Aku melihat tiga pria itu berjalan mendekati sosok di atas batu. Segera kukumpulkan energi Yang dan kutatap tajam bayangan hitam itu.
Hasilnya tetap di luar dugaanku. Sosok yang membelakangi kami ini sama sekali tidak memiliki energi Yang orang hidup, juga tidak ada energi Yin hantu. Persis seperti "Si Arang" penjaga pintu masuk wilayah liar yang pernah kutemui dulu! Mereka seolah bukan berasal dari dunia Yin-Yang! Ja...jangan-jangan orang di depan kita ini juga datang dari dunia ketiga:
Kujie!!!
Di hati, aku berpikir sampai di sini, langsung tahu bahaya, segera berteriak ke arah tiga pria yang terus mendekati sosok bayangan hitam itu: "Hei! Kalian bertiga jika tak mau mati sia-sia, jangan dulu mendekat! Orang itu agak tidak normal!!"
Baru saja aku selesai bicara, pria berkuncir kecil di antara mereka menoleh dan memakiku: "Bajingan!! Dasar kau mengutuk siapa?! Nanti kuhajar kau!"
Pria berjanggut di samping "Si Kuncir" juga menatapku sambil mengaum, meneriaki di tengah angin: "Kau jangan macam-macam, dasar! Kami tak tahu orang ini tidak normal?! Siapa orang normal yang duduk di Tanah Kosong tengah malam begini?!" Pria berjanggut itu melanjutkan jalan, memimpin dari depan.
Melihat ini, aku menggeleng pasrah, tak lagi menghiraukan mereka. Benarlah nasihat baik tak bisa menyelamatkan hantu yang pantas mati. Jika mereka ingin mati, kukabulkan. Lagipula ketiganya sejak tadi terus memakiku, jadi tak ada niat menyelamatkan. Pesan sudah kusampaikan, mau dengar atau tidak terserah mereka.
Nyawa kan memang milik mereka sendiri.
Tapi tepat saat aku berdiri diam menyaksikan ketiganya membawa pisau pendek mendekati sosok itu, Rushuang di dalam liontin giok tiba-tiba bersuara: "Shisan, cepat bantu mereka! Nanti mereka semua mati."
Setelah mendengar perkataan Rushuang, aku menggelengkan kepala dalam hati. Rushuang pada akhirnya adalah seorang wanita. Selama masih seorang wanita, hatinya tidak akan terlalu keras. Kebaikan memang merupakan kelebihan yang baik pada diri seorang wanita, tetapi di saat-saat tertentu, terhadap beberapa orang, hal itu tidak bisa digunakan.
Namun aku tetap mengumpulkan energi Yang di seluruh tubuhku, bergegas mengejar ketiga orang di depan, dan mengikuti mereka dari belakang sambil berjalan mendekati sosok bayangan yang duduk di tanah itu...
Alasan aku ingin menyelamatkan mereka bukan karena kebaikan hatiku yang tiba-tiba meluap, melainkan karena aku teringat untuk memanfaatkan ketiga orang itu sebagai perlindungan sekaligus ingin menyelidiki latar belakang sosok bayangan di depan.
Saat kami mendekat, dengan bantuan cahaya senter yang dipegang ketiga orang itu, akhirnya aku bisa melihat dengan jelas orang yang terus duduk di tanah ini.
Dia adalah seorang pria, lebih tepatnya seorang biksu laki-laki, karena kepalanya tidak berambut. Namun yang membuat bulu kudukku merinding adalah, meski tidak berambut, di tangan putihnya yang seperti bawang perak terdapat sebuah sisir kayu yang indah. Saat ini, biksu pria itu membelakangi kami berempat, menyisir kepalanya perlahan dengan sisir kayu itu sekali demi sekali.
Menyisir kepalanya yang botak tanpa sehelai rambut pun...
Cahaya senter menyinari kepalanya yang botak seperti bohlam lampu, bahkan memantulkan cahaya. Pantulan cahaya itu menyilaukan mata kami... Adegan seram dan kehadiran orang ini dalam sorotan senter semua orang membuat ketiga orang di depanku ketakutan, membeku di tempat.
Sedangkan aku berdiri di belakang mereka, perlahan mengumpulkan energi Yang dalam tubuhku ke kedua tangan, bersiap untuk menyerang kapan saja.
Yang pertama bereaksi adalah Si Janggut. Melihat biksu yang sedang menyisir rambut dengan sisir kayu di tangan, dia mengumpat keras: "Goblog! Dasar biksu gila sok misterius!! Tengah malam bawa sisir rusak nakut-nakuti siapa?!!" Sambil terus memaki, Si Janggut mengangkat kaki kanannya dan menendang kencang punggung biksu itu.
"Braak!!" Tendangan Si Janggut mendarat keras di punggung biksu yang sedang menyisir itu.
