Ucapan Rushuang menggelora ribuan emosi dalam dadaku. Tak kuasa menahan diri, kuberdiri dari tanah dan memeluknya kembali erat.
"Rushuang, hatiku juga sempit, hanya memuat dirimu." Kuraih tubuh lembutnya dalam dekapan, berbisik pelan di telinganya.
"Aku tak percaya." Rushuang mendorongku perlahan sambil tersenyum. "Shisan, tanah yang terkumpul menjadi gunung, menghadirkan angin dan hujan. Air yang berkumpul membentuk jurang, melahirkan naga. Waktu masih panjang, kau harus giat melanjutkan latihan. Aku akan selalu menemani."
"Baik!" Kubalas sambil mengangguk, lalu kembali bersila di tengah halaman. Kulanjutkan latihan teknik neiguan dengan mantra yang Rushuang ajarkan sebelumnya.
Sebenarnya prinsip yang Rushuang sampaikan telah kupahami. Butiran debu menjadi gunung, tetesan air membentuk samudera. Hal-hal kecil yang terakumulasi lambat laun akan menjadi berarti. Baik dalam hidup, pekerjaan, maupun praktik ilmu Tao.
Maka kumulai memusatkan Qi dan menyatukan shen, berkonsentrasi penuh pada teknik neiguan yang baru kupelajari...
Saat aku kembali membuka mataku, yang terlihat adalah Rushuang duduk di atas papan kayu tak jauh dariku. Dia tak pergi, tetap menemani di sampingku. Kini dia duduk sendirian di sana, gaun putih membalut tubuhnya, leher jenjangnya bagai giok putih yang mulus.
Angin sepoi-sepoi bertiup dari balik tepi dinding, perlahan mengangkat gaun panjang putih Rushuang. Sepasang betis ramping nan memesona seketika terpampang di hadapanku, membuat kewarasanku limbung sejenak...
"Shisan, brengsek!!" Aku sedang asyik menatap betis Rushuang ketika terkejut oleh ucapannya yang tiba-tiba. Segera kusingkirkan pandanganku.
Kini Rushuang telah merapikan gaun panjangnya yang tertiup angin, bahkan menutupi rapat-rapat sepasang kaki mungilnya yang bersepatu.
Begitulah adat zaman dulu - gaun panjang harus menyentuh tanah untuk menutupi kaki, lengan baju harus melebihi tangan. Sekadar menyentuh pakaian atau memperlihatkan lengan sudah dianggap melanggar kesopanan. Jika bukan karena Rushuang sudah menganggapku sebagai suaminya, perbuatanku tadi pasti takkan bisa ditoleransi.
Namun Rushuang juga telah cukup lama beradaptasi dengan masyarakat modern ini. Perlahan dia mulai mengikis pandangannya tentang adat feodal di zamannya dulu. Jika tidak, mana mungkin dia mengizinkanku menggenggam tangannya atau memeluk pinggangnya?
Wajahku memerah karena malu. Awalnya ingin mengalihkan topik dan menghindari pembahasan ini, tapi saat mengangkat kepala melihat sudut bibir mungil Rushuang yang melengkung, bibir merahnya sedikit terbuka, hasrat untuk menciumnya tiba-tiba muncul. Dalam hati ingin menggoda, kuubah ucapan sambil menatapnya: "Hei Rushuang, kau kan istriku. Memandangi kaki istri sendiri mana bisa disebut brengsek? Lagipula siapa suruh kau secantik ini."
Wajah cantik Rushuang langsung memerah mendengar ucapanku:
"Shisan, kamu... Aku malas meladenimu." Seketika tubuhnya berputar, berubah menjadi cahaya putih yang terbang masuk ke dalam liontin giok di sakuku.
Kukeluarkan giok itu dari saku, menggenggamnya sambil tersenyum geleng-geleng kepala. Dalam hati kubicara: Tunggu saja sampai kubantu Rushuang terlahir kembali sebagai manusia, lihat dia bisa sembunyi ke mana nanti.
Kumasukkan kembali giok itu. Melihat jam, hampir tengah malam. Besok pagi harus buru-buru kembali ke Dongdian. Malam ini harus istirahat cukup.
Segera kuberanjak menuju rumah. Di dalam, semua sudah tidur. Hanya si pria gemuk yang masih duduk di meja tengah, menunduk sambil mengerutkan alis dan menggoreskan kuas kaligrafi.
Kude-kati, ternyata dia masih menggambar jimat. Luar biasa! Sejak kapan si gendut rajin belajar begini? Sudah berjam-jam dia tak berhenti menggambar.
Melihat ke arah Hu Pangzi, sejak aku masuk ke dalam rumah, dia terus-menerus menunduk sambil berulang kali mengangkat kuas untuk menggambar, seluruh perhatiannya terfokus pada proses menggambar jimat. Bahkan dia tidak menyadari kedatanganku.
Konsentrasi luar biasa yang ditunjukkan pria gemuk ini benar-benar membuatku terkejut. Ada pepatah yang ternyata tidak salah, "Bakat alam pasti ada gunanya, jangan pernah meremehkan kemiskinan masa muda." Tampaknya si gemuk ini tidak hanya memiliki minat besar pada film dewasa Jepang, tapi juga sangat antusias dalam menggambar jimat.
