Membawa batu papan di tangan, Bai Shuo kembali membuka pintu sebelah kanan.
Kali ini, sudah ada yang menunggu di dalam.
“Taois renta itu memegang labu merah menyala, bertanya dengan suara rendah pada Bai Shuo: ‘Jika ku panggil namamu, berani kau jawab?’”
Seketika, Bai Shuo... tidak bisa menahan tawa.
“Puuut!”
Ekspresi serius yang dipertahankan Bai Shuo langsung hancur: “Benda ini cocok untuk menipu tokoh plot, mana ada Prajurit Samsara yang mau jawab?”
Pada keit ini, cahaya sepanjang tiga zhang tiba-tiba menyembur dari labu.
Dalam cahaya itu, sesuatu yang berkabut muncul sepanjang tujuh inchi, tampak memiliki alis dan mata, tiba-tiba menyemburkan dua sinar putih dari matanya.
Sihir level dewa berkobar saat cahaya putih dingin itu menyinari tubuh Bai Shuo!
Efek yang bahkan bisa membekukan dewa langit dan membuat pingsan menyebar, kesehatan dan rasionalitas Bai Shuo terjebak dalam kondisi terdiam.
Taois renta itu tersenyum tipis, membalikkan badan dan memberi hormat pada labu yang melayang di angkasa: “Harta berharga, mohon berbaliklah.”
……
Nima! Tampak seperti Labu Emas Ungu, ternyata ini Pisau Terbang Pembasmi Dewa Wocao!
Seketika, cahaya putih itu melesat mengelilingi lehernya satu putaran sebelum kembali ke labu.
“Hmph.” Orang tua itu tersenyum, hendak berbalik tapi tiba-tiba menemukan situasi yang hampir tak terbayangkan.
Kepala musuh... kok masih utuh tanpa cedera?!
“Harta berharga, mohon muncul!” Orang tua itu berseru lagi sambil memberi hormat: “Harta berharga, mohon berbaliklah!”
Seberkas cahaya putih menderu keluar, lalu menderu kembali.
"Hmph, kali ini kau pasti tidak bisa..." Orang tua itu menyunggingkan senyum dingin sambil menaikkan pandangan, separuh kalimat terakhir tersangkut di tenggorokannya.
Wocao! Masih utuh tanpa cedera!
Ekspresi wajah orang tua itu dipenuhi kegentaran, tiga kali berteriak: "Harta berharga, mohon berbalik!"
Seberkas cahaya putih kembali muncul dan menghilang, Bai Shuo tetap tak tergoyahkan.
Gemetar halus merambat dari ujung jari orang tua itu, sambil mundur ketakutan, ia histeris melantunkan mantra: "Harta berharga mohon berbalik! Harta berharga mohon berbalik! Harta berharga mohon... Harta berharga mohon berbalik! Harta berharga mohon, puuut!"
Suara aneh terakhir itu muncul karena terlalu keras menggigit lidahnya.
Namun darah yang menyembur dari lidah justru meningkatkan kekuatan senjata pamungkas, membuat pisau terbang pemusnah dewa akhirnya... meninggalkan goresan putih di leher Bai Shuo.
"Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin!" Orang tua itu maju seperti orang gila, memeriksi sekujur tubuh Bai Shuo, tapi tak menemukan satu pun alat bela diri, hanya bisa bergumam lesu: "Ini tidak mungkin!"
"Mengapa tidak boleh?" Bai Shuo yang hanya sejengkal di depannya tiba-tiba bersuara heran, menatap ke bawah orang tua itu yang menjerit-jerit sambil mundur dan lunglai di lantai, berkata dengan penuh pujian: "Pantunmu cukup lancar."
"Delapan ratus prajurit berlari ke lereng utara, meriam-meriam berjejer menembak ke utara... Ck, baris kedua sudah salah."
Bai Shuo dengan pasrah menepuk kepalanya, mengambil labu merah dari tangan orang tua itu yang terdiam, lalu menggoncang-goncangkannya penuh rasa ingin tahu. Ia mendekatkan matanya ke mulut labu dan mengintip ke dalam: "Ada apa di dalam sini, ya? Aku lihat..."
Dak!
Di tangan Bai Shuo, labu itu tiba-tiba hancur berantakan dengan suara Boom.
"Ah, maaf." Bai Shuo berjongkok, menepuk wajah berkeriput itu: "Aku merusaknya, kau keberatan?"
Orang tua itu gemetar membuka bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk bersuara, tiba-tiba memuntahkan darah segar.
Bai Shuo terlihat tertegun sejenak, agak canggung menunduk: "Maaf, sepertinya aku tak sengaja menusukmu."
Di tangannya, Pedang Waktu memanjang, menembus cangkang tubuh orang tua itu, dalam sekejap menghancurkan jiwa dan raganya hingga berkeping-keping.
