Qiu Shasha tidak bicara lagi. Dia duduk sembarangan di kursi dengan wajah masam. Gadis ini memang selalu polos menunjukkan perasaannya - jelas dia tidak setuju dengan rencanaku mengunjungi tempat tinggal Leizi malam ini bersama Lei Zi.
Sebenarnya meski sebelumnya aku berbicara santai dengan Si Bekas Luka, seolah-olah bisa mengalahkan hantu laki-laki berusia seribu tahun Lingxi dengan mudah, itu hanya berlaku dalam kondisi satu lawan satu secara frontal.
Soalnya kemampuan Rushuang sekarang sudah hampir pulih total setelah beristirahat di alam baka. Dia sendiri bisa bertarung langsung melawan Lingxi.
Selain itu, aku tidak hanya menguasai metode keempat dari Lóng Hŭ Qī Shè Yìn, tapi juga berhasil mencapai terobosan kedua dalam Energi Zhen Wuji. Jadi mengatasi Lingxi sebenarnya tidak sulit. Yang membuatku khawatir adalah kemungkinan ada sekutu lain di belakangnya, atau jebakan khusus yang dirancang untuk menetralisir kemampuanku.
Inilah yang membuatku resah. Jika aku tidak mencari Lingxi hari ini, dia mungkin akan kembali membunuh orang tak bersaksa untuk memaksaku datang. Jadi keputusan untuk pergi atau tidak malam ini bukan sepenuhnya ada di tanganku.
Aku harus pergi. Tidak ada pilihan lain.
"Shixiong, aku ada ide." Tiba-tiba pria gemuk itu berbicara menatapku.
"Cara apa?" Aku menatap pria gemuk itu dan bertanya.
"Kita beri tahu Aliran Longhu, minta mereka kirim bantuan. Tambah orang tambah tenaga, tambah kekuatan." Pria gemuk itu berkata sambil menatapku.
"Sudah sana pergi! Sekarang aku berani pergi ke mana saja kecuali Aliran Longhu. Qiu Shasha, ibunya Hong Yan sekarang jadi pemimpin sekte itu. Meski kebanyakan anggota Aliran Longhu tidak tahu wajah aslinya, aku yakin pasti banyak mata-mata dia di sana. Meski Pria Bertopi bilang Hong Yan terperangkap, kita tetap harus hati-hati." Kataku pada pria gemuk itu.
"Jadi malam ini kita harus pergi??" Tanya pria gemuk.
"Harus pergi." Aku mengangguk.
"Oke! Malam ini Pangye akan mengorbankan nyawa temani Shixiong! Aku ikut!" Pria gemuk itu menggigit besar apel sambil bicara.
"Baguslah. Kalau nanti aku mati, masih ada kamu yang temani di Jalan Alam Baka. Nggak kesepian." Kataku sambil tersenyum padanya.
Mendengar ini, alis pria gemuk langsung berkerut:
"Shixiong, mau perang begini bisa nggak bicara yang baik-baik? Mati-mati segala! Yang harus mati itu hantu lak-laki berusia seribu tahun itu! Kita sudah lewati banyak hidup-mati bersama. Kenapa kita masih hidup? Tau nggak kenapa?" Katanya dengan ekspresi misterius.
"Kenapa?" Aku berbalik dan duduk di sofa sambil menatapnya bertanya.
“Karena kita beruntung, nyawa kita belum habis! Kalau kau sudah memutuskan begitu, Shixiong jangan jadi pengecut, maju dan hadapi! Aku Hu Pangzi akan jadi tameng terkuatmu!!” Pria gemuk itu menatapku.
“Bagaimana kalau aku mati?” tanyaku sambil tersenyum padanya.
“Tenang, peti mati kayu nanmu berlapis emas pasti kubelikan! Pasti tak akan kubiar kau pergi dengan penyesalan.” Ekspresinya sungguh-sungguh.
“Dasar p****n! Kalau aku mati malam ini, kau juga bakal tewas. Mendingan pesan dua peti mati sekalian, biar kita pergi dan dikubur bersama.” Aku tahu dia hanya bercanda, jadi kuikuti saja alurnya untuk meredakan ketegangan.
“Ah sudahlah, Hu Pangzi ini masih ingin menikmati hidup beberapa tahun lagi. Malam ini kau saja yang pergi. Duh, hidup ini singkat, harus bisa menghargai kehidupan, menjauhi Shisan...” Desahnya penuh kesan di akhir kalimat.
Tapi nasihat yang dilontarkan sembarangan itu menusuk pendengar. Saat kudengar kalimat terakhirnya: “Hargai kehidupan, jauhi Shisan,” dadaku sesak tanpa alasan, suasana hati pun merosot.
Ya, pria gemuk itu benar. Kalau bukan karena aku, bagaimana mungkin 13 buruh migran tak bersalah itu tewas? Mungkin dia benar - cintai kehidupan, jauhi Shisan.
“Shisan, kenapa wajahmu tiba-tiba pucat?” Qiu Shasha yang duduk di depanku menyadari keanehanku, menatapku penuh tanya.
