Bai Shuo mengerutkan alis: "Meski sebagian besar yang kalian katakan tidak kupahami, tapi penguatan Ottolia pasti memiliki risiko berbahaya dan masalah potensial yang besar, bukan?"
Chen Jingmo menggelengkan kepala dengan senyuman: "Meski ada sedikit risiko, tapi bagi Ottolia ini bukan masalah. Lagi pula sel Jenova sudah dimodifikasi, lokasi ini terpisah dari dimensi Final Fantasy VII oleh tak terhitung dunia, pengaruh entitas utama juga bisa diabaikan. Sedangkan soal tekad Ottolia, aku sangat percaya pada anak itu."
"Di antara opsi penguatan yang cocok untuk Ottolia, ini yang memiliki rasio harga-kinerja terbaik. Setelah penguatan, dia bisa langsung melompat dari bintang dua tingkat awal ke tingkat tiga. Pertumbuhan potensinya juga yang terkuat. Ini pilihan Ottolia. Anak itu... sedang kebingungan."
"Aku percaya pilihanmu, dan menghormati pilihannya. Sejak aku mengakuinya sebagai anggota tim." Bai Shuo menatap Ottolia di langit, cahaya emas kemerahan berputar di pupil matanya, ekspresinya tenang: "Biarkan aku melihat Ottolia yang telah menjadi lebih kuat. Kalaupun ada masalah, masih ada aku di sini."
"Hehe, setiap kali kamu menunjukkan ekspresi ini, selalu terlihat lucu." Chen Jingmo mendekatkan wajahnya ke Bai Shuo, mengamati ekspresinya dengan saksama.
“Kenapa aku merasa tiba-tiba cara bicaramu seperti nenek tua? Dan...” Bai Shuo mendekatkan wajahnya ke Chen Jingmo, memandang empat bola mata yang saling memantulkan bayangan, membuatnya tersipu malu.
“Dan apa lagi?” Chen Jingmo bertanya.
“Tidak apa-apa, perasaan antara gadis-gadis memang berkembang sangat cepat ya.” Bai Shuo mengambil kursi dan duduk sambil menghela nafas.
“Sudah kubilang, ini rahasia antar wanita. Mau tahu?” Chen Jingmo berpura-pura misterius berbisik di sampingnya, senyum penuh kemenangan terpancar.
“Lebih baik tidak...” Bai Shuo tersenyum getir: “Sepertinya masih banyak yang harus kupelajari...”
Saat cairan dalam cahaya keemasan akhirnya meresap seluruhnya ke tubuh Ottolia, gadis bermata tertutup itu perlahan turun dari tengah hampa. Ia berdiri dengan mata terpejam di tanah, bagai tertidur lelap.
Menarik nafas dalam-dalam, perlahan ia membuka kelopak matanya.
Saat pandangan Bai Shuo bertemu dengannya, sorot mata keemasan kemerahan yang mampu menembus segalanya itu melihat jejak aura kehidupan paling murni yang membelit tubuhnya, juga kegelapan samar tersembunyi di kedalaman jasmaninya.
“Bagaimana rasanya?” Bai Shuo menatap Ottolia: “Terlihat sangat bersemangat.”
Ottolia menatap telapak tangannya, menggenggam jari-jarinya: “Kekuatan asing. Kurasa aku butuh waktu untuk beradaptasi.”
"Dewa utama," Bai Shuo tiba-tiba berkata, "Periksa evaluasi Ottolia."
"Prajurit Samsara Ottolia, Prajurit Samsara bintang dua puncak intensitas."
Bai Shuo berpikir sejenak lalu berkata: "Langsung melompat dari tingkat pemula ke puncak. Begitu kau bisa mengendalikan kekuatan fisikmu sepenuhnya, mungkin kau bisa masuk ke bintang tiga."
"Kira-kira setara kekuatan 2ND?" Chen Jingmo mendekat dan memperhatikan sekujur tubuh Ottolia: "Lumayan. Saat Zackes baru muncul, dia juga 2ND."
"Masih ada masalah?" Bai Shuo menatap ekspresi perenungan Ottolia.
"Kapten..." Ottolia tiba-tiba mengangkat kepala, menatap Bai Shuo: "Tolong bertarunglah denganku."
"Apa?" Bai Shuo tidak terkejut, justru Sun Wukong yang terperanjat. Ia memandangi Bai Shuo dan Ottolia dengan ekspresi keanehan: "Sangat mirip."
"Saat ini mungkin tidak bisa." Bai Shuo menggeleng sambil tersenyum getir.
Ottolia bertanya bingung: "Mengapa?"
"Karena aku sama sepertimu." Ia kembali duduk di kursi, seluruh tubuhnya mengendur: "Dan aku lebih bodoh - menantang bintang enam tanpa tahu kemampuan diri, nyaris semua keyakinanku hancur oleh satu jurus mereka."
"Apa yang terjadi?" Chen Jingmo memperhatikan raut lelah Bai Shuo.
Bai Shuo merasa tenaga mentalnya terkuras, sementara Sun Wukong masih penuh semangat. Dia kemudian menceritakan secara detail semua urusan antara Bai Shuo dan Matou Shinji, diselingi berbagai kritik internalnya sendiri.
