“Aku ini siluman, kalau tidak berkeliaran di hutan lebat di pegunungan, harus pergi ke mana lagi!?” Siluman yang tubuh asalnya tidak jelas itu juga merasa difitnah: “Aku bahkan belum bicara apa-apa! Langsung kau pukul aku!”
Bai Shuo terdiam di tempat, otaknya menggumamkan kejadian tadi. Sepertinya... benar seperti yang dikatakannya?
“Baiklah, aku salah...” Bai Shuo akhirnya menyerah di bawah tekanan rasa malu yang bertubi-tubi, duduk di tunggul pohon sambil melambai-lambaikan tangan pasrah: “Aku mengaku salah, cepatlah pergi...”
“Satu kalimat saja mau mengusirku, aku tidak terima!” Siluman itu naik pitam, menuding Bai Shuo berteriak: “Sudah bertarung lama denganku, sekarang mau mengusirku begini saja...”
“Lalu kau mau apa lagi!” Bai Shuo mengepal tangan: “Lanjut bertarung? Siapa takut!”
“Aku lapar, beri aku makan sampai kenyang, baru aku lawan kau...” Siluman itu berseru dengan wajah tidak tahu malu.
“Apa?” Bai Shuo merasa ketebalan muka-nya benar-benar kalah di hadapan makhluk ini.
……
Setengah jam kemudian, Bai Shuo menghadapi siluman yang telah membersihkan bau busuk-nya atas desakannya, menyodorkan seikat daging panggang. Dengan wajah kaku ia memandangi makhluk itu membuka mulut selebar baskom, melahap tusukan beserta daging sekaligus.
"Hei hei! Bagaimana bisa kamu menelan tusuk besi itu sekaligus?" Bai Shuo menatap monster yang hanya menyisakan setengah tusuk besi di tangannya, tak kuasa ingin membuka mulutnya untuk melihat bagaimana struktur gigi makhluk itu.
"Daging ini rasanya enak, pertama kali aku makan ini." Monster itu mengunyah tusuk besi di mulutnya sambil berkata.
"Mengapa setiap duduk bersamamu, aku selalu merasa hidupku sangat gagal?" Bai Shuo tak kuasa bergumam pelan, kembali menyerahkan seikat daging panggang yang baru matang.
"Hai yang tak berbulu, kamu belum memberitahu asal-usulmu, monster jenis apa sebenarnya kau." Monster itu mengunyah daging panggang dengan rakus sambil bertanya: "Aku tak percaya kau manusia, belum pernah kulihat manusia yang bisa bertarung sehebat kau."
"Aku manusia!" Bai Shuo tak tahan lagi dan mematahkan tusuk besi di tangannya.
"Cih, tak mau bicara ya sudah." Monster itu memalingkan kepala dengan ekspresi meremehkan, tak mau lagi memperhatikannya.
Keduanya mengunyah makanan sambil mengobrol santai, terkadang takdir memang aneh - sebentar sebelumnya mereka masih bertarung sengit, namun setelah kesalahpahaman terklarifikasi, bisa duduk berdampingan layaknya teman.
Monster itu tak takut Bai Shuo menyebarkan racun, Bai Shuo pun tak khawatir monster itu tiba-tiba menyerang.
"Hei hei, sebenarnya kamu monster jenis apa sih?"
“Gua?” Monster itu menunjuk dirinya sendiri berkata: “Gua tentu saja monyet! Apalagi monyet paling ganteng, dulu di gunung, monyet-monyet semua manggil gua: Raja Kera Tampan.”
“Puuut… Hmm… Apa?” Bai Shuo tersedak cabai di tenggorokan: “Raja Kera Tampan?”
“Iya dong, gagah banget tuh.” Monyet itu berseru girang.
Bai Shuo merasa ada peringatan aneh di hatinya, bertanya sangat serius: “Aku bilang, jangan-jangan kamu dari Gunung Bunga dan Buah?”
“Kok kamu tahu?” Monyet itu terkejut: “Gua ini Raja Kera Tampan Gunung Bunga dan Buah.”
