Setelah bibirku menyentuh bibir Rushuang, sensasi lembut terasa. Bibirnya yang lembap dan manis membuatku merasakan gemetar halus di tubuh Rushuang yang kudekap. Tangannya yang terletak di dadaku mencoba mendorong perlahan, namun kekuatan tolakannya semakin melemah seiring intensitas ciumanku...
Tenggelam dalam momen ini, seolah dunia hanya milik kami berdua. Waktu pun terasa melambat. Perasaan asing yang belum pernah kurasakan sebelumnya menyebar ke seluruh tubuhku bagai tersetrum listrik.
Saat mengecap manisnya bibir Rushuang, aroma harum bunga osmanthus dari tubuhnya menyelinap di hidungku. Aku yang biasanya bisa mengendalikan diri, kini merasa setiap saat bisa kehilangan kendali.
Aku refleks merangkul Rushuang di pelukan lebih erat, lidahku menyelinap di antara bibir dan giginya lalu perlahan masuk lebih dalam, terus-menerus bergeliat.
Aku mencintainya, aku ingin menciumnya. Niat ini sudah ada sejak aku pertama memahami cinta hingga sekarang tak pernah terputus, lebih mirip keterikatan duniawi.
Jika seseorang terlalu lama terjebak dalam emosi tertentu, simpul perasaan ini akan punya wujud fisik dan mengikatnya erat-erat.
Tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, seolah seluruh dunia berhenti. Rushuang yang sedang berada dalam pelukanku perlahan mendorongku dengan kedua tangannya, lalu menundukkan kepala, pipinya memerah sambil protes dengan suara kecil, "Shisan, kamu... kamu bertingkah jahat, berani-beraninya di depan orang lain... Bagaimana aku bisa tidak malu nanti..."
Setelah mendengar ucapan Rushuang, barulah aku tersadar. Tadi karena emosiku yang terlalu bergejolak, sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran pria gemuk dan Qiu Shasha di sebelah kami, langsung memeluk Rushuang dan menciumnya. Jadi aku juga mengabaikan perasaannya.
Meskipun Rushuang telah menemani selama hampir sepuluh tahun, pola pikir dan prinsipnya masih konservatif seperti zaman dulu. Jadi tindakanku menciumnya di depan umum membuatnya sangat malu dan marah.
Memikirkan hal itu, segera aku meminta maaf dan menjelaskan pada Rushuang, "Rushuang, ma... maafkan aku. Tadi aku terlalu impulsif. Utamanya karena melihatmu berhasil dilahirkan kembali sebagai manusia, hatiku terlalu bergelora dan bahagia. Jadi aku tak bisa mengontrol diri..."
"Shixiong, cepatlah berhenti berbohong! Kalau mau mencium ya ngomong langsung. Alasanmu terlalu banyak: impulsif, emosi, tidak bisa kontrol diri. Tidak tulus!" Pria gemuk di samping memotong pembicaraanku.
Wajah Rushuang semakin merah mendengar ucapan pria gemuk. Sementara Qiu Shasha yang berdiri di sebelah langsung menarik tangan pria gemuk dan membawanya pergi.
"Setelah melihat Qiu Shasha menarik pria gemuk menjauh, aku menatap Rushuang yang berdiri di hadapanku dan bertanya: 'Rushuang, apa yang kau rasakan sekarang? Ada bagian tubuh yang terasa tidak nyaman?'"
Rushuang menggelengkan kepala padaku dan berkata: "Tidak ada yang tidak nyaman. Hanya... hanya merasa tubuh ini seolah berbeda dengan saat aku masih hidup. Tapi bagian mana yang berbeda, aku belum bisa menjelaskannya sekarang."
"Awalnya pasti akan terasa asing, perlahan-lahan akan terbiasa. Lagipula, aku melihat energi Yang di tubuhmu sama persis dengan kami. Ini membuktikan saat ini kau tidak berbeda dengan kami." Meski mulutku menghibur Rushuang, sebenarnya hatiku ragu. Bagaimanapun Rushuang hidup kembali berkat Air Suci Sungai Luo, Fenghuang Dan (Empedu Phoenix), dan Buah Qiqiao Linglong - bukan melalui kelahiran alami manusia. Jadi wajar jika ada perasaan berbeda dengan manusia biasa.
Asalkan tidak ada kecelakaan lain lagi.
"Ya, Shisan, terima kasih. Aku benar-benar bahagia sekarang." Rushuang mengangkat wajahnya, menatapku dengan sepasang mata phoenix-nya yang berkilau.
"Jangan berterima kasih. Bukankah kau bilang kita tidak perlu saling berterima kasih? Lagipula, jika benar-benar ingin berterima kasih, nikahilah aku lagi." Kataku pada Rushuang.