"Bagaimana pendapat kalian tentang undangan dari 'Salib'?" tanya Bai Shuo: "Ini kesempatan langka. Di antara beberapa kelompok pertempuran, manajemen Salib selalu longgar dan konflik internal mereka relatif sedikit."
"Saya tidak keberatan." Ottolia menggelengkan kepala.
Chen Jingmo mengangguk: "Kalau ada keuntungan yang bisa diambil, tentu lebih baik."
Setelah Sun Wukong juga menyatakan bahwa pilihan ini benar, Bai Shuo segera memutuskan secara tegas untuk bergabung dengan kelompok pertempuran 'Salib'.
Adapun Liang Gongzheng... mungkin tidak ada yang akan meminta pendapatnya.
"Hari ini mengalami begitu banyak hal, tenaga mental benar-benar terkuras." Bai Shuo menguap lalu berdiri dari kursinya: "Aku istirahat dulu, urusan lain bicara besok saja."
Pertempuran dengan Matou Shinji, ditambah latihan pemikiran dan seni bela diri setelahnya, hampir mengkonsumsi semua energi mentalnya, membuat jiwanya dipenuhi kelelahan.
Tanpa berpikir panjang, setelah menutup pintu secara sembarangan, Bai Shuo langsung terjun ke tempat tidur dan tertidur.
Dalam mimpi hanya ada kekacauan, Bai Shuo yang sudah mencapai batas kelelahan sama sekali tidak bermimpi apa pun. Ketika bangun kembali dari kegelapan, dia menyadari keringat yang keluar banyak selama proses penyembuhan tubuhnya telah membasahi seprai.
Setelah merasa agak haus dan meneguk dua teko teh, ia menghabiskan sepuluh menit untuk mandi seadanya. Ini pertama kalinya dia begitu santai sejak misi selesai.
Tanpa perasaan krisis yang menekan hati, malah membuatnya bingung harus berbuat apa.
Dalam cahaya redup, Bai Shuo menunduk memandang cangkir di tangannya. Di dalam mug teh itu, pupil keemasan kemerahan tampak samar di antara riak gelombang.
Dengan perlahan menggerakkan telapak tangan, bayangan pupil itu pun mengabur, menyisakan warna yang tetap mencolok meski dalam cahaya suram.
"Semakin aneh saja." Senyum getirnya mengembang sebelum meletakkan cangkir sembarangan di meja. Ia menyambar jubah luar dan mengenakannya asal-asalan, lalu mengambil map dokumen di meja sebelum melangkah keluar.
Di dalam Ruang Dewa Utama yang sunyi, seorang pria muda membelakangi Bai Shuo. Ia jongkok di atas permukaan baja, asyik menggambar pola aneh dengan kapur tulis.
Seperti coretan bocah dengan teknik paling payah - garis lurus yang terdistorsi, oval ganjil, dan berbagai bentuk acak-acakan terhampar di lantai.
Lukisan itu membentang seluas puluhan meter persegi. Pria itu tetap menggambar dengan tekun dan fokus, sama sekali tak mendengar suara Bai Shuo membuka pintu.
"Lagi gambar apa?" Bai Shuo berdiri di belakangnya, memandangi Liang Gongzheng yang terus-terusan kesurupan sejak pertama kali mereka bertemu.
"Liang Gongzheng yang biasanya sangat aktif dan emosi kacau, kali ini terdiam hebat. Setelah hening sejenak, dia berbicara tanpa menoleh: 'Lukis Gunung Hijau Kebiruan.'"
"Lukisannya kurang mirip." Bai Shuo berdiri di belakangnya, menatap pola aneh yang membentang dari kejauhan: "Bentuk manusianya jelek semua."
"Ya, karena aslinya memang jelek." Liang Gongzheng berkata dengan sangat serius: "Semua orang jelek."
Ucapannya sama sekali tidak mengandung kegilaan, malah penuh kesadaran luar biasa.
Mata Bai Shuo bisa melihat panjang gelombang jiwa Liang Gongzheng yang biasanya kacau kini menghilang. Panjang gelombang jiwanya saat ini monoton dan menekan, seperti jeda sebelum puncak berikutnya.
"Sadar?" Bai Shuo duduk di sampingnya bertanya: "Harusnya sudah sadar kan?"
"Tidak, hanya sementara. Kadang sadar, tapi kebanyakan tetap orang gila." Liang Gongzheng geleng kepala, mengangkat kapur di tangannya sambil menunjuk kepalanya sendiri: "Telur besar itu bilang, bahkan jiwa sudah terdistorsi. Skizofrenia paling parah, tak bisa diperbaiki."
Bai Shuo menatap matanya yang jernih: "Sejak kapan sadar?"
"Setengah jam lalu. Mungkin bisa bertahan beberapa waktu. Nanti mungkin kembali seperti semula." Liang Gongzheng mengangkat bahu pasrah. Wajahnya tersenyum tapi tak ada secercah kegembiraan di matanya: "Seperti orang tidur sambil berjalan."
“Karena tadi malam, Liang Gongzheng asal mengklik di hadapan dewa utama, akibatnya kondisi jiwanya menjadi kacau balau. Gangguan kejiwaannya yang sudah hampir tak tertolong semakin parah, tapi ini juga membuatku sadar.”
“Bukankah kau Liang Gongzheng?”