……
Dari kedalaman hutan, tiba-tiba terdengar auman amarah seperti petir menggelegar: “Dewa Utama, Wocao Nima! Ini mah ngamuk di Istana Langit!”
“Kamu kenapa? Gatal?” Monyet itu menggaruk wajah, melihat Bai Shuo yang sedang berteriak: “Lihat badanmu gak berbulu, ternyata ada kutu juga. Sini, gua cabutin.”
“Sudahlah.” Bai Shuo lemah bersandar di batang pohon, menggeleng pasrah: “Bukannya kamu jadi raja gunung di Gunung Bunga dan Buah? Kok bisa ada di sini?”
“Gua mau cari guru.” Monyet itu menelan tusuk sate di tangannya: “Gua mau belajar ilmu umur panjang.”
Mendengar ini, Bai Shuo langsung lega di hati. Monyet belum jadi murid, bagus, masih fase awal. Musuh terkuat cuma beberapa siluman, dewa-dewa belum berkeliaran, untuk sementara masih aman.
“Masalahnya, mengapa di dunia Huluwa ada karakter seperti monyet?”
Bai Shuo kembali merasakan peringatan aneh di hatinya: Jangan-jangan akan muncul kesialan lagi? Batas bawah dewa utama... Maaf, aku benar-benar tidak bisa menemukan...
“Melihatmu mirip dengan aku, bagaimana kalau kau ikut bersujud pada guru bersamaku?” Monyet menunjuk Bai Shuo: “Nanti aku akan membantumu menjadi Wakil Raja Gunung Huaguo.”
Bersujud pada Guru?
Guru monyet itu adalah... Gua Xieyue Sanxing, Bodhi?
Bai Shuo langsung ingin berteriak begitu teringat paha besar di belakang monyet ini, ini benar-benar kesempatan langka...
Belum lagi Jintouyun (), teknik 72 perubahan, bahkan jika mempelajari hal-hal lain sedikit saja bisa meningkatkan kekuatan secara signifikan...
“Wakil Raja tidak perlu, tapi kemana rencanamu bersujud pada guru, monyet?” Bai Shuo bertanya: “Kurasa kau juga tidak punya ide.”
“Tidak apa-apa, ikut aku ke sana!” Monyet itu acak-acakan menunjuk suatu arah: “Pokoknya aku merasa pasti ada guru di tempat itu.”
Tidak hanya pasti... itu mutlak!
Ternyata bukan kebetulan monyet bersujud di bawah Sanxingdong...
Pikiran Bai Shuo terus bekerja, sepertinya ada yang mempengaruhi? Hmm, mungkin, dengan merebut bibit unggul monyet ini lebih dulu, pasti akan berbuah manis. Tapi peran apa yang harus dimainkannya dalam rencana ini?
"Bagaimanapun, harus mendapatkan keuntungan terbesar, minimal bisa mengais sedikit keuntungan. Kalau tidak, tugas ini sia-sia datang kemari."
"Huluwa (karakter animasi Tiongkok) dan sejenisnya, kesampingkan dulu. Karena sudah memegang petunjuk ini, sisanya... tergantung seberapa besar buah yang bisa kupetik dari tanah ini."
Dengan tegas menerima undangan monyet untuk mencari master bersama, Bai Shuo kembali mengobrol ngalor-ngidul dengan si monyet.
Hanya saja si monyet tetap tak mau mengakui Bai Shuo sebagai manusia, menganggapnya sebagai siluman aneh yang belum pernah dilihat. Setelah puluhan kali berdebat, Bai Shuo akhirnya pasrah.
"Aku bilang, monyet, mau ikut aku ke suatu tempat tidak?" Tiba-tiba muncul dorongan menarik di hati Bai Shuo: "Sebuah tempat... yang sangat ajaib."
Jika bisa merekrut monyet ini ke Tim Harapan, mungkin misi selanjutnya akan lebih mudah?
"Coba jelaskan." Monyet mengunyah buah, tak mengangkat kepala.