"Sudahlah." Ia berdiri pasrah sambil menyaksikan mayat yang berubah menjadi abu beterbangan, lalu mengangkat papan batu: "Yang ketiga..."
Coretan tiba-tiba terhenti bersamaan dengan suaranya. Bai Shuo berbalik cepat, menatap tajam ke sudut paling pinggir di belakangnya. Tatapannya setajam mata pisau, hampir menghancurkan ilusi yang bahkan mampu menyesatkan dewa sekalipun.
Gelombang kegagahan ilahi menerjang, ilusi pun runtuh berantakan. Debu tulang yang beterbangan di lantai menyebar diterpa angin topan, berubah menjadi partikel halus yang jatuh perlahan.
Namun di sudut kamar, tiba-tiba muncul seorang pria tampan berpakaian bagus yang memegang pedang panjang.
“Eh？Ketahuan?” Pria yang agak terkejut itu menunjukkan senyum pujian: “Lumayan, kau bahkan bisa menembus boneka itu hanya penyamaran.”
Pandangan Bai Shuo berpindah-pindah, akhirnya perlahan tertuju pada pedang panjang di tangan pria tampan itu: “Apa itu?”
“Ini?” Pria itu mengangkat pedang panjangnya, mengangkat bahu dengan acuh: “Cuma pedang biasa, tapi namanya spesial.”
Bai Shuo mengerutkan alis bertanya: “Nama?”
“Ya.” Pria itu mengangkat pedang panjangnya, berkata dengan serius: “Hancurlah, Kyōka Suigetsu!”
Seketika, segala fenomena berubah menjadi warna berkabut, dunia mulai terdistorsi berputar, ilusi gurun, laut, kutub, dan tanah gosong terus berkedip, tepat sebelum sempat stabil, dihancurkan oleh tebasan pedang waktu yang menyebarkan kegagahan ilahi!
Waktu yang kacau balau berkumpul menjadi bilah pedang, mengubah segalanya menjadi kekosongan.
Di udara, goresan pedang merah menyala menghilang sekejap, sementara pria tampan itu tiba-tiba muncul garis darah dari kepala hingga selangkangan, akhirnya terbelah sempurna, darah segar menyembur.
Bai Shuo perlahan menyimpan pedang cahaya di tangannya, kembali mengangkat batu tulis, menyempurnakan garis horizontal yang belum selesai tadi, menambah satu goresan lagi.
“Yang keempat.”
Namun tiba-tiba ada suara dari belakangnya, pria tampan itu keluar dari langit, dengan senyum keanehan berkata: “Sejak kapan kau berhalusinasi sudah ‘membunuhku’?”
Bai Shuo tidak menoleh saat menyimpan lempengan batu, mendorong pintu ke sebelah kanan: "Sejak kapan kau berhalusinasi bahwa 'kau belum terbunuh'?"
Seketika, pria tampan yang muncul kembali tiba-tiba diselimuti goresan berdarah yang mencekam sebelum akhirnya terbelah dua.
Suara retakan terdengar bertubi-tubi, berderak tanpa henti, hingga akhirnya ratusan lapisan ilusi hancur berkeping-keping.
Di lapisan terdalam ilusi, pria yang sudah menyamar di belakang Bai Shuo dan mengangkat pisau untuk menusuk mengeluarkan auman kesakitan.
Pertama Zanhuntō di tangannya, kemudian lengan, keempat anggota tubuh, hingga akhirnya tengkorak.
Pecah, remuk, berubah menjadi debu berlevel ion sebelum akhirnya sirna.
Pada saat itu, Bai Shuo akhirnya melihat wajah aslinya.
Tidak seperti versi ilusi yang kurus dan tampan, wajah aslinya sangat buruk.
Berapa tahun makhluk ini hidup dalam ilusinya sendiri? Bai Shuo penasaran, tapi tak ada yang bisa ditanya lagi.
"Sudah kubilang, yang keempat."
Bai Shuo meniup serpihan batu dan debu di parit panjang pada lempengan batu, menyimpannya, lalu membuka pintu di hadapannya.
Saat melangkah ke pusat kamar, api racun yang tak terhitung jumlahnya menyala dari atas baja. Dalam suara nyaring, ribuan tepi tajam dimensi yang mencekam menyatu membentuk jaring dari atas.
Kali ini sepertinya menginjak perangkap?
Bai Shuo menunjukkan ekspresi pasrah, menatap kunci di tangannya.
Apakah aku salah jalan? Kemungkinannya kecil.
Yang lebih mungkin adalah, bukan hanya jalan yang salah, bahkan di jalan yang benar pun pasti ada perangkap?
Sekali lagi meningkatkan kecepatan waktunya hingga puluhan ribu kali lipat, Bai Shuo menemukan pintu keluar yang benar tepat sebelum tepi tajam dimensi menebasnya.