Biksu itu tetap duduk tak bergerak sama sekali, tangan masih menyisir pelan-pelan kepalanya yang botak mengkilap... Sebaliknya Si Janggut justru menarik napas tajam saat kakinya mengenai punggung biksu, langsung menarik kembali kakinya sambil memeluk erat betisnya dan menjerit kesakitan.
"Sialan! Dasar manusia sialan badannya keras kayak mobil lapis baja! Aku tebas lehermu dasar binatang!!" Si Janggut menggeram lalu mengayunkan pisau pendeknya ke leher biksu penyisir itu dengan sekuat tenaga.
"Setelah melihat aksi si berjanggut ini, hatiku langsung membeku separuh. Orang ini sangat kejam, tusukan pisaunya langsung mengincar titik vital biksu tanpa meninggalkan secercah celah. Jika biksu itu manusia biasa, pasti akan tewas seketika di tangan si berjanggut. Ternyata mereka sama sekali bukan penambang giok profesional, kemungkinan besar ini adalah sekelompok buronan."
"Bersamaan dengan serangan si berjanggut, biksu yang selama ini duduk di batu depan tiba-tiba melayang ke udara, melesat keluar dengan cepat lalu mendarat mantap di depan kami sekitar empat lima meter. Kedua telapak kakinya berpijak kokoh di tanah."
"Hehehehe, sebagai biksu seharusnya hamba membawa welas asih. Cukup mengambil nyawamu dan membiarkan hun dan po-mu pergi. Tapi kalian berulang kali menyerangku duluan! Malam ini jangan salahkan hamba yang tak berbelas kasih!!" Biksu itu berbicara dengan suara dingin sambil perlahan memutar tubuhnya ke arah kami.
"Sosok biksu berwajah tegas muncul di hadapan kami. Ia tersenyum sambil melangkah mendekat. Dari belakang ketiga orang itu kuperhatikan matanya - terpancar aura negatif dan hasrat, jenis kerinduan yang hanya muncul saat seseorang hampir mendapatkan yang diidamkannya..."
"Kamu... sebenarnya siapa?!" Kapten Guo akhirnya bertanya. Saat ini ketiganya sudah menyadari keanehan biksu ini, bahkan suara mereka gemetar saat bicara. Tubuh mereka bergetar tak terkendali."
Sementara itu, tangan kiri aku dengan cepat membentuk mudra Lóng Hŭ Qī Shè Yìn keempat, bersiap membacakan mantra begitu biksu itu masuk dalam jangkauan seranganku.
"A...Aku peringatkan, kalau sampai bertaruh nyawa, kami tidak takut! Coba kau melangkah lagi ke depan!!" Si Janggut Panjang melangkah ke depan sambil menyilangkan pisau pendek di dadanya.
Biksu itu benar-benar berhenti di tempat setelah mendengar ancaman Si Janggut Panjang, tidak melangkah lagi.
"Dasar kenapa tidak mendekat?! Tadi bukan sok jago?! Bukan mau mengambil nyawa kami?! Apa? Takut?!!" Si Janggut Panjang semakin arogan melihat biksu itu termakan gertakannya.
"Hehehehe, rupanya kau salah paham. Bukan takut, tapi ingin kalian melihat penampilanku yang gagah berambut sebelum mati..." Biksu itu tersenyum sinis ke arah kami.
Begitu ucapannya habis, suara "cit...cit..." muncul dari tubuhnya. Kulihat sesuatu menggeliat-geliat di balik jubahnya.
Suara "cit-cit" semakin keras. Seekor serangga merah darah seperti mi tiba-tiba menyembul dari kerah jubahnya, merayap naik ke kepala gundulnya!
Pada saat yang sama, cacing-cacing merah kedua, ketiga... tak terhitung banyaknya menyembur keluar dari kerah jubah biksu itu, semua merayap naik ke atas kepalanya.
Setelah sampai di puncak kepala, satu per satu serangga itu menusukkan mulut runcing mereka ke dalam tengkoraknya, seolah menghisap daging dan otaknya. Tapi justru karena ini, seluruh tubuh merah mereka mengalir ke belakang melalui kepalanya. Seketika, kepala biksu yang dipenuhi serangga itu terlihat seperti memiliki rambut merah yang lebat...
"Hahaha... Bagaimana? Kalau kubilang jujur, waktu masih berambut, aku tampan kan??" Biksu itu menatap kami sambil tertawa terbahak.
Di depanku, ketiga orang itu entah kehilangan roh karena ketakutan atau menjadi gila, berdiri kaku seperti patung tanpa sepatah kata pun.
Tiba-tiba kcium bau pesing. Melihat ke bawah, dua dari tiga orang di depan ternyata mengompol ketakutan...
