Hanya saja, saat berhadapan dengannya, yang paling membuat jantungku berdebar adalah: benda apakah sebenarnya cahaya hijau yang dipancarkan dari tangannya itu? Jelas itu merupakan eksistensi di luar energi Yin dan Yang. Makanya ketika pedang itu mendekati kami sebelumnya, aku sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Ternyata saat mengendalikan pedang tersebut, orang itu tidak menggunakan energi Yang maupun Yin, sehingga aku tidak menyadarinya.
Sudahlah, untuk sementara tak perlu memikirkan hal-hal itu. Jika orang itu sama sekali tak menunjukkan belas kasihan padaku, aku pun tak perlu terus bersikap lunak. Setelah berpikir sampai di sini, aku segera mengeluarkan selembar Fu Yang dari tas ransel dan menempelkannya di dada, untuk meningkatkan energi Yang dalam tubuh. Bersamaan itu, mudra di tangan kiri segera kuganti menjadi bentuk kelima Lóng Hŭ Qī Shè Yìn, sementara mulutku mengucapkan mantra: "Shén miào huà lí tiān gǔ, jì zhào wú hūn chū biàn huí. Lóng Hŭ Qī Shè Yìn! Shè!!" Begitu mantra tingkat lima terucap, cahaya merah tiba-tiba memancar dari mudra tangan kiriku. Energi Yang yang terkandung dalam cahaya merah ini jauh lebih kuat dan murni dibanding sebelumnya.
Aku mengangkat kepala dan memandang ke arah orang itu. Baru sekarang aku bisa melihat jelas wajahnya. Dia adalah makhluk buruk rupa berwarna hitam legam, sama sekali tidak bisa disebut manusia. Kepalanya sangat besar, bola matanya hijau pekat, tanpa rambut dan alis. Mulutnya luar biasa lebar, seluruh kelima indera wajahnya berkerumun dalam satu tempat, menciptakan level keburukan yang sama sekali baru.
Kujamin hantu pun bisa setengah mati ketakutan melihatnya!
Untunglah jantungku kuat. Jika orang biasa, hanya dengan ketakutan saja bisa mati dibuatnya!
Kulitnya yang terbuka dari pakaiannya hitam seperti arang, itupun arang yang tak memantulkan cahaya. Pantas saja sebelumnya, saat bersembunyi dalam kegelapan, aku hanya mendengar suaranya tapi tak bisa menemukan wujudnya. Dengan kulit sehitam ini, mustahil terlihat saat bersembunyi di tempat gelap.
Orang itu melihat perubahan di tangan kiriku, wajah hitam legamnya berubah sedikit. Ia menatapku dan bertanya: "Kamu... nama ilmu Tao yang kau gunakan di tanganmu, apa namanya?!"
"Lóng Hŭ Qī Shè Yìn!" Aku berdiri tegak, menatap tajam "Arang Hitam" itu.
"Arang Hitam" terdiam sejenak mendengar nama yang kusebutkan, lalu menengadah dan berkata: "Tak pernah kudengar. Tapi aku tahu, kemurnian dan kekuatan energi Yang di tanganmu melebihi tingkat kultivasiku. Jadi... aku bukan lawanmu. Kamu menang, kamu boleh melanjutkan perjalanan." "Arang Hitam" itu menatapku.
Sesaat kupikir pendengaranku bermasalah. Tak kusangka bisa melewati aturan "Arang Hitam" dengan mudah. Dengan setengah percaya kutatap dia: "Kamu... kamu bilang apa tadi?!"
"Kubilang, aku bukan lawanmu. Kamu menang, silakan lewat." "Arang Hitam" itu berkata dengan ekspresi sangat serius.
"Aku boleh lewat sekarang?" Kukonfirmasi lagi.
"Kapan saja." "Arang Hitam" menggerakkan tangan kanannya. Pedang panjang yang melayang menghalangi jalan segera kembali ke genggamannya. Ia membungkuk sedikit dan memberi isyarat "silakan"...
"Shisan, jangan lengah. Waspada jebakan." Suara Rushuang tiba-tiba terdengar di telingaku saat ia terbang mendekat.
Kukanggukkan kepala pada Rushuang. Sebenarnya sejak awal aku pun tak percaya "Arang Hitam" akan membiarkan kami lewat begitu mudah. Kewaspadaanku tak pernah kendur sedetik pun.
"Tapi karena dia sudah secara lisan mengizinkan kita lewat, kalau aku tidak pergi sekarang, bukankah itu menyusahkan diri sendiri?! Sudahlah, mari kita pergi. Asalkan tetap waspada terhadap si 'arang' yang mungkin tiba-tiba menyerang, pasti aman."
Dalam hati, aku mengumpulkan energi Yang di kedua kaki lalu melesat cepat ke depan. Saat melewati si 'arang', sengaja kuperhatikan gerak-geriknya dengan pandangan samping.
