Polisi berjanggut itu kembali bertanya dengan tatapan penuh kecurigaan. Jelas dia mengiraku bagian dari geng preman sejati yang bentrok...
"Ada pasal hukum yang melarang keluar rumah jam berapa?" Aku pasrah membalas. "Apa negara sudah mengatur jam malam?"
Polisi berjanggut itu terkejut, lalu langsung marah:
"Bicara licin, menurutku kau memang tidak seperti orang baik. Bawa dia ke mobil sekarang!"
"Hei, atas dasar apa kalian menangkapku? Aku tidak melanggar hukum!!" Aku berteriak, tapi dua polisi yang mengapitku sama sekali tidak mendengarkan, langsung menarikku keluar rumah, melewati halaman, lalu menyeretku masuk mobil.
Aku hanya memakai sebuah celana dalam, duduk di mobil polisi yang diapit seorang polisi di sampingku, seolah takut aku kabur. Setelah beberapa saat, polisi berjanggut yang memimpin kembali ke mobil dan duduk di kursi penumpang depan. Mobil pun melaju keluar dari kota kecil itu.
Tak lama setelah mobil polisi meninggalkan kota, salah seorang polisi melihat luka di perutku lalu bertanya dengan khawatir: "Pemuda, kamu tidak apa-apa? Jangan takut, katakan yang sebenarnya. Bagaimana luka di perutmu ini terjadi?"
"Pak Polisi, yang kukatakan semuanya benar. Aku benar-benar dirampok." Di mulut aku bicara begitu, tapi di dalam hati aku berpikir: Kalau aku jujur pada kalian, mana mungkin kalian percaya.
"Siapa yang merampokmu? Berapa orang? Di mana tempat kejadiannya?" Polisi lain menatapku bertanya.
Aku terpaksa terus mengarang:
"Tiga orang. Aku tidak kenal mereka, kayaknya preman sejati. Kejadiannya di jalan tanah sebelah selatan kota ini."
"Sudah, Xiao Li. Pertanyaan lain nanti di rumah sakit saja." Polisi berjanggut di kursi depan membuka suara.
Untungnya mereka masih punya sedikit nurani, tahu harus membawaku ke rumah sakit dulu.
Mobil melaju keluar dari kota kecil, langsung menuju jalan raya di sisi utara. Lebih dari sepuluh menit kemudian, terlihatlah area perkotaan di depan. Setelah masuk ke kota, mobil polisi mengantarku ke rumah sakit di daerah tersebut.
Berkat bantuan polisi, aku langsung diarahkan ke kamar perawatan dan ditemani dokter spesialis bedah di rumah sakit.
Setelah tubuhku dibersihkan, operasi pun dimulai. Prosesnya tidak berlangsung lama. Dokter bedah utama dan asistennya dengan mudah mengeluarkan lipan dari perutku, lalu membersihkan luka, menjahit, dan membalutnya dengan obat.
Usai operasi, sambil terbaring di kasur, aku sama sekali tidak khawatir dengan lukaku. Yang kususahkan adalah tas ransel yang disita polisi. Di dalamnya bukan hanya ada "Rumput Yin-Yang" untuk menyelamatkan An Rushuang dari alam baka, tapi juga Fenghuang Dan (Empedu Phoenix), buah Qiqiaolinglong, kitab 《Xuan Huang Di Jing》, dua eksemplar 《Pegangan Ilmu Taois Maoshan》, pisau Naga Lilin dan Burung Feniks, Pedang Pemotong Kegelapan, cambuk ritual Tao, serta kertas jimat Taois...
Barang-barang lain mungkin masih bisa dijelaskan, tapi dua pisau belati di dalam tas itu sulit dibenarkan. Orang biasa pasti tidak akan membawa dua belati di tengah malam seperti ini.
"Ah..." Kumerenung sambil menghela napas dalam hati. Tiba-tiba teringat Kepala Li yang pernah membantuku sebelumnya. Bukankah ini saat yang tepat untuk meminta bantuannya?