"Hmm, ada banyak kitab rahasia, berbagai hal yang tak terduga." Bai Shuo berusaha menjelaskan dengan gerakan tangan: "Metode panjang umur, cara menjadi kuat, semuanya ada banyak sekali. Dunia di sana tak terbatas luasnya, jauh lebih besar dari sini..."
Bai Shuo berusaha menggambarkan Ruang Dewa Utama dalam batasan yang diizinkan sistem dewa.
"Hanya saja, setelah masuk, kemungkinan besar tak bisa kembali lagi."
Bai Shuo jujur menjelaskan situasi Tim Harapan kepada monyet, menunggu keputusannya.
“Hmm, ada banyak pertarungan, banyak barang bagus, juga banyak buah persik. Tempat itu memang cukup menyenangkan.” Monyet itu meludahkan biji buah sambil berkata: “Tapi aku tidak mau pergi.”
“Mengapa?” Bai Shuo terkejut.
“Aku masih punya banyak pengikut-pengikutku yang tidak bisa ditinggalkan.” Monyet menggelengkan kepala, wajahnya penuh noda sari buah terlihat lucu: “Nanti jika suatu hari aku sudah bebas dari ikatan, tidak ada lagi hiburan yang menarik, baru aku akan ikut denganmu. Sekarang, tidak bisa.”
“Haha, monyet sialan.” Bai Shuo tertawa, hatinya merasa kecewa tapi juga mengerti: “Mana ada hal semudah itu, mau pergi ya pergi, tidak mau pergi ya tidak?”
Ia bersandar di batang pohon, memicingkan mata sambil tersenyum. Inilah monyet yang dikenal oleh Bai Shuo. Lagipula, jika monyet benar-benar mudah diburu oleh Bai Shuo begitu saja, lalu bagaimana dengan plot selanjutnya?
Ini bukan lagi masalah mengganggu alur cerita, langsung sama dengan kerusakan plot.
Nanti Bai Shuo hanya bisa menunggu sebelum waktu penukaran berakhir, karena berbagai alasan, dikejar-kejar oleh para dewa langit.
Begitu mereka mengobrol santai tanpa topik jelas, akhirnya tertidur, dan malam panjang pun berlalu perlahan.
※※※
Sementara di ufuk yang jauh, Chen Jingmo dan Ottolia justru menghadapi situasi mencurigakan yang sama sekali tidak terduga di kota asing.
Chen Jingmo membungkuk, dengan ekspresi wajah tak percaya melihat anak kecil di depannya, bertanya dengan gagap: “Kamu bilang, namamu... Nezha?”
※※※
Liang Gongzheng membagi Mantou miliknya menjadi dua bagian dan memberikan setengahnya kepada anak kecil di sebelahnya.
Anak kecil yang berpakaian compang-camping mengunyah Mantou-nya, kedua orang itu duduk jongkok di tepi tembok seperti pengemis. Tangan anak kecil itu memegang ranting pohon, dengan tekun menggambar berbagai gambar yang hidup di tanah.
"Omong-omong, namamu siapa ya?" Liang Gongzheng bersandar di tembok, bertanya dengan santai.
Anak kecil itu mengangkat kepala, menatap Liang Gongzheng: "Namaku Ma Liang."
※※※
Di tengah malam, Sun Wukong mengetuk pintu salah satu ruangan dojo. Setelah lama menunggu, seorang tua berkacamata hitam menguap muncul di ambang pintu, melihat Sun Wukong dengan wajah tidak senang: "Kaulah murid baru itu? Sungguh tidak sopan, menggangguku di jam seperti ini. Jika tidak ada urusan penting, pergilah dari dojo ini!"
Sun Wukong menunjukkan senyum licin yang terlatih, perlahan membuka koper di tangannya: "Guru telah berjasa besar dalam mendidik murid-murid, sebagai bentuk rasa terima kasih sekaligus kepedulian terhadap kelelahan Guru, murid berpikir dojo ini perlu direnovasi..."
Kilau bata emas dan permata beriak dalam hitam pekat kacamata, mengaburkan bayangan Sun Wukong di dalamnya.
"Ini hadiah kecil sebagai tanda hormat, semoga Guru bisa lebih memperhatikan murid selama sebulan ke depan."
