Dua orang, empat lengan, artinya jika tidak menghitung kaki mereka, ada empat jari tengah yang teracung di hadapan Tai Shang dan Buddha.
Setiap jari tengah mewakili cibiran Bai Shuo dan monyet, meski isyarat ini tidak universal di semua dimensi, terkadang maknanya bisa dipahami semua orang.
Bai Shuo sama sekali tidak menyamarkan kejahatan dan ejekan dalam hatinya saat ini, memperlihatkan jari-jarinya yang menjadi putih halus dan anggun setelah Nirwana.
Maknanya hanya satu: Laozi tidak peduli padamu, berani-beraninya kalian menggigitku?
Tatapan Buddha berubah seketika, akhirnya hanya menyisakan ketidakpedulian, tangan tergabung berbisik: "Keterikatan yang membutakan."
Bai Shuo memiringkan kepala, membalas penuh perlawanan: "Maaf, hal seperti yang kau katakan itu mungkin tak akan pernah kupahami seumur hidup."
Lengkingan panjang terdengar dari kerbau hijau di langit, ekspresi wajah Tai Shang di punggung kerbau dingin, matanya hanya memancarkan pengertian.
Situasi seperti ini sudah lama dipahaminya.
Bila lidah tak berguna lagi, maka tak perlu banyak bicara.
Jika logika tak bisa diterima, maka dengan kekuatan akan kubuatmu percaya pada prinsipku.
Sejak zaman dahulu, petarung pemberani di dunia ini selalu memilih jalan makhluk hidup di tiga alam semesta seperti ini.
Karena itulah yang kalah akan mengurung diri di Gunung Fangcun selama seribu tahun, karena itulah Ksitigarbha meneteskan air mata darah, mengucapkan sumpah: "Selama neraka tak kosong, aku takkan menjadi Buddha."
Tai Shang tidak pernah tertarik pada hal-hal seperti ini. Dia tak pernah berpikir untuk membuat makhluk hidup di tiga alam semesta menjalani hidup sesuai keinginannya. Oleh karena itu, selama seribu tahun dia dengan tenang menjaga api di Istana Douluo, seribu tahun membuat pil eliksir, seribu tahun membaca Huang Ting.
Kehadirannya di sini hanya untuk permohonan terakhir dan permintaan satu orang.
Dia tak pernah goyah dalam pilihannya karena pengaruh apapun, yang juga berarti begitu keputusan dibuat, tak ada penghalang yang bisa menghentikannya.
Dengan sunyi, dia melambai-lambaikan tangan di atas awan.
Seketika suara Boom jatuh bergema di udara, deru retakan Bumi terdengar dari wilayah seluas 100 li di sekitar Gunung Bunga dan Buah.
Dalam sekejap, aliran Qi langit dan Bumi dalam radius ribuan li terputus total. Poros operasional kosmos jatuh ke tangannya, terbagi menjadi delapan bagian yang menjulang di lingkaran besar berpusat di Gunung Bunga dan Buah.
Delapan pilar batu yang menembus langit itu langsung memisahkan dunia dalam lingkaran dari luar. Mantra besar yang biasanya membutuhkan 28 Bintang Jun menggunakan Fu Dewa untuk efek sama, baginya hanya perlu sejentikan jari.
Seketika, delapan pilar berbentuk aneh menjulang di tepi Bumi, aliran energi mereka saling terhubung sempurna bagai satu kesatuan.
Kini dunia dalam radius ribuan li di bawah kaki Tai Shang ini sepenuhnya tunduk melalui delapan poros yang telah terpasang.
Kedelapan pilar poros yang tiba-tiba muncul ini masing-masing memiliki bentuk unik, namun jika dilihat dari udara, semuanya membentuk pola-pola yang seolah mengandung hukum alam aneh.
Setiap pilar batu memiliki atribut uniknya sendiri, bahkan tak perlu diperkuat oleh Prajurit Samsara yang memahami sihir mantra timur untuk dikenali. Orang dengan sedikit pengetahuan mitologi pun bisa menyebut nama-namanya:
Qian! Kun! Zhen! Gen! Li! Kan! Dui! Xun!
Inilah formasi kompleks bawaan yang tercipta dengan menggerakkan seluruh dunia - mantra agung tiga alam semesta: Delapan Trigram!
Formasi Agung Bagua yang memisahkan dua alam dan mengunci ruang angkasa seketika menyelubungi wilayah dewa Bai Shuo, membuatnya mencium pertanda buruk.
Bagi Tai Shang, ini juga menjadi batu pondasi untuk perubahan selanjutnya, mencegah energi dewa yang bocor menyebabkan luka melebihi Bencana Alam di dunia manusia.
Di ujung langit, Tai Shang pertama kali menegakkan jari, mengeluarkan suku kata sunyi dari mulutnya bagai dekret untuk seluruh langit dan Bumi.
