Mungkin Raja Yama benar. Berapapun lama Rushuang menemaniku, aku harus belajar menghargai dan memperlakukannya dengan baik, agar dia pergi tanpa penyesalan...
Tapi mengapa meski semua logika ini kumengerti, hatiku tetap sakit seperti diiris?
Saat aku berjalan kembali ke ruang tamu dengan kondisi kehilangan jiwa dari balkon, Rushuang sudah selesai mandi dan berganti pakaian keluar dari kamar mandi. Melihatku, dia tersenyum dan bertanya: "Shisan, kalian mau makan apa malam ini? Sekarang aku bisa masak untuk kalian."
"Rushuang, malam ini aku rencana mengajakmu ke suatu tempat dulu." Sambil berkata begitu, aku memberi salam pada pria gemuk lalu membawa Rushuang turun keluar rumah.
Kali ini, aku berniat membelikan Rushuang setelan pakaian modern terlebih dahulu. Pakaian yang dia kenakan sekarang masih setelan dari Qiu Shasha. Setelah itu baru pulang ke rumah untuk memperkenalkan Rushuang pada orangtuaku. Selama sepuluh tahun pernikahan kami, orangtuaku belum pernah benar-benar bertemu dengannya.
Jadi bagaimanapun juga, berapa pun lama Rushuang masih bisa tinggal di Dunia Manusia, aku harus memperlihatkan menantu mereka ini pada orangtuaku.
Turun dari kompleks perumahan, aku mengajak Rushuang naik taksi menuju pusat perbelanjaan terdekat dengan tergesa-gesa.
Sesampainya di lokasi, setelah turun dari mobil, aku menggandeng tangan Rushuang dan membawanya masuk ke butik pakaian wanita di sekitar sana.
Pramuniaganya yang ramah segera mendekat, terus-menerus memperkenalkan model terbaru di toko mereka kepada Rushuang.
Rushuang tidak lama memilih. Hanya sebentar, dia sudah memutuskan setelan kasual putih bergaya retro. Tampaknya Rushuang masih lebih menyukai pakaian yang bernuansa klasik.
Setelah membayar, aku segera membawa Rushuang keluar dari toko pakaian dan bergegas menuju jalan tersibuk di kota yang hilang.
Pemandangan malam di kota ini sungguh memesona. Lampu-lampu gemerlap membentuk rangkaian tak terputus, menggoreskan siluet gedung-gedung pencakar langit. Neon di puncak gedung berkelap-kelip bagikan kereta api warna-warni yang tak henti bergerak.
Malam yang gelap seakan berubah menjadi siang, setiap titik cahaya berkedip laksana bintang tak terhitung di angkasa...
Tangan Rushuang tetap kugenggam saat dia memandang pemandangan kota sambil berujar: "Jika orangtua dan sahabatku melihat semua ini, pasti mereka akan terkejut. Dunia ini berubah terlalu cepat. Hanya dalam seribu tahun, alam semesta yang luas ini seakan berganti wajah. Tempat yang dulu kita tinggali, tak akan pernah ada lagi." Nada bicaranya jelas menyiratkan kekecewaan dan kesedihan.
Mendengar itu, genggamanku pada tangan kirinya semakin erat. Rushuang menatapku dan bertanya: "Shisan, kemana kau akan membawaku?"
"Ke sungai untuk melihat bintang," jawabku sambil memeriksa ponsel. Kami pun berjalan menuju aliran sungai di luar kota Dongdian.
Sesampainya di tepi sungai, kami duduk di hamparan rumput. Aku menelepon ibuku untuk memberitahukan bahwa nanti malam akan pulang bersama Rushuang untuk makan malam.
Ibuku tidak banyak bertanya. Dia menyahut setuju, berpesan beberapa kata padaku, lalu mematikan telepon. Mungkin dia mengira aku membawa hantu yin Rushuang pulang, jadi tidak terlalu terkejut.
Setelah mematikan telepon, Rushuang yang duduk di sampingku bertanya, "Shisan, tadi menelepon ibumu ya?"
Kuterangkan sambil tersenyum pada Rushuang, "Istriku, sekarang kau juga harus memanggilnya 'ibu'."
Rushuang hanya tersenyum tanpa bicara. Dia menyandarkan tubuhnya di bahuku, mengubah posisi duduk, lalu menengadah memandang bintang-bintang di langit malam.
Cuaca hari ini tidak begitu cerah. Langit dipenuhi awan kelam, bagai suasana hatiku yang mencekam ini.
Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima kenyataan bahwa Rushuang yang masih menemaniku sekarang akan pergi 12 hari lagi. Juga tak tahu kemana dia akan bereinkarnasi setelah meninggalkanku.
"Rushuang, mari kita berfoto bersama?" Tiba-tiba aku ingin memotret Rushuang. Kutolehkan kepala memandangnya yang masih bersandar di bahuku.
Rushuang mengangguk setuju mendengar permintaanku:
"Baiklah."
Kukeluarkan ponsel, mengarahkan kamera ke kami berdua, lalu menekan tombol shutter. Wajah kami pun terekam di dalam ponsel.
Baru saja sambil memotret, Rushuang meraih ponsel dari tanganku. Dia menunjuk foto yang baru kami ambil sambil tertawa kecil. "Shisan, ekspresiku saat difoto tadi konyol sekali. Lihat, seperti anak kecil yang tak mengerti apa-apa," katanya sambil menunjuk layar ponsel.
“Aku melihat ekspresi bahagia Rushuang saat ini, tapi di hati sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.”
