Lingkungan sangat penting saat berlatih. Kebisingan terus-menerus akan mengganggu konsentrasi, membuat mustahil untuk fokus.
Yang lebih kukhawatirkan adalah pasukan energi angker yang mengepung Longhu mulai menyerang. Duduk di sini seperti di atas duri, pikiran tak tenang. Setelah berpikir panjang, akhirnya memutuskan untuk menghentikan sementara latihan dan kembali ke kompleks sekte di gunung belakang.
"Sudah berhari-hari berlalu, aku masih belum bisa memahami gerakan terakhir dari Lóng Hŭ Qī Shè Yìn. Hal ini membuat hatiku semakin gelisah. Seiring berjalannya waktu, kekhawatiranku pada Rushuang semakin besar. Setiap hari yang kuhabiskan di Sekte Longhu berarti mengurangi waktu kebersamaan kami."
"Kini aku sama sekali tak tahu sudah berapa hari berlatih di gunung belakang ini. Hatiku terus dihantui keraguan: apakah aku bisa kembali sebelum energi Yang Rushuang habis..."
"Sambil merenung, aku bangkit dari hamparan rumput. Aku berjalan ke area tempat Pria Bertopi biasa bermeditasi, ingin memberi kabar. Tapi ternyata dia sudah lebih dulu turun gunung menuju kompleks sekte."
"Sepertinya ada kejadian penting di Sekte Longhu hari ini. Mungkinkah pasukan energi jahat yang mengepung luar akhirnya menyerang?"
"Pikiran itu membuatku panik. Segera kukumpulkan energi Yang dan melesat menuruni gunung."
"Sesampainya di Sekte Longhu, kulihat belasan daoshi berkumpul di tanah lapang depan aula utama. Mereka sedang berdiskusi dengan suara keras dan riuh."
"Mendekatlah aku, menyimak percakapan mereka:"
"Mu Cheng si keparat itu kabur bersama semua muridnya! Bertahun-tahun kudidik binatang itu, ternyata cuma menghasilkan serigala pengecut yang lari dari medan perang!" geram seorang daoshi tua berjanggut putih di tengah kerumunan.
Di sampingnya, Master Lu Yu memberi perintah pada Xiao Ran yang berdiri di sebelahnya: "Xiao Ran, segera kejar Mu Cheng yang kabur itu, apapun caranya!!"
Mendengar perintah Master Lu, Xiao Ran mengangguk patuh. Dengan ditemani dua pendeta Tao paruh baya, ia melesat cepat ke belakang kompleks Aliran Longhu.
"Master Lu, kita harus segera cari akal. Hong Yan dan antek-anteknya sengaja mengepung tanpa menyerang untuk menggerogoti moral murid-murid kita. Jika terus begini, pelarian akan semakin banyak," kata biksu tua berjanggut putih dengan wajah muram.
Master Lu mengerutkan alis. Setelah merenung sejenak, pandangannya beralih ke Pria Bertopi yang masih asyik berpikir dengan kepala tertunduk.
Tiba-tiba seorang pendeta muda menghampiri Master Lu. Dengan suara lirih ia berbisik: "Jika tak ada cara lain, kita harus eksekusi publik Mu Cheng sebagai contoh. Perintahkan: pelarian saat pertempuran—BUNUH!!" Meski suaranya pelan, kemampuan kultivasiku memungkinkan mendengar jelas setiap kata.
“Setelah mendengar perkataan daoshi itu, Master Lu menggelengkan kepala dan berkata: "Perbuatan, pencerahan, dan pilihan manusia berasal dari keinginan hati masing-masing, tak bisa dipaksakan. Alasan aku meminta Xiao Ran membawa Mu Cheng kembali bukan karena kabur dari pertempuran, tapi karena dia menghasut orang lain untuk ikut melarikan diri."”
“L-Lalu, menurut Master Lu sekarang apa yang harus kami lakukan?” Daoshi itu menatap Master Lu dan bertanya lagi.
“Aku berniat memanggil semua orang di aula utama untuk berbicara terbuka. Jika mereka ingin tetap bertahan bersama Sekte Longhu sampai akhir, silakan tinggal. Jika memilih kabur untuk menyelamatkan nyawa, aku juga akan melepas mereka.” Suara Master Lu berat saat menghela nafas panjang.
Dari raut wajahnya, kulihat bayangan kepasrahan dan kekecewaan...
“Master Lu, di momen krusial ini Anda harus berpikir tiga kali. Jika begini, banyak yang pasti memilih jalan melarikan diri.” Daoshi itu terus membujuk.
“Sudah kupikir matang. Pergilah panggil semua orang di aula utama, ada yang ingin kusampaikan.” Perintah Master Lu.
