Tai Bai yang renta mengangkat kepala, menatap Aula Lingxiao yang dipenuhi retakan, lalu mengamati telapak tangannya yang lapuk sambil terkekeh pelan: "Tempat ini akhirnya tetap harus kujaga sendiri."
Yang Jian mencium aroma ketidakberuntungan, berbisik lirih: "Tai Bai..."
Tai Bai menoleh ke arah Yang Jian di sampingnya, tersenyum: "Ingatlah. Istana langit adalah jerih payah seumur hidup Yang Mulia Kaisar dan kita. Jika harus hancur, biarlah dimulai dari tangan kita sendiri, bukan dikendalikan Rulai."
"Bahkan dalam kehancuran, martabat istana langit tak boleh dinodai."
Telapak tangannya menekan bahu Yang Jian. Kekuatan tak terbayangkan membuat tubuh Yang Jian terkunci seketika, matanya membelalak terpana.
Tai Bai yang pertama kali memperlihatkan kekuatannya di hadapan Yang Jian menyungging senyuman puas: "Meski masih hijau, lindungi Nyonya dengan baik."
"Selamat tinggal, jangan mati ya." Ia memutar badan perlahan, turun dari podium.
"Ah, semakin tua semakin suka mengenang masa lalu. Era itu sungguh indah, Yang Mulia..."
Ia berbisik pada penguasa yang telah lama wafat, dengan senyuman tenang melangkah ke medan perang.
Janggut putihnya berkibar dalam angin. Saat ini, aura mengerikan mulai memancar dari tubuh pria renta itu.
Di tengah pusaran angin topan yang kacau, Tai Bai melepas jubah panjang putihnya, menyingkap zirah baja mengerikan di baliknya.
"Bagaikan pedang yang tertutup debu zaman tiba-tiba terhunus, menusuk ribuan gunung dan sungai, cahaya sebilah pedang membuat dunia membeku dalam kedinginan."
Dengan senyum penuh kenangan, Taibai menerima helm dari tangan pengawal dan memasangnya di kepala.
Memandangi pandangan terkejut semua orang, ia berbisik sambil tersenyum ke pengawal di sampingnya: "Apakah karena aku telah memimpin pemerintahan bertahun-tahun, banyak yang lupa makna sebenarnya dari gelarku?"
Pengawal bersimpuh satu lutut, menyerahkan kotak pedang hitam legam dengan kedua tangan.
Taibai mengangkat pedang yang telah disegelnya sendiri selama seribu tahun, bersenandung tenang: "Taibai adalah intisari logam Barat, putra Kaisar Putih, Adipati Agung, lambang Jenderal Besar."
"Sebelum Li Jing, akulah yang menguasai pembunuhan di Istana Langit!"
Dalam gesekan nyaring yang mencekam, pedang baja berdebu terhunus dengan gemerincing, kilauan dinginnya yang tajam menyibak kegagahan dewa dalam angin. Taibai berbaju zirah hitam menggenggam erat pedang baja, mengenakan helm harimau, melangkah ke medan perang.
'Kaisar Putih' yang pernah menyapu klan naga dari empat lautan dengan sebilah pedang telah kembali! Bersamanya, delapan ratus prajurit yang tak pernah menua ikut berpulang.
Di belakang Taibai, delapan ratus pejabat langit melepas jubah Tao mereka, memperlihatkan zirah hitam legam di dalamnya. Dalam kesunyian mereka berkumpul, berubah menjadi formasi lapisan pembunuhan.
“Para hadirin!” Tai Bai yang renta sekali lagi mengangkat pedang besi di tangannya, seperti ribuan tahun silam, penuh semangat, tegas dan tajam: “Kami telah menjaga dunia manusia selama 4.700 tahun, hari ini mari ikut Yang Mulia Kaisar menuju kematian!”
“Baik! Baik!” Formasi gelap gulita melangkah maju, dalam teriakan serempak mereka menghunus pedang di pinggang, memantulkan kilauan dingin yang tajam.
Di bawah kaki mereka, batu bata pucat pasi pecah, gemuruh dunia tertutupi suara gesekan zirah baja mereka.
Bagai aliran deras yang tak terbendung, mereka memasuki medan perang dengan sikap heroik yang terpendam selama ribuan tahun, seperti di masa lalu.
Kali ini, pertempuran terakhir untuk merayakan kehancuran bersama istana langit!
Berdiri kokoh di luar medan perang, cahaya menyala-nyala tiba-tiba menyembur dari sarung pedang Tai Bai, kilau dingin bilah pedang menembus ratusan meter seketika, membelah celah dalam yang nyaris tak terlihat di bumi sebelum menyusup ke dalam wilayah dewa.
Bilah pedang menghantam wilayah dewa Buddha, mengeluarkan dentang keras, lengkingan panjang pedang bergema.
Dalam lengkingan tajam pedang, wilayah dewa tiba-tiba pecah membentuk celah besar, lalu terbelah oleh mata pedang yang berputar membentuk retakan lebar!
