"Pelankan... bukan di situ, masuk lagi dikit."
"Hmm! Lebih dalam lagi... bukan sini, jangan berhenti dulu, iya, masuk lagi—nah di sini..."
Dialog klasik saat naik taksi.
Awalnya taman tempat kami berada dan pasar malam tidak terlalu jauh. Saya berencana berjalan kaki perlahan bersama Rushuang, tapi baru keluar dari taman, kebetulan ada taksi lewat. Akhirnya saya memilih naik taksi bersama Rushuang demi kenyamanan.
Setelah turun dari taksi, kami berjalan beriringan menuju pasar malam di depan. Pasar malam adalah pasar yang tetap ramai dan terang benderang di malam hari.
Karena itu, ada yang bilang jalan-jalan di pasar malam adalah cara terbaik untuk mengenal sebuah kota. Ditambah lagi banyak jajanan enak dan makanan lezat yang memikat jiwa di gang-gang tersembunyi, membuat pasar malam hampir menjadi tempat wajib bagi penggemar belanja online dan pecinta kuliner...
Bahkan banyak orang yang pertama kali dicari saat berkunjung ke kota lain adalah pasar malam setempat.
Malam semakin larut, bintang-bintang redup, namun lampu-lampu berkelap-kelip...
Tak lama kami memasuki gerbang pasar malam. Saat itu hanya tersisa satu jalan di Dongdian yang masih berpendar, diiringi alunan lagu pop. Sambil memegang tangan Rushuang, kami berjalan menuju keramaian pasar malam sambil mendengarkan musik.
Di kedua sisi jalan dipenuhi berbagai lapak dengan beraneka barang. Jalan yang sempit justru terlihat sangat tertata rapi.
Suara tawar-menawar dan musik perlahan mengikis habis kedamaian malam.
Lampu neon yang berkedip-kedip membuat malam terlihat semakin semarak. Gelombang kerumunan baru terus mengalir deras, menyusuri setiap percabangan jalan dan sudut-sudutnya. Mereka tertarik oleh berbagai barang di lapak-lapak, kadang juga terpikat oleh teriakan para pedagang. Tulisan tangan di depan lapak pun menjadi senjata ampuh untuk menarik pembeli. Semua orang saling memilih dan membeli.
Hanya saja yang membuatku sedikit kesal dan heran adalah, sejak aku membawa Rushuang masuk ke pasar malam ini, kemana pun kami pergi, orang-orang di sekitar selalu menatap kami dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu dan kebingungan.
Awalnya aku tak mengerti, tapi ketika sekali lagi menatap Rushuang, segalanya menjadi jelas. Ternyata saat ini Rushuang sudah sepenuhnya menampakkan wujud Roh-nya, sehingga semua orang bisa melihatnya.
Karena pakaiannya yang merupakan tunik tradisional putih bersih, ditambah wajahnya yang cantik mempesona, ke mana pun aku membawanya, pasti menarik perhatian banyak orang.
Bahkan ada beberapa paman yang malu-malu mengeluarkan ponsel dan mulai memotret Rushuang diam-diam.
Aku menggelengkan kepala dengan pasrah. Rushuang justru bertanya padaku: "Shisan, mengapa sejak melihatku, mereka mulai memotretku dengan ponsel?"
"Mungkin karena kau terlalu cantik," jawabku sambil tersenyum pada Rushuang.
“Shisan, kamu jangan banyak bicara denganku. Apa karena baju yang kupakai ini?” Rushuang sendiri sudah menebaknya. Dia menarik tanganku dan berlari masuk ke sebuah gang kecil di tepi jalan.
Setelah masuk ke gang, postur Rushuang tiba-tiba berubah. Baju Tang putih yang dikenakannya lenyap seketika. Kini penampilannya benar-benar berbeda - topi baseball abu-abu menutupi separuh wajahnya, hanya menyisakan senyum menggoda di sudut bibirnya yang memancarkan aura percaya diri. Baju kasual hitam-putihnya mempertegas lekuk tubuhnya yang nyaris sempurna, memancarkan aura misterius sekaligus murni.
Saat ini, satu-satunya kesan yang kudapat dari Rushuang adalah cantik. Bahkan tak kudapati kata lain untuk menggambarkannya!
Ternyata Rushuang tak hanya tampak menawan dalam baju kuno. Dengan pakaian modern ini, kecantikannya semakin tak tertandingi.
“Shisan, apa...apa baju modernku ini bagus? Aku lihat gadis-gadis zamanmu biasa memakai gaya seperti ini.” Pipi Rushuang memerah saat bertanya pelan.
“Ca...cantik! Sungguh secantik-cantiknya!” Aku segera mengangguk membenarkan.
“Kamu tidak bohong?” Rushuang mengangkat wajah dan menatapku.
“Tidak. Bagaimana kalau kita bertaruh? Nanti pasti lebih banyak orang yang akan menyelinap memotretmu diam-diam.” Kataku sambil tersenyum.
