Lucien terbaring di tanah, pusing dan bingung dengan seluruh tubuhnya sakit, menatap matahari pagi yang tidak terlalu terik dan langit biru yang jernih. Ia bernapas perlahan menghirup udara segar. Rasa sakit fisik tak mampu menutupi gejolak dalam hatinya, serta keteguhan dan kekuatan dari memiliki tujuan perjuangan yang nyata.
Setelah memutuskan untuk mempelajari Sihir, meski Lucien menjadi lebih berhati-hati dan waspada terhadap masa depan, perasaannya justru seperti melepaskan batu yang telah lama menindih hatinya. Ada kelegaan yang menyenangkan menyelimutinya.
“Ini benar-benar aktivitas psikologis yang aneh, rumit, dan menyimpang.” Lucien yang mengalami lebih banyak hal dalam beberapa hari terakhir dibanding dua puluh tahun sebelumnya, seolah tiba-tiba menjadi lebih matang. Ia mengubur kemarahan dan ketidakberdayaan tadi dalam jiwanya, lalu tersenyum sinis, "Mungkin sejak awal, aku memang mendambakan mempelajari sihir, menguasai kekuatan supernatural, meraih kehidupan yang lebih baik dan status yang lebih tinggi. Kejadian beberapa hari ini hanya membantuku memantapkan tekad."
Elisa berlari menghampiri Lucien dan membantunya berdiri: "Evan kecil, kau baik-baik saja?"
Lucien mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, mengerang kesakitan: "Tidak apa, Bibi Elisa. Mereka tidak berniat membunuhku, hanya luka-luka ringan."
Elisa baru lega, lalu mengumpat, "Bajingan-bajingan terkutuk itu, preman yang mengabaikan hukum Adipati, pasti akan digantung! Pasti masuk neraka!"
Sambil terus memaki-maki geng Aaron, Elisa membantu Lucien duduk di rumahnya, membersihkan noda darah di wajahnya dengan air bersih, dan menggunakan kain linen bersih untuk menghentikan pendarahan.
Setelah semua ini selesai, Elisa menaruh tangan di pinggang sambil memandangi Lucien, hendak menanyakan detail kejadian. Namun sebelum sempat bertanya, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dengan ekspresi memohon ia berkata: "Hari ini hari Senin, John kecil akan pulang sore nanti. Jangan beritahu dia tentang ini. Kau tahu sendiri, Evan kecil, dia sangat terobsesi dengan kode kehormatan ksatria. Karena kau sahabat karibnya, bisa saja dia nekat mencari masalah dengan geng Aaron. Jika urusan ini jadi besar, bisa-bisa dia diusir oleh Sir Wynn."
Sebagai seorang rakyat miskin, Elisa terbiasa memposisikan diri sebagai pihak yang lemah.
“Tentu saja, aku tidak mengalami hal serius, akan merahasiakan dari John, hiss.” Meski Lucien saat ini lemah, ia yakin suatu saat bisa membalas dendam agar geng mendapat hukuman setimpal, jadi ia menjawab sambil tersenyum tak peduli, namun gerakan itu menyentuh sudut bibirnya yang terluka.
Bibi Elisa mengangguk dengan mata berkaca-kaca: "Evan kecil, kau memang hebat."
"Apa yang kalian rencanakan untuk sembunyikan dariku?" Tiba-tiba suara berwibawa John terdengar. Masih mengenakan baju ksatria abu-abu, tanpa disadari ia telah berdiri di ambang pintu.
Bibi Elisa panik menjawab: "Tidak, sama sekali tidak ada apa-apa. John kecil, kenapa pulang lebih awal?"
John melangkah masuk ke dalam rumah dengan kaki yang jenjang, berkata dengan getir: "Baginda Adipati memanggil Sir Wynn, jadi aku ikut kembali ke Alto. Ibu, jangan mengucapkan kebohongan konyol seperti itu. Aku sudah dewasa, seorang pelayan ksatria resmi yang belajar banyak hal dari Sir Wynn. Bukan anak polos seperti dulu lagi, jangan khawatir aku akan bertindak gegabah."
Setelah berbicara pada Elisa, John tersenyum memandang Lucien sambil menepuk tangan, berkata dengan sikap tenang: "Kondisimu sekarang jauh lebih parah daripada saat kita dipukuli bersama dulu. Baiklah, ceritakan apa yang terjadi. Sepertinya banyak tetangga yang mungkin melihat kejadian tadi."
