“Sudah larut begini, syukur bisa menemukan tempat menginap.” Chen Jingmo tengkurap di tempat tidur yang baru dipasang, berguling-guling: “Kelelahan sekali.”
“Siapa sebenarnya remaja bernama Nezha itu?” Ottolia berdiri di jendela yang terbuka sedikit, mengobservasi toko lentera di kejauhan.
Chen Jingmo menggaruk kepalanya dengan depresi: "Aku juga pusing memikirkannya, kenapa di plot Calabash Brothers ada karakter dari zaman Dinasti Shang? Semua jadi kacau! Benar-benar kacau! Dan di mana Gunung Hulu? Di mana?! Tidak ada yang pernah dengar?!"
"Na、Zha?" Ottolia mengeluarkan PDA dari ruang angkasa dan mulai memeriksa data rumit yang tersimpan di dalamnya, membacanya dengan saksama.
Chen Jingmo tengkurap di tempat tidur, mengeluarkan mainan edisi mewah dari Ruang Dewa Utama yang ditukarnya - seekor kucing simulasi dengan realisme tinggi yang mirip makhluk hidup kecuali tidak bernyawa - lalu memasukkan Jiwa Palsu ke mulut kucing itu.
Kucing kuning kecil di telapak tangan Chen Jingmo membuka matanya seperti baru bangun tidur, berbaring di tangan sambil mengeluarkan suara lemah: "Meong~"
"Imut sekali, imut sekali..." Chen Jingmo menggesek-gesekkan kucing itu sambil tertawa, menggelitik hidungnya dengan kelingking dan menirukan suaranya: "Meong~"
Setelah mengisi boneka rumit dengan jiwa buatan - kucing ini memperoleh kehidupan baru. Untuk menghindari komplikasi, Bai Shuo khusus menukar Jiwa Palsu bentuk hewan yang menyatu sempurna dengan tubuh barunya.
“Namanya apa yang bagus? Xiao Huang? Kentang? Bintik-bintik?” Chen Jingmo menggenggam kucing di telapak tangannya, mendekatkan wajah sambil bergumam.
Jiwa yang baru lahir ini secara naluriah bersandar pada tubuh Chen Jingmo, meringkuk membentuk sekelompok di telapak tangannya, menjulurkan lidah untuk menjilat telapak kakinya.
“Sekalian saja namamu Xiao Bai... Meskipun warnamu sama sekali tidak putih.” Senyum licik mengembang di wajah Chen Jingmo sambil menatap kucing yang hampir menempel di telapak tangannya, pikirannya justru melayang kepada si tunanetra berkepala kayu itu.
“Andai dia penurut sepertimu.”
“Begitu rupanya, ini kisah perlawanan dan kelahiran kembali ya?” Ottolia mengangguk paham setelah menyelesaikan data di tangannya: “Kita ikut campur?”
“Terlibat langsung berarti menuju penghancuran total.” Chen Jingmo menggeleng: “Jangankan Raja Naga, bahkan Li Jing pun bisa menghabisi kita berdua.”
“Pertama kita harus tahu versi cerita mana.” Chen Jingmo menghitung jari: “Versi animasi Legenda Nezha, sinetron-sinetron absurd dari benua, versi TVB, atau animasi paling kuno: Nezha Nao Hai...”
“Perkiraan dua versi benua dalam beberapa tahun terakhir itu sudah pasti tidak mungkin, kedua versi itu terlalu mengada-ada; di legenda Nezha (Nezha Chuanqi) akan lebih rumit, kekuatan tempur Shi Ji melonjak ke puncak, hampir membunuh Taiyi Zhenren, Rubah Iblis (Hu Liena), dua sekte Chan dan Jie, ekspedisi Raja Wu melawan Zhou... Jika kita ikut campur sembarangan, kita berdua akan dengan mudah dikalahkan, itu akan jadi tragedi.”
“Kalau begitu, kita amati dulu beberapa waktu?” Ottolia mengamati kediaman Komandan Jenderal Chentang dari celah jendela, bertanya.
Chen Jingmo mengangguk berkata: “Benar, jika ini versi Investiture of the Gods (Fengshen Yanyi), kita murni tidak bisa kita campuri, dan untuk menghindari kerusakan kollateral, lebih baik segera pergi.”
