Sebenarnya sebelumnya aku terlalu menganggap remeh diri. Tapi memang, sebagai pemuda darah muda yang belum pernah menyentuh wanita, diduduki Rushuang yang memancarkan pesona di setiap sudut, kalau tidak ada reaksi justru aneh...
Saat ini, bukan hanya Rushuang yang malu tak karuan, bahkan aku yang pria sejati ini wajahnya merah membara, napas jadi berat tak terkendali, jantung berdebar "brak brak" kencang sekali.
"Shisan, kamu... cepat suruh itu turun, sakit tertusuk-tusuk, malu mati!!" Rushuang di pangkuanku membisikkan keluh kesal.
"Rushuang, a-aku juga ingin itu turun, tapi ini bukan bisa kukontrol... Hei, Rushuang, jangan goyang-goyang di situ!!..." Di hadapan wanita paling kusayang, aib sebesar ini membuatku benar-benar hilang muka. Andai ada celah di tanah, bahkan lubang tikus pun akan kuselami.
Tak ada muka untuk hidup lagi.
Akhirnya, Rushuang yang duduk di atas kedua kakiku menunggu hingga orang-orang yang berjalan-jalan di depan telah lewat, segera bangkit dari pangkuanku. Dengan wajah memerah dan terengah-engah, ia duduk di sampingku.
Aku menutupi bagian bawah dengan baju sambil menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan gejolak darah panas dalam tubuh. Setelah reaksi itu perlahan menghilang, dengan perasaan bersalah kuputar kepala ke Rushuang: "Rushuang, tadi benar-benar maafkan aku. Aku sama sekali tidak sengaja, saat itu otakku benar-benar blank, semua yang terpikir..."
"Shisan, sudahlah! Masih saja kau sebut!" Wajah Rushuang kembali memerah mendengar ucapanku.
"Baik, baik. Aku tak akan bicara lagi." Segera kugelengkan kepala.
Rushuang menyodorkan seikat permen tongkat buah kepadaku. Setelah menarik napas panjang, ia bertanya: "Shisan, kau... kau sudah baik-baik saja sekarang?"
Dengan canggung kugelengkan kepala: "Sudah. Rushuang, aku... ayo kuantar kau jalan-jalan." Segera kualihkan topik, menggenggam tangan halusnya dan membawanya melanjutkan jalan ke area kota yang ramai.
Tangan kami berpegangan sambil berjalan. Banyak pria yang berpapasan terpana melihat kecantikan Rushuang yang luar biasa. Beberapa paman janggal bahkan menyelinap mengambil foto dengan ponsel. Ini memuaskan sedikit rasa sombong dalam hatiku, meski yang kusadari hanya satu: hitung-hitungannya, Rushuang hanya bisa menemaniku 12 hari lagi.
"Shisan, ada hal yang sudah lama ingin kutanyakan padamu, tapi selalu kulupakan." Rushuang menatap jalan pejalan kaki yang dipenuhi lampu dengan bingung sambil bertanya padaku.
"Hal apa?" Aku menoleh dan menatap Rushuang.
"Lihatlah foto besar seseorang yang ditempel di gedung-gedung itu. Aku sering melihat buronan itu, sebesar apa kejahatannya?" Rushuang menunjuk foto bintang K-pop yang sedang naik daun di depan kami.
Melihat poster promosi itu, aku hampir tertawa terbahak. Karena tulisan Korea di iklan itu tak bisa dibaca Rushuang, dia salah mengira maksudnya.
"Rushuang, itu bukan buronan. Dia penyanyi, selebriti yang sangat populer," jelasku pada Rushuang.
Rushuang baru tersadar setelah mendengar penjelasanku. Mata phoenix-nya yang cerah menoleh ke arah lain, tapi kulihat wajahnya memerah malu sebelum dia cepat-cepat memalingkan muka.
Penasaranku membuatku mengikuti arah pandangannya. Tampak sepasang kekasih bergaya Fei Zhu Liu sedang berpelukan mesra, berciuman tanpa peduli sekitar...
"Jangan dipikirkan, Rushuang. Zaman sekarang hal seperti itu biasa..." Belum selesai bicara, dua pria berjalan bergandengan tangan dengan manis melewati kami, bahkan saling mencium pipi di depan kami.
“Rushuang berdiri di tempat sambil memandang dua teman dekat itu dengan wajah blank, aku pun ikut terdiam. Ini... semua ini akibat ketidakseimbangan gender ya...”
Saat aku menemani Rushuang melanjutkan belanja, tiba-tiba telepon dari ibuku masuk. Di telepon, ibu bilang makanan dan persembahan sudah siap, menyuruhku dan Rushuang pulang untuk makan bersama.
Dalam pemahaman ibuku, Rushuang yang ikut pulang ke rumahku tetap akan menerima persembahan dari keluarga kami. Entah ekspresi apa yang akan ibu tunjukkan saat melihat Rushuang telah terlahir kembali sebagai manusia.
