Tanpa kusadari, aku berjalan sendirian di Jalan Ganqu, Dongdian. Jalan ini cukup sepi, meski lebar tapi kendaraan yang lalu lalang tidak banyak.
Aku berjalan di tepi jalan, menyaksikan mobil-mobil yang sesekali melintas kencang di sampingku. Di lubuk hati, beban ini tak kunjung reda. Aku tak pernah paham, jika Xia Linxuan sama sekali tak menyukai Leizi, mengapa memilih bersamanya?
Apakah menyakiti orang yang mencintaimu bisa memberi kepuasan? Ataukah sejak awal dia hanya ingin memanfaatkan Leizi untuk mencapai tujuannya?
Jika benar demikian, apa tujuannya? Popularitas atau kekayaan? Aku tak mengerti, dan tak ingin terus memikirkannya.
Mungkin, di dunia ini, pemikiran setiap orang berbeda, jalan yang dipilih setiap orang juga tidak sama. Apapun tujuan Xia Linxuan, aku bisa memahaminya. Tapi satu-satunya yang tidak bisa aku pahami dan maafkan adalah dia kabur meninggalkan Leizi dalam kondisi hidup mati.
Berjalan sampai ke hamparan rumput di depan, akhirnya aku duduk lemas. Memandangi sungai kecil yang hampir kering, bayangan kelam mulai menyelimuti hatiku...
Duduk di sini, tak bisa menghindar dari bayangan ini. Terus terpikir olehku: Apakah semua yang terjadi di dunia ini berdasarkan hukum karma?
Sejak lahir sampai sekarang, segala kejadian pasti ada sebab-akibatnya. Leizi juga begitu. Sebabnya adalah dia setuju menjadi pacar gadis bernama Xia Linxuan, akibatnya nyawanya melayang. Aku bertanya-tanya: Apakah benar tak ada yang bisa lolos dari siklus karma?
Entah cepat atau lambat, karma pasti datang...
Persis di saat itu, tiba-tiba kudengar suara tawa riang siswa di belakang. Kutolehkan kepala dan melihat 4-5 siswa SMA sedang berjalan santai sambil bercanda di jalanan.
Pada wajah-wajah bersemangat mereka, kulihat bayangan kenangan masa lalu. Dalam kenangan itu, ada aku dan Leizi.
Aku tiba-tiba teringat, saat itu musim dingin, beberapa hari setelah Tahun Baru Imlek sebelum masuk sekolah. Aku tiba-tiba ingin jalan-jalan sendirian. Itu pertama kalinya aku bepergian ke luar kota seorang diri. Di malam ketiga perjalanan, nasib malang menimpaku ketika dompet dan ponselku dicuri. Saat itu, yang tersisa di tubuhku hanya lima yuan. Satu-satunya orang yang bisa kuhubungi hanyalah Leizi lewat QQ.
Dengan sisa lima yuan terakhir, aku mencoba pergi ke warnet. Awalnya ingin menghubungi Leizi agar memberitahu orangtuaku untuk menjemputku pulang. Pasalnya, saat ini aku bahkan tidak punya kartu ATM, hanya ini satu-satunya cara.
Tapi siapa sangka, setelah Leizi tahu aku terjebak di luar kota tanpa uang untuk pulang, dia menanyakan lokasi warnetku lalu menyuruhku tetap di situ sambil menunggu kedatangannya.
Hingga sekarang aku masih ingat jelas, malam itu salju turun lebat seperti bulu angsa. Untuk pulang ke rumah dari kota tempatku berada, diperlukan waktu empat sampai lima jam naik mobil.
Malam itu juga, di dalam warnet aku menunggu sampai Leizi datang terengah-engah. Topi dan bajunya masih dipenuhi salju. Begitu masuk dan melihatku, tanpa banyak bicara dia melepas sarung tangannya, lalu mengeluarkan 1.200 yuan dari saku dan memberikannya padaku.
Dia menatapku sambil berkata:
"San Ge, kalau liburanmu belum puas, ambil saja uang ini untuk lanjutin. Susah-susah keluar jalan-jalan, jangan sampai mentok gara-gara kehabisan uang. Simpan ini."
Aku melihat uang seribu lebih yuan di tangan Leizi, mataku perih. Aku tahu uang yang dia sodorkan ini adalah hasil kerja kerasnya selama liburan musim panas: siang hari cuci piring di hotel, malamnya bantu menyusun bola biliar di klub biliar. Dua pekerjaan sekaligus. Karena itu aku tidak mengulurkan tangan untuk menerimanya.
Karena aku ingat, dia pernah bilang ingin mencari uang lebih banyak selama liburan untuk membeli cincin emas buat ibunya.
Leizi tersenyum konyol padaku, melanjutkan: "San Ge, ambil dulu. Nanti pulang baru kembalikan, gak masalah kan?" Sambil berbicara, dia memaksakan uang seribu lebih yuan itu ke dalam sakuku.
Malam itu, aku dan Leizi mencari warung makan kecil dekat warnet, makan sepuasnya. Keesokan harinya kami naik mobil pulang bersama. Masalah jalan-jalan atau tidak, bagiku sudah tidak penting lagi...
