“Rushuang, aku sama sekali tidak akan menikahi wanita lain. Hanya dirimu yang ada di hatiku, tidak ada tempat untuk orang lain.” Kataku tegas pada Rushuang di dalam giok liontin.
“Shisan, dengarkan dulu. Aku tahu kau sangat mencintaiku, aku juga sangat mencintaimu. Aku benar-benar berharap bisa terlahir kembali sebagai manusia dan bersamamu seumur hidup. Tapi... meski aku bisa memberimu cinta, aku tidak bisa memberimu sebuah keluarga. Bagaimana mungkin manusia hidup tanpa keluarga?...” Suara Rushuang semakin tersekat di akhir kalimat.
“Aku... tidak menginginkan keluarga. Hanya menginginkanmu.” Kataku.
“Kamu punya keluarga, aku juga tidak akan meninggalkanmu, ini tidak bertentangan.” Rushuang berkata padaku.
“Sudah Rushuang, kamu tak perlu bicara lagi. Aku pasti tidak akan menikahi wanita lain, dan sama sekali tidak akan menyukai wanita lain. Zaman kita sekarang berbeda dengan zaman kalian dulu, satu suami satu istri, cinta juga hanya bisa menerima dua orang. Jika mencintai seseorang bahkan tidak bisa belajar kesetiaan dasar dan pengorbanan, maka tidak pantas mengucapkan tiga kata bercahaya 'Aku mencintaimu'. Jadi, Rushuang, aku mencintaimu, setidaknya aku bisa menjamin akan terus mencintaimu sampai aku mati!” Aku berkata serius pada Rushuang. Kata-kata ini selalu terpendam di hatiku tanpa kesempatan mengatakannya, dan hari ini aku gunakan kesempatan ini untuk menyampaikan semuanya pada Rushuang.
Kudengar suara Rushuang di dalam liontin giok terisak pelan, dia perlahan berkata padaku: “Zuo Shisan, bisa menjadi istrimu adalah kehormatan terbesar dalam sepuluh kehidupan.”
“Goblog, Shixiong, cukup sudah... norak sekali! Ternyata kemampuanmu merayu jauh melebihi aku! Sekarang aku mengerti kenapa Istri Rushuang yang cantik jelita ini mau memilih kadal tanah sepertimu?! Rupanya dewi menikahi babi hutan, semua karena mulut manis! Hu Pangzi sungguh salut, benar-benar salut!!” Pria gemuk itu menoleh sambil berkata padaku.
“Pangzi cepat minggir! Siapa yang kau sebut kadal tanah? Siapa babi hutan?! Percaya tidak kalau kutelekan kakimu sampai keluar mobil?” Teriakku pada pria gemuk itu.
"Kalian berdua jangan bertengkar! Bikin kesal!!!" Qiu Shasha yang selama ini diam di kursi penumpang depan tiba-tiba meledak. Ia berteriak kepada kami berdua, memotong percakapanku dengan si pria gemuk. Matanya memerah sebelum cepat-cepat memalingkan kepala ke sisi lain, mati-matian menahan air mata agar tidak jatuh...
Kulihat Qiu Shasha sedang sangat sedih saat ini, seolah mengalami ketidakadilan yang luar biasa. Bahkan tubuh rentannya gemetar halus karena terus berusaha menahan tangis.
Perubahan sikap mendadak Qiu Shasha ini membuatku dan si gemuk saling pandang bingung. Kami sama sekali tidak tahu bagaimana membuat sang putri marah, benar-benar kehilangan akal.
"Qiu... Qiu Shasha, ada apa?" Tanyaku hati-hati sambil menatap punggungnya yang masih membelakangi.
Qiu Shasha tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala diam-diam. Tiba-tiba si pengemudi gemuk berteriak, "Goblog, Shixiong! Lihat depan, jalannya buntu!!" Sambil menginjak rem keras-keras, mobil pun berhenti mendadak.
Mendengar teriakan itu, kulemparkan pandangan ke depan. Di bawah sorot lampu mobil, terlihat jalan tanah bergelombang penuh lubang dalam yang menghadang.
Melihat kondisi itu, langsung kukenakan tas ransel dan membuka pintu mobil turun.
Pria gemuk juga turun dari mobil bersamaku, berjalan ke sampingku sambil memandangi jalan tanah di depan yang sama sekali tidak bisa dilalui mobil, lalu menggelengkan kepala: "Shixiong, kali ini benar-benar ada masalah. Tempat ini terpencil jauh dari desa maupun permukiman, bagaimana kalau kita menginap di mobil saja malam ini, besok kamu lanjutkan perjalanan sendiri?"
Kulihat permukaan tanah yang berbukit-bukit di depan, lalu bertanya pada pria gemuk: "Kau pikir ini sudah masuk area buta di peta elektronik?" Sebelum tiba di sini, kami sudah menyetir beberapa jam lamanya. Semakin jauh kami melaju, wilayah ini semakin tandus. Karena itulah kuduga ini adalah area buta yang dia maksud.
