Aku menoleh ke arah pintu dan melihat seorang polisi berpakaian preman bersama dua polisi berseragam masuk.
Ketika mereka masuk dan melihat perawat yang duduk di hadapanku, polisi berpakaian preman itu langsung bertanya: "Perawat, bagaimana kamu bisa masuk ke sini??"
"Dia sepupuku, kebetulan kerja di rumah sakit ini. Dia tahu aku dibawa kesini jadi datang menjenguk, sekalian meminjamkan ponsel untuk menghubungi keluarga." jawabku cepat sebelum perawat itu sempat bicara.
Anehnya, perawat itu malah mengangguk mengikuti perkataanku, tidak membongkar kebohonganku.
"Menghubungi keluarga?" polisi preman yang memimpin itu menatapku.
"Ya, menghubungi ibuku. Biar mereka tenang." jawabku.
"Tenang? Kurasa mereka justru akan makin khawatir nanti. Sudah, telepon saja dulu. Kuberi waktu dua menit." Polisi preman itu duduk di kursi sebelah perawat sambil memegang tas ranselku dan sebuah buku catatan arsip.
Setelah diizinkan, tanpa pikir panjang aku langsung memutar nomor telepon kantor polisi Dongdian.
Telepon langsung diangkat, terdengar suara pria di seberang:
"Halo, selamat siang. Ini dari Kepolisian Dongdian..."
"Halo, saya ingin berbicara dengan Kepala Li." Saat mengucapkan kalimat ini, polisi berpakaian preman di sebelahku langsung berubah raut wajahnya. Salah satu polisi di belakangnya bergerak ingin merebut ponselku, tapi dihalangi olehnya.
Pria di seberang telepon terdiam sejenak mendengar permintaanku, lalu bertanya, "Bisa saya tahu siapa yang menelepon?"
"Nama saya Zuo Shisan. Tolong sampaikan ke Kepala Li bahwa ada Zuo Shisan yang mencarinya," lanjutku pada pria itu.
Setelah terdiam beberapa saat, pria itu akhirnya menjawab, "Baik, akan saya sampaikan. Silakan tunggu sebentar." Ia langsung memutuskan telepon.
Kuletakkan ponsel. Polisi berpakaian preman itu langsung berdiri dari kursinya dan mendekati tempat tidurku, "Pemuda, tadi kamu menghubungi siapa?"
"Kepala Li dari Kepolisian Kota Dongdian," jawabku jujur.
Wajah polisi itu berubah. Ia menatapku curiga, "Apa hubunganmu dengan Kepala Li?"
"Hubungan teman," jawabku singkat.
"Teman? Apa maksudmu menghubungi beliau?" tanyanya dengan nada waspada.
“Tidak ada apa-apa, cuma ingin meminta Kepala Li membantu menegakkan keadilan. Aku tidak membunuh maupun membakar, tidak melakukan pelanggaran apapun, tapi kalian langsung menangkap dan mengurungku di kamar ini tanpa alasan...” Sebelum aku selesai bicara, dering ponsel dari polisi berpakaian preman itu berbunyi.
Ia segera memberi isyarat agar aku berhenti bicara. Setelah mengangkat telepon, ekspresi wajaknya berubah drastis. Matanya menyipit seperti garis, wajahnya dipenuhi ketidakpercayaan.
"Ini... ini... Baik, saya mengerti. Segera bebaskan..." Setelah mematikan telepon, polisi itu menatapku seperti ayam jago yang kalah bertarung, kehilangan semua kewibawaannya. Dengan hati-hati ia meletakkan tas ranselku di tempat tidur lalu pergi tanpa sepatah kata.
Saat meninggalkan kamar, ia membanting pintu dengan keras untuk melampiaskan kekesalan di hatinya.
Melihat polisi telah pergi dan kebebasanku pulih, dadaku terasa lega. Saat hendak mengembalikan ponsel ke perawat wanita di samping, tiba-tiba ponsel itu berdering lagi.
Kulihat nomor asing di layar. Kemungkinan besar itu telepon dari Kepala Li.
Tanpa pikir panjang, kutekan tombol penerima dan menempelkannya di telinga. Suara bergaya birokrat khas Kepala Li segera terdengar:
"Halo, ini Shisan Lao Di?"
“Kepala Li, ini aku. Benar-benar terima kasih banyak ya tadi. Kalau bukan karena bantuanmu, urusan ini pasti akan sangat merepotkan.” Aku mengucapkan terima kasih.
“Ini semua hal sepele. Aku tahu kau bukan tipe orang yang melanggar hukum, kalau tidak aku juga tidak mungkin membantumu. Ngomong-ngomong, nomor ponsel ini milikmu? Yang dulu tidak dipakai lagi?” Kepala Li bertanya padaku.