“Buddha, berlagak di rumah orang lain bukanlah kebiasaan yang baik.”
Tai Bai memegang pedang panjang dengan satu tangan, urat di lengan bawah zirah baja-nya menonjol, kekuatan fisik luar biasa memancar dari cangkang tubuhnya. Hanya dengan seorang diri dan sebilah pedang, seluruh wilayah dewa mulai bergemuruh.
Menangkap kilatan keterkejutan di pupil mata Bai Shuo, Tai Bai tersenyum: "Sepertinya aku belum terlalu tua."
Seketika, pupil matanya berubah menjadi putih-keemasan yang dingin, ketajaman tak tertandingi tiba-tiba terpancar.
Dalam radius ratusan meter, bayangan Buddha-buddha berhamburan menjadi debu, salah satu dari Sepuluh Tanah Suci hancur berantakan. Retakan tajam merobek lurus hingga di bawah kaki Rulai, membuat satu kelopak teratai putih di singgasananya rontok.
Wilayah Dewa 'Kaisar Putih', terkembang!
Tai Bai, yang paling kokoh dan tajam, menguasai pembunuhan, memegang senjata perang. Ini adalah ketajaman tak tertandingi yang ditempa dari gunung mayat dan lautan darah! Ke mana mata pedang menunjuk, semuanya hancur!
Petarung terkuat istana langit di masa lalu, sekali lagi menghunus pedang pembunuh, menumpas musuh demi menghormati pendiri negara!
"Hei! Lao tou, jangan terlalu kasar!" Bai Shuo menghantamkan tinjunya ke tangan kanan Rulai yang menekan Sun Wukong, justru tangannya sakit terkena guncangan, berteriak tak tahan: "Jurusan ini namanya 'Lagu Pedang Teratai Hijau'?"
Tai Bai menebaskan pedang, kilatan pedang sepuluh ribu zhang menyambar sekejap, menembus lautan awan ribuan li jauhnya. Tangan kanan Rulai kembali terkoyak luka berdarah.
"Tidak usah terburu-buru," ujar Kaisar Putih dengan senyuman tipis sambil mengarahkan mata pedangnya ke titik antara alis Buddha, "Biarkan orang tua ini melonggarkan Tulang Tua ini terlebih dahulu, baru akan kutunjukkan padamu wujud pedang yang pernah membantai klan naga Empat Lautan."
Setelah melepaskan semua ikatan, 'Kaisar Putih' yang hanya mengejar pertempuran pamungkas ini berdiri kembali di hadapan Buddha di bawah panduan takdir.
"Gila!" Gerakan tangan kiri Buddha yang mengerahkan momentum dahsyat menyapu Qi Pedang yang mengalir seperti air terjun, menghantam bilah pedang sang Kaisar Putih.
Brak!
Pedang panjang yang seketika diangkat Kaisar Putih sebagai tameng bergetar hebat, bilahnya merekah membentuk celah mengerikan akibat hantaman telapak tangan dari langit.
Dalam kesunyian, tubuh Kaisar Putih melayang mundur. Qi Pedang tajamnya mengalir bagai gelombang, merobek lapisan fantasi bertubi-tubi, hingga akhirnya menghentikan langkah di tepi wilayah dewa dengan pergelangan tangan yang gemetar.
Merasakan kesakitan di tubuhnya, Kaisar Putih mendesah pelan: Apakah benar dirinya sudah menua?
Sang pembantai Raja Naga Empat Lautan yang dulu babak belur berlumuran darah itu telah menjadi tulang-tulang lapuk setelah ribuan tahun. Meski masih bisa mengangkat pedang, berapa sisa kekuatan masa lalu yang bisa dikeluarkannya kini?
Tapi selama pedang masih terkepal di tangan, masih ada harapan untuk membalikkan keadaan!
Seketika, Qi Pedang tajam di sekitar tubuh Tai Bai kembali melesat naik, bagaikan debu yang terkumpul bertahun-tahun dalam pertarungan sengit perlahan tersapu, akhirnya menampakkan pedang yang tidak pernah bengkok seperti masa lalu!
Membuang semua kompromi, kelicikan, dan trik yang dipelajari selama ini, hanya menyisakan sebilah pedang saja sudah cukup.
Delapan ratus pejabat langit berbaju zirah telah bertempur habis-habisan dengan Buddha Tanah Suci, pertarungan mematikan yang sama sekali tidak peduli nyawa sendiri, hanya peduli pada pedang di tangan dan darah musuh!
Mereka semua sudah gila. Demi istana langit yang mereka jaga, harus menjadi gila! Tidak ada lagi langkah mundur, meski mati di sini hari ini, takkan izinkan Rulai maju selangkah pun!
Kami akan menyertai istana langit menuju kehancuran!
Inilah sumpah saat mereka menghunus pedang!
Memimpin pejabat langit yang siap mati, mata pedang Tai Shang kembali menebas, lengan terkoyak celah mengerikan, Qi Pedang tak tertandingi memotong Tanah Suci Kaca dalam Sepuluh Tanah Suci, seketika menebas pergelangan tangan Rulai yang menekan Sun Wukong.