Namun di luar dugaan, si 'arang' tetap berdiri di tempat mengamatiku tanpa bergerak sedikitpun, sama sekali tidak terlihat seperti akan menyergap.
Meski penasaran, aku tidak berlama-lama. Kupercepat laju lesatanku dan melompat gesit ke depan.
Setelah beberapa kali lompatan, kulihat ke belakang. Si 'arang' ternyata juga melompat ke arah berlawanan dan seketika menghilang dalam kelam malam...
"Rushuang, dia... dia benar-benar membiarkan kita lewat. Benar-benar di luar perkiraanku." Kataku sambil melepaskan Mudra Lóng Hŭ Qī Shè Yìn bentuk kelima dari tangan kiri, menyimpan kembali Pedang Pemotong Kegelapan ke dalam tas ransel, serta melepas Fu Yang dari dada dan membuangnya.
Rushuang tetap diam mengambang di udara sambil menatap ke belakang. Setelah memastikan si 'arang' benar-benar tidak mengejar, barulah ia menoleh padaku: "Ya, sepertinya kita berdua telah mengukur perut Junzi dengan hati orang hina."
“Ini bukan masalah orang hina atau tidak, seperti kata peribahasa 'kewaspadaan harus tetap dijaga', hanya karena watak manusia di dunia ini seperti anjing hutan, terlalu licik dan jahat!!” Aku berkata pada Rushuang.
“Shisan, jangan hanya sibuk bicara denganku, perhatikan peta baik-baik, jangan sampai tersesat. Di sini semua penampakan sekitar sama, sulit membedakan arah.” Rushuang mengingatkanku.
Mendengar perkataan Rushuang, aku mengangguk dan menghentikan langkah. Dari tas ransel kuambil senter kuat, lalu membandingkan peta dengan kompas di jam tangan dan bintang di langit malam. Setelah memastikan arah, aku segera melesat pergi ke sana...
Sepanjang perjalanan ditemani Rushuang, sama sekali tak terasa membosankan. Ia tak kembali ke dalam liontin giok, terus menemani ngobrol. Waktu pun berlalu tak terasa dalam obrolan dan perjalanan kami berdua...
“Shisan, lihatlah subuh hampir tiba. Aku tak bisa terus menemanimu di luar. Aku harus kembali ke liontin giok. Setelah subuh, carilah tempat aman untuk beristirahat, pulihkan tenaga. Nanti malam akan kutantemu lagi.” Ujar Rushuang sebelum berubah menjadi cahaya putih dan masuk ke dalam giok.
Aku menunduk memandang liontin giok di leherku: “Rushuang, tenang saja, pasti akan kuperhatikan istirahatku.” Lalu kuteruskan perjalanan sendirian, melesat maju ke depan.
Semakin jauh masuk, aku menyadari jalan di sini semakin sulit dilalui. Di area ini, rasanya seperti tanah kematian. Sejak masuk ke sini, aku tak pernah melihat makhluk hidup, bahkan sehelai rumput kuning kering pun tak terlihat.
Tempat ini bukan gurun, mengapa sama sekali tak ada vegetasi? Sejujurnya, aku belum pernah melihat tempat aneh seperti ini. Sambil melesat, aku meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi serangan mendadak dari makhluk apa pun di sekitar.
Setelah melesat beberapa li ke depan, langit perlahan terang. Saat mataku mulai beradaptasi, tiba-tiba aku menyadari medan sekitar telah berubah total. Tanah kekuningan berubah menjadi kemerahan pucat. Aku berjongkok, mengambil segenggam tanah dan mengendusnya - bau menyengat amis menusuk hidung.
Tekstur tanah di sini sangat lembut, berbeda dengan tanah biasa maupun gurun. Rasanya... seperti abu dupa.
Memandang hamparan tanah merah tak berujung ini, hatiku bertanya: Apakah ini... Wilayah Liar yang legendaris itu?!!
Sambil berpikir, aku mulai mengamati sekeliling dengan cermat. Tak jauh di depan, terlihat batu prasasti setinggi pinggang orang dewasa. Melihat itu, aku segera melompat mendekatinya.
Mendekati batu prasasti ini, terlihat dua baris karakter besar yang terukir berantakan di permukaannya. Aku mengamati dengan cermat tulisan pada batu tersebut, namun sama sekali tidak mengenali satu huruf pun. Goresan-goresan ini terlihat sangat seram, seolah bukan bagian dari sistem penulisan yang pernah tercatat dalam sejarah China, atau mungkin memang bukan huruf sama sekali.
Ketika aku masih asyik memeriksa batu prasasti itu, tiba-tiba langit mulai berubah suram kembali. Angin dingin berhembus menyapu wajahku bergelombang-gelombang.
Aku menengadah ke depan, namun langsung terkejut sangat oleh pemandangan yang tersaji di depan mataku!!!
