Chen Jingmo dengan sisa harapan terakhir, diam-diam menekan tombol kecil di arlojinya.
Sayangnya, seperti yang dikatakan nalarnya pada dirinya, tidak ada yang muncul.
Chen Jingmo tiba-tiba ingin menampar dirinya sendiri, mana mungkin ada pahlawan super turun dari langit. Jarak Bai Shuo di peta dengan dirinya jika dikonversi ke jarak sebenarnya sudah kacau balau, lagipula dia tidak bisa terbang.
Sekarang akhirnya harus bergantung pada diri sendiri dan Ottolia untuk menyelesaikan ini.
Sayang saat dia ragu-ragu, musuh sudah selesai bertransformasi. Super Saiya saja butuh peningkatan ribuan Kekuatan Tempur saat bertransformasi, yang ini meski lebih lemah, tetap bisa dengan mudah mengalahkan kami berdua kan?
Chen Jingmo menggigit gigi dan berteriak: "Ottolia hati-hati!"
Perlahan dia mengeluarkan kotak hitam sebesar tengkorak manusia biasa dari ruang arlojinya: "Aku akan menggunakan serangan pamungkas!"
Pada saat kotak muncul, gelombang jiwa dalam tubuh Chen Jingmo tiba-tiba mencapai batas maksimal. Meski kekuatannya masih jauh lebih lemah dibanding musuh, aura khidmat yang terpancar dari sikapnya membuat Caiyun Tongzi mengerutkan alis. Kabut tebal dan awan berlapis-lapis membelit tubuhnya, disertai desir angin yang samar-samar, berubah menjadi pertahanan total.
Siapa yang tahu senjata apa yang dikeluarkan wanita itu? Apakah itu Yinlei Tuda yang legenda untuk serangan bunuh diri dan mutual destruction? Sepertinya tidak...
Tanpa peringatan, kotak hitam itu pecah bagai sungai hitam yang jebol seketika. Kabut hitam pekat yang tak terhitung jumlahnya menyebar keluar, mengembang dengan cepat di udara seperti iblis yang tumbuh pesat, menerjang ke arah Caiyun Tongzi.
Dalam Persepsi Caiyun, semua kekuatan ilahi yang menyelidiki wilayah ini langsung kehilangan sensasi.
Seperti ditelan?
Aliran udara hitam yang mengembang cepat seketika membungkusnya. Namun dalam kegelapan, Ottolia merasakan telapak tangan tiba-tiba menariknya untuk lari kencang.
"Apa lagi yang kau tunggu!" Chen Jingmo bergumam geram di telinganya: "Lari!"
Kegelapan tak berujung berubah menjadi lautan yang menelan Caiyun. Kabut hitam yang bergelora tak menunjukkan fungsi serangan atau apapun seperti yang diperkirakan.
Hanya saja, seberapa pun tajamnya indra, begitu terperangkap di dalamnya, akan menjadi seperti tunanetra yang tak bisa merasakan apa pun.
Formasi Pasir Merah? Tidak ada aroma tiga putaran pasir merah yang bisa meluluhkan dewa emas, malah warnanya hitam... Mungkinkah ini senjata pamungkas iblis dari jalan iblis? Atau sekadar... ilusi mata paling murni?
Kehati-hatian dalam hati Caiyun berubah menjadi amarah tak terucap di hadapan realitas, realitas kejam menertawakannya.
Tak diragukan lagi, dia... ditipu!
Kabut hitam yang menyelimuti area ratusan meter tiba-tiba bergerak aneh, atau lebih tepatnya, membengkak?
Seolah bom diledakkan di dalamnya, gelombang kejut penghancur segalanya menembus langit, mendorong kabut hitam hingga batas maksimal, sebelum akhirnya tercabik-cabik oleh angin kencang dan awan badai yang meledak dari dalam.
Dalam 5-6 detik singkat itu, Chen Jingmo sudah menarik Ottolia yang masih bingung hingga jarak dua kilometer.
Kecepatan terus meningkat!
Boneka ramping itu melesat seperti peluru, terus melambung ke atas. Darah segar yang dimanipulasi dalam tubuhnya memaksa sistem hidrolik hampir melampaui batas hingga nyaris meledak, tulang-tulang paduan logam melengkung ringan di bawah tekanan dahsyat, otot-otot bionik magis tertarik hingga hampir putus.
"Lagipula tidak ada rasa sakit sama sekali, jika rusak bisa diganti lagi," Chen Jingmo nekat menerjang, meski agak sedih. Ini kan hadiah permintaan maaf dari seseorang untuknya.
Menahan angin kencang yang menerpa, Ottolia menempel di punggung Chen Jingmo. Tapi ia merasakan suara 'kreek' halus terus-menerus dari boneka di bawahnya. Boneka cantik ini hampir hancur. Jika dikonversi ke nilai, durability yang awalnya utuh kini turun drastis.
Ottolia menatap kabut hitam yang bergerak di belakang dan bertanya, "Apa tadi itu?"