“Mungkin Raja Yama dan Dokter Hantu Yang Zhentian memang benar - 'hukum langit sulit dilawan', 'manusia takkan pernah bisa mengalahkan takdir'. Meski awalnya kupikir semua terkendali, akhirnya tetap mengalami kekalahan total.”
Rushuang sepertinya merasakan keganjilan dalam diriku. Ia menatapku: "Shisan, aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi bisakah kau lupakan dulu semua kesedihan itu? Temani aku dengan sepenuh hati. Apapun yang terjadi nanti, setidaknya saat ini aku masih di sisimu, setidaknya saat ini aku sangat bahagia."
“Tapi...”
“Tidak ada 'tapi'! Shisan, lihat lentera-lentera indah yang bergantung di pepohonan depan itu. Temani aku melihat lebih dekat, ya?” Rushuang bangkit dari hamparan rumput.
“Baik.” Aku mengangguk patuh, lalu membimbingnya menuju barisan pohon Platanus yang dipenuhi lampu hias.
Malam ini Rushuang terlihat sangat ceria. Ia terus memintaku memotretnya bersama pohon-pohon bercahaya itu. Saat mengangkat kamera, aku tahu ia ingin meninggalkan lebih banyak kenangan tentang dirinya sebelum kepergiannya.
Usai sesi foto, tiba-tiba seorang kakek penjual tanghulu lewat di pinggir jalan. Rushuang berkata takjub: “Masih ada yang jual tanghulu zaman sekarang?”
“Kau mau?” tanyaku padanya.
“Mau sih, tapi sekarang ini...”
“Tidak apa, aku punya cara.” Aku berjalan mendekati Rushuang, mengulurkan tangan kanan dan meletakkannya di titik vital di dahinya, sambil mengalirkan energi Yang dari tubuhku ke titik vitalnya.
Setelah berhasil membuka titik vital pertama Rushuang, aku kemudian menggerakkan tangan ke dadanya.
Melihat ini, Rushuang buru-buru menutupi dadanya dengan kedua tangan dan bertanya, “Shisan, kamu mau apa?!”
“Aku... aku mau membuka tiga titik vitalmu, supaya kamu bisa makan apa saja.” Aku menjelaskan pada Rushuang.
“Benarkah?” Rushuang menatapku perlahan menurunkan tangan yang menutupi dadanya.
Aku mengangguk, meletakkan tangan kananku dengan lembut di titik vital di dada Rushuang. Sensasi lembut yang tiba-tiba membuat seluruh tubuhku bergetar, darah terasa berdesir.
Goblog, kontrol diriku payah amat?! Aku segera mengumpulkan kewarasan, membuang semua pikiran kotor, fokus mengalirkan energi Yang perlahan ke tubuh Rushuang untuk membuka titik vital kedua.
Segera setelah itu aku membuka titik vital ketiga di punggung Rushuang.
Setelah ketiga titik vital terbuka, aku mengajak Rushuang mengejar kakek tua penjual tanghulu dan membelikannya dua tusuk.
Menatap Rushuang yang asyik menggigit dua tanghulu di kedua tangannya, aku menunjuk batu pualam di tepi taman bunga, “Rushuang, kita duduk di sana?”
“Ya, baik.” Rushuang mengangguk dan mengikutiku.
Saat aku duduk, aku menepuk pahaku sambil berkata pada Rushuang: "Rushuang, batu dingin ini terlalu sejuk. Kondisimu sekarang tidak baik, duduklah di pangkuanku."
Mendengar perkataanku, Rushuang menatap sekeliling dengan malu-malu: "Shisan, ada banyak orang di sekitar sini, ini... tidak pantas, bukan?"
Aku menatapnya: "Tidak banyak orang di sini, Rushuang. Anggap saja ini memuaskan satu keinginanku, biarkan aku memelukmu."
Rushuang menunduk sejenak berpikir, akhirnya mengangguk dan berjalan mendekat, dengan hati-hati duduk di pangkuanku.
Merakan kelembutan tubuhnya, mencium aroma harum yang semerbak dari tubuhnya, darah bergejolak di hatiku kembali tak terkendali.
Lebih dari itu, pada momen ini tiba-tiba kusadari ada reaksi memalukan yang muncul di bagian bawah tubuhku.
Rushuang yang sedang duduk di pangkuanku menyadarinya, bertanya dengan bingung sambil menoleh: "Shisan, ada benda keras yang menyentuhku di antara pahamu?"
Mendengar pertanyaan polosnya, wajahku memerah membara. Kucoba mengendalikan diri sekuat tenaga, tapi justru semakin kukendalikan, semakin tak terbendung.
Melihat wajahku yang merah padam, meski Rushuang masih perawan, ia mulai memahami situasi sebenarnya.
Ia segera memalingkan muka. Dari belakang kulihat jelas lehernya memerah hingga ke puncak kepalanya. Kepala tetap tertunduk, ia bergumam marah:
"Shisan, kau lagi-lagi bertingkah jahat padaku!!"
"Bukan, Rushuang, ini... ini reaksi fisiologis, aku tidak bisa mengontrolnya..."
"Kalau begitu aku bangun." Rushuang berkata siap berdiri dari pangkuanku.
Aku segera memeluknya:
"Rushuang, jangan sekali-kali kamu bangun. Lihat di depan ada banyak orang datang. Kalau kamu bangun sampai kelihatan, malu mana kutahan? Duduklah di sini sebagai penghalang."
"Zuo Shisan, kamu... kamu..." Pipi Rushuang memerah, terpojok di pangkuanku antara ingin bangun atau tetap duduk...