Seketika, bagian dari wilayah dewa yang selama 10.000 tahun menyelubungi Istana Doushuai terpisah, jatuh dari langit ke landasan yang telah dibentuk Tai Shang!
Sheng! Si! Xiu! Shang! Du! Jing! Jing!
Delapan cabang aturan wilayah dewa saling bertautan, melahirkan aturan-aturan baru tak terhitung.
Di bawah selubung wilayah dewa, langit-Bumi tertutup, aturan ditulis ulang, Yin-Yang kacau, Qian-Kun terbalik...
Segala sesuatu mengalami perubahan dahsyat bagai ombak sepuluh ribu zhang yang bergelora di bawah keinginan Tai Shang.
Pada keit ini, di tangan Tai Shang, Mantra Delapan Trigram tidak menunjukkan perubahan-perubahan aneh, fenomena yang muncul hanya satu jenis saja, namun hampir seketika membuat wilayah dewa yang dijaga Bai Shuo hancur.
Itu adalah api hijau kebiruan yang muncul dari Bumi.
Seribu tahun membaca Huang Ting, seribu tahun mengolah eliksir, seribu tahun menjaga api.
Ini hanyalah bagian yang dikuliti dari wilayah dewa 'Tiga Puluh Tiga Surga' milik Tai Shang sendiri, juga dikenal sebagai wilayah dewa tunggal 'Tungku Delapan Trigram Doushuai'.
Justru karena sifatnya tunggal, aturannya menjadi sangat kuat sampai menakutkan!
Nyala api hijau kebiruan berubah menjadi rembesan air, mengalir diam-diam di luar wilayah dewa 'Enam Tingkatan Tertinggi', tanpa suara sama sekali, namun membawa kengerian yang bisa meleburkan segala sesuatu!
Ini adalah api pemurni tungku eliksir dari Istana Doushuai, bukan api yang lahir untuk membunuh, sebaliknya, kegunaan terbesarnya di tangan Tai Shang adalah untuk mengolah eliksir.
Karena tujuannya mengolah eliksir, sifat apinya tidak boleh kasar, harus memiliki kelembutan yang berkelanjutan, ketangguhan seperti tetes air melubangi batu, serta tekad untuk menempa segala sesuatu menjadi eliksir!
Bagai angin semi mengubah hujan, Enam Tingkatan Tertinggi yang ditopang Bai Shuo seketika terkikis satu lapis oleh api hijau kebiruan, bahkan Bai Shuo tidak menyadari bagaimana wilayah dewa-nya terkikis oleh kekuatan mengerikan ini.
Di bawah api pemurni Doushuai, ia merasa dirinya telah berubah menjadi pil eliksir yang menunggu untuk ditempa!
Seketika, selain menopang wilayah dewa dengan seluruh kekuatan, dia tidak menemukan metode apa pun untuk melawan.
Mungkin 'Wu Jian Hong Lian' akan berguna... tapi begitu dia sedikit lengah terhadap seluruh wilayah dewa, semuanya akan hancur berkeping-keping di bawah kobaran api pemurni.
Dia dan monyet mungkin masih bisa bertahan sebentar, namun keturunan/pengikut monyet yang dilindungi dengan susah payah itu pasti akan menguap menjadi asap kehijauan dalam sekejap.
Di bawah sengatan api Bumi, materi berubah menjadi zat setengah beku seperti kaca yang akan berubah menjadi berlian berkilau saat mendingin.
Namun di dalam wilayah dewa, Bai Shuo justru merasa ingin muntah darah di bawah tekanan api yang merayap ke segala celah dengan daya korosi mengerikan ini.
Inikah kekuatan Sang Pelampau bintang sembilan? Begitu kuatkah petarung yang berada di luar aturan dewa utama saat bertindak?
Tangannya menyelinap masuk ke ruang angkasa, menyentuh peti besi hitam di lapisan paling dasar.
Di dalam peti berat nan besar, sesuatu bergemuruh penuh antisipasi, bergerak-gerak gelisah ingin melepaskan diri dari kendali, namun tetap terkunci erat.
Gunakan ini?
Bai Shuo merasakan dingin di tengkuknya begitu membayangkan konsekuensi menggunakan benda ini.
Jika menggunakan apa itu, pasti menang!
Tapi, lalu bagaimana? Dia tidak yakin bisa membunuh Tai Shang.
Jika apa itu kehilangan efek kejutannya, Bai Shuo juga tidak bisa menghadapi Buddha yang diam-diam mengawasi di samping.
Dan tepat pada keit ini, bayangan Buddha yang samar-samar itu akhirnya membuka telapak tangannya.
Di atas telapak tangan besar yang transparan itu, saat jari-jarinya terbuka, bunga teratai emas bermekaran dengan cahaya tak terhingga memancar darinya.