Setelah menutup telepon, aku mengajak Rushuang keluar dari area pejalan kaki, menghentikan taksi, lalu bergegas menuju rumah.
Di perjalanan pulang, Rushuang memandangku dengan cemas bertanya: "Shisan, apa tiba-tiba membawaku pulang tidak akan menakuti ayah dan ibumu?"
"Mana mungkin! Kalau mereka tahu kamu sudah terlahir kembali sebagai manusia, senangnya pasti tak terbendung. Di hati mereka, sejak dulu sudah menganggapmu sebagai menantu keluarga kami. Ibu pernah bilang, tak peduli kau manusia atau hantu, selama kau menantu Keluarga Zuo, kita tak boleh mengecewakan." Kataku pada Rushuang.
"Kalau... kalau begitu, apa kita perlu membeli sesuatu untuk dibawa pulang? Tangan kosong seperti ini kurang baik kan?" Rushuang yang berasal dari zaman kuno memang masih memegang adat istiadat – Tiongkok sebagai negeri yang sangat menjunjung tata krama, apalagi di masa lalu.
"Baik, nanti saat turun taksi kita beli buah-buahan di sekitar perumahan saja." Jawabku.
"Haruskah aku memanggil mereka Paman dan Bibi, atau Ayah dan Ibu?" Rushuang tampak gugup, pertanyaannya terus mengalir.
……Aku berpikir sejenak, lalu berkata pada Rushuang: "Panggil mereka orangtua." Mengingat sisa umur Yang Rushuang hanya sekitar sepuluh hari lagi, aku ingin dia memanggil ayah ibuku beberapa kali sebelum kepergiannya.
……Setelah setengah jam, aku dan Rushuang turun dari taksi. Kami membeli buah-buahan di sekitar lalu bergegas menuju rumahku sambil membawa belanjaan.
Sesampainya di rumah, kutekan bel pintu. Ibuku segera berlari membukakan pintu. Begitu melihat Rushuang di belakangku, wajahnya langsung berubah.
Aku tahu pasti ada kesalahpahaman. Meski ibu tahu keberadaan istri hantuku Rushuang, tapi belum pernah melihatnya. Jadi ketika melihatku pulang dengan gadis, langsung mengira aku punya pacar baru.
"Bu, ini Rushuang. Istri hantu yang dinikahkan dengan kita sejak kecil, An Rushuang." Kubalikkan badan menunjuk Rushuang yang berdiri di belakang.
"……Selamat siang, Tante. Saya Rushuang." Rushuang masih malu menyebut 'ibu'.
Mendengar itu, ibuku memandangi Rushuang dari ujung kepala ke kaki dengan heran:
"Aduhhh, kau... kau Rushuang? Cantik sekali. Sudah menikah dengan Shisan, kasihan kau... Benar-benar jelita..."
"Tidak apa-apa, Tante. Shisan sangat baik padaku." Rushuang tersenyum menjawab.
“Baik, baik, baik, cepat masuk kalian. Belum makan ya? Nasi sudah siap. Lao Zuo, jangan nonton bola terus, Shisan pulang membawa menantu Rushuang!” Ibuku sambil menyodorkan sandal kepada Rushuang, berteriak memanggil ayahku.
Ayahku yang sedang menonton pertandingan bola langsung terkejut, segera mengambil remote dan berlari ke sini. Saat melihat Rushuang yang berdiri di sampingku, wajahnya langsung menunjukkan keterkejutan. Dalam konsep mereka, istri hantu ini belum pernah menampakkan diri sebelumnya.
“Halo Paman, saya datang mengunjungi kalian.” Rushuang tersenyum ramah menyapa ayahku.
“Halo-halo, kamu... kamu benar istri keluarga Zuo yang bernama Rushuang?” Ayahku jelas tak percaya, wanita secantik bidadari ini ternyata adalah istri hantu yang selalu mengikuti anaknya.
“Ya, benar saya.” Rushuang mengangguk, lalu mengenakan sandal yang disodorkan ibuku.
Tapi saat Rushuang baru saja melangkah masuk, ekspresi ayahku yang awalnya tersenyum langsung berubah. Ia menatapku keras: “Ini tidak benar! Dia bukan menantu kita! Shisan, cepat katakan yang sebenarnya – siapa dia sebenarnya?!”
“Ayah, aku tidak bohong. Dia benar-benar Rushuang,” jawabku.
“Kau masih belum mau jujur, mana mungkin hantu punya bayangan!” Aku menunjuk ke bayangan An Rushuang di lantai. Karena pengaruh kakekku, Ayahku sedikit banyak terpapar pengetahuan tentang arwah yin. Ia langsung tahu bahwa Rushuang bukanlah hantu yin.
“Ayah, dia benar-benar Rushuang, cuma sekarang sudah hidup kembali sebagai manusia,” jelasku padanya.