"Jangan berkhayal!" Rushuang membentak, lalu teringat sesuatu: "Omong-omong Shisan, jangan hanya fokus menyelamatkanku. Sudahkah kau bawa Air Suci Sungai Luo untuk Kak Zhao Man? Bekas lukanya masih membutuhkannya."
“Bawa, di dalam tas ransel masih ada setengah botol, cukup untuk digunakan.” Aku mengangguk sambil berkata.
“Baguslah, kita... kita langsung kembali sekarang? Tempat ini, aku merasa ada yang tidak beres, tidak baik berlama-lama.” An Rushuang menatap sekeliling dengan waspada sambil bertanya padaku.
“Baik, sekarang sudah malam hari, kita cepat-cepat makan lalu bersiap kembali.” Kataku sambil membawa Rushuang mendekati tempat pria gemuk dan Qiu Shasha.
Melihat kami mendekat, pria gemuk segera berbalik sambil tersenyum pada Rushuang: “Kukira Mbak Rushuang, setelah hidup kembali jadi manusia, kau semakin cantik. Chang'e di bulan pun mungkin kalah, sempurna, Perfect, benar-benar Withnochinkinone'sarmour!”
Rushuang tersenyum tipis mendengarnya: “Thankyou,youareveryhandsome.”
“Goblog, Mbak... kau bisa bahasa Inggris?! Fasih sekali!!” Mata lebar pria gemuk nyaris copot mendengar kalimat Inggris lancarnya.
“Hanya beberapa kalimat saja. Dulu saat Shisan tidur di kelas dan mengirim secarik kertas ke teman perempuan, aku bosan di dalam liontin giok lalu diam-diam belajar.” Jelas Rushuang.
Perkataannya seketika membuat wajah setebal kulit kerbau ini memerah. Kesalahan masa muda kurekam semua, hanya saja tak pernah diungkit.
“Shixiong, kamu tidak adil. Kamu yang sudah punya istri, kok waktu sekolah masih bisa mengirim catatan ke teman sekelas wanita?” Pria gemuk itu menatapku.
“Sudahlah, Pria Gemuk. Waktu itu aku masih SD, belum tahu apa itu cinta,” jawabku.
“Sekarang sudah tahu?” Qiu Shasha tiba-tiba menyambung pertanyaanku.
“Sekarang sudah pasti tahu.” Aku mengangguk.
“Lalu apa sebenarnya cinta itu? Dari mana asalnya?” Qiu Shasha bertanya sambil menatapku.
“Aku...” Di hadapan pertanyaan yang tampak sederhana ini, aku justru tak bisa menjawab.
Apa sebenarnya cinta? Dari mana ia berasal?
Rushuang memandang Qiu Shasha dan menjawab untukku: “Menurutku, cinta adalah ketika pria dan wanita saling memahami, saling menghormati, saling mendukung, saling menyayangi, saling melengkapi, dan saling menghibur. Tentang asalnya, kurasa berasal dari hati setiap orang.”
“Hati?” Qiu Shasha menatap Rushuang.
“Ya. Jika kau tak menaruh orang yang kau sukai di hatimu terlebih dahulu, bagaimana mungkin cinta bisa muncul?” kata Rushuang.
“Apakah cinta sama sekali tak ada hubungannya dengan kekuasaan?” Entah mengapa, Qiu Shasha tiba-tiba melontarkan pertanyaan tak terduga.
Rushuang tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Kak Rushuang, boleh aku bertanya satu hal?”
“Silakan tanya.” Rushuang mengangguk.
“Kak Rushuang, apakah Kakak akan menikahi Shisan? Entah dia nanti miskin atau kaya.” Qiu Shasha bertanya.
Pria gemuk yang mendengar ucapan Qiu Shasha langsung memotong pembicaraan, “Nona Qiu, pertanyaanmu salah. Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu.”
“Salah? Di mana salahnya?” Qiu Shasha mengernyitkan dahi melihat pria gemuk.
“Seharusnya begini pertanyaannya, dengarkan baik-baik: Kak Rushuang, apakah Kakak akan menikahi Shisan? Entah dia nanti miskin, atau bahkan LEBIH MISKIN LAGI!...” Pria gemuk menatap wajah Rushuang dengan ekspresi serius.
Rushuang tertawa geli mendengar lelucon pria gemuk. Setelah tertawa sebentar, dia berkata pada mereka: “Entah Shisan miskin atau tidak, saya sudah menikah dengannya. Saya tidak pernah menyesali keputusan ini, dan tidak akan pernah.”
“Aku mengerti. Mungkin pemahamanku tentang cinta berbeda dengan kalian.” Qiu Shasha berkata dengan nada sendu dan kesepian, lalu berbalik tubuh sendirian menuju ke belakang.
Entah sejak kapan, si putri manja yang dulu cerewet dan suka tertawa ini tiba-tiba menjadi semakin pendiam, semakin mudah termenung...
Mungkinkah dia juga sedang jatuh cinta?