“Kalau begitu lebih baik aku ganti baju lagi...” Rushuang menghela napas pasrah.
“Aku bercanda, ayo, kita makan ‘malatang’.” Sambil berkata demikian, aku menarik tangan Rushuang dan membawanya kembali ke pasar malam.
Kami melewati lapak-lapak yang menjual barang rongsokan dan pakaian, aroma sedap segera menyergap hidung. Di setiap pasar malam, lapak makanan kecil pasti yang paling ramai.
Sepanjang jalan yang hiruk-pikuk, berjejer aneka jajanan. Para bos lapak menyambut dengan senyum, ada yang berteriak promosi, ada pula yang sibuk melayani tak ingin kehilangan pelanggan.
Tentu saja dari sekian banyak jajanan, yang paling populer adalah “malatang” pedas berapi. Makanan modern penuh gairah ini memikat mata, hidung, dan lidah. Rasa kebas, pedas, dan panasnya menyatu sempurna.
Membuat orang ngiler tiga ribu chi hanya dengan membayangkan, melihat, atau mencicipinya.
Aku membawa Rushuang duduk di depan lapak malatang. Bu Pemilik Toko tersenyum melihat kami: “Bapak Ibu mau makan malatang?”
“Ya, dua porsi. Tolong pilihkan yang segar.” Aku mengangguk pada Bu Pemilik Toko.
“Baiklah. Mau level pedas atau sedang?”
“Aku mau pedas. Rushuang, kamu?”
Rushuang menoleh ke Bu Pemilik Toko: “Saya sedang saja, terima kasih.”
“Oke, silakan tunggu sebentar. Saya akan segera siapkan.” Bu Pemilik Toko berbalik badan dan sibuk bekerja.
Saat itu, aku dan Rushuang duduk berhadapan. Di hati, rasa bahagia mengalir, ini pertama kalinya aku merasakan cinta berbalas sejak menikahi Rushuang. Memandangnya di seberang, aku bersumpah dalam hati: apapun pengorbanannya, harus kutemukan Air Suci Sungai Luo itu, agar dia bisa dilahirkan kembali sebagai manusia.
Bersamaku, selamanya...
Setelah menunggu sekitar sepuluh lebih menit, Bu pemilik warung menghidangkan dua mangkuk malatang untuk kami. Setelah meletakkannya di meja, ia segera melayani pelanggan lain. Meski lapak jajanan ini kecil, bisnisnya cukup ramai. Rupanya keahlian sang bos masih lumayan.
"Rushuang, coba cicipi enak tidak?" Kataku padanya. Sejak makan-minum bersama Leizi, aku tahu hantu yin pun bisa menyantap makanan Dunia Manusia. Bahkan mereka tak perlu menyerang.
Rushuang menunduk memandang mangkuk besar malatang yang beruap itu. "Shisan, panas begini, kamu bisa makan?"
"Rushuang, kamu belum paham. Malatang itu filosofinya ada pada karakter 'panas'. Harus dimakan selagi mendidih! Baru terasa mati rasa pedasnya. Sekalipun udara dingin, bakal bikin keringat..." Tiba-tiba aku terhenti di tengah kalimat.
“Karena ucapan Rushuang tadi mengingatkanku, aku langsung berpikir: cabai dan hawa panas termasuk Yang, sedangkan tubuh asli Rushuang adalah Yin. Jika Rushuang dan aku makan 'malatang' ini bersama, apakah energi Yin-nya akan rusak?”
Memikirkan ini, aku segera bertanya pada Rushuang: "Rushuang, kalau kamu makan makanan pedas dan panas begini, apa tidak merusak energi Yin di tubuhmu?"
Rushuang tersenyum sambil menggelengkan kepala:
"Meskipun air panas dan cabai termasuk Yang, tapi tidak bertentangan dengan Yin. Makan sedikit tidak apa-apa."
"Baguslah. Kenapa kamu tidak makan?" tanyaku.
"Aku menunggumu. Di zaman kami, istri tidak boleh makan duluan sebelum suami dan orang tua menggerakkan sumpit." Rushuang menjelaskan.
"Era pria diutamakan sudah berlalu. Sekarang jaman kesetaraan gender, makanlah." kataku.
"Tetap tidak boleh. Kamu duluan." Rushuang masih memegang aturan zaman dulu.
"Baiklah, aku duluan." Aku mengambil sepasang sumpit, menjepit daging loin dan melahapnya.
Melihatku mulai makan, Rushuang baru mengambil sumpitnya.
Tepat saat itu, tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil namaku dari belakang.
Mendengar panggilan itu, aku segera menoleh.
Tapi begitu melihatnya, Tiga Hunku hampir terbang dua!
Setelah melihat wanita yang memanggil namaku, aku segera mengumpulkan energi Yang dari Dantian ke kedua tangan. Tangan kanan dengan cepat merogoh tas ransel dan mengeluarkan Pedang Pemotong Kegelapan, menggenggamnya erat siap untuk bertindak!...
