Meski suara "Kuncir Kecil" tadi tidak keras, sebagai orang yang baru saja menyatukan Po kedelapan, aku mendengarnya jelas. Kusedikit tersenyum dan geleng kepala, tak ingin terlibat. Kucari sudut gua yang relatif bersih, duduk bersila, lalu memulai latihan "Energi Zhen Wuji".
Saat ini, setiap kali aku punya waktu, aku akan mulai melatih "Energi Zhen Wuji". Karena aku ingin segera mencapai terobosan ke metode ketiga, serta jurus terakhir dari Lóng Hŭ Qī Shè Yìn. Semua ini adalah hal-hal yang selalu ingin kupahami, namun hingga kini belum juga kumengerti.
Tentu saja, aku tahu semua ini harus dilakukan selangkah demi selangkah. Terburu-buru tidak ada gunanya, jadi aku harus menenangkan pikiran, mengumpulkan qi, dan mulai serius berlatih "Energi Zhen Wuji"...
Begitu mulai berlatih, waktu pun berlalu tanpa kusadari. Tidak tahu berapa lama telah berlalu, tiba-tiba kudengar ada yang mendekat ke arahku. Segera kukumpulkan energi zhen-ku ke Dantian, lalu perlahan kubuka mata dan memandang ke depan.
Orang yang mendekatiku tak lain adalah Kak Cuichun. Ia berjongkok di sampingku sambil tersenyum bertanya: "Hei pemuda, latihan apa yang kamu lakukan sambil duduk bersila ini? Sudah beberapa jam kulihat kamu diam seperti patung di sini. Tidak enak mengganggu. Sekarang hari hampir gelap, kita harus segera berangkat dari gua ini. Siap-siap ya."
Aku mengangguk lalu bangkit dari tanah. Setelah meregangkan tubuh, kulihat beberapa orang di sekitar api unggun dan bertanya pada Cuichun: "Kak Cui, apakah kalian berlima ini pedagang batu giok?"
Cuichun menggelengkan kepala mendengar pertanyaanku:
"Pedagang apa? Kami cuma orang biasa yang nekat cari batu giok di tanah kosong ini untuk menghidupi diri. Di jaman sekarang, tidak semua orang punya modal buat berbisnis."
“Kalau begitu pekerjaan kalian pasti sangat menguntungkan, sampai berani mengambil risiko nyawa datang ke tempat ini.” Aku menatap Cui Chun sambil berkata.
“Lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan... Eh ngomong-ngomong pemuda, dari mana kamu tahu ada batu giok di Wilayah Liar ini?” Cui Chun bertanya padaku.
Setelah mendengar pertanyaannya, aku tahu harus mulai mengarang cerita lagi...
Setelah berhasil mengelabui Cui Chun dengan berbagai kebohongan, kulihat orang-orang di depan mulai membereskan barang-barang. Sepertinya mereka bersiap untuk berangkat meninggalkan gua.
Aku segera menggendong tas ranselku, berencana untuk terus menyusuri Wilayah Liar sendirian setelah keluar dari gua. Rombongan ini membuatku jengah, jadi setelah melewati siang hari di dalam gua, aku berniat berpisah dengan mereka.
Saat hendak keluar dari gua, tiba-tiba kudengar teriakan panik dari orang-orang di depan:
“Goblog! Kak Guo, cepat lihat ini... benda apa yang ada di bawah sini?!?”
“Kak Chun, jangan diam di situ! Cepat kesini, kita harus segera pergi!!!” Gadis itu berteriak ke arahku dan Cui Chun. Kurasakan getar ketakutan dalam suaranya. Apa yang muncul tiba-tiba di gua ini sampai membuat mereka ketakutan seperti itu?
Sambil berpikir, aku bersama Cui Chun segera berlari cepat ke arah mereka.
Ketika sampai di dekat mereka, mataku mengikuti arah pandangan mereka. Begitu melihat apa yang mereka tonton, napasku langsung tertahan!
"Di bawah dinding gua ini terdapat lubang dalam kurang dari setengah meter, di dalamnya bergeliat tak terhitung cacing merah seperti mi. Mereka bahkan mengeluarkan suara aneh "cicit-cicit...".
Rombongan cacing merah yang terus menggeliat itu terlihat lebih mengerikan di bawah sorotan senter. Seluruh pemandangan membuat bulu kudukku berdiri, sangat menjijikkan dan mistis.
"Goblog~!! Aku punya fobia kerumunan!" Saat melihat tumpukan cacing merah itu, "Kunciran" mengumpat sambil menutup mulut dan berbalik memuntahkan sesuatu...
"Jangan diliat-liat! Alihkan senter dan cepat pergi dari sini, beneran jijik!" Kapten Guo menggerutu melihat cacing-cacing itu siap membawa pergi rombongan.