Kugelengkan kepala:
“Tidak apa, cuma merasa agak lelah. Aku ingin keluar jalan-jalan sendiri untuk relaks.” Aku mengucapkannya sambil berdiri dari sofa, lalu berjalan keluar sendirian.
Setelah keluar, aku perlahan menaiki tangga sendirian. Tanpa sadar, sampai di atap gedung dan memasuki area (atap sekolah) lantai ini.
Aku mencari tempat duduk, tapi hatiku tetap tak tenang.
"Hah... Mungkin aku memang bintang sial..." Aku menunduk sambil menghela napas berat.
Tiba-tiba angin sepoi-sepoi berhembus di depanku, lalu bayangan Rushuang muncul di hadapanku.
"Shisan, kau bukan bintang sial," kata Rushuang padaku.
Aku menggelengkan kepala:
"Rushuang, kamu tak perlu menghiburku. Kematian 13 orang itu punya hubungan erat denganku. Itu fakta."
“Setelah mendengar ucapanku, Rushuang mendekat selangkah dan berkata padaku: 'Shisan, kau harus tahu bahwa identitas Tubuh Tao Bawaan ini pasti harus ada yang menanggungnya. Baik itu kamu maupun orang lain, harus ada yang memikulnya. Karena takdir dan Jalan telah memilihmu secara bersamaan, maka kau harus memperkuat hatimu, berani menghadapi semua ini. Bahkan jika Tubuh Tao Bawaan berpindah ke orang lain, apakah Lingxi akan berhenti merugikan orang? Jawabannya pasti tidak. Jadi kita tak mungkin mencegah beberapa hal terjadi, tapi kita bisa meminimalisir konsekuensinya. Selama kita berusaha sebaik mungkin, menjaga tanpa menghindar atau takut, itu sudah cukup. Jangan pernah menyalahkan diri sendiri, apalagi kehilangan kepercayaan diri. Shisan, aku selalu yakin kamu akan berubah sedikit demi sedikit seiring pertumbuhanmu, akhirnya menjadi sempurna.'” Rushuang menatapku serius dan bertanya.
“Rushuang, mengapa setiap kali aku gelisah, cukup mendengar suaramu maka keresahan di hatiku perlahan terurai?” Aku menatap Rushuang sambil berkata.
“Itu karena kamu sendiri yang menanggung terlalu banyak tekanan, selalu mengambil semua tanggung jawab ke pundakmu sendiri. Sebenarnya, jangan pernah memaksakan diri dalam segala hal. Sekarang kejadian sudah terjadi, kita harus tetap semangat dan berusaha menyelesaikannya. Jika menurut logikamu, pada akhirnya tiga belas nyawa tak bersalah itu juga punya hubungan denganku, karena Lingxi sebenarnya ingin mencariku, bukan kamu...” Rushuang berbalik perlahan, tak ingin aku melihat ekspresinya saat ini.
Aku berdiri dan mendekati Rushuang. Saat hendak berbicara, tiba-tiba ponselku berdering.
Terpaksa kutahan dulu ucapan untuk Rushuang. Setelah melihat ponsel, ternyata Leizi yang menelepon. Kulihat jam - belum pukul sembilan malam. Untuk apa dia menelponku lagi?
Meski bingung, akhirnya kuangkat juga.
"Halo, Leizi."
"San Ge, aku dan Linxuan akan menjemputmu sekarang. Tunggu di gerbang utara perumahan 30 menit lagi." Suara bising terdengar dari telepon Leizi.
"Bukannya katamu mau datang jam 11:30 malam?" tanyaku.
"Aku pulang lebih cepat. Apa San Ge tidak bisa sekarang?" Suara Xia Linxuan terdengar di balik telepon.
"Bisa... Baiklah, 30 menit lagi di gerbang utara." Aku menutup telepon.
"Shisan, Leizi mau menjemputmu?" Rushuang menatapku setelah telepon dimatikan.
“Benar, dia bilang pulang lebih awal.” kataku.
Rushuang tidak berbicara, namun ekspresinya terlihat serius. Setelah menunduk dan merenung sejenak, dia bertanya padaku: “Shisan, kalau dikonversi ke waktu sekarang, pukul sembilan malam termasuk shichen apa?” Meski Rushuang tahu perbedaan waktu kuno dan modern dimana satu hari dibagi 24 jam, dia tidak paham konversi jam ke shichen.
Aku menunduk berpikir sejenak, lupa apakah pukul 21:00 termasuk Xu Shi atau Hai Shi. Akhirnya kuambil ponsel dan cek di internet untuk memastikan, lalu kujawab: “Pukul sembilan malam adalah Hai Shi.”
Mendengar itu, wajah Rushuang berubah drastis. Sorot mata sempat menunjukkan kepanikan sebelum dia buru-buru berkata: “Shisan, kalau malam ini Leizi menjemputmu di Hai Shi, jangan sekali-kali kamu pergi!!!”
