"Bai Shuo, apa kau percaya pada ucapanku?" Zhang Jiao tiba-tiba menunduk menatapnya: "Langit telah mati, Huang Tian harus tegak..."
Bai Shuo menarik napas dalam, pikirannya bekerja cepat. Saat ini setuju saja pasti aman. Dia mengangguk: "Tentu. Karena percaya, kita semua berkumpul di bawah panji Jenderal, berharap bisa membangun era keemasan Huang Tian."
“Ya, semua percaya padaku.” Zhang Jiao tersenyum getir seperti mengejek dirinya sendiri: “Semua percaya padaku…”
“Awalnya, semua orang mengira aku gila. Ketika aku bilang Lelaki Surgawi Zuo Ci memberiku tiga jilid kitab suci, tak ada yang percaya, bahkan Ah Liang pun mengira aku membohonginya.”
“Hanya Zhang Bao yang mau mempercayaiku, percaya bahwa kakaknya ini tidak akan menipunya. Sejak kecil dia selalu percaya padaku seperti orang bodoh.”
Bai Shuo ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu harus berkomentar apa.
“Lama-kelamaan semakin banyak yang percaya padaku. Mereka yakin hanya dengan menciptakan zaman baru kita bisa bertahan, hanya dengan perlawanan kita bisa hidup terus. Tapi sebenarnya di lubuk hati, mereka hanya ingin kehidupan yang damai.”
“Mereka semua orang-orang yang malang, terdesak sampai tak bisa hidup lagi oleh pemerintah. Baru ketika sudah sampai pada titik dimana menjadi anjing pun tak bisa bertahan, mereka sadar dunia ini sudah busuk. Yang mereka percayai bukan aku, melainkan zaman keemasan yang ku janjikan.”
“Hanya Zhang Bao yang selalu percaya pada ucapanku. Dia percaya begitu saja, tanpa pamrih. Ketika aku bilang Langit telah mati, dia yakin akulah pahlawan pembuka zaman. Orang lain memimpikan masa depan, tapi dia memimpikan diriku. Kau juga merasakannya kan?” Zhang Jiao tiba-tiba menatap Bai Shuo: “Semua menganggapmu pahlawan, bergantung padamu, memujamu. Semua itu berubah menjadi beban yang membuat sulit bernapas.”
“Pemujaan adalah perasaan paling kejam. Begitu kau sedikit mengecewakan, mereka akan meninggalkanmu. Pahlawan memang sesuatu yang lucu.”
"Hanya Zhang Bao... anak itu, yang benar-benar percaya padaku." Suara Zhang Jiao semakin rendah, memandang tongkat Dewa Api di tangannya: "Hanya dia yang menyembah Zaman Keemasan Huang Tian karena mempercayaiku. Bahkan saat aku gagal, dia membantuku bangkit lalu menggendongku maju."
"Bodoh sekali..."
Ia menatap wajah pucat pasi dalam peti mati, suaranya serak seperti kayu lapuk, namun tak ada tangis.
Dia adalah Zhang Jiao, Guru Agung yang Bijaksana, Pahlawan Serban Kuning. Seorang pahlawan tak boleh menangis.
Orang terakhir yang bisa menerima tangisan lemahnya telah mati - saudara dan adik yang paling penting.
Bahkan untuk menangis pun dia tak mampu.
"Jenderal, mohon redakan kesedihan." Bai Shuo merasakan duka di hatinya, hanya bisa menghibur dengan kaku: "Percayalah, Jenderal Zhang Bao sampai akhir tetap mempercayai Anda."
"Ya, dia pasti berpikir begitu." Zhang Jiao tersenyum getir seperti orang menangis, mengejek diri sendiri: "Tapi aku bahkan tak percaya pada diriku sendiri."
Zhang Jiao menggeleng melihat peta di meja: "Ini Julu, tempat aku memulai pemberontakan. Tak lama lagi, kita semua mungkin akan mati di sini..."
"Kini Zaman Keemasan Huang Tian... benar-benar seperti mimpi. Pada akhirnya mimpi harus berakhir..."
"Kalau ini mimpi, wujudkan saja mimpi itu!" Bai Shuo tiba-tiba menaikkan volume suaranya: "Justru karena ada mimpi, Jenderal bisa sampai di titik ini. Lalu kenapa tidak lanjutkan? Jenderal Zhang Bao pasti juga tidak ingin Jenderal berhenti di sini!"
Kata-kata Bai Shuo seperti menusuk Zhang Jiao. Ia mengangkat kepala menatap marah, tapi akhirnya lunglai bersandar di sandaran kursi tanpa berkata apa-apa.
"Jenderal juga punya mimpi kan?! Langit Kuning akan Tegak! Sejak hari pertama aku datang ke sini, banyak yang bilang padaku. Semua orang percaya pada mimpi Jenderal! Zaman Keemasan Langit Kuning pasti terwujud. Kenapa Jenderal yang justru menyerah duluan?!"
"Mimpi pada akhirnya harus berakhir." Zhang Jiao bersandar di kursinya, tak lagi seperti pria perkasa yang dulu bagaikan singa.
"Berakhir lalu bagaimana?!" Bai Shuo tiba-tiba menampar meja dengan kedua tangan, tubuhnya condong ke depan dengan geram: "Setidaknya kita pernah punya mimpi! Sekarang terjaga, justru harus lebih keras mewujudkannya!"
