Usai mengantar Leizi, kuteruskan langkah menuju rumah pria gemuk.
Berjalan ke samping sebuah taman, tiba-tiba aku ingin masuk untuk berjalan-jalan melepas pikiran. Aku memutar badan dan melangkah masuk ke dalam taman, memilih bangku batu lalu duduk. Memandang langit malam yang agak suram, emosi di hatiku perlahan-lahan mulai merosot.
Entah mengapa, meski tak pernah merokok, saat ini aku tiba-tiba ingin menghisap rokok...
Leizi kini telah pergi, lenyap sepenuhnya dari kehidupanku, tak akan terlihat lagi. Aku teringat pada Kakek dan Nenek yang juga telah meninggalkanku, suasana hatiku langsung terjun ke titik terendah.
Di saat ini, kusendiri duduk di taman, diam-diam mendoakan Leizi. Kudoakan agar di kehidupan berikutnya ia terlahir di keluarga baik, dewasa nanti bisa menemukan pacar yang dicintainya dan juga mencintainya, menjalani hidup dengan bahagia dan damai sepanjang hayat.
Sebuah angin dingin berhembus menyapu wajahku, seolah membawa doaku terbang ke udara, melayang menuju awal dan akhir takdir.
Hingga kini, aku masih jelas mengingat perkataan Nenek padaku dulu: "Shisan, Kakek-Nenek akan selalu menemanimu di sampingmu, melihatmu berkeluarga, mengasuh anakmu..."
Meski kata "selamanya" hanya terdiri dari dua huruf singkat. Tak ada yang bisa menjelaskannya sepenuhnya dengan kata-kata. Seberapa jauh "selamanya" itu? Ia takkan sirna bersama berakhirnya nyawa. Keabadian sejati tersembunyi di dalam hati.
Meski langit bisa berubah, manusia bisa menua, tapi hati itu takkan berubah. Kuyakin Kakek-Nenek akan terus hidup di dalam hatiku, hingga "selamanya".
Tepat pada saat itu, suara merdu Rushuang terdengar dari dalam liontin giok yang tergantung di leherku:
“Shisan, bukankah kau memiliki liontin giok yang bisa menghubungi alam baka? Cobalah hubungi Raja Yama, mintalah bantuannya untuk mencari keluarga baik saat Leizi bereinkarnasi.”
Perkataan Rushuang bagai menyadarkanku dari mimpi. Sebenarnya sekarang aku agak menyesal kenal Raja Yama belum lama. Andai saja aku mengenalnya lebih awal, pasti sudah kumohon untuk mencari tempat baik bagi kakek dan nenekku saat bereinkarnasi.
Tapi sekarang, ke mana mereka bereinkarnasi, di keluarga mana, itu semua tak akan pernah kuketahui seumur hidupku.
Begitu terpikir, segera kuwujudkan. Kucepat lepaskan liontin giok dari leher, langsung kutekan tombol di tengahnya.
Seketika, kabut hitam Energi Yin perlahan mengelilingiku.
“Shisan, ada keperluan apa kau mencariku sekarang?” Suara berat Raja Yama yang mencekam bergema dari balik kabut Yin. Tanpa basa-basi, langsung ke inti.
Kubicu buru-buru:
“Raja Yama, hamba ada permohonan bantuan.”
“Katakan saja. Sebelumnya kau sudah membantuku menemukan 'Rumput Yin-Yang', aku masih berhutang budi padamu.” Raja Yama bersikap cukup ramah.
“Kalau begitu hamba bicara terus terang. Seorang sahabat hamba baru saja meninggal, arwahnya sudah kudoakan ke alam baka. Hamba mohon Raja Yama bisa memilihkan keluarga baik untuknya saat bereinkarnasi.” Langsung kusampaikan maksud.
Setelah mendengar perkataanku, Raja Yama terdiam sejenak sebelum berkata: "Shisan, roda enam kelahiran kembali ini adalah Takdir Langit. Reinkarnasi setiap orang, jenis manusia seperti apa yang harus dijalani dalam kelahiran kembali, atau apakah mereka bisa bereinkarnasi ke jalur manusia lagi—semua ini bukanlah hal yang bisa kuubah. Meski aku sebagai Raja Yama yang menguasai siklus hidup-mati di alam semesta, tetap saja kekuasaanku tidak sebesar itu..." Suaranya jelas terdengar pasrah.
Aku tahu ini bukan karena Raja Yama tidak mau membantuku, tapi memang dia tidak punya wewenang untuk hal sebesar ini.
"Aku mengerti. Terima kasih, Yang Mulia Raja Yama." Kataku dengan nada kecewa.
"Tak perlu berterima kasih. Begini saja, beritahu aku nama sahabatmu, lengkap dengan zodiak kelahiran dan tempat lahirnya. Aku hanya bisa menjamin rohnya akan bereinkarnasi ke jalur manusia dalam roda enam kelahiran kembali. Tentang keluarga atau lokasi tepatnya, itu di luar kendaliku. Hanya ini yang bisa kulakukan..." Jelas Raja Yama padaku.
Mendengar itu, aku segera membungkuk hormat: "Terima kasih banyak, Yang Mulia! Sahabatku bernama Cheng Lei, lahir pada 11 Desember 1995, di desa yang sama denganku..."
Leizi adalah satu-satunya teman yang tanggal lahirnya kuingat persis, karena dia juga hafal ulang tahunku.