"Kabut Perang." Chen Jingmo menoleh dengan wajah kesakitan, "Diam, kita sedang kabur... Aduh sakit hatiku..."
Item tingkat tiga bintang: Kabut Perang. Asal: WarCraft
Kabut yang dalam game hanya sebagai representasi gelap dari realitas perang, setelah dimanifestasikan oleh dewa utama atau diubah dengan metode tertentu, menjadi alat yang bisa dimanfaatkan Prajurit Samsara.
Apalagi versi yang dibeli Chen Jingmo adalah edisi kekuatan premium di pasar internal Batalyon Salib.
Efektif mengisolasi persepsi Prajurit Samsara di bawah tingkat lima bintang selama tiga jam. Puluhan kali uji coba tanpa cacat, harga terjangkau lho~ Bisa pilih warna juga~
Saat itu selain mengeluh harganya agak mahal, Chen Jingmo juga berkomentar: Sayangnya ongkir tidak gratis.
Sebuah kabut perang yang mampu mencakup area seluas 500 meter, harganya mencapai 2.500 poin hadiah. Meski tidak bisa dibilang murah, atas saran Sun Wukong, Chen Jingmo dan Bai Shuo tetap membeli satu sebagai persediaan.
Semua orang pernah perlu kabur menyelamatkan nyawa. Jika musuh di bawah tingkat lima bintang, dalam beberapa detik mereka bisa menjauh hingga kilometer. Tapi kalau musuh di atas tingkat lima bintang... Apa lari bisa membantu?
Jadi, yang paling disyukuri Chen Jingmo sekarang adalah bocah tampan yang jatuh dari langit ini, meskipun terlihat perkasa, masih belum melebihi level lima bintang.
Bagaimanapun juga misi mereka hanya mengantar Nezha ke Gua Cahaya Keemasan. Dengan dukungan kuat Taiyi, tentu tak ada tekanan.
Mereka dan Ottolia hanyalah Prajurit Samsara yang ingin menyelesaikan tugas lalu pergi. Membantu sampai sejauh ini sudah mencapai batas maksimal.
Untungnya beberapa kilometer lagi sudah ada hutan lebat. Jika lingkungan masih berupa padang liar tak bertepi, pasti Chen Jingmo dan Ottolia benar-benar tamat kali ini.
Menuruti perintah Chen Jingmo, Ottolia menyembunyikan semua jejak aura kehidupannya. Gelombang getaran yang semula mencolok perlahan menghilang, menjadi senyap sebatang batu yang tertidur lama.
Andai bukan karena kehangatan di lengannya, Chen Jingmo hampir mengira Ottolia mengalami sesuatu. Dia juga menekan gelombang jiwanya yang semula seperti obor, keluar dari mode resonansi jiwa, lalu bergegas menyusuri hutan lebat.
Jika pandangan mereka meningkat saat ini, mereka akan dapat melihat pegunungan tinggi yang memenuhi seluruh bidang pandang. Nuansa hijau pekat dengan cepat menelan siluet kecil kedua orang itu. Di langit di belakang mereka, awan-awan yang terserak mulai bergolak tak menentu akibat tekanan badai. Aliran udara tak berujung dan kabut tipis merembes keluar dari pusaran raksasa, menghujani hutan belantara — jejak aura mereka telah tercatat oleh Viscount Caiyun. Begitu berani menampakkan diri, yang menunggu mereka hanyalah tembakan menyeluruh tanpa ampun.
※※※
Ottolia pernah menghibur Chen Jingmo, "Mungkin Kapten sedang mencari kita sekarang."
Jawaban Chen Jingmo saat itu adalah: "Orang itu mungkin sedang tidur nyenyak di suatu tempat..."
Kebetulan yang aneh, Bai Shuo benar-benar sedang tertidur lelap saat ini.
Setelah membunuh Raja Kekacauan, Bai Shuo menyelinap ke dalam gua dengan tubuh penuh luka untuk membebaskan kera-kera yang dipenjara di dalamnya.
Awalnya kera-kera kecil yang ketakutan itu mengira Bai Shuo adalah makhluk yang lebih kejam dari Raja Kekacauan, sedang mempersiapkan permainan menyimpang berburu-memburu. Setelah berdebat panjang dan menunjukkan hadiah tugas dari Wukong, akhirnya seekor kera tertua di dalam gua baru mengenalinya.
Air mata tua berlinang, monyet tua berjanggut panjang memeluk Batu Nuwa sambil menangis tersedu-sedu, bicaranya kacau balau. Kira-kira maksudnya adalah Raja ternyata tidak melupakan keturunan monyet, kalau terlambat sedikit lagi, monyet tua ini akan bertahan kelompok dengan cara bunuh diri, dan sebagainya. Bai Shuo yang mendengarnya juga merasa sedih di hati. Setelah melalui beberapa kekacauan, tugas yang diberikan monyet akhirnya berhasil diselesaikan dengan sempurna.
