Usai Shasha dan Rushuang selesai main lingkaran, mereka melanjutkan jelajah ke dalam pasar malam. Berbelanja memang sifat alami wanita - tak peduli sejauh atau selamanya, tak akan merasa lelah.
Aku yang mengikuti dari belakang justru berantakan dan kelelahan. Selain menggendong boneka beruang setinggi badan, tanganku juga penuh barang-barang kecil hasil permainan lingkaran mereka.
"Saat ini Qiu Shasha terus mengobrol dan tertawa bersama Rushuang. Keduanya terlihat sangat bersemangat malam ini. Ini juga pertama kalinya aku melihat Rushuang tertawa begitu bahagia."
Malam itu, tak diragukan lagi kami semua bahagia. Melihat Rushuang tersenyum begitu gembira, hatiku pun ikut senang. Mungkin ketika benar-benar mencintai seseorang, selama dia bahagia, aku pun ikut bahagia dari lubuk hati.
Jika dia sedih, aku pun akan ikut merasakan kesedihan. Seolah hati kami berdua menyatu erat, bergerak seirama. Entah Rushuang sekarang manusia atau hantu...
Tapi kebahagiaan dan waktu selalu berlalu cepat. Tanpa terasa malam pun berganti pagi. Fajar menyingsing, Rushuang kembali masuk ke dalam liontin giok di leherku. Aku dan Qiu Shasha pun meninggalkan pasar malam yang semarak sepanjang malam itu yang mulai sepi.
Kami berjalan beriringan menuju rumah pria gemuk itu. Tak ada yang berbicara.
Aku yang berjalan di belakang sambil memikirkan urusan Zhao Man. Kuputuskan pagi ini akan menghubunginya untuk menanyakan kesediaannya, baru kemudian mempertimbangkan untuk mengajaknya menemui Yang Zhentian si Dokter Hantu.
"Zuo Shisan, kenapa kau terus menunduk dan diam-diam mengikutiku?" Qiu Shasha tiba-tiba menoleh dan bertanya padaku.
"Mendengar suara Qiu Shasha, aku segera menengadah dan berkata: 'Aku sedang berpikir sebentar lagi subuh akan menghubungi Kak Zhao untuk menanyakan apakah dia ada waktu hari ini. Aku ingin segera membawanya menemui Yang Zhentian (Dokter Hantu) untuk memeriksa apakah luka di wajahnya bisa disembuhkan. Hal seperti ini tidak bisa ditunda, semakin cepat semakin baik.'"
Qiu Shasha mengangguk, "Baiklah. Kebetulan sekarang aku tidak ada urusan lain. Besok aku akan ikut bersama kalian."
"Nona Qiu, bisakah kau membersihkan riasan wajahmu yang menyerupai ibumu itu? Aku merinding melihat wajah ibumu itu." Kataku pada Qiu Shasha.
Mendengar ucapanku, Qiu Shasha tersenyum padaku:
"Ada apa, Shisan? Apa kau begitu takut pada ibuku?"
"Bukan takut. Aku hanya merasa tidak nyaman melihat wajah itu. Dan kau juga belum memberitahu, kenapa tiba-tiba merias wajah seperti ibumu?" Tanyaku penasaran.
"Cuma ingin menakut-nakuti kamu saja." Jawab Qiu Shasha sambil tertawa.
"Jujurlah." Desakku.
"Baiklah. Sebenarnya Qing You yang menyulap wajahku menjadi seperti ibuku, lalu menyuruhku ke Aliran Longhu untuk membantunya." Ucap Qiu Shasha sambil menghela napas, emosinya tiba-tiba berubah seolah menjadi orang yang berbeda.
Begitulah sifat gadis ini.
"Bisa ceritakan bantuan apa yang diminta Qing You di Aliran Longhu?" Tanyaku penasaran.
“Aku tidak bisa memberitahumu.” Jawaban Qiu Shasha tegas.
Saat mendengar ucapan Qiu Shasha ini, hatiku langsung merasa tidak nyaman. Jelas-jelas dia menganggapku sebagai orang luar, atau bahkan sama sekali tidak menganggapku sebagai sahabat sejati, karena dia tidak memberikan kepercayaan padaku.
Dengan senyum kecut, aku menggelengkan kepala. Tak kulanjutkan pertanyaanku. Jika dia tidak percaya, untuk apa memaksanya?
Qiu Shasha yang berjalan di sampingku menangkap perubahan emosiku. Matanya menatapku: “Shisan, ada hal-hal yang bukan tidak ingin kubicarakan, tapi mengetahui itu tidak akan menguntungkanmu. Percayalah, aku takkan pernah menyakitimu.”
