"Shisan, kamu mau apa?!" Qiu Shasha meletakkan barang di tangannya, segera mendekati aku yang sedang turun dari kasur.
"Hati ini merasa sesak, ingin jalan-jalan sendirian." Kukenakan sepatu sambil berdiri dari kasur.
"Bagaimana kalau aku dan Kak Zhao menemanimu jalan-jalan?" Qiu Shasha bertanya dengan wajah khawatir.
Aku menggelengkan kepala:
"Sendiri saja, sebentar juga kembali. Ngomong-ngomong, mana si pria gemuk itu? Baik-baik saja?" Kuperhatikan kamar pasien kosong, lalu bertanya pada Qiu Shasha dan Zhao Man.
"Saat aku dan Kak Zhao turun tadi, dia masih di rumah. Sekarang malah hilang. Mungkin ke toilet," jawab Qiu Shasha.
"Lalu, apakah kemarin malam kalian yang menghancurkan perangkap fengshui itu?" Tatapku beralih antara Qiu Shasha dan Zhao Man.
Qiu Shasha menggeleng:
“Tidak rusak, tidak tahu karena alasan apa, sejak Kakak Rushuang dan hantu laki-laki bernama Tang Yanlan pergi, feng shui Situasi Mati itu hancur dengan sendirinya. Xia Linxuan juga sudah lama kabur dan menghilang. Hal ini sama sekali tidak kumengerti alasan apa, apa tujuan mereka kali ini, mengapa hantu yin Tang Yanlan bersama Xia Linxuan. Semua ini adalah pertanyaan yang tidak bisa kami pahami. Seluruh kejadian ini sangat aneh, banyak kejanggalan.”
Aku mengangguk, dalam hati juga mengerti perkataan Qiu Shasha. Tapi sekarang aku malas berpikir, tak ingin mempertimbangkan apapun. Hanya ingin jalan-jalan sendirian di luar.
Berjalan menuju keluar kamar pasien, saat melewati sisi Qiu Shasha, dia sepertinya hendak berbicara lagi. Zhao Man yang berdiri di sampingnya mencegahnya.
Benar, saat ini aku sangat butuh menyendiri. Zhao Man sangat memahami hal ini, sehingga mencegah Qiu Shasha. Bahkan untuk berjalan pun aku tak punya tenaga. Keluar kamar sendirian, aku menyusuri koridor masuk ke lift.
Turun dari rumah sakit, aku berjalan lesu di jalanan yang ramai. Sejak Rushuang pergi, aku merasa seperti sudah mati. Meski masih hidup, menjadi mayat hidup yang berjalan.
Perasaanku terhadapnya terlalu dalam, tapi aku juga sadar bahwa perasaan dia terhadap Tang Yanlan pasti jauh melebihi milikku. Tapi sungguh, hatiku sakit, tidak rela, bahkan sedikit membenci Tang Yanlan.
Tapi aku tidak menyalahkan siapapun. Jika harus disalahkan, salahkanlah keberuntungan dunia yang membuat Rushuang salah menemukan orang, juga salah mencintai.
……
Dengan perasaan demikian, aku berjalan tanpa tujuan di jalanan yang tidak terlalu ramai ini. Di dalam hati, bayangan demi bayangan saat bersama Rushuang terus bermunculan. Baru sekarang aku menyadari dengan jelas: Aku sudah tidak bisa lepas darinya, tapi terpaksa harus meninggalkannya. Hal paling menyedihkan dan memilukan di dunia ini adalah...
Aku mencintainya, tapi tidak bisa bersamanya.
Saat terus melangkah, tiba-tiba kulihat sesosok kakek peramal yang membuka lapak di pinggir jalan. Melihatku sendirian, dia langsung berdiri dari tempat duduknya dan melambai: "Hei, pemuda! Mau meramal? Kulihat alismu bersinar, tulang pipi berisi - pasti pembawa keberuntungan besar. Tapi ada aura kesulitan sementara di dahimu, namun cahaya pertolongan sudah menyebar di lautan giok. Ayo, berikan bazi-mu, biar kuperiksa sekilas."
Aku terhenti langkah seolah digerakkan kekuatan tak kasat mata. Kutatap si kakek: "Lao Xiansheng, bisakah Tuan meramalkan jodoh?" Meski hatiku sudah mati, tetap saja ingin mendengar perkataannya - sekalipun itu hanya kebohongan yang menghibur.
"Ada harapan," kakek tua itu langsung bangkit dari bangkunya sambil berkata padaku, "Mari kita mulai, nak. Tolong tunjukkan tangan kirimu dulu."
Aku mengulurkan tangan kiri. Si kakek buru-buru mengeluarkan kacamata baca dari sakunya, mengenakannya lalu memegang tanganku dengan serius. Gayanya persis seperti seorang "ahli" sejati.
Tanpa sepatah kata pun, matanya menatap telapak tanganku lama sekali sebelum akhirnya melepaskan genggamannya. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat agar aku menarik kembali tangan.
"Bagaimana, Tuan?" tanyaku sambil menatapnya.
Kakek itu menunduk, jemarinya berhitung cepat. "Garis pernikahan di telapak tanganmu bagus," ujarnya sambil tersenyum, "Garisnya dalam dan halus, ujungnya bercabang seperti bulu merak. Ini pertanda kamu punya banyak kesempatan cinta. Tahun ini pasti dapat jodoh, paling lambat musim gugur..."