"Kalau tidak... bukankah semua ini jadi tak berarti?" Bai Shuo mencengkeram meja, suaranya berat: "Darah yang telah tumpah sia-sia semua!"
"Idealisme sejati itu... meski mata buta, tangan patah, kaki lumpuh, tak bisa bicara, tubuh penuh luka, bahkan jika sebentar lagi mati sekalipun tak boleh dilupakan!"
Seperti ada yang tersentuh di hatinya, semua keraguan, kepasrahan, dan sikap apatis Bai Shuo sejak kebutaan berubah jadi amarah yang menyala-nyala.
"Ini adalah kebenaran yang bahkan dimengerti oleh pria buta yang tidak punya hak untuk bermimpi!"
Ia tidak bisa menahan dorongan hatinya, bergumam kasar: "Mengapa menyerah?! Setidaknya kita semua masih di sini!"
Zhang Jiao terdiam, menundukkan kepala, seolah akan mati. Tapi seolah ada sesuatu yang baru lahir, seperti benih-benih yang hampir padam melompat-lompat, berjuang, enggan menghilang.
Itulah api dan mimpi yang bergolak di hati pria itu. Begitu hilang, tidak akan tersisa apa-apa.
Api panas membakar itu, meski terus menyiksa batinnya, membuatnya menderita tak tertahankan, tetap tak rela dilepaskan sesaat pun.
"Bai Shuo..." Zhang Jiao mengangkat kepala, memandang pria bermata tertutup yang penuh amarah di hadapannya.
"Maukah kau percaya pada cita-citaku? Sekalipun itu Zaman Keemasan Kuning yang terdengar absurd?"
"Justru karena percaya, aku datang ke sini." Bai Shuo tiba-tiba tersenyum paham: "Aku yakin Tuan pasti menang, karena itu aku bergabung."
"Bahkan menghadapi kematian pun tetap mau mengibarkan panji Kuning Tian?"
Api liar di hati pria itu mulai menyebar, nyaris padam kini membara lagi. Bahkan hujan badai dan lautan takkan mampu memadamkannya.
"Kami yakin inilah satu-satunya kebenaran di dunia."
"Kalau begitu... berjuanglah untuknya!" Zhang Jiao perlahan berdiri, ekspresi wajahnya yang renta tiba-tiba dipenuhi semangat juang. Api yang tak padam memantul di kedua matanya: "Bahkan jika aku mati, akan ada yang mau terus berjuang."
"Jenderal tidak akan mati, semua orang tidak akan mati." Bai Shuo menggelengkan kepala, menatap peta di atas meja: "Bahkan dalam situasi terjepit saat ini, aku punya cara untuk menyelesaikannya."
Ia mengangkat kepala, menyambut sinar matahari yang menembus jendela atap tenda: "Aku sudah menemukan caranya..."
※※※
Matahari di langit memancarkan cahaya menyengat. Awan hitam pekat yang menyelimuti selama berhari-hari tersapu angin kencang. Bukan cuaca cerah biasa, panasnya membuat orang berhalusinasi seolah udara telah berubah menjadi air panas mendidih.
Pasukan terakhir yang merespons seruan menumpas Pemberontak Sorban Kuning telah tiba semalam. Jenderal Besar He Jin yang duduk tegap di tenda komando utama telah menetapkan serangan total hari ini, memastikan Pemberontak Sorban Kuning benar-benar hancur pada hari ini.
"Demi Dinasti Han." Begitu kata He Jin kepada semua jenderal yang datang memenuhi seruan semalam.
"Meski untuk Dinasti Han, cuaca seperti ini tetap saja menyiksa, bukan?" Gerutu pria kekar bermuka merah kehitaman yang menggendong tombak besi berat di sudut paling pinggir yang agak teduh.
Bahkan tempat yang agak teduh pun tetap panas. Angin panas membakar menyelubungi segala penjuru, tak ada tempat untuk berlindung.
“Wajahnya merah padam, duduk tegap dengan serius di tengah cuaca panas membakar ini, pria berjanggut panjang yang pakaiannya rapi mengelus janggutnya: "Yide, semangatmu hanya segini? Terkapar oleh panas yang sepele.""
“Aku cuma mengeluh saja, cuaca seperti ini kalau bertempur pasti juga seru.” Pria Kekar berkulit hitam bersandar di dinding dengan santai, tersenyum penuh harap: “Iya kan, Liu Bei?” (dalam permainan, mereka bersaudara setelah Pemberontakan Sorban Kuning)
“En.” Pria dari anak-anak muda itu membalik-balik peta di tangannya, terus memikirkan strategi yang mungkin dilakukan musuh, mengangguk.
“Tapi…” Pria Kekar berkulit hitam hendak melanjutkan bicara, namun merasakan getaran halus di belakang kepalanya.
Itu adalah guncangan dari kedalaman Bumi, suara yang bergema dari tanah nun jauh, merambat melalui medium terdalam hingga sampai ke sini, sudah nyaris tak terdengar, namun membuatnya menyipitkan mata, menempelkan wajah ke dinding berusaha mendengar suara lemah itu: “Cepat kalian dengar…”
“Ini…” Liu Bei menempelkan telinga ke dinding, peringatan aneh muncul di hatinya: “Pasukan Sorban Kuning bersiap…”
Suara keras tiba-tiba keluar dari mulut pengintai berkuda: “Pemberontak bersiap menerobos kepungan!”
