Inilah keadilan kesombongan seumur hidup. Obsesi inilah yang membuatnya melintasi waktu di bawah perintah Araya, menghadang rekan seperjuangan di depan mata.
Bahkan jika kekuatan tempur kedua belah pihak tidak berada di tingkat yang sama, hanya dengan pemahaman masa lalu, dia sudah cukup untuk melawan King Arthur.
Harga untuk melukai serius Emiya Shirou adalah Raja Ksatria sendiri yang tertembus panah anjing pemburu.
Dengan tak sadar mengeluarkan geram kesakitan, dia mencabut panah yang menusuk tubuhnya, duri mengerikan itu membawa serta potongan daging dan darah, namun siluetnya tetap tegak berdiri.
Hanya karena janji kesatria, dia masih belum mati; selama dia belum mati, langkah mengejar Holy Grail tak bisa dihalangi!
Mengaum, siluetnya berlarian di bumi, Duanren kembali menebas, badai menderu.
Dalam aliran udara ganas, siluet merah bergerak tak menentu namun tak kunjung sirna, menghadang di depan Raja Ksatria, tangan kiri Pedang Kemenangan Berjanji menghancurkan badai, tangan kanan Pedang Roda Kemenangan menusuk ke depan.
Meski babak belur dipukuli, meski seluruh tubuhnya hampir retak, dia tak pernah mundur, dari awal hingga akhir dia yakin kemenangan pasti miliknya.
Bahkan jika musuhnya adalah King Arthur yang melampaui batas maksimalnya, bagaimana mungkin jalan keadilan yang dikejarnya akan berhenti karena ini!
Sang Penjaga Hero yang bertarung mati-matian sama-sama mengeluarkan auman parau, tak lagi menghindar, hanya tersisa pukulan bertahan paling naluriah dan tebasan paling garang.
Tidak perlu kata-kata maupun nasihat. Keduanya berjalan di jalan kebenaran yang mereka yakini, di bawah keteguhan hati. Bahasa telah menjadi pucat pasi. Begitu dua garis paralel bersilangan, pasti salah satu jalan akan patah.
Hanya kematian yang bisa menghentikan langkah mereka!
Dalam dentaman logam emas yang sambung-menyambung, senjata-senjata terus hancur dan darah segar beterbangan.
Pecahan Ganjiang Moye menusuk dada King Arthur, sementara Sang Raja Ksatria menebas telapak tangan Emiya Shirou.
Spiral Pedang Penjaga menusuk tangan kiri SABER, sementara pedang patah itu menghancurkan lengan satunya lagi dari Emiya Shirou.
Setiap detik luka baru muncul, senjata-senjata remuk di bawah bilah Pedang Kemenangan Berjanji.
Pertarungan mematikan tanpa henti akhirnya mencapai klimaks.
Proyeksi Pedang Kemenangan Berjanji dihancurkan oleh Pedang Batu, dalam auman Sang Raja Ksatria, Duanren menembus darah dan pecahan yang beterbangan, menembus udara, menembus dada Emiya Shirou.
Jarak antara mereka berdua menjadi dekat secara belum pernah dialami sebelumnya, seperti rekan seperjuangan yang pernah bahu-membahu, mengingatkan Shirou pada kenangan masa lalu.
Mungkin bagi Hero di hadapannya, itu adalah masa depan yang sudah tak ada lagi?
Sang Penjaga dari masa depan, di detik terakhir, menunjukkan senyum ketidakberdayaan.
"Tampaknya, ada beberapa hal yang belum sempat dimulai, sudah berakhir." Di atas hamparan Bumi ini, mungkin tak akan ada lagi remaja berambut merah yang menunggu penyelamatan dari Emiya Kiritsugu?
Kampung halaman tempatnya bertumbuh telah hancur, di dunia ini masa lalu milik Emiya Shirou dan masa depan Sang Penjaga telah sirna.
Dan tugasnya kali ini pun telah usai.
"Selesai!" Sang Raja Ksatria terengah-engah, menggenggam erat gagang pedang yang terendam darah segarnya, mundur dua langkah dengan ekspresi wajah datar.
Bilah pedang yang menembus dadanya dicabut, tubuh Emiya Shirou gemetar hendak roboh, namun secara tak terbayangkan tetap berdiri tegak di atas Bumi.
Rambut perak pucat pasinya telah dikotori warna merah oleh darahnya sendiri, ia berusaha membuka mata kabur itu untuk melihat musuh di hadapannya dengan jelas.