“Sudah sana! Waktu itu kau hampir meregangkan nyawaku.” Sambil berkata demikian, kubawa beruang besar yang kupeluk erat itu ke posisi lain.
“Percaya tidak percaya, terserah!” Sifat aneh Qiu Shasha muncul. Dia malas melanjutkan percakapan dan bergegas pergi ke depan, tanpa menungguku sama sekali.
Sekejap, siluet punggungnya lenyap dalam kegelapan malam...
Ketika akhirnya kusampai di rumah pria gemuk sambil memeluk beruang besar dan berbagai tas, fajar telah menyingsing. Saat kubuka pintu, si pria gemuk langsung menyambutku dengan tendangan sekuat tenaga.
Serangan mendadaknya membuatku kalang kabut. Koridor yang sempit menyulitkanku menghindar. Terpaksa kuterima tendangan itu hingga tubuhku mundur beberapa langkah.
“Pria gemuk, Goblog nenekmu! Kau mabuk atau kepalamu terjepit pintu?!!” Aku berteriak melihatnya masih ingin menyerangku.
Pria gemuk itu langsung berhenti mendengar teriakanku. Ia berdiri di tempat dengan wajah bingung: “Shi... Shixiong, kok bisa kau??”
“Siapa lagi? Dasar kau gila! Baru buka pintu langsung tendang!” Aku menggeram padanya.
“Shixiong, ini salah paham... Semua gara-gara si Qiu itu. Tadi pas dia datang, bilang nanti ada hantu yin yang menyamar jadi boneka beruang mau gangguin. Jadi kusiapkan diri. Pas buka pintu langsung kuhajar, mana tahu di belakangnya kau. Lihat, ini Fu Yang kutempel di titik vital dada buat jaga-jaga!” Pria gemuk menunjuk jimat di dadanya untuk klarifikasi.
Aku semakin pasrah. Rupanya ini ulah Qiu Shasha. “Dia masih di dalam?”
“Lagi nonton TV di ruang tamu.” Pria gemuk mengangguk.
“Kutemui dia.” Aku melewatinya dan masuk.
Meletakkan boneka beruang dan tas belanjaan di sofa, aku menghardik Qiu Shasha yang sedang ganti channel: “Qiu Shasha, maksudmu apa? Untung si gemuk cuma nendang, kalau sampai ditusuk?!”
Qiu Shasha melirikku, berkata dengan nada tidak dingin juga tidak ramah;
"Itu nasib sialmu, pantas saja..."
Aku langsung naik darah dibuatnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sebagai pria dewasa, mustahil aku berdebat dengan gadis kecil?
Sambil duduk di sofa, kuambil segelas air dan bergumam: "Sudahlah, pria baik tak perlu berkelahi dengan wanita."
"Shisan, jangan cari-cari alasan. Bilang saja kau kalah berdebat dengan ibu saya," sindir Qiu Shasha sambil menatapku.
"Qiu Shasha, apa salahku hari ini? Aku traktir makan dan jalan, tapi kau malah menyakitiku! Sungguh tak tahu balas budak!" Kubanting gelas di meja.
"Hanya meja yang kau berani perlakukan begitu." Kalimatnya membuat darahku mendidih.
Kuhela napas panjang, menganggapnya sedang PMS. Kuberanjak dari sofa menuju kamar pria gemuk.
Setelah mengunci pintu, kukeluarkan ponsel dan menghubungi nomor Zhao Man.
Dering telepon berkali-kali sebelum akhirnya diangkat:
"Wei, Shisan..." Suara Zhao Man terdengar serak, kudeteksi getaran tangis dalam tiga kata itu.
Zhao Man sedang menangis.
“Kak Zhao, kamu sekarang di mana?” Aku menguji dengan bertanya.
“Aku... Aku sekarang sendirian di rumah, Shisan, ada perlu apa kamu menelepon?” Zhao Man membalas sambil tak kuasa menahan tangis tersedu-sedu di akhir kalimatnya.
“Kak Zhao, kenapa kamu menangis??” Tanyaku, dalam hati langsung terbayang alasan di balik isakannya yang mungkin berkaitan dengan bekas luka di wajahnya.
“Tidak, aku cuma sedikit flu.” Begitu Zhao Man mengucapkan itu, terdengar suara pria asing di balik telepon. Dengan cepat dia mengakhiri pembicaraan dan mematikan ponsel. Segera kuhubungi lagi, tapi sudah tak aktif...
Samar-samar kurasakan Zhao Man sepertinya sedang dalam masalah.