Pria gemuk mengangguk padaku:
"Benar. Kalau lanjut lagi, navigasi mobil dan peta di gawai kita sudah tidak menampilkan apapun. Aneh dasar, jalan ini jelas-jelas ada tapi tidak muncul di peta elektronik maupun GPS."
"Yang penting sudah sampai. Kau antar pulang Qiu Shasha dengan mobil, aku akan lanjutkan perjalanan sendirian." Alasan keputusanku untuk segera menerobos wilayah liar di malam hari adalah tiga kalimat yang diucapkan nenek tua pemberi peta padaku dulu:
"Janganlah berjalan di siang terang, berhati-hatilah jika melangkah di kegelapan, tiap sepuluh langkah menolehlah sekali." Meski belum masuk wilayah berbahaya, lebih baik waspada. Karena itu kupilih melanjutkan perjalanan malam ini.
"Shixiong, jangan terburu-buru begitu! Jalanan malam ini sulit dilalui. Tunggulah sampai subuh baru berangkat juga tidak terlambat." Pria gemuk mencoba membujukku.
"Sudah, pria gemuk, aku tidak akan banyak bicara lagi. Aku lihat tadi emosi Qiu Shasha kurang stabil, jaga dia baik-baik saat pulang. Aku pergi dulu, sampai jumpa!" Kataku sambil mengambil peta dari tangan pria gemuk itu, lalu mengumpulkan energi Yang di telapak kaki, melesat cepat ke depan dengan gerakan gesit.
Persis saat aku mulai melesat, tiba-tiba terdengar teriakan Qiu Shasha dari belakang. Karena saat melesat, desau angin memekakkan telinga, meski kudengar dia memanggilku, tapi tak kumaksudkan ucapannya.
Mungkin sekadar pesan agar berhati-hati. Memikirkan itu, tak kuhiraukan lagi. Kupercepat langkah melesat ke depan...
Meski jalan tanah berlubang ini sulit dilalui, untungnya daerah ini minim vegetasi. Asal hati-hati menghindari lubang tanah, kecepatan pergerakan tetap bisa terjaga.
Saat aku terus melesat ke depan, tiba-tiba kilatan cahaya putih menyilaukan mata. Seketika kulihat Rushuang terbang keluar dari liontin giok, melayang di hadapanku.
"Rushuang, kenapa kau keluar?" Kutahan gerakan melesatku, berhenti sambil menatapnya.
Rushuang tersenyum padaku: "Shisan, kuburung kau jalan sendirian di malam hari. Aku temani bicara dari liontin giok."
"Baik, ayo kita lanjutkan perjalanan." Kataku sambil kembali melesat, dengan Rushuang tetap melayang mengikuti dari belakang.
Sejak itu, aku dan Rushuang terus bergegas mengikuti arah yang tertera di peta dalam kegelapan malam.
Sepanjang jalan, kami mengobrol sambil berjalan. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, tiba-tiba aku merasakan kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Perlahan kusadari, diriku semakin bergantung pada Rushuang.
Keberadaannya telah menjadi kebiasaan dalam hidupku. Jika suatu hari ia benar-benar menghilang dari kehidupanku, aku sungguh tak tahu harus berbuat apa...
"Shisan, aku selalu ingin menanyakan sesuatu," kata Rushuang yang melayang di belakangku.
"Silakan tanya," jawabku.
"Mengapa kamu bersikeras berjalan di malam hari daripada beristirahat? Dengan tenaga yang cukup, kecepatan perjalanan akan lebih efisien," tanya Rushuang.
"Sebenarnya aku juga ingin berjalan di siang hari. Tapi nenek yang memberikanku peta itu pernah berpesan tiga hal: 'Janganlah berjalan di siang hari, berhati-hatilah jika berjalan malam, dan menolehlah sepuluh langkah sekali.' Meski kita belum sampai di Wilayah Liar, lebih baik berjaga-jaga," jelasku pada Rushuang.
"Begitu rupanya. Sebenarnya seperti apa Wilayah Liar itu? Mengapa harus berjalan di malam hari?" tanya Rushuang lagi.
“Aku juga ingin tahu, tapi begitu sampai di sana, kebenaran pasti akan terungkap di depan mata kita.” Sambil berkata, tanpa sengaja kakiku menginjak tepian lubang tanah di permukaan, tubuhku limbung terhuyung beberapa langkah, hampir saja terjatuh.
Rushuang di samping segera menyusul dan menopangku, bertanya dengan tatapan khawatir: "Shisan, kamu... Kakimu tidak terkilir kan?"
Kugelengkan kepala, hendak bilang padanya aku baik-baik saja. Tapi kata-kata itu mengganjal di kerongkongan saat tiba-tiba kulihat bayangan panjang pedang di kegelapan seberang.
Sebuah pedang yang melayang sendiri di udara!...