Pada akhirnya, desahan aneh itu berubah menjadi senyuman yang tak terbendung.
"Masih sama seperti dulu, Raja Ksatria..."
Suara terakhirnya menyatu dengan dada yang kehilangan detak, ia menutup mata dan tersenyum sambil sirna.
Emiya Shirou yang sepanjang hidupnya hanya memiliki keadilan obsesif, mengubur diri dalam makam besi dan pedang tak berujung.
Bersama sirnanya dia, barrier mulai runtuh, daratan darah dan api kembali muncul di hadapan King Arthur.
SABER menatap tajam kilau keemasan di langit, senyum tegas mengembang di wajahnya.
Menyeret bilah pedang, tubuh penuh luka itu mulai melangkah maju menuju Holy Grail terakhir.
※※※
Suara aneh yang tak terucapkan berasal dari kedalaman tubuh.
Seperti ombak lautan memukul bubur kertas, kawat baja putus di bawah tarikan dahsyat......
Dalam kegelapan, Bai Shuo berusaha menggerakkan otot wajah, menunjukkan ekspresi senyuman.
Ini adalah... suara tubuh yang hancur...
Entah mengapa, tiba-tiba muncul dorongan untuk tertawa lebar, tapi bahkan rasa sakit yang menyedihkan pun mulai menghilang.
Entah sejak kapan, kesakitan bagi Bai Shuo telah menjadi hal semudah makan nasi sehari-hari.
Meski begitu, saat memasuki lumpur hitam, kepedihan yang mendalam langsung menyapu seluruh tubuhnya, membuatnya nyaris terdiam dalam kekosongan.
Pikiran yang kaku sama sekali tak bisa berfungsi, pemikiran seakan membeku. Bai Shuo bahkan bisa mendengar suara dorongan pikiran yang berlalu dan bertabrakan, bagai halusinasi.
Setiap detik yang masih memiliki rasionalitas dan kesadaran terasa seperti siksaan tak tertahankan. Energi sihir penuh kejahatan dunia mengalir deras ke tubuh, suara ribuan orang bergema di kepala.
Seluruh dunia pemikiran seakan dipenuhi tamu-tamu jahat tak terhitung, menuduh setiap perbuatan Bai Shuo sepanjang hidup, lalu melontarkan kutukan penuh Kebencian -
Matilah... Matilah... Matilah...
Seperti setetes air jatuh ke kolam tinta, seketika terkikis warna hitam pekat yang menyebar, kehilangan esensi aslinya, lalu berasimilasi menjadi boneka.
Selain Gilgamesh dengan jiwa keemasan, siapa lagi yang bisa menggendong seluruh dosa dunia?
Bai Shuo mengira dirinya mampu, sayangnya tidak bisa...
Arogansi adalah dosa asal, kesombongan tanpa alasan, pilihan yang hanya didasarkan pada impuls mustahil mengubah keadaan.
Halusinasi tiba-tiba di telinga Bai Shuo semakin cepat, seperti kawat baja yang putus memainkan melodi sumbang, tubuhnya meleleh bagai ombak lautan memukul bubur kertas, setiap otot terputus dalam energi hitam pekat.
Yang bergema di telinga yang telah kehilangan fungsinya adalah Lagu Jalan Buntu Menuju Kehancuran.
Yang menyelamatkannya adalah sarung pedang yang tersembunyi dalam tubuhnya.
Kekuatan Avalon terus berebut kendali tubuh dengan energi hitam pekat, menyambungkan otot yang patah, mengubah daging dan darah yang meleleh kembali menjadi anggota tubuh.
Bagi Bai Shuo, ini adalah pertarungan berlarut-larut yang kejam dan pasti berakhir dengan kekalahan. Sejak awal, pilihannya melawan 'Segala Kejahatan Dunia Ini' mungkin memang ditakdirkan gagal.
Ia menyesal, kenapa sebelum terjun tak mengucapkan kata-kata bijak yang keren sekaligus bisa jadi ucapan terakhir?
Kesempatan terakhir untuk meningkatkan nilai gaya telah dilewatkan, sungguh disayangkan...
Jika Sun Wukong tahu pikiran ini, mungkin akan meninju wajahnya? Sampai detik ini masih tak mau bertobat, kalau bukan bodoh lalu apa?
Pada wajah Bai Shuo yang terkikis hingga tak berbentuk, senyum muncul kembali. Ia menyadari hingga saat ini, dirinya bukan hanya seorang tunanetra, tetapi juga seorang gila...
