Ada hantu? Jangan bercanda, itu cuma sisa medan elektromagnetik biologis di udara.
Qi? Sains palsu, tipuan! Anatomi sudah membuktikan, mana ada meridian dalam tubuh manusia? Coba tunjukkan satu!
Sihir? Itu cuma permainan kimia sederhana! Lihat, dengan beberapa ramuan saja aku bisa membuat bola api.
Mesin gerak abadi? Hentikan lelucon, hal yang melanggar Hukum Kekekalan fisika ini cuma tipuan. Seberapa rumit pun, tetap trik sulap. Biar kubongkar...
"Jika kau suka bertanya, sekarang giliranku menginterogasimu."
Li Xiao berdiri di reruntuhan, menegakkan satu jari telunjuk: "Sebuah pistol revolver tua, energi kinetik tertinggi peluru yang ditembakkannya berapa ya?"
Sama sekali tak perlu membawa bukti apa pun, otak kedua orang yang jauh melebihi manusia biasa mampu menguraikan berbagai variabel rumit dalam seketika, menyimpulkan setelah serangkaian formula.
Mengeluarkan kalkulator sederhana, Li Xiao menunjukan kesimpulannya dengan tawa aneh: "1517, satuannya joule."
Peluru yang ditembakkan pistol revolver tua, energi kinetiknya paling tinggi hanya 1517 joule! Sama sekali tak bisa menembus perisai anti peluru yang bisa mempertahankan peluru senapan besar.
"Ini baru ilmu pengetahuan!"
Seketika, Sang Pengembara seakan memahami sesuatu, pupil matanya melebar karena amarah: "Kau ini... memelintir fenomena tak terpahami menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda, itukah yang kau sebut 'ilmu pengetahuan'?!"
Memandangi Li Xiao yang diam, ia menginjakkan satu langkah maju penuh amarah: "Jawab aku!"
"Sepertinya kau belum memahami satu hal..."
Dalam keheningan, Li Xiao menggaruk kepala pasrah, berdesah sambil membuka telapak tangan: "Di dunia ini, teknologi hitam begitu banyak, mana mungkin mengurus satu per satu? Lagi pula mereka semua sombong setara 5 juta, setiap kali ingat hukum fisika yang diperkosa mereka bikin aku kesal setengah mati."
"Makanya, biar praktis, di wilayah dewa ini, hanya 'ilmu pengetahuan' yang kaku akui... yang bisa menghasilkan efek."
Ia menepuk-nepuk pecahan batu di bawah kakinya, duduk dengan malas sambil tersenyum berkata: "Jika tidak memenuhi 'standar' yang kutetapkan, mesin gerak abadimu itu lebih baik berhenti sejak dini."
Seketika, Sang Pengelana diam membisu.
Li Xiao justru tampak percaya diri menunggu lawannya menyerah, bahkan tidak melancarkan serangan, hanya bersenandung santai: "Petir datang hujan turun, Leo~ Hujan turun pakai payung, Leo~ Dingin pakai mantel, Leo, Leio~ Panas pakai kipas~"
Li Xiao yang bersemangat menarik nada panjang: "Kebijaksanaan itu, sesederhana ini~"
Seolah tidak mendengar nyanyian kanak-kanak Li Xiao, Sang Pengelana menunduk dalam perenungan.
Setelah cukup lama, Sang Pengelana yang tengah merenung tiba-tiba mengeluarkan tawa aneh: "Begitu rupanya... Untuk menopang 'wilayah dewa' ini, bahkan kekuatan fisik untuk menyerang pun tak kau miliki lagi?"
Seketika terkejut oleh daya Insight lawan, alis Li Xiao berkedut, lalu ia berkata dengan datar: "Ya, lalu?"
"Di wilayah kekuasaan tempat segala teknologi bid'ah mustahil diwujudkan ini... Kau berniat bertarung fisik denganku?"