Tidak rela melihat bidak catur yang baru ditemukannya bersama Viscount tak bernilai hangus menjadi asap kehijauan oleh api Doushuai Tai Shang, maka dia harus bertindak.
Lima jari raksasa terangkat, telapak tangannya menghadap ke bawah, menekan ke arah Bai Shuo dengan lambat tapi tak terbantahkan seperti tekanan gunung Tai.
Tampak ringan, namun dalam kesunyian tersimpan kewibawaan bagai petir.
Ini adalah... Gunung Lima Jari!
Lima puncak gunung jatuh bersamaan dari atas kepala, dalam sensasi yang membuat kulit kepala Bai Shuo merinding, telapak tangan Buddha akhirnya menghantam wilayah dewa Enam Tingkatan Tertinggi!
Meski tak ada suara, telinga Bai Shuo mendengar dentuman keras dari atas kepalanya.
Boom! Boom! Boom!
Seketika, dia merasakan kepalanya seolah dihantam palu besi, tulang kepalanya hampir retak di bawah pukulan keras yang menggema ini.
Secara tak terbayangkan, Bai Shuo merasakan sesuatu patah.
Seperti halusinasi, dia merasa terjatuh bebas - seolah ada yang menepuk kepalanya, membuat jiwanya terlepas dari cangkang tubuh, tertekan oleh kekuatan dahsyat jatuh ke bawah!
Telapak tangan Buddha yang seolah menghantam wilayah dewa, sesungguhnya menghantam dasar Enam Tingkatan Tertinggi di bawah sistem mantra Buddha.
Ajaran Buddha sendiri lahir dari tangan Buddha. Meski berubah rupa menjadi mantra dunia lain, esensinya tetap ciptaannya.
Dalam sekejap analisis, ia menemukan celah dalam ajaran Buddha Enam Tingkatan Tertinggi. Dengan teknik luar biasa, ia menyibak barrier yang berubah seketika, lalu energi dewa Sang Pelampau bintang sembilan menghujam ubun-ubun Bai Shuo.
Seperti tukang daging membedah sapi, ia memutus gelombang penghubung antara jiwa dan cangkang Bai Shuo, melontarkan jiwanya keluar tubuh.
Sekalian... Ia membuka area masuk ke neraka 18 lapis di bawah jiwa Bai Shuo.
Suara khidmat bergema dalam jiwa Bai Shuo, Buddha berbisik tegas: "Jika hidup ini tak tercerahkan, kuantar kau ke kehidupan berikutnya!"
Kerak bumi pecah, lubang hitam yang gelap gulita menembus ke kedalaman bumi. Tangisan kesedihan dan jeritan ribuan orang tiba-tiba menggema.
Dalam perubahan seketika itu, Bai Shuo tak sempat menghindar dari jebakan Buddha Sang Pelampau senior. Tubuhnya terhimpit masuk ke dalam lubang hitam yang gelap gulita itu.
Demikianlah Bai Shuo secara tak terduga terlepas dari ancaman api pemurni Taishang Doushuai, mulai terjatuh ke bawah.
Ia hanya sempat mengaum rendah penuh amarah: "Apa maksudmu 'mendewakan'?!"
Dalam kejatuhan, langit dan bumi mulai berputar. Dia hanya bisa melihat siluet Buddha menghilang di langit sesaat sebelum bumi menutup.
Tak lama kemudian, kejatuhan tanpa akhir pun dimulai.
Jiwanya bagai bayangan yang menembus lapisan bertubi-tubi dunia: mencabut lidah, gunting, cermin dosa, tiang tembaga, gunung pisau... hingga neraka kematian sia-sia, gunung berapi, dan lautan pisau.
Tubuhnya terus terjatuh, bahkan menembus neraka Wu Jian terakhir, membuatnya merasakan kepasrahan yang membeku.
Wocao, 18 lapisan neraka sudah dilewati! Bajingan! Masih belum berhenti?!
Tak tahu berapa lama terjatuh dalam kegelapan tak berujung, dia akhirnya menghantam ujung neraka.
Seperti lamunan yang tiba-tiba datang, Bai Shuo membuka mata lebar-lebar setelah pusing reda.
Seketika, dia melihat sungai akhirat mengalir deras dalam kegelapan, Bunga Lycoris merah darah mekar mempesona di bawah sinar api fosfor.
Di tengah lautan merah darah tak bertepi ini, seorang biksu tampan yang sedang membaca tulisan suci membuka mata dan menyatukan telapak tangan: "Pendeta, lama tidak berjumpa."
Secara refleks, Bai Shuo bertanya: "Kamu siapa?"
Senyuman di bibir biksu tak berubah, dia berbisik jawaban: "Hamba, Ksitigarbha."