Lucien menoleh melihat Bibi Elisa, setelah melihatnya mengangguk lesu, barulah menceritakan seluruh kejadian secara detail. Saat itu, dari sikap John, Lucien bahkan merasakan tekanan yang biasa diberikan oleh orang-orang seperti Gary dan Koreya.
“Mendengar bagian selanjutnya, John menunjukkan ekspresi marah, tapi tidak kehilangan akal sehat. Ia cepat tenang dan tertawa pendek: "Sepertinya Lucien benar-benar ingin belajar baca tulis. Tapi otakmu memang yang terbaik di antara kita, sampai bisa menemukan sampah berharga.""
Melihat John tidak marah-marah dan nekat mencari masalah dengan geng Aaron ala ksatria, Bibi Elisa menghela napas lega: "Evan kecil, bagus kalau kau punya rencana dan usaha sendiri."
John memutar tubuhnya, meregangkan bahunya, lalu berjalan ke dapur beberapa langkah jauhnya. Ia mengambil tongkat kayu kokoh berbentuk pedang panjang, lalu berkata pada Lucien: "Tak kusangka masih akan pakai tongkat latihan zaman dulu.""
Kemudian ia menoleh, "Ibu, aku pergi sebentar."
"John kecil..." Elisa berteriak dengan sedih, "Kau akan diusir Sir Wynn karena ini!"
Lucien buru-buru menyela, "John, tidak apa-apa. Cuma luka kecil."
John menggelengkan kepala: "Setelah menjadi pelayan resmi Sir Wynn, beliau sering mengajarkan kami untuk memegang teguh Kode Ksatria, mengembangkan semangat ksatria, tidak takut pada kekerasan, melindungi yang lemah, menjaga rumah tangga, mengibarkan panji keadilan dan kebenaran. Mungkin rekan-rekan lain tidak terlalu memperhatikan, tapi aku merasa ini adalah jalan yang ingin kuanut seumur hidup."
"Lucien adalah sahabat baikku, rakyat kecil yang lemah. Geng Aaron adalah kejahatan yang terdiri dari bajingan dan preman. Jika aku tidak berdiri melawan, melanggar prinsip dalam hatiku, meski tidak diusir Sir Wynn, penyesalan ini akan menghantuiku selamanya dan membuatku tak bisa membangkitkan kekuatan darah dalam tubuhku. Lagipula, aku yakin Sir Wynn akan mendukung tindakanku."
"Tapi, John kecil..." Bibi Elisa masih enggan melepas kepergian John, wajahnya dipenuhi kesedihan.
John kecil tersenyum lembut, memeluk Elisa: "Lucien hanya dipukuli dan dirampok sedikit barang, jadi aku tidak akan bertindak berlebihan atau membuat masalah besar. Percayalah Ibu, lihat, aku hanya membawa tongkat kayu."
Hiburan seperti itu, ditambah status John sebagai pelayan resmi ksatria yang meyakinkan, akhirnya membuat Elisa setuju. Ia mengangguk berat: "John kecil, kau harus sangat berhati-hati."
"Mereka yang harus berhati-hati. Lucien, tunggu kabar baik." John menggenggam tongkat kayu dengan percaya diri, siap berjalan menuju pintu.
"Tunggu." Suara Lucien tiba-tiba terdengar.
John menoleh heran: "Ada apa, Lucien?"
Lucien berdiri, terharu oleh tindakan John. Darahnya seperti mendidih dalam dada, tersenyum: "Aku ikut."
Meski luka di sudut mulut membuat senyum Lucien terlihat lucu, John tetap bisa melihat keteguhannya. Ia pun tidak menolak dan tertawa lebar: "Tidak masalah, seperti waktu kecil dulu. Eh, di dapur masih ada satu tongkat kayu."
Lucien mengambil tongkat kayu itu, menggenggamnya erat. Saat melewati Bibi Elisa, ia berbisik menghibur: "Aku akan mengawasi John, tidak akan membiarkannya bertindak gegabah."
※※※
Jackon dan kawan-kawannya belum lama pergi. John dan Lucien dengan mudah mengetahui jejak mereka dari keterangan tetangga dan orang-orang di jalan.
Saat mengejar, John tiba-tiba bertanya: "Lucien, apakah kau percaya pada keadilan?" Suaranya terdengar agak ragu.
"Ya, percaya. Kenapa?" Lucien tidak mengerti maksud pertanyaan John, menjawab dengan hati-hati seperti kebiasaannya.
