"Baik, aku mengerti. Terima kasih atas peringatan Hakim Lu." Aku berkata pada Hakim Lu. Rushuang di sampingku juga menatapnya sambil berterima kasih: "Terima kasih atas perawatan Hakim Lu selama di alam baka. Tak bisa membalas budi, kuucapkan sepuluh ribu berkah untukmu." Rushuang menyilangkan tangannya di depan perut, sedikit membungkuk.
Hakim Lu tertawa besar melihat kami. Dengan gerakan tangan lebar dan putaran tubuh, ia berubah menjadi asap hitam yang melesat cepat ke depan lalu menghilang.
Setelah Hakim Lu pergi, kutatap Rushuang yang kembali di sisiku. Segala pengalaman sebelumnya terasa seperti mimpi. Kami berdua akhirnya bersama lagi. Tanpa kuasa menahan diri, kugenggam tangannya erat sambil menatap langit malam: "Rushuang, lihatlah bintang-bintang..."
Rushuang mengangkat kepalanya mengikuti pandanganku.
Saat itu, seolah langit dan bumi hanya milik kami berdua. Hatiku terpaut padanya bagai bulan di balik awan, kambing di lereng gunung... Kami berdiam dalam keheningan malam, tak sepatah kata pun terucap.
Lama kemudian, Rushuang mengalihkan pandangan. "Shisan," katanya sambil menoleh padaku, "Bintang-bintang memang indah. Mungkinkah mereka mewakili setiap manusia di bumi? Jika bintang-bintang juga saling mencintai," lanjutnya tanpa menunggu jawabanku, "tapi tak pernah bisa bersatu, hanya saling memandang dari kejauhan—bukankah itu menyedihkan?"
"Setelah mendengar perkataan Rushuang, sejenak aku tak tahu harus menjawab apa padanya. Aku menengadah, memandang bintang-bintang berkelip di langit malam. Sorot mataku mulai sayu. Tiba-tiba teringat masa kecilku dulu, saat aku bersandar di samping nenek menatap bintang-bintang. Segera kusambar, "Rushuang, sebenarnya kadang aku sangat merindukan masa kecilku. Waktu itu bebas tertawa atau menangis, tanpa beban. Ada kakek-nenek yang menemaniku, punya teman-teman bermain. Tapi sekarang semakin dewasa, semakin kesepian. Hidup kita ini apa bedanya dengan bintang-bintang yang kesepian di langit? Keluarga dan teman di sekitar hanya akan semakin berkurang seiring waktu." Aku teringat kepergian kakek dan nenek, hati pun menjadi murung...
"Shisan, kamu lagi merindukan kakek-nenekmu?" Rushuang langsung membaca isi hatiku.
"Ya." Aku mengangguk.
"Nanti pulang, aku akan ikut kamu ziarah ke makam kakek-nenek kita." Kali ini Rushuang mengubah sebutan "kakek-nenekku" menjadi "kakek-nenek kita", menunjukkan dia sekarang sepenuhnya menerimaku, menganggapku sebagai suaminya.
"Baik, nanti pulang akan kubawa kamu." Aku memandang Rushuang sambil mengangguk.
Setelah beberapa lama menatap langit malam lagi, tiba-tiba aku tersadar akan satu masalah krusial: sekarang Rushuang sudah keluar dari alam baka. Liontin giok tempatnya bersembunyi sebelumnya telah dihancurkan oleh Yin Si Ma Wuyan. Jelas jika siang tiba, di manakah dia harus berlindung?
"Rushuang, aku lupa satu hal. Seharusnya aku menyiapkan liontin giok baru sebelumnya. Sebentar lagi matahari terbit, di mana kau akan bersembunyi nanti?" Tanyaku pada Rushuang sambil menatapnya. Hatiku ikut cemas, diam-diam memaki diri sendiri yang bisa melupakan hal sepenting ini.
Rushuang tak tampak khawatir mendengar pertanyaanku. Dengan tenang dia balik bertanya, "Shisan, apakah liontin giok pemberian Raja Yama untuk berkomunikasi dengan mereka masih kau bawa?"
"Masih." Jawabku sambil mulai menangkap maksudnya. Segera kukeluarkan liontin giok merah itu dari tas ransel dan menaruhnya di telapak tangan.
Melihat liontin merah di genggamanku, sudut bibir Rushuang sedikit terangkat. Dengan gerakan cepat, tubuhnya berubah menjadi semburan cahaya putih yang langsung menyusup ke dalam liontin tersebut.
Begitu cahaya itu menghilang dalam giok, suara Rushuang terdengar lagi dari dalam liontin:
"Shisan, Raja Yama memang selalu memikirkan segalanya lebih matang daripada brengsek bodoh sepertimu."
"Hei, Istriku, aku bukan brengsek apalagi bodoh. Aku suamimu, An Rushuang!" Seruku sambil tersenyum ke arah liontin di genggaman.
"Kamu mimpi kali..." Suara Rushuang kembali terdengar.