Dalam gemuruh Boom, pergelangan tangan Rulai bergetar, sangkar terkunci lima jari retak seketika membuka celah.
Terdengar teriakan keras Bai Shuo: "Lepaskan!"
Api karma Nirwana dengan kegagahan seketika, Bai Shuo mengerahkan seluruh kekuatan fisik menghantam tangan kanan Rulai, kembali membuat retakan pada segel di antara lima jari.
“Seketika, tubuhnya terpental ke belakang, tulang-tulang separuh badannya remuk tak berbentuk, lolongan mencekam yang tak terperi.”
“Dan yang dibayar dengan cedera serius ini adalah momentum balasan yang tak ternilai harganya.”
“Dari celah lima jari Rulai yang sebesar gunung, tiba-tiba terdengar teriakan kemarahan. Tongkat Emas menghantam jari kelingking Rulai dengan dahsyat, membuat jari yang sudah menerima beberapa kali serangan itu akhirnya patah.”
“Dalam sekejap melepaskan diri dari cengkeraman, Sun Wukong melayang di tengah hampa, tubuhnya tiba-tiba membengkak dua kali lipat. Dengan tatapan merah darah dan teriakan keras, ia menghantamkan kembali Jarum Penenang Samudra ke pergelangan tangan Rulai, menghancurkan total wilayah ilahi yang pernah mengurungnya - 'Gunung Lima Jari'!”
“Botak tua! Hari ini kita akan menyelesaikan hutang-hutang lama!”
“Tongkat Emas menyapu, Sun Wukong yang dilanda kemarahan meluap-luap terjun menghantam, tongkatnya bergemuruh menghantam kepala Rulai.”
“Sebuah jari dengan mudah menahan Jarum Penenang Samudra yang dihantamkan monyet itu, dentuman keras mengguncang balik sang monyet hingga terlempar.”
“Tepat ketika Rulai hendak membalas, semburan Qi Pedang tiba-tiba menyambar monyet itu, menariknya ke samping.”
“Tak ada yang menyangka, di saat seperti ini yang menyelamatkan monyet itu justru Tai Bai!”
“Terlalu lemah!” Tai Bai menebas habis arhat yang muncul di depannya dengan pedang, melirik monyet di sampingnya: “Meski kau dapat separuh kekuatan orang dari Gunung Fangcun itu, tetap saja bertingkah seperti barbar.”
Monyet menegakkan kembali tulang-tulang yang patah, lidahnya menjilat darah segar di ujung jari, menunjukkan senyum dingin: "Cukup untuk membunuh orang ini."
"Cih..." Tai Bai mencemooh sambil melancarkan serangan, jarinya memetik ringan bilah pedang. Bilah pedang yang memancarkan kilauan dingin bergemuruh mengeluarkan lengkingan, Jiwa Pedang yang sangat tajam langsung terkoyak dalam radius kilometer, membuat cahaya Buddha yang bergulung-gulung hancur menjadi debu.
Dalam lengkingan pedang yang bergema, Tai Bai tersenyum dingin: "Hanya denganmu? Masih belum cukup!"
"Bagaimana jika ditambah dengan aku?"
Bai Shuo muncul dari Sungai Darah yang bergelora, tubuh yang mengalami cedera serius telah kembali pulih. Dengan senyuman ia menghadang di depan Rulai dan mereka, mengangkat telapak tangan menahan lapisan cahaya bertubi-tubi, tiba-tiba berbisik: "Tai Bai, mau bekerja sama?"
Tai Bai menebaskan pedang menghancurkan puluhan Arhat yang terjun dari kedua sisi, melangkah tenang di antara gunungan maya dan lautan darah: "Mengapa aku harus bekerja sama dengan dua buronan berat Istana Langit?"
Bai Shuo berdiri di hadapan Rulai yang sebesar gunung, terus-menerus merobek cahaya yang menggulung, tiba-tiba tersenyum: "Karena jika bekerja sama dengan kami, kita bisa membunuh Rulai."
Seolah sesuatu yang wajar, ia membelakangi Tai Bai, membiarkan punggungnya terbuka di depan mata pedang, menunggu jawabannya.
Tai Bai, semua ucapan kalian telah kudengar.
Aku menghargai pengorbananmu untuk menjaga dunia ini, juga bisa memaafkan perbuatanmu pada monyet atas namanya. Sebenarnya dia sendiri tidak pernah mempermasalahkannya.
"Namun, hanya Sang Buddha, hanya dia, yang harus membayar buah karma yang telah ditaburnya sendiri."
"Aku tahu dalam hatimu sama sekali tidak ada harapan untuk menang, bahkan kalian semua sedang mencari kematian."
"Tapi jika ingin benar-benar menjaga dunia ini, melindungi segala yang kau hargai, maka kita harus menang."
"Sekarang, jawab aku: maukah kau menang?"