Selain itu, berdasarkan sugesti di lima pintu keluar lainnya, selain satu-satunya kamar yang aman, lima kamar lainnya mungkin menyimpan sesuatu yang lebih jahat?
Jika asal memilih pintu untuk kabur, mungkin dalam sekejap akan ditelan oleh monster bintang sembilan atau perangkap mengerikan sampai tulang-tulang pun tak bersisa.
Jika nasib sial, akan diusir selamanya di lautan dimensi; jika agak beruntung akan seperti Bai Shuo dulu yang menemukan sebuah dimensi sebelum terhempas ke dimensi terpencil yang tipis; jika lebih sial lagi, mungkin seumur hidup akan terombang-ambing dalam badai ruang-waktu tanpa henti sampai energi dewa benar-benar habis.
Atau mungkin masuk ke alam semesta bentuk awal yang bahkan belum terbentuk planet, menjalani 'hidup penjara' ribuan tahun yang sesungguhnya, dan akhirnya mati dalam kesepian.
Sementara Bai Shuo berdiri di kamar baru, mengeluarkan kembali undangannya, mencari nama dirinya.
Kali ini, kemajuan dirinya telah mencapai 16 persen.
Tampaknya satu jam perjalanan ini memang tidak salah arah.
Hanya saja yang lebih membuat Bai Shuo jengkel adalah, jalan yang salah ada perangkapnya, jalan yang benar malah ada sekelompok demi sekelompok musuh.
“Kali ini, trio ya?”
Dengan wajah tak sabar, ia menyimpan undangan di tangannya, mengangkat kepala memandangi para Prajurit Samsara dengan penampilan aneh di hadapannya: “Apa kalian mau serang bersamaan?”
Pria pemimpin mengambil satu langkah maju, berkata dengan serius: “Kami...”
“Kami Tiga Sahabat Gunung Huang selalu kompak. Bertemu satu musuh kami bertiga, hadapi seratus pun tetap bertiga, benar kan?”
Bai Shuo mengorek hidung dengan bosan: “Drama basi ini sudah kuakali dari dulu, ada yang lebih fresh nggak?”
“Kalau sudah paham, tak perlu banyak bicara.” Pria itu tersenyum dingin, menoleh ke belakang: “Serbu bersama! Hadapi bid'ah seperti ini tak perlu pakai Tao...”
Sebelum kalimat selesai, rekan-rekannya menunjukkan ekspresi tak percaya. Suara retakan daging dan darah menggema, darah segar menyembur dari tubuh mereka yang berlubang-lubang.
“Tak perlu pakai logika, benar kan?”
Tiba-tiba Bai Shuo sudah berdiri di belakangnya, pedang waktu tak tertandingi menempel di leher pria itu: “Apa kalian tidak pertimbangkan bagaimana jika kalah?”
Tubuh pria itu gemetar, bergumam marah: “Bunuh saja! Banyak omong!”
“Santai, biar kulihat.” Bai Shuo tersenyum mengulurkan jari, menyentuh titik antara alisnya: “Apa yang harus kukatakan? Penasaran nih!”
Seketika, Kesaktian Membaca Pikiran dari enam kemampuan supranatural menyala. Energi dewa yang mengerikan dimasukkan paksa ke otaknya, merambah ingatan dan jiwa dengan cara garang.
“Oh, ternyata begitu.”
“Bai Shuo tiba-tiba mengangguk, bergumam penuh renungan: ‘Saat ini harusnya bilang ‘musuh tangguh, lebih baik lira’ ya?’”
Memandangi musuh yang matanya sudah memutih, Bai Shuo tiba-tiba mengangkat alis: “Hm, kurasa... masih ada satu lagi? ‘Selama gunung masih hijau, tak perlu khawatir kayu habis’? Rupanya kalian berpengalaman ya Bung.”
Dengan perlahan menarik kembali jari, ia menatap musuh yang sudah menjadi idiot akibat hancurnya energi dewa, berkata penuh hormat: “Selamat jalan, Tiga Sahabat Gunung Huang.”
Begitu ucapannya selesai, sebuah tengkorak melayang ke udara.
Tiga pejuang bergaya ksatria orthodox dari dunia seni bela diri yang suka ‘maju atau mundur bersama’ ini, ‘Tiga Sahabat Gunung Huang’, akhirnya menuju akhirat bersama.
“Hm, kali ini datang tiga sekaligus, harus coret berapa garis?”
Bai Shuo memegang papan batu, bergumam penuh kebingungan, lalu mengisi goresan terakhir karakter ‘’, berseru penuh pencerahan: “Hitung satu saja lah.”
“Kalau begitu...”
Ia mengangkat kepala, menatap sorotan pandangan dari balik lapisan ruang angkasa, tersenyum mengejek: “Selanjutnya, berapa banyak lagi sampah seperti ini?”