Tapi di saat genting ini, gadis yang jarang bicara itu tiba-tiba melangkah kaku ke arah pria berjanggut di sampingnya.
Dengan jelas kulihat, di tangan gadis itu kini muncul pisau belati berkilauan!
Saat aku bingung, tiba-tiba gadis itu mengangkat lengannya dan menghunjamkan pisau ke punggung pria berjanggut itu.
"Hati-hati!!" Teriakku sambil mengumpulkan energi Yang di kaki dan melesat ke sana. Tepat sebelum pisau itu mengenai, kupukul tangan gadis itu hingga pisau jatuh ke tanah.
Dengan suara pisau belati yang jatuh ke tanah, si berjanggut langsung menoleh ke belakang. Ketika melihat pisau itu tergeletak di tanah dan gadis yang berdiri di belakangnya dengan tatapan kosong, dia mengaum keras, "Feng Er, dasar kau gila?! Barusan mau menusukku dengan pisau??!"
Tapi gadis bernama Feng Er itu seolah tak mendengar teriakan si berjanggut. Masih dengan tatapan hampa, dia berdiri kaku sambil memandangi si berjanggut tanpa sepatah kata pun.
Menyaksikan perubahan drastis Feng Er yang tiba-tiba jadi seram, aku mulai merasa ada yang tak beres. Segera kukumpulkan energi Yang di kedua mata, lalu kupandangi tubuh Feng Er dengan seksama.
Seketika itu juga kulihat sesuatu. Tepat di bawah lehernya, di punggungnya, ada seekor serangga merah. Meski tipis seperti mie, panjangnya mencapai lebih dari setengah meter!
Tanpa buang waktu, kuhampiri Feng Er dari belakang. Dengan tangan kiri yang masih mengenakan Sarung Tangan Xuan Yin, kuraih langsung serangga yang bersembunyi di punggungnya itu.
"Ngapain kau?! Goblog nenekmu! Berani-beraninya kau meraba-raba!!" Si berjanggut di seberang mengumpat keras melihat tanganku masuk ke dalam baju Feng Er. Dengan wajah geram, dia mulai berlari menghampiri siap menyerang.
"Cui Chun yang di samping melihat ini, segera berlari menghampiri dan menghentikannya. Sementara itu, aku menarik seekor serangga merah sepanjang setengah meter yang masih menggeliat di tanganku dari belakang leher Feng'er, lalu memperlihatkannya di hadapan semua orang.
Bersamaan dengan itu, tubuh Feng'er limbung beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya bisa berdiri mantap. Ia menggelengkan kepala, wajah penuh kebingungan memandangi orang-orang: "Kalian... kalian ngapain di sini? Kenapa belum pergi?"
"Dasar sialan, ternyata ulah si serangga ini!" Si berjanggut tebal itu melompat mendekat begitu melihat serangga merah di tanganku. Tangannya menyambar dan merebut serangga itu dariku, lalu melemparkannya dengan kasar ke tanah. Sambil meludah dan memaki-maki, kakinya tak henti menginjak-injak tubuh serangga itu sekuat tenaga.
"Kak Cui Chun, tadi aku merasa seperti tertidur lelap. Ini sebenarnya apa yang terjadi?" Feng'er menoleh memandangi Cui Chun dengan tatapan bertanya.
Cui Chun pun menceritakan secara singkat kejadian yang baru saja terjadi. Setelah mendengar penjelasannya, wajah Feng'er langsung pucat pasi. Ia menunduk memandangi serangga yang sudah hancur lebur diinjak-injak si berjanggut: "Aku... tadi aku benar-benar dikendalikan oleh serangga ini?!"
"Iya. Kalau bukan karena bantuan anak muda itu, sampai sekarang kita tidak akan tahu apa yang terjadi padamu!" Cui Chun mengangguk membenarkan sambil menunjuk ke arahku.
"Aneh sekali, dulu kita tinggal di gua ini juga nggak pernah nemuin serangga-serangga kacangan kayak gini!" "Si Kuncir" di samping sambil melihat serangga-serangga di lubang dalam yang masih mengeluarkan suara "cit...cit...cit..." berkata.
"Sudah, kalian jangan berdiskusi di sini dulu. Keluar dari gua baru bicara." Kapten Guo sambil berkata lalu mengajak kami bergegas keluar dari gua.
Setelah semua orang keluar dari gua, tiba-tiba kami melihat bayangan hitam di seberang yang tidak jauh - sosok seperti orang sedang duduk di atas batu...
Kok bisa ada orang duduk di situ malam-malam?!
Melihat bayangan hitam itu, Kapten Guo bersama Si Kumis dan Si Kuncir segera menghunus pisau pendek dari pinggang mereka. Mereka saling memberi kode mata lalu perlahan mendekati sosok seram itu...