Sebelum kalimatnya selesai, ia sudah tertawa: "Ketika cendekiawan turun ke tingkat adu stamina, itu sudah bisa disebut kekalahan total."
"Tak perlu." Sang Pengelana mengangkat kepala, berkata serius: "Jika tebakanku benar, standar penilaian 'sains teknologi' yang 'realistis' di wilayah ini, bahkan kau pun tak bisa memodifikasinya?"
“Hmm, benar. Aturan di wilayah kekuasaan ini terlalu kuat, membuatku sampai sekarang belum bisa menguasainya. Mungkin baru bisa sepenuhnya dikuasai setelah masuk level bintang delapan?”
Li Xiao mengangguk serius, tanpa ragu-ragu membuka kelemahan terbesarnya.
Benar, untuk mempertahankan wilayah dewa yang menyegel 'mesin gerak abadi' ini, bahkan sisa tenaga untuk pertahanan atau serangan pun sudah tak dimilikinya.
Asalkan sang Pengembara bisa menemukan standar yang membedakan 'ilmu pengetahuan' dan 'tipuan' di 'wilayah dewa' ini, maka baginya membuat senjata yang sepenuhnya sesuai 'aturan' dalam sejentikan jari bukanlah hal sulit.
Pertandingan sampai saat ini telah berubah dari cara beradu Boom energi menjadi duel yang tak biasa.
Ini adalah teka-teki, satu-satunya cara memecahkannya hanya dengan mengandalkan kebijaksanaan dan kemampuan diri sendiri.
Jika Pengembara bisa membongkar blokade yang dipasang Li Xiao, itu berarti dia keluar sebagai pemenang dari babak duel ini.
Sebaliknya, jika Pengembara tetap tak bisa mengatasi seluruh wilayah kekuasaan sampai hitung mundur pertandingan berakhir, maka Li Xiao-lah yang menang.
"Mari coba pecahkan." Pengembara duduk bersila, telapak tangan mengangkat topi tua di kepalanya, kedua matanya berkilau penuh antisipasi: "Di mana celah aturannya ya?"
Li Xiao memegang sekaleng soda di tangannya, bertanya santai: "Bisa ditemukan? Tinggal 16 menit lagi pertandingan berakhir."
"Ayo coba." Pengembara tersenyum aneh: "Urusan memecahkan kode, itu spesialisasiku!"
Sebagai pelancong yang bertekad menjelajahi dunia tak terbatas, teka-teki dan mekanisme tersembunyi yang pernah dihadapinya tak terhitung jumlahnya.
Bahkan semua teka-teki dalam buku sihir berjudul 'Azada' telah berhasil dipecahkannya sendiri, menjadi bagian dari koleksinya.
Bertarung atau meneliti sama sekali bukan tujuannya, dia hanya mencintai traveling.
Karena traveling membutuhkan energi, maka dia meneliti mesin gerak abadi semi.
Karena traveling memerlukan perlindungan diri, maka dia mempelajari teknologi pertempangan.
Karena traveling harus melintasi ruang angkasa, maka dia begitu terobsesi dengan teknologi ruang.
Kini, pengetahuan yang diperoleh dari traveling selama ribuan tahun pertama kali menampakkan diri di arena Turnamen Bela Diri Terhebat Sedunia.
Di antara reruntuhan, sang pengelana berbisik sambil tersenyum: "Aku menjelajahi, aku menemukan..."
Seketika, wilayah dewa investigasi eksplorasi - 'Explorasi dan Penemuan' - yang membuat segala jejak kecil, pemandangan... bahkan segala fenomena tak bisa luput dari matanya, terbentang!
Duel teka-teki telah dimulai!
……
Bagi orang luar, duel sunyi ini terasa panjang dan membosankan. Dua orang duduk berhadapan di reruntuhan bagai sedang meditasi dan pencerahan spiritual, bahkan tanpa percikan energi dewa sekalipun.