"Aku juga percaya pada keadilan, tapi aku sadar, aku tidak sesuci dan setangguh yang kukatakan tadi. Kalau kau bukan sahabatku, mungkin aku tidak akan bertahan pada semangat ksatria lalu mengibarkan panji keadilan untuk melawan geng Aaron. Aku terbiasa menimbang kekuatanku sendiri. Begitu merasa nyawaku dan masa depanku terancam, aku akan ciut, tak berani maju, kecuali ini menyangkut urusan besar keluarga dan teman-temanku. Mungkin... bagiku, keadilan hanyalah slogan belaka."
"Aku tidak berpikir begitu. Setiap ksatria punya hal prioritas yang mereka jaga. Ada yang memilih keadilan, kesetiaan, keberanian, belas kasihan. Dan kau memilih rumah tangga. Hanya dengan memilih sesuatu untuk dijaga, barulah kita bisa bicara tentang keadilan. Tanpa itu, keadilan hanyalah simbol yang menggantung, tak berbentuk, ilusif."
"Lucien baru menyadari saat ini bahwa John masih seorang pemuda yang masih hijau, sama seperti dirinya. Sambil membuka-buka literatur tentang semangat ksatria di pikirannya, dia menyusun kata-kata untuk menenangkan dan sedikit membujuk John."
"Setelah beberapa hari beradaptasi, Lucien semakin mahir dalam mengakses perpustakaan. Dia menemukan bahwa seiring dengan alur pikirannya, pencarian bahan referensi menjadi semakin mudah."
"John masih tampak bingung: 'Benarkah?'"
"'Tentu. Jika kemampuanmu memungkinkan, akankah kamu tidak takut pada kekerasan, melindungi yang lemah, dan menegakkan keadilan?' Lucien balik bertanya."
"John mengangguk dengan tegas: 'Akan.'"
"'Karena itu, John, kamu tetap seorang ksatria yang memegang teguh keadilan. Melakukan hal mustahil bukanlah menegakkan keadilan, tapi bunuh diri atau kecerobohan. Yang dibutuhkan saat itu adalah mencari cara lain atau jalan alternatif, kecuali kamu benar-benar terjepit.' Lucien merasa dirinya cukup cocok berperan sebagai konselor psikolog."
John berpikir sejenak, seolah melepaskan beban tertentu, lalu tertawa kecil: "Setiap kali aku menanyakan pertanyaan ini kepada Sir Wynn, dia selalu bilang pengalamanku masih terlalu sedikit, mustahil mengerti inti permasalahan hanya dengan lamunan. Sekarang setelah melihat kejadian-kejadian beberapa hari ini, kau Lucien jadi jauh lebih matang. Penjelasanmu sangat masuk akal. Tapi... aku tetap sangat merindukan keadilan sejati itu."
"Sir Wynn pernah bercerita pada kami tentang legenda Pedang Ksatria. Setelah dipadukan dengan kekuatan ilahi, pedang itu tampak biasa-biasa saja - tidak memiliki kilauan megah, tidak menampilkan warna-warni kekuatan ilahi, tidak dihiasi permata atau mutiara, bahkan pelindung tangannya terbuat dari kayu biasa. Sama persis dengan pedang prajurit biasa, sama sekali tidak menarik perhatian para bangsawan dan ksatria yang menganggap diri mereka mulia."
“Tetapi kekuatan sebenarnya dari pedang itu ternyata luar biasa kuat, terutama saat melawan kejahatan. Namun yang paling membekas dalam ingatanku adalah tulisan di pedang itu: 'Keadilan memang tampak kusam dan pucat dibandingkan kesombongan dan kekuatan yang hanya tampak di permukaan, tetapi keadilan berlaku untuk setiap orang, tanpa memandang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah. Baik di ladang petani maupun medan pertempuran sengit, keadilan ada di mana-mana.'”
“Kalimat itu terus bergema dalam hatiku.”
“Pedang itu bernama 'Keadilan yang Pucat', sayangnya menghilang di Pegunungan Kegelapan bersama seorang Ksatria Langit yang perkasa.”
Ekspresi John dipenuhi kerinduan dan sedikit kegembiraan, kebingungannya telah mundur ke sudut yang tak terlihat.
Melihat keadaannya, Lucien bercanda: “Kalau begitu slogan kita hari ini adalah, 'Untuk keadilan!'”
“Haha, untuk keadilan!” John mengayunkan tongkat kayunya.
Keduanya tertawa, meskipun di dalam hati Lucien diam-diam menyangkal bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud mengatakan "tidak ada gigi berlubang".
Beberapa menit kemudian, mereka melihat Jackson berjalan di jalan lebar kawasan pasar, masih diikuti oleh belasan preman termasuk Andre.