Sekarang ini, aku sangat ingin kembali mencari warung makan itu bersama Leizi, duduk bersama meneguk minuman sampai puas. Sayangnya, kesempatan itu sudah tidak ada lagi...
Tidak akan pernah ada kesempatan lagi.
Langit kelabu, hatiku juga sama suramnya. Saat ini, aku merasa seluruh dunia telah meninggalkanku. Kesepian, hampa, kecewa, dan ketidakberdayaan menjepitku sampai sesak napas.
Mataku mulai perih. Kuangkat kepala, air mata tak terbendung lagi. Sejujurnya di lubuk hati, meski Leizi pernah mengkhianatiku, bukan berarti dia orang jahat.
Setidaknya dulu dia bukan orang jahat!!
……
Pada suatu pagi tiga hari kemudian, aku sendiri naik mobil kembali ke desa tempat aku dan Leizi tumbuh besar bersama. Setelah berkeliling desa, aku menuju ke belakang desa di depan kuburan Kakek-Nenekku untuk membakar kertas sembahyang.
Setelah membersihkan rumput liar di gundukan kuburan kakek-nenekku, aku duduk di tanah lalu mengeluarkan uang kertas dan koin emas yang kubawa, lalu membakarnya di depan makam mereka.
Meskipun sudah lama sejak kepergian Kakek-Nenekku dan aku mulai beradaptasi, setiap teringat mereka, di hati tetap terasa pedih dan sedih.
……
Usai sembahyang, tiba-tiba aku ingin mengunjungi Leizi. Mungkin aku belum bisa menerima kepergiannya yang mendadak. Beberapa hari ini, terkadang aku refleks ingin menelepon Leizi, baru tersadar saat mengeluarkan ponsel bahwa dia sudah tiada dan tak akan pernah lagi mengangkat teleponku...
Untungnya kompleks pemakaman di desa kami tidak luas. Setelah berputar-putar, akhirnya kulihat sebuah kuburan baru. Mendekat, kuperhatikan nama di nisan itu: Cheng Lei.
Kutaruh lembaran uang kertas di tanganku perlahan di depan makam Leizi, lalu duduk di depan batu nisannya.
Kubuka kantong plastik yang kubawa, mengeluarkan dua botol bir. Satu botol kubuka dan kutaruh di depan nisan Leizi, kemudian kubuka botol kedua untukku sendiri.
Setelah meneguk besar bir dari botol, pandanganku tertahan pada nisan Leizi. Hingga detik ini, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa saudara yang tumbuh bersamaku sejak kecil ini kini telah terpisah oleh dunia Yin-Yang.
"Leizi, kamu ingat pertama kali kita melihat kemasukan hantu di desa? Malam itu Tukang Kayu Cheng dirasuki hantu penyanyi opera, terus menerus melantunkan nada-nada operatik. Hampir saja aku dicekik sampai mati olehnya. Kalau bukan karena kamu yang menyelamatkanku saat itu, tak mungkin aku bisa duduk di sini berbicara denganmu." Tanganku meletakkan botol bir di depan nisan Leizi sementara mataku menatap nama yang terukir. "Leizi, ada satu kalimat yang selalu malu kuucapkan - terima kasih. Sungguh, terima kasih. Aku yang minum dulu ya..." Bibirku kembali menempel pada botol bir, kubenturkan dengan botol yang sudah kutaruh di depan makamnya, lalu kuhabiskan sebotol penuh dalam sekali teguk.
Aku melempar botol minuman kosong ke samping dengan kasar, kembali membuka pembicaraan: "Leizi, bukan mauku mengucapkan ini, tapi beberapa wanita sama sekali tidak menyadari pengorbananmu. Kematianmu meski bukan langsung akibat perbuatannya, tapi ia tetap tak bisa lepas dari tanggung jawab. Tak kusangka, kau mempertaruhkan nyawa menyelamatkannya dari kobaran api, tapi ia malah meninggalkanmu dalam keadaan hidup-mati lalu kabur sendiri. Hehe... Andai aku jadi kau, pasti sudah kuputuskan untuk meninggalkan Xia Linxuan... Ah, sudahlah, tak usah dibahas lagi, hanya bikin kesal... Oh ya Leizi, tenang saja, orangtuamu pasti kujaga baik-baik, takkan kusia-siakan mereka. Pergilah dengan damai."
"Apakah ia bisa pergi dengan damai, bukan urusanmu untuk menentukan." Tepat pada saat itu, tiba-tiba kudengar suara Lu Yu Lu Zhenren bergema dari belakangku.
Saat mendengar ucapan Master Lu, aku segera menoleh ke belakang. Tepat melihatnya membawa setumpuk uang kertas ritual Tao di tangan, berjalan mendekat ke arahku.
Master Lu mendekati makam Leizi, melemparkan uang kertas itu dengan kuat. Matanya mengikuti lembaran yang beterbangan di udara sambil berkata padaku: "Shisan, ada hal yang harus kusampaikan. Arwah sahabatmu ini setelah meninggal tidak pergi ke alam baka untuk bereinkarnasi, melainkan terus membuntuti gadis bernama Xia Linxuan..."