Menurut orang luar termasuk Bai Shuo, duel ini sebenarnya cuma dua orang duduk berkeringat sambil beradu pandangan, terus berdebat tentang hukum ketiga termodinamika, aliran balik entropi, atau bentuk ikatan antara elektron dan molekul pada skala mikroskopis...
Hitung mundur pertandingan terus berkurang, teriakan makian penonton di luar medan pertempuran semakin membahana.
Saat ini mereka tak peduli apakah kalian 【Paradoks】 atau 【Nabi】, penonton yang membeli tiket dengan ribuan poin hadiah bukan datang untuk mendengarkan kuliah atau melihat kalian saling melotot.
Ngawur! Kami ingin melihat Foil Dua Dimensi, adu Boom antara taktik mundur dan maju! Bisakah diskusi akademis kalian kalian lakukan di rumah saja?
Sayangnya, perkembangan realitas tidak tunduk pada keinginan subjektif manusia. Hingga detik terakhir pertandingan berakhir, 'kompetisi melotot' ini tetap tak juga berhenti.
Keputusan akhir ditentukan oleh intervensi Dewa Utama sebagai kehendak tertinggi. Setelah menganalisis konsumsi stamina-energi, situasi pertandingan, hingga proses pertarungan kedua belah pihak, Li Xiao dinyatakan menang tipis dan lolos ke babak 40 besar.
Li Xiao yang hampir kehabisan tenaga akhirnya digotong turun dari panggung. Pemuda berambut merah itu mengusap keringat sambil bergumam: "Bahaya sekali, nyaris saja kalah."
Di bawah kemampuan analisis 'Penjelajahan Penemuan' yang luar biasa itu, wilayah dewanya terkuak 95% dalam 17 menit. Andai saja dia tak berjuang mati-matian mempertahankan inti wilayah dewa, mungkin rahasia inti standar itu sudah berhasil dipecahkan oleh Pengembara.
Sementara Pengembara yang nyaris meraih kemenangan pun tak terlihat kecewa. Mungkin karena sejak awal dia memang tak pernah menaruh harapan pada konsep bernama 'kemenangan'?
Sebagai pengganti sementara ‘Nietzsche’ yang turun ke medan, sang pengelana sama sekali tidak tertarik dengan urusan pertarungan mematikan. Namun karena Batalyon 【Nabi】 selalu memperlakukannya dengan baik, dia pun tidak tega-teganya memberi kelonggaran.
Dan jika kini kehilangan kualifikasi pertandingan dengan akhir seperti ini, setidaknya bisa dipertanggungjawabkan bukan?
Duduk di reruntuhan arena, dia tersenyum pasrah, menepis tangan anggota batalyon yang ingin menopangnya, tetap duduk di lokasi semula sambil menatap ke tribun tertinggi.
Melepas topi felt usangnya, dia menampakkan senyum keanehan kepada sosok pemimpin Batalyon 【Nabi】 yang telah berubah menjadi siluet galaksi berbentuk manusia.
"Maaf ya, Paman. Tampaknya aku memang kurang ahli dalam urusan pertumpahan darah begini."
Berdasarkan pemahaman mendalam akan karakternya, sang penguasa mutlak itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau kemarahan.
Mungkin kemungkinan kejadian seperti ini sudah tercakup dalam ramalan masa depan yang dia hitung?
Di ketinggian, bayangan galaksi yang berbentuk siluet manusia mengangguk halus, memberi isyarat bahwa dia telah memahami dan membiarkan semuanya berjalan alami.
……
Saat pertandingan pagi berakhir, 40 tim terkuat Turnamen Bela Diri akhirnya terpilih dari ribuan duel, membuat kesadaran semua orang semakin bergetar keras.
Meskipun duel sebelumnya penuh dengan situasi pertempuran sengit dan pertarungan mematikan, sejujurnya semua itu hanyalah babak penyisihan.