Dalam dua hari berikutnya, di bawah petunjuk monyet, Bai Shuo membersihkan semua bahaya dalam radius 10 li (±5 kilometer) di sekitar Huaguoshan, membunuh beberapa iblis tingkat tiga, dan kembali memperoleh beberapa poin hadiah.
Pada akhirnya, Bai Shuo menyadari dirinya tidak punya pekerjaan lagi.
Setelah masuk ke dunia ini, Bai Shuo yang selalu sibuk dan tegang tiba-tiba merasa hidupnya kosong.
Selain berlatih rutin, dia sama sekali tidak bisa memikirkan hal lain yang bisa dilakukan.
Setelah mengunyah buah-buahan sambil berkeliling Huaguoshan dipandu monyet, Bai Shuo langsung duduk di tebing terpencil dekat pantai Huaguoshan dan mulai berlatih rutin.
Setelah rutin mengkonsolidasi kekuatan dalam tubuhnya, dia duduk di tempat monyet itu muncul dulu, memandang ombak yang terus menerjang, lalu tertidur dengan sangat santai.
Bai Shuo yang tidak pernah memiliki kebiasaan tidur siang, di bawah pemandangan hempasan ombak laut, tatapannya perlahan-lahan menjadi lamunan. Seketika rasa kantuk muncul dari ketiadaan, matanya semakin berat, kesadaran menyamar ke kedalaman otaknya.
Saat kelopak matanya menutup sepenuhnya, sebuah kekuatan ilahi yang selama ini tersembunyi di sekeliling Bai Shuo tiba-tiba termanifestasi. Kekuatan ilahi tanpa permusuhan ini dengan mudah menembus pertahanan tubuh dan jiwa Bai Shuo, bagai bayangan yang tak nyata, sama sekali tidak mengganggu lapisan pertahanan aslinya.
Kekuatan ilahi tipis itu melintasi laut dari kejauhan, seolah telah mengenali koordinat Bai Shuo, menusuk ke otaknya dengan presisi sempurna. Seketika terbentuklah jembatan megah nan rumit.
Jembatan pikiran yang membentang melintasi samudera.
Bagi Bai Shuo, pemandangan sekeliling tiba-tiba terdistorsi, membuatnya melompat dari tanah. Namun tak ada lagi keanehan yang terasa.
Normal... terlalu normal.
Selain itu, perasaan samar-samar ini membuatnya merasa ini bukanlah realitas.
Masih di tebing terpencil, angin laut berhembus, ombak bergulung-gulung, kicauan burung camar berpadu dengan desau ombak. Tak ada perubahan sedikitpun.
"Inikah mimpi?" Bai Shuo tersenyum getir merasakan tubuhnya yang sama sekali tidak bereaksi aneh. Lingkungan serumit ini, dan mampu menelannya dalam sekejap, dewa besar manakah gerangan ini?
“Suara lembut dan samar terdengar dari belakang garis, membuatnya berputar tiba-tiba dengan tubuh waspada, mengobservasi area sumber suara itu.”
“Rupa tak berbeda dengan kekosongan, kekosongan tak berbeda dengan rupa. Rupa adalah kekosongan, kekosongan adalah rupa. Persepsi, pikiran, perbuatan, kesadaran – semuanya serupa...”
Di langit yang kosong sama sekali, tiba-tiba muncul warna-warna samar yang berkumpul membentuk sosok manusia samar. Meski pakaian dan ikat pinggangnya terlihat jelas hingga detail terkecil, wajah terpenting justru seperti diselimuti kabut tebal, menyembunyikan perubahan ekspresinya.
“Ini... Sutra Hati?”
Naskah klasik penuh misteri ini menjadi fondasi dasar Bai Shuo saat ini. Semua kekuatan fisiknya berevolusi darinya. Di bawah bimbingan Guru Besar, ia memang belajar baik, tapi masih jauh dari pemahaman menyeluruh.
“Bisa menyadari ini ilusi, penghalang persepsi – pelajaranmu cukup baik.” Sosok yang bahkan tak bisa dibedakan gender-nya itu bersuara.
Lawan langsung melihat melalui kelemahannya, Bai Shuo merasakan bulu kuduknya merinding: “Siapakah Paduka? Dengan kekuatan seperti ini, perlu apa bersembunyi seperti tikus?”
Di hatinya, ia mencoba memproyeksikan cermin pengungkap segala sesuatu untuk menangkap sosok itu, tapi mendeteksi bahwa di sana benar-benar kosong.
“Meski bisa disebut murid orang itu, yang kaupelajari justru Sutra Hatiku...” Sosok itu berhenti sejenak, seakan tersenyum, membalas: “Menurutmu siapa aku?”
Sutra Hati... milikku?
Di hati Bai Shuo terdengar guntur menggelegar. Ia menarik napas tajam, menatap sosok manusia samar itu: “Avalokitesvara... Bodhisattva?”