Bahkan hingga sekarang masih bisa tersenyum, dirinya sendiri pun meragukan apakah ia sudah gila.
Terkadang, sekadar mampu berjuang sedikit pun sudah cukup untuk mengubah sesuatu, agar tidak mati secara tak berarti. Seperti sekarang, masih banyak yang bisa dilakukannya!
Termasuk membuat harapan yang samar menjadi lebih nyata.
Di bawah tekanan energi sihir hitam pekat yang bertumpuk, Bai Shuo mengeluarkan raungan parau. Ia membiarkan ribuan kejahatan mencemarinya. Tangan kanannya yang tinggal tulang kering akibat korosi terangkat ke atas. Barrier di atas tangan kanannya telah terbuka. Pada tulang jari seputih giok, api naga yang murka hampir padam.
Jika sudah hampir padam... maka biarlah membakar dengan liar untuk terakhir kalinya!
Dalam kolam hitam yang tak berdas, api tak kasat mata tiba-tiba berkobar ganas. Dengan liar menyerap seluruh cahaya dari tubuh Bai Shuo, api di telapak tangan berubah menjadi pusaran angin spiral berapi.
Seperti monster, telapak tangan Bai Shuo di pusat pusaran konflik menyerap energi sihir jahat tak terhingga, gila-gilaan menyedot lumpur hitam seolah mempercepat laju korosi.
Pada momen terakhir, kedua tangan membusuk Bai Shuo bersatu. Telapak tangan terlipat ke dalam, dua jari tengah tegak saling berhadapan. Jari tengah bagai bendera, kedua tangan membentuk segel...
"Ini adalah, Mudra Akar Ksitigarbha terakhir!"
"Aku yang akan menanggung segala penderitaan dunia, seluruh dosa dan kejahatan tak berujung!..."
Di ambang kematian ini, dalam kehampaan total, hati Bai Shuo kokoh bagai Bumi. Ketenangannya seakan mampu menangkap gema paling dalam.
Di tengah lautan kejahatan tak berbatas, ia menghirup kebencian yang mengental menjadi wujud nyata, melantunkan sumpah yang selama ini tak berani diucapkan.
"...Selama neraka belum kosong, sumpahku takkan menjadi Buddha!"
Dari kedalaman lumpur hitam yang tertidur lama, tiba-tiba muncul daya hisap bagai lubang hitam. Duduk tegap di pusat pusaran konflik, Bai Shuo mengamuk menyedot energi sihir jahat dan lumpur tanpa henti.
Tak peduli raganya hampir hancur, meski kesadarannya terkontaminasi energi asing, tangannya takkan berhenti bergerak.
Bertapa di pusat gravitasi kejahatan mutlak, tubuhnya terus-menerus hancur dan menyusun ulang diri di bawah energi sihir hitam pekat.
Baik kerangka raksasa yang putih bersih maupun raga yang nyaris remuk, senyuman tak terhapuskan tetap melekat di sudut mulutnya.
Buta namun memandang hidup-mati dengan netral. Mengamuk namun tekadnya bagai batu karang tak tergoyahkan di tengah badai kejahatan.
Alisnya terangkat halus, senyum tipis mengembang - tunas zen yang tumbuh dari pemahaman mendalam tentang siklus kehidupan dan kematian.
Ambang hidup dan mati, meditasi baik dan jahat, duduk hingga hancur pun tak apa?
Paling hanya mati saja, dia sudah lama tak takut lagi.
Cahaya terakhir muncul dari belakangnya, menembus energi hitam pekat, lalu menyatu menjadi lingkaran cahaya.
Ini barrier tersempurna sekaligus terkuat yang berhasil dipahami Bai Shuo hingga kini.
Barrier 'Roda Enam Alam' yang mencakup dunia manusia dan neraka, Wu Jian dan Ougi Tathagatagarbha.
Dalam barrier melingkar bagai bayangan ini, pola kembang mandrake mulai menyebar, duri tajam menembus enam barrier konsentris, menyatukan seluruh barrier menjadi satu.
Bagai kekacauan yang mengandung kehidupan baru, ini adalah tingkatan tertinggi Tathagatagarbha yang segar.
Barrier roda raksasa berputar perlahan sesuai keinginan Bai Shuo, awalnya seperti roda gigi berkarat, namun seiring derasnya aliran lumpur hitam, barrier raksasa berubah menjadi pusaran angin.
Laksana lubang hitam tak berujung, kejahatan yang mencemari dunia terus-menerus ditelan tanpa tanda-tanda meluap.