Duel 40 besar berikutnya kemungkinan akan memicu klimaks baru.
Dan seiring dengan pertandingan 'Turnamen Bela Diri' yang memasuki tahap yang sangat kompetitif, semakin banyak Prajurit Samsara yang masuk ke dunia ini melalui berbagai cara. Menurut perhitungan 【Evolusi Ilahi】, planet gurun kecil ini akhirnya menampung 93% Prajurit Samsara dari seluruh dunia tak terbatas!
Apa artinya 93%? Dari seratus orang, sembilan puluh tiga di antaranya berada di dunia ini!
Mungkin tak ada yang menyangka bahwa pertarungan kelompok besar bertujuan perang ini akan berubah menjadi perhelatan besar yang belum pernah dialami sebelumnya.
Duel sengit dan perhelatan besar yang tak tertandingi di seluruh dunia tak terbatas - kesempatan seperti ini hanya datang sekali dalam puluhan tahun. Melewatkan kesempatan ini akan sulit ditemukan lagi.
Oleh karena itu, dua jam sebelum pertandingan sore dimulai, kerumunan orang sudah memadati luar arena.
Berbagai Prajurit Samsara dengan bentuk aneh berpakaian atau berperlengkapan unik berkumpul membentuk kerumunan di luar venue, menunggu pembukaan resmi pertandingan sore.
Dalam kondisi seperti ini, hampir setiap detik warna lingkaran cahaya perdamaian menyala. Siapa di antara kami yang tak pernah menumpahkan satu dua nyawa manusia di dunia tak terbatas ini?
Terutama dalam pertarungan kelompok yang seringkali berakhir dengan pertarungan mematikan tanpa henti, telah menciptakan perseteruan tak terhitung.
Jika musuh berada jauh di ufuk mungkin masih bisa ditolerir - berlatih keras sambil menunggu hari pembalasan. Tapi ketika jaraknya hanya beberapa puluh meter, di jalan sempit yang sama...
"Meski tidak bisa menimbulkan kerusakan permanen, menginjak wajah musuh dua kali juga cukup untuk melancarkan dorongan dalam pikiran."
Maka, konflik pun dimulai.
Dari kekacauan sporadis berkembang menjadi perkelahian massal hanya dalam belasan menit, membuktikan bahwa jiwa kebanyakan orang pada akarnya masih sangat mencintai aktivitas 'kekerasan' - terutama kekerasan yang tidak melukai diri sendiri, tentu lebih antusias lagi.
Lagipula tidak sampai ada mayat, kami semua Prajurit Samsara yang pernah melewati hujan darah dan angin busuk. Siapa yang belum pernah patah tulang? Dibanding bergulat di antara hidup dan mati, sekarang ini hanya hujan rintik-rintik. Paling parah cuma diinjak sampai ke tanah.
Pria sejati harus bisa mengandalkan healer! Bangun, tepuk debu, lanjut bertarung dengan semangat semakin membara. Seolah takkan berhenti sebelum membongkar semua tanah dalam radius 30 li.
Sebagian orang yang punya naluri bisnis mulai menjauh dari area pertempuran, membuka lapak menjual berbagai item dan ramuan untuk mencari keuntungan. Tiba-tiba mereka dikepung oleh Liang Gongzheng bersama sekelompok penduduk asli Planet Namek kulit hijau.
"Margamu? Namamu? Asalmu? Bintang berapa? Batalyon mana? Tahu ini wilayah siapa? Kenal aku?"
Liang Gongzheng melontarkan rentetan pertanyaan tanpa jeda napas. Wajahnya marah-marah, tangan menggenggam bata sambil memungut biaya perlindungan satu per satu.
Sesekali jika bertemu orang yang berani membuat masalah dan mengandalkan jumlah banyak, langsung diseret keluar lalu dihajar dengan 'Formasi 18 Tembaga Shaolin' versi Dewa Makanan. Memberikan pelajaran keras terlebih dahulu, bahkan Kakak Adil paling kejam dari Rumah Sakit Jiwa Qing Shan pun tidak tahu harus beraksi.