"Baik, sudah tercatat. Shisan, masih ada keperluan lain? Jika tidak, aku harus kembali bekerja." Setelah mencatat data Leizi, Raja Yama bertanya padaku.
"Sudah cukup. Sekali lagi terima kasih, Yang Mulia." Aku membungkuk lagi penuh hormat.
“Bocah tak berguna, jangan sungkan sama aku. Kalau kamu benar-benar ingin berterima kasih, segera tingkatkan latihanmu. Musnahkan habis penginvasi yang selalu ada di Dunia Manusia kalian, biar aku lega.” Raja Yama menghela nafas.
“Baik, aku pasti akan berlatih dengan giat. Tidak akan kubiarkan hantu yin kaisar itu muncul lagi dan mengacau dunia.” Aku menyetujui tanpa ragu. Entah bisa atau tidak, aku harus setuju, karena ini bukan hanya tanggung jawab yang sudah lama kupikul, tapi juga satu-satunya cara untuk melindungi keluarga dan sahabat dari bahaya.
Sebab begitu hantu yin kaisar itu melepaskan diri dari Segel dan muncul kembali, orang pertama yang akan dicari adalah aku dan Rushuang.
Dia butuh Tubuh Tao Bawaan-ku, juga Konfigurasi Takdir Sembilan-Lima milik Rushuang.
Jadi hantu yin itu harus kuhabisi. Ini takdir yang tak bisa diubah sejak hari kelahiranku.
Saat kumasukkan kembali liontin giok ke dalam baju, pandangan samping mataku menangkap bayangan putih. Kuangkat kepala, ternyata An Rushuang yang keluar dari liontin giok itu sudah berdiri di hadapanku.
“Shisan, apa kata Raja Yama tadi?” tanya Rushuang. Ternyata percakapanku dengan Raja Yama tadi tak terdengar olehnya meski dia selalu di sampingku.
“Dia tidak bisa menjamin akan mencari keluarga baik untuk Leizi, tapi pasti menjamin reinkarnasinya ke jalur manusia,” jawabku pada Rushuang.
Rushuang mengangguk:
“Raja Yama sudah berusaha maksimal, mungkin ini yang terbaik. Yang penting kelak terlahir kembali sebagai manusia. Seorang pria, tak peduli dari keluarga seperti apa dia lahir, selama tekad dan keteguhan hatinya cukup kuat, pasti akan sukses.”
Aku tersenyum pada Rushuang: "Pria tidak takut mati-matian, yang ditakuti adalah kebiasaan, benar?" Kalimat ini sebelumnya diucapkan Rushuang padaku, selalu kuingat dalam hati.
Memang, selama dalam hati seorang pria tidak mau mengaku kalah, bagaimanapun keadaannya dia tak akan kalah. Asal mau berusaha, pasti ada hari keberhasilan.
Keberhasilan datang cepat atau lambat saja...
Ketekunan yang gigih mampu mengukir batu dan emas.
“Benar, tiga puluh tahun di timur sungai, tiga puluh tahun di barat sungai, jangan pernah meremehkan kemiskinan masa muda.” Rushuang mengangkat sudut bibirnya sambil menatapku.
“Rushuang, aku ingin segera membawamu ke wilayah liar selatan untuk mencari Air Suci Sungai Luo, agar cepat kau dilahirkan kembali sebagai manusia.” Keputusanku ini karena sekarang aku sudah menemukan Fenghuang Dan (Empedu Phoenix) dan Buah Qiqiao Linglong, hanya tinggal Air Suci Sungai Luo yang dibutuhkan untuk reinkarnasimu.
Rushuang menggelengkan kepala perlahan:
“Urusanku bisa ditunda. Lebih baik kau bawa Kak Zhao Man dulu ke dokter Yang untuk memeriksa apakah lukanya di wajah bisa disembuhkan.”
Mendengar perkataan Rushuang, baru kusadari bahwa kejadian-kejadian sebelumnya membuatku lupa sama sekali tentang bekas luka hitam di wajah Kak Zhao Man.
"Dan sekarang aku juga harus mencari cara untuk menghubungi Qing You, si Pria Bertopi yang selalu misterius dan sulit ditemui. Aku ingin bertanya padanya, siapa sebenarnya—atau metode apa yang digunakan—untuk menjebak Hong Yan yang memiliki tingkat kultivasi begitu kuat itu. Dan berapa lama lagi dia bisa terkurung? Ini hal yang paling ingin kuketahui."
"Baik, besok pagi aku akan telepon Kak Zhao Man dan mengajaknya ke tempat Yang Zhentian," kataku.
"Ya," jawab Rushuang sambil mengangguk setuju.
"Ngomong-ngomong Rushuang, mau nemenin aku jalan-jalan malam ini?" Aku melihat Rushuang bangkit dari bangku batu, lalu mendekat dan menggenggam tangan halusnya, mengajaknya berjalan keluar taman.
"Shisan, jalan-jalan maksudnya apa?" tanya Rushuang dengan bingung.
"Itu... maksudnya belanja, jalan-jalan lihat toko."
"Apa yang bisa dilihat di tengah malam begini? Jalanan sepi tak ada orang."
"Kamu belum pernah lihat pasar malam kan? Malam ini aku ajak kamu jalan-jalan kesana." Sejak masih sekolah, hidupku hanya berkutat antara bersekolah dan menemani kakek-nenek di desa. Jarang keluar main, meski Rushuang selalu menemaniku, dia belum pernah melihat jalan pasar malam Dongdian yang ramai sepanjang malam.