“Aku paham, lalu selanjutnya...” Ottolia menunduk melihat jam, tapi tiba-tiba membeku di tempat.
“Ada apa?” Chen Jingmo juga melihat jam tangannya, lalu mulutnya terkanga.
Di peta, titik merah kecil yang mewakili Bai Shuo sedang bergerak cepat ke arah lain, terus menjauh dari mereka, hanya dalam lima enam detik sudah hampir keluar dari jangkauan penerimaan.
“Dia... sedang menerbangkan pesawat?”
Chen Jingmo mengangkat kepala dan saling pandang dengan Ottolia, kedua orang ini benar-benar bingung dengan pemandangan di depan mata.
※※※
Saat Bai Shuo terbangun, hal pertama yang didengarnya adalah suara percikan air. Selanjutnya, ia merasakan bagian bawah tubuhnya terendam dalam air, sedangkan bagian atasnya diterpa terik sinar matahari. Sensasi aneh ini membuat tenggorokannya sakit karena dehidrasi, sementara bagian bawah tubuhnya memutih akibat terendam air laut.
Apakah badai sudah mereda?
Dengan kebingungan, ia membuka mata dan pertama kali melihat monyet yang tengkurap di batang kayu apung lainnya. Monyet itu tampak cukup bersemangat, menggaruk bulu di pantatnya sambil ekornya mengaduk-aduk air secara acak.
Dua batang kayu apung dihubungkan dengan kawat baja, sementara pinggang Bai Shuo terikat pada kayu apung sehingga ia tidak tenggelam.
"Monyet, sudah sampai mana kita?" Bai Shuo mengangkat lengannya, merangkak ke atas kayu apung lalu bersuara.
"Hah?" Monyet menoleh ke Bai Shuo sambil tertawa: "Kau belum mati? Ane kira kau sudah mati. Ane juga nggak tahu ini tempat mana."
Bai Shuo merasakan dari lubuk hati bahwa mulut monyet itu benar-benar kasar. Apa maksudnya "kau belum mati"? Bukankah ia masih hidup dengan segar?
"Tutup mulut burungmu," sahut Bai Shuo kesal. Ia mengambil botol air mineral cadangan dari ruang penyimpanan, membuka tutupnya lalu menuangkan setengah botol ke mulutnya. Baru setelah itu tenggorokannya terasa lebih nyaman, meski terik matahari tetap menyiksa.
“Aku bukan burung, apa maksudmu paruh burung?” Kera menggaruk-garuk mulutnya sendiri sambil mengulurkan tangan. “Aku juga haus, beri aku minum.”
“Di mana-mana ada air, kenapa tidak minum air laut saja.” Bai Shuo mengabaikannya.
Kera menggaruk-garuk gatal di tubuhnya sambil menjawab: “Entah kenapa, air di sini rasanya aneh, semakin diminum malah semakin haus.”
Bai Shuo melemparkan sebotol air. Kera itu tak bisa membuka tutupnya, langsung menggigit putus mulut botol dengan gigi lalu menelan air bersih itu dengan liar.
Bai Shuo memandang kompas di tangannya. Kepala panah Merah berputar-putar tak karuan seperti roda raksasa di kasino, membuat hatinya tenggelam dalam keputusasaan.
Sialan, ada tambang magnet atau apa di sekitar sini? Kompas tidak bisa digunakan, apalagi GPS di dunia primitif ini.
Tersesat di laut lepas, bahkan orang bodoh pun tahu konsekuensinya. Meski Bai Shuo punya persediaan air dan makanan cukup, tapi jika begini terus, waktu sebulan akan terbuang percuma.
Meski jurus baru yang dikuasainya bisa menutupi beberapa kelemahan, tapi jumlah poin yang dihabiskan tetap merugikan.
Bayangan kembali ke Ruang Dewa Utama dengan tangan kosong membuat Bai Shuo merasa darahnya menetes di hati.
Semua itu poin hadiah...
“Berapa lama aku pingsan?”
“Tak lama, cuma semalam.” Kera itu memain-mainkan botol di tangannya.
Semalam... Masih bisa diterima.
Bai Shuo mengangguk, tidak bisa menahan diri untuk mengingat kembali pemandangan seperti kiamat semalam.