“Kakak Adil paling adil dalam bersikap, biaya perlindungan pasti tidak akan menarik banyak. Tapi sedikit-sedikit tetap harus ditarik, kalau tidak kabarnya menyebar bukannya aku jadi kehilangan muka?”
Biaya kebersihan, pajak bahan bakar, serta biaya manajemen ruangan dan lain-lain tentu tidak bisa dikurangi, tapi juga harus bervariasi sesuai individu.
Yang jelek dan mempengaruhi pemandangan kota ditarik lebih banyak; yang tampan tapi bikin sesak di hati juga ditarik lebih...
“Kalau yang tidak jelek tapi juga tidak ganteng?” tanya anak buah Planet Namek.
Liang Gongzheng menggaruk kepala berpikir sejenak, lalu berkata serius: “Karena penampilannya memiliki kandungan teknologi yang tinggi, bahkan bisa mentok di tengah-tengah, tentu juga harus ditarik lebih.”
Di luar perkiraannya, hal yang terjadi kemudian ternyata bisa berjalan cukup lancar.
Begitu saja dari ujung jalan hingga ke ujung jalan, setelah menghancurkan beberapa lapak, akhirnya dia bertemu dengan seorang kenalan yang tak terduga.
"Hei, lao tou, sudah bayar belum?" Liang Gongzheng menghantamkan bata di tangannya ke meja, menatap pria yang sedang menunduk mengupas apel di bawah bayangan payung matahari.
"Apakah aku terlihat sangat tua?" Wu Dao mengangkat kepala, menunjukkan senyum pertemuan kembali yang sudah lama terpisah: "Rupanya kamu suka melakukan hal-hal seperti ini?"
"Mencetak hobi dan minat dalam hidup, kamu mengerti tidak? Ah sudahlah, lihat wajahmu yang tetap seperti dulu pasti tidak mengerti."
Liang Gongzheng dengan postur serasi kedua tangan di pinggang, berkata dengan tegas: "Melihatmu adalah kenalan, dengan susah payah aku kasih diskon 20%, cukup beri 300 poin hadiah saja."
"Mau makan apel?" Wu Dao tersenyum sambil melepaskan kulit apel yang panjang dan tipis dari mata pisau, menyodorkan apel yang sudah dikupas di tangannya: "Rasanya enak lho."
Liang Gongzheng memandang apel dengan bingung, geleng kepala: "Aku belakangan ganti makan tebu."
Ia mengeluarkan dua potong tebu yang sudah dipotong dari kantong kecil: "Rasanya enak, mengingat dulu kamu sering mentraktirku makan malammu, aku kasih satu. Pisau kamu bagus, bantu kupas ya."
Wu Dao tersenyum getir menerima dua batang tebu berkulit hijau kebiruan itu, menggunakan senjata suci di tangannya dengan lihai memotong tebu, agak kikuk saat menggigitnya, hasilnya mulutnya penuh serpihan.
Dua orang yang sudah lama tak bertemu ini berjongkok di bawah payung matahari, memandang kerumunan orang yang bergelombang di bawah terik cahaya matahari, mengobrol santai.
Entah mengapa, Liang Gongzheng yakin, ini terakhir kalinya 'dua orang bisa duduk bersama seperti ini'.
Pria bernama Wu Dao itu memandang kerumunan di kejauhan dengan lesu, berbisik: "Ramai sekali, ini semua jasamu. Kau bahkan berhasil mempermainkan Komandan Yang Mulia itu, hebat betul."
"Benarkah?" Liang Gongzheng berkata dengan santai: "Tapi dia belakangan terlihat sangat bahagia ya!"
Wu Dao menunduk melihat tebu di tangannya: "Bagaimana rasanya mengalahkan Tuhan Konspirasi?"