“Ini bukan punyaku, milik seorang sahabat. Ponselku yang sebelumnya disita oleh polisi mereka.” Aku menjelaskan.
“Oh, begitu. Baiklah, Shisan Lao Di. Kedepannya kalau ada masalah langsung saja telepon aku. Sebagai kakakmu, selama kau tidak berbuat salah dan tetap di jalan benar, aku jamin tidak ada yang berani mengganggumu.” Suara Kepala Li terdengar di telepon.
“Baik, terima kasih banyak Kepala Li.” Setelah mengucapkan syukur, kami berbasa-basi sebentar sebelum mematikan telepon. Sebenarnya aku paham alasan Kepala Li membantuku - dia tahu aku menguasai ilmu Tao. Jika ada kasus supranatural yang tidak terpecahkan di kepolisiannya, tentu aku tidak bisa menolak saat diminta bantuan.
Usai menelepon, aku segera mengembalikan ponsel kepada perawat wanita yang duduk di samping.
“Terima kasih ya.”
Perawat itu menerima ponselnya, melirik jam di layar lalu menyimpannya di saku. “Ngomong-ngomong, sudah hampir jam 12 siang. Sudah makan belum? Kalau belum, aku bisa belikan.”
“Terima kasih, aku belum lapar. Bisakah kamu membantuku sesuatu?” Aku menatapnya.
“Bantu apa?” Perawat itu mengernyitkan dahi.
"Tolong belikan saya satu set pakaian termasuk sepatu." Aku mengeluarkan dompet dari tas ransel dan menyerahkannya padanya.
Aku sangat khawatir dengan Zhao Man, pria gemuk, dan yang lainnya. Tak ingin berlama-lama di rumah sakit ini walau semenit pun. Tapi baju rumah sakit yang kupakai sekarang sangat tidak praktis untuk keluar, sementara pakaian lamanya sudah kubuang. Jadi kuminta perawat ini membelikanku setelan baru.
Perawat itu menerima dompetku dengan ragu, bertanya: "Kamu... kamu ingin keluar dari rumah sakit?"
"Ya." Aku mengangguk.
"Tapi jahitan lukamu masih baru. Tidak disarankan untuk bergerak, nanti bisa terbuka lagi." Perawat itu memandangku dengan cemas.
"Tidak apa. Perintah atasan harus dilaksanakan meski ada luka. Ini tanggung jawab dan misiku. Tugas tentara adalah mematuhi perintah!" Aku berbicara penuh wibawa. Dalam hati kagum pada diri sendiri: Dari mana belajar berbohong tanpa persiapan begini?
Pidatoku yang berapi-api itu berhasil membujuk si perawat. Matanya berbinar penuh kekaguman: "Baik, tunggu di sini. Aku akan segera membelikanmu." Dia segera pergi dengan tergesa-gesa membawa dompetku.
Tak lama kemudian dia kembali, berdiri malu-malu di pintu kamar pasien: "Omong-omong, ukuran berapa yang kamu pakai? Apakah... pakaian dalam perlu kubelikan juga?"
……
Setelah perawat wanita itu pergi, aku terbaring di tempat tidur sambil memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat dengan baik. Aku mengerahkan energi Yang dalam tubuhku secara perlahan, memusatkannya di sekitar luka di perut. Dengan energi Yang, aku mempercepat proses pemulihan luka...
Sekitar setengah jam lebih menunggu, akhirnya perawat wanita itu kembali masuk ke kamar sambil terengah-engah membawa tiga empat kantong. Tampaknya dia cukup kelelahan demi membelikan baju dan sepatu untukku secepat mungkin.
Setelah menaruh kantong-kantong dan dompetku di tempat tidur, dia duduk beristirahat di kursi sebelah. Saat aku hendak bangkit untuk berganti pakaian, tiba-tiba merasa ada yang kurang pas. Kubicara pada perawat itu: "Ngomong-ngomong... Aku mau ganti baju sekarang."
Baru kemudian Dia tersadar, dengan agak canggung berkata: "Aku... Aku pergi ke kantin makan dulu, Kamu ganti baju saja."
Setelah berganti baju, aku langsung memakai tas ransel dan keluar dari kamar rumah sakit, bergegas menuju luar rumah sakit.
Keluar dari rumah sakit, aku langsung naik taksi menuju Kota Huanghekou tempat kami berangkat dulu. Jika Zhao Man, pria gemuk, dan Qiu Shasha kembali, pasti mereka akan menungguku di desa nelayan di belakang Kota Huanghekou.