"Sudah, waktunya tidak sore lagi. Aku akan mengajakmu bertemu Kak Zhao, si pria gemuk, dan Qiu Shasha dulu, lalu kita bersiap pulang." Karena pertimbangan cuaca, aku tidak mengizinkan Rushuang keluar lagi dari liontin giok ini. Aku menyimpan liontin itu dengan hati-hati di badan, lalu mengumpulkan qi dan melesat menuju desa nelayan tak jauh itu.
Untungnya posisi tempat Hakim Lu mengembalikan kami tidak terlalu jauh dari desa nelayan. Setelah melesat cepat selama lebih dari sepuluh menit, aku sudah bisa melihat bayangan desa itu di kejauhan.
Sesampainya di desa nelayan, aku menuju depan rumah Wang Acheng. Aku mengatur napas sejenak sebelum mengetuk pintu dengan pelan.
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka terdengar dari dalam pekarangan, diikuti suara si pria gemuk yang penuh kewaspadaan:
"Siapa? Siapa di luar?!"
"Hei pria gemuk, aku sudah kembali! Cepat sambut tamu agungmu ini!" Teriakku dari luar pagar ke arah pria gemuk di pekarangan.
Mendengar suaraku, pria gemuk itu segera berlari kecil membukakan pintu.
Begitu melihatku, pertanyaan pertamanya adalah:
"Paman... eh maksudku Shixiong, apa kali ini kamu berhasil membawa 'mbak-mbak' itu kembali??"
Dasar, dia lebih heboh dariku...
Aku mengangguk:
"Sudah. Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi Kak Zhao Man?" Begitu kembali, yang pertama kupikirkan adalah Zhao Man yang mengalami trauma fisik maupun mental. Aku segera menatap pria gemuk itu dan bertanya.
"Pria gemuk menutup pintu gerbang terlebih dahulu, lalu menghela napas dan berkata padaku: 'Masih seperti biasa, tidak suka bicara dengan orang, hanya suka duduk sendirian di tempat tidur sambil melamun.' Sebenarnya aku baru pergi semalaman saja."
"'Aku akan pergi melihat.' Setelah mendengar perkataan pria gemuk, aku segera berjalan masuk ke dalam rumah. Saat ini Qiu Shasha juga keluar dari rumah, melihatku kembali, dia hanya mengangguk padaku tanpa bicara."
"Ketika berjalan masuk ke kamar Zhao Man bersama pria gemuk, kulihat dia sedang berbaring sendirian di tempat tidur tanah, kedua mata terpejam, napas teratur, tidur dengan tenang..."
"Jika hanya melihat separuh wajah Zhao Man ini, pasti akan menganggap wanita yang terbaring di kasur ini cantik sekali. Meskipun wajahnya pucat, meski tanpa riasan, dia tetap memesona. Dia memang termasuk wanita yang dilahirkan dengan kecantikan alami."
"Sayangnya, di separuh wajahnya yang lain, ada bekas luka hitam yang membuat merinding. Hal ini tentu menjadi pukulan berat bagi Zhao Man yang sangat memperhatikan penampilannya."
"'Shisan, apa yang terjadi pada wajah Zhao Man?' Suara Rushuang dari dalam liontin giok bertanya padaku."
"Mendengar pertanyaannya, aku tertegun sejenak sebelum refleks menoleh ke jendela. Di luar meski langit masih suram, hari sudah siang. Rushuang ternyata bisa berbicara denganku di siang hari."
"'Rushuang, sekarang kamu bisa bicara denganku di siang hari?' tanyaku."
“Benar, liontin giok yang diberikan Raja Yama ini memang berbeda dengan yang sebelumnya. Ini bisa menghalangi energi Yang dari dunia manusia, jadi meski siang hari dengan energi Yang melimpah, tak ada pengaruh saat aku berbicara denganmu.” Suara Rushuang dari dalam giok itu terdengar.
Ini benar-benar kejutan yang tak terduga. Meski Rushuang belum terlahir kembali sebagai manusia, dia bisa menemaniku kapan saja. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia?
"Shixiong, kamu... sedang mengobrol dengan Mbak An?" Pria gemuk itu melihatku berbicara sendiri, langsung teringat pada An Rushuang.
"Benar." Belum sempat kata-kataku mengudara, suara Rushuang sudah menyusul:
"Pria gemuk, jangan tersinggung. Aku takut suara yang muncul tiba-tiba akan menakuti kalian, makanya hanya berkomunikasi langsung dengan Shisan."
"Tidak, tidak... mana mungkin kami tersinggung. Mbak An, Anda terlalu... terlalu formal." Pria gemuk itu menatap dadaku dengan canggung, masih mengira Rushuang berada di liontin giok di leherku.
Setelah pria gemuk selesai, barulah kuceritakan pada Rushuang semua kejadian di "Pulau Yin-Yang" yang kami alami sebelumnya secara detail.
"Apakah bekas luka di wajahnya mungkin disembuhkan?" Pertanyaan pertama Rushuang setelah mendengar ceritaku.
"Sejujurnya, aku juga tidak tahu," jawabku.
Rushuang terdiam sejenak setelah mendengarku, lalu bertanya, "Shisan, bisakah kau membangunkan Zhao Man? Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padanya."