Daoshi itu ragu sejenak, memandang Pria Bertopi yang diam sepi di samping, seolah menanti keputusannya.
“Lakukan seperti perintah Master Lu,” ujar Pria Bertopi kepada daoshi itu.
“Baik, segera kupanggil mereka.” Daoshi itu mengangguk patuh lalu berlari tergesa menuju aula utama.
"Shisan, kapan kamu turun dari gunung?" Saat itu Master Lu melihatku dan bertanya padaku.
"Baru saja turun, Shibo Lu. Apakah ada anggota Aliran Longhu yang melarikan diri di tengah pertempuran?" Aku menatap Master Lu dan Pria Bertopi sambil bertanya.
Master Lu mengangguk: "Benar. Ini sudah yang ketiga kalinya dalam beberapa hari terakhir. Tapi aku tidak akan menyalahkan mereka. Tidak semua orang bisa tidak takut mati."
Sekarang aku akhirnya mengerti strategi wanita Hong Yan. Ini adalah taktik psikologis. Dengan cara ini, dia bisa melumpuhkan semangat juang sebagian besar daoshi Aliran Longhu tanpa mengerahkan satu pasukan pun.
Jika semangat sudah hilang dalam pertarungan, tidak akan ada peluang menang sama sekali.
Di saat yang sama, ratusan murid Aliran Longhu dari aula utama dipanggil keluar oleh daoshi tadi dan berjalan mendekati kami.
Aku mengangkat kepala mengamati wajah para daoshi. Mayoritas dari mereka terlihat lesu, mata mereka penuh dengan keputusasaan dan keinginan menghindar. Jelas mereka sudah tidak punya niat bertahan. Jika Hong Yan di luar memerintahkan serangan, dengan moral yang sudah runtuh seperti ini, pasti akan kalah telak begitu pertempuran dimulai.
Master Lu yang berdiri di depanku menunggu hingga ratusan orang itu berdiri mantap di tanah lapang, baru kemudian menatap mereka dan berseru lantang: "Kebangkitan dan kehancuran dunia adalah tanggung jawab setiap orang, apalagi kita para ahli Aliran Longhu yang berkumpul di sini. Semua kekuatan jahat di Dunia Manusia telah berkumpul di luar pintu Sekte Longhu, mereka bisa menyerbu kapan saja. Kita sudah tidak punya jalan mundur. Satu-satunya yang harus kita lakukan sekarang adalah: MEMPERTAHANKAN LONGHU SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN!! Tentu saja, ini hanya satu pilihan. Masih ada jalan lain, yaitu melarikan diri sekarang juga - meninggalkan Longhu, meninggalkan saudara seperguruan, meninggalkan dunia ini, menjadi pengecut yang kabur dari medan perang." Master Lu berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan tatapan tajam pada para daoshi: "Perubahan langit tak perlu ditakuti, tradisi leluhur tak perlu diikuti, desas-desus orang tak perlu dipedulikan. Karena itu di saat genting ini, aku bicara terbuka: Bagi yang ingin bertahan, hidup dan mati bersama kami serta Longhu - tetaplah di tempatmu. Kalian semua adalah pahlawan yang layak kuhormati. Tapi bagi yang ingin pergi, kami tidak akan memaksa. Nyawa kalian adalah milik kalian sendiri." Begitu Master Lu selesai berbicara, para daoshi di sekeliling mulai berbisik-bisik.
Jelas terlihat, mereka sedang dilanda keraguan - ingin bertahan tapi takut mati, ingin kabur tapi tak kehilangan muka. Setiap pria sejati pasti enggan dicap sebagai pengecut yang lari dari pertempuran.
Tapi, justru keraguan seperti inilah yang paling menakutkan. Karena saat ini di benak semua orang hanya terpikir untuk melarikan diri atau bertahan, tak ada yang memikirkan cara menghadapi hantu yin dan zombie yang mengepung di luar...
Waktu berlalu sedikit demi sedikit di tengah perdebatan sengit semua orang, kemudian beberapa mulai mengambil keputusan sendiri, melangkah keluar dari barisan dan berjalan menuju sisi lain.
Langkah mereka keluar barisan berarti ingin melarikan diri, tidak ingin meninggalkan nyawa berharga mereka di sini.
Hal ini bisa dimaklumi, lagipula setiap orang berhak memilih cara bertahan hidup karena nyawa adalah milik mereka sendiri, sehingga keputusan ada di tangan mereka.
Semakin banyak daoshi yang keluar dari kerumunan, kulihat ekspresi Master Lu, Pria Bertopi, dan Master Qingfeng semakin suram. Tampaknya bahkan mereka sendiri tidak menyangka begitu banyak yang memilih melarikan diri di tengah pertempuran.