Setelah hening sejenak, Liang Gongzheng berkata dengan suara rendah: "Aku belum menang... Dan melihat kondisimu hari ini, aku merasa hampir kalah."
Wu Dao tiba-tiba tertawa, memandang fokus ke kejauhan, cukup lama kemudian baru berbisik: "Kau masih punya kesempatan."
"Siapa yang tahu?" Liang Gongzheng mengangkat kepala mendadak, menatap payung merah menyala di atasnya, bergumam sendiri: "Aku bahkan tak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan."
"Aku juga tidak tahu." Wu Dao tersenyum: "Tapi suatu hari nanti kau pasti bisa memahaminya sendiri, kalian berdua sama."
"Tidak sama."
Untuk pertama kalinya, Liang Gongzheng membantah dengan serius: "Tidak akan pernah sama, seperti aku dan kamu."
"Benarkah?" Wu Dao tertegun sebentar, tiba-tiba terkekeh pelan: "Ya, aku danmu berbeda, aku bahkan sudah tak punya nama lagi..."
"Seharusnya kau ganti nama sejak dulu." Liang Gongzheng tak mengangkat kepala: "Dulu bagaimana caramu membuat nama ini? Apa asal buka kamus, tutup mata lalu pilih kata sembarangan?"
"Masa sih?" Wu Dao tertawa getir, serius merenungkan kenangan samar di otaknya: "Ini nama teman lama sekali, dia sudah mati, lalu kupakai."
"Saat dia mati dulu, aku berjanji padanya."
Wu Dao mengingat-ingat memori kabur, tiba-tiba tersadar akan sesuatu, senyum penuh pencerahan muncul: "Aku ingat sekarang."
Dalam kegelapan malam yang panjang bertahun-tahun silam, rekan seperjuangan yang hendak mati, dan diriku yang menangis tersedu-sedu.
"Waktu itu aku berkata: Nama yang begitu sombong dan arogan ala naga ini, sayang kalau ikut mati bersamamu. Berikan saja padaku."
"Apa jawabannya?"
"Dia bilang: Waduh, sakit sekali aku. Kau punya obat? Kasih sedikit..."
Wu Dao terkikik-kikik, bergumam sendiri: "Kubalas: Pergi kau! Kita sampai harus jual celana demi hidup, mana ada poin hadiah buat beli obat? Pergilah dengan tenang, nama Wu Dao akan kuteruskan, pasti kubuat termasyhur di dunia tak terbatas, membuatmu bangga meski sudah mati..."
Liang Gongzheng mengunyah tebu dengan lahap, bertanya tak jelas: "Terus?"
"Lalu dia mati," kata Wu Dao dengan serius. "Kemudian nama itu resmi jadi milikku."
"Lalu nama aslimu apa?"
"Lupa, benar-benar lupa." Dia menggaruk-garuk kepala kesal. "Chen... Chen apa ya?"
Liang Gongzheng diam, mendengarkan pria di sampingnya yang terus mengoceh tentang hal-hal sepele dan bertele-tele. Ia merasa pria ini ingin mengatakan sesuatu.
Sebenarnya ingin bicara apa? Ia tak tahu.
Hingga akhirnya, Wu Dao bicara banyak, memuji tebunya yang manis, mengakui dirinya bodoh telah lama memakan apel asam.
Tapi kata-kata sesungguhnya yang ingin disampaikan pada Liang Gongzheng, tak pernah terucap.
“Dengan suara dimulainya turnamen, semua orang telah pergi. Liang Gongzheng juga pergi, hanya menyisakan Wu Dao yang terakhir tinggal di sana, terus menunggu sampai habis memakan sebatang tebu yang sebenarnya sangat murah.”
“Seorang diri melihat air gula yang mengalir ke jari telunjuknya, Wu Dao berbisik pelan kepada teman yang telah lama pergi:”
“Terima kasih untuk tebumu, rasanya enak.”