"Pangzi." Aku memanggilnya pelan. Begitu mendengar suaraku, tangan kanannya yang sedang memegang kuas kaligrafi bergetar halus, jelas terlihat bahwa dia baru saja terkaget-kaget oleh kehadiranku.
"Shixiong, kau... kapan masuk?" Pangzi mengangkat kepala melihatku, lalu menghela napas panjang sebelum bertanya.
"Baru saja. Hei Pangzi, apa yang kau gambar dengan begitu konsentrasi? Tungku hampir padam, tidak kau isi arangnya." Sambil bertanya, aku berjalan ke sisi tungku pemanas, membuka penutupnya dan memasukkan beberapa potong arang.
"Aku sedang menggambar ini... Fu Tiga Hun Tai Shang. Sudah semalaman mencoba, tapi selalu gagal di goresan terakhir. Hu Pangzi hari ini tidak mau percaya pada kesialan ini! Jika tidak berhasil menyelesaikan jimat ini, aku tidak akan tidur!" Sifat keras kepalanya yang seperti banteng muncul lagi. Pangzi lalu menyodorkan buku 《Koleksi Jimat Maoshan》 yang ada di atas meja ke tanganku.
Setelah menerimanya, kulihat di salah satu halaman terdapat gambar jimat yang sangat rumit. Di atas jimat itu tertulis satu baris karakter besar berwarna hitam:
“Fu Tiga Hun Suci.” Di bawahnya terdapat beberapa baris tulisan kecil, seperti yang tertulis dalam buku:
“Fu Tiga Hun Suci, salah satu dari tiga jimat penjaga Sekte Naga Harimau Maoshan. Jimat ini memiliki kemampuan mengendalikan energi jahat, mengusir roh jahat, dan menghancurkan energi Yin. Pengguna harus membuka jimat dengan darah Yang sendiri dan menyuntikkan energi Yang. Namun penggunaan energi Yang dan darah Yang akan melukai Tiga Hun. Kekuatannya melebihi Fu Pinjam Petir, sepenuhnya bergantung pada tingkat kultivasi pembuat dan pengguna, bukan dengan mengurangi umur atau mengorbankan nyawa.”
Melihat kalimat terakhir, aku langsung bersemangat. Fu Tiga Hun Suci ternyata lebih kuat dari Fu Pinjam Petir. Saat menghadapi tukang santet dulu, Fu Pinjam Petir yang kugunakan menunjukkan kekuatan dahsyat yang masih jelas kuingat sampai sekarang. Jika aku memiliki jimat yang lebih kuat dari itu, bahkan jika bertemu wanita bernama Hongyan kelak, setidaknya aku bisa bertahan hidup meski belum bisa mengalahkannya.
Memikirkan ini, aku memandang Pangzi dan menyemangatinya: "Pangzi, kau harus percaya diri. Kau pasti bisa menggambarnya. Ini cuma secarik jimat. Bagi Pangye, merancang kapal induk pun bukan masalah bagimu!"
"Tentu! Shixiong, bukan maksudku, tapi baru kali ini aku dengar kau jujur." Pangzi tahu aku bercanda, tersenyum sambil melanjutkan menggambar jimatnya dengan kepala tertunduk.
Aku diam berdiri di samping Pangzi, memperhatikannya dengan seksama saat ia menggambar.
Dari menggoreskan kuas, mengatur tenaga, hingga mengaitkan roh jimat, pria gemuk itu melakukannya dengan sangat mahir dalam satu tarikan nafas. Namun ketika sampai di bagian akhir penggambaran jimat ini, kecepatan tangannya melambat dan ujung kuas tak bisa mengikuti alur yang seharusnya.
"Ah!... Dasar, gagal lagi satu lembar. Tanganku sampai pegel nih." Pria gemuk itu mengeluh kecewa sambil melempar kertas jimat yang rusak ke samping.
Aku yang sejak tadi berdiri di sampingnya memperhatikan proses menggambar jimat ini, tiba-tiba memahami mengapa dia selalu gagal di goresan terakhir.
Seperti pepatah kuno: Yang berada di tempat terang tak melihat benda dalam kegelapan, tapi yang dalam kegelapan bisa melihat detail di tempat terang. Kegagalan berulang pria gemuk di goresan akhir ini sebenarnya bukan karena kesulitan teknis, melainkan bayang-bayang psikologis dari kegagalan sebelumnya yang membelenggunya.
Segera kusela nasihat: "Dengar, saat kau sampai di goresan terakhir, jangan takut atau memperlambat ritme. Anggap biasa saja seperti awal menggambar. Bayangkan ini pasti berhasil. Lagipula sudah gagal berkali-kali, sekali lagi tak masalah. Lanjutkan dengan mantap tanpa beban!"
Pria gemuk itu menaruh rokok yang baru dinyalakannya di pinggir meja:
"Baik, akan kucoba sekali lagi." Dia menggosokkan kedua telapak tangan, lalu dengan tangan kanan menggenggam kuas kaligrafi dan kiri menahan ujung kertas jimat, mulai menggambar dengan penuh konsentrasi...