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Meski tahu ini cuma tipuan, hatiku sedikit terhibur. "Berapa tarifnya? Aku bayar sekarang."
"Dua puluh yuan. Kalau mau lanjut hitung karir, Lima Unsur, bazi, atau takdir, tambah sepuluh lagi," jawabnya ramah.
Aku menggeleng, mengeluarkan uang dua puluh yuan dari saku. Uang itu kuserahkan sebelum berbalik pergi.
Angin malam menyapu wajahku, tapi dingin tak kurasakan. Tatapanku melayang ke para pejalan kaki yang sepi. Rindu pada Rushuang semakin menjadi.
Aku tahu saat ini aku hanya tenggelam dalam perasaan dengan Rushuang yang tak bisa ku lepaskan, dan tak mau melepaskannya. Dengan tafsiran garis tangan dari kakek peramal tadi sebagai dalih, aku terus membius diri, berkhayal tentang mukjizat dimana sepasang kekasih akhirnya bersatu akan turun padaku.
Tapi aku sangat sadar, mukjizat takkan pernah datang untuk kedua kalinya. Jalan hidup ini harus tetap kulalui, namun tanpa ditemani Rushuang.
Sekarang dia bersama Tang Yanlan, pasti ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan? Pasti ada. Seperti pertemuan kembali antara aku dan Rushuang setelah berpisah...
Tiba-tiba saat ini aku ingin minum, ingin mabuk, ingin membius diri dengan alkohol. Agar tak lagi memikirkan semua itu, agar bisa melupakan segalanya.
Di hutan beton ini, tak ada kisah Putri Salju dan Pangeran. Dongeng tetaplah dongeng, takkan pernah menjadi nyata. Tapi aku hidup dalam realita. Ritme hidup yang cepat, bayangan-bayangan yang tergesa, tatapan mati, senyum palsu – aku sedang terasimilasi...
Aku masuk ke sebuah toko, membeli beberapa kaleng bir. Duduk di tanah lapang dekat situ, menatap lalu-lalang kendaraan di jalan sambil meneguk bir sendirian.
"Semakin aku minum, semakin sakit hatiku. Siapa dasar yang bilang minum bisa menghilangkan kesedihan?!" Setiap kali teringat punggung An Rushuang yang berbalik dan pergi bersama Tang Yanlan, rasanya hatiku mau meledak. Setelah minum terus, akhirnya aku muntah karena tak tahan.
Sekarang aku mengerti satu hal: Ketika penderitaan melebihi batas kemampuan manusia, orang akan kolaps...
Bangkit dari tanah, aku melempar kaleng minuman ke tanah dengan geram. Menengadah ke langit dan berteriak sekencang-kencangnya.
Sekarang sama sekali tidak ada saluran untuk meluapkan rasa sakit karena kepergian Rushuang. Setiap kali teringat kata-katanya padaku, rasanya seperti mati!
"Aaaah~!!!" Sekali lagi kuangkat kepala dan berteriak. Kukonsentrasikan energi Yang ke telapak kaki, lalu melesat secepat mungkin ke satu arah. Kupacu kecepatan sampai maksimal - saat ini harus melampiaskan amarah, atau benar-benar akan gila.
Tanya pada dunia: Apa itu cinta? Hingga membuat manusia bersumpah hidup dan mati bersama. Waktu kecil sama sekali tak percaya kalimat ini, tapi sekarang benar-benar memahami maknanya.
Berlari tanpa peduli nyawa. Tak tahu sudah berapa lama, sampai energi Yang dan stamina di tubuhku habis total, barulah berhenti. Kusedari sudah lari keluar kota, sampai ke pedesaan selatan Dongdian.
Dengan tubuh bergoyang-goyang, kududuk di tanah yang dipenuhi rumput liar. Tapi hati ini tetap tidak bisa tenang.
“An Rushuang! Aku mencintaimu!!!” Aku menengadahkan kepala, berteriak sekuat tenaga ke langit, melontarkan kata-kata yang selama ini terpendam di hati. Saat itu, air mataku tak bisa lagi ditahan, mengalir deras. Kuusahkan kepala lebih tinggi lagi agar air mata di sudut mata tak terus jatuh, tapi rasa sakit yang mencekam merasuk ke seluruh relung hati. Aku tak lagi punya kekuatan untuk mencintai Rushuang, bahkan untuk sekadar memikirkannya pun tak kuberani.
Kupikir aku akan selalu ingat seumur hidup siluetnya yang pergi bersama Tang Yanlan. Kututup mata, menyatukan kedua tangan, berbisik pelan: "Rushuang, kudoakan kebahagiaan untukmu..." Air mata akhirnya tak tertahan lagi, menetes deras...
Yang meresap ke tanah bersama lumpur bukan hanya air mata, tapi juga jiwaku.
Aku merindukannya, mencintainya, tapi tak bisa kuungkapkan.
Hehe... Mungkin semua ini sudah takdir. Zuo Shisan mana berhak memiliki wanita sempurna seperti Rushuang sebagai istri? Dia telah menemaniku sepuluh tahun, sudah seharusnya aku bersyukur.
Sudah seharusnya bersyukur...
