Mendengar ucapan Lucien, Lily tak merasa ada yang salah. Dengan antusias dan sedikit malu ia berkata: "Kami berencana menghadiri konser Tuan Ivens, merayakan festival musik di Alto sebelum pergi. Lagipula waktu masih..." Tiba-tiba ia tersadar telah membocorkan hal yang tak seharusnya, lalu buru-buru menutup mulutnya.
"Tuan Ivens, kenapa Anda heran kami masih di Alto?" tanya Sara di samping dengan nada serius, merasakan ada yang tidak beres. "Semua orang yang datang ke Alto akhir-akhir ini adalah untuk festival musik, termasuk kami."
Pertanyaan itu terlontar secara tidak sadar. Begitu selesai bicara, ia nyaris menggigit lidah sendiri. Jika Lucien benar-benar menemukan petunjuk dari literatur, bukankah pertanyaan baliknya itu sama dengan mengaku sendiri?!
"Hmm, saya pikir kalian berani melanggar penutupan gerbang kota untuk datang ke Manor Bronns meminta saya menerjemahkan naskah, berarti ada keadaan darurat." Pikiran Lucien berputar cepat mencari alasan yang masuk akal. Tadi ia memang terlalu ceroboh, bertanya begitu langsung tanpa sadar. Tapi bagaimana mungkin ia tahu tentang reruntuhan yang akan segera dibuka kalau tidak terkejut melihat Sara dan saudarinya masih di sini?!
"Terlalu banyak tahu malah mudah salah bicara!" Lucien menegur diri sendiri dalam hati.
Lily jelas-jelas mempercayai penjelasan ini, saat itu dia dan saudaranya memang terlihat sangat tergesa-gesa. Dengan gembira dia menjawab setengah bercanda: "Karena kami sangat menyukai Tuan Ivens, jadi ingin segera bertemu. Hehe, Tuan Ivens, melodi yang baru saja Tuan mainkan itu sungguh indah, seperti pemandangan alam dalam mimpi..."
Setelah mengobrol santai di pinggir jalan sebentar, Sarah merasa tidak nyaman berhadapan dengan Lucien yang telah berhasil menguraikan naskah itu. Dia terus khawatir tak sengaja bocor rahasia, akhirnya memaksa membawa pergi adiknya yang enggan meninggalkan tempat.
Memandang bayangan kedua saudara itu menghilang di kerumunan orang, Lucien mengangguk pelan: "Waktu masuk ke reruntuhan sihir itu sesuai dengan perkiraanku."
"Tapi apakah pertemuan hari ini kebetulan, atau sengaja direkayasa mereka?"
Di Alto, di bawah kendali Gereja, Lucien tidak punya pilihan selain bertindak sangat berhati-hati, penuh kecurigaan terhadap segala hal yang menyangkut sihir.
※※※
Setelah berhasil mengendalikan keserakahannya, Lucien segera melupakan urusan reruntuhan sihir. Dia terus mengajak Evan berkeliling, terkadang menikmati simfoni di aula musik, mendengarkan opera di teater, atau bergabung dalam permainan musik kecil, menjalani hari-harinya dengan penuh kenyamanan dan kebebasan.
Saat senja tiba, Joel dan Elisa kembali dengan puas, mengakhiri "tugas pengasuhan" Lucien. Setelah menikmati makan malam, mereka pun berangkat bersama menuju Alun-Alun Kota.
Alun-Alun Kota yang biasanya sepi dan kosong kini dipadati kerumunan orang, bahkan jalan-jalan sekitarnya pun macet total, seolah semua makhluk hidup di Alto berkumpul di tempat ini.
Pada pukul delapan malam nanti, Gereja akan menggunakan formasi sihir ilahi untuk menciptakan "dinding kristal" transparan raksasa di tengah alun-alun kota. Melalui dinding kristal yang melayang di udara ini, warga bisa melihat dan mendengar kondisi panggung di Aula Himne Suci.
"Banyak sekali orang!" seru Evan dengan nada berlebihan khas anak-anak.
Di depan benar-benar lautan tubuh manusia. Meski mereka mengenakan pakaian berbagai warna, di mata Evan semuanya terlihat seperti hamparan hitam pekat.
Joel menggeleng sambil tersenyum pasrah: "Kita tunggu di sini saja. Lagipula 'Kristal Dewa' itu bisa dilihat dari seluruh distrik administratif."
"Tidak boleh! Menikmati konser Aula Himne Suci harus semakin dekat semakin jelas!" Elisa membatalkan keputusan untuk diam di tempat, bersiap membuka jalan dengan bobot tubuhnya.
Lucien tersenyum menghentikannya: "Bibi Elisa, aku akan mengajak kalian ke tempat yang bisa menikmati konser Aula Himne Suci dengan maksimal."
“Oh, di mana?” tanya Evan penasaran.
Lucien sengaja tidak menjawab dengan misterius, membawa keluarga Joel bukannya maju malah mundur, masuk ke jalan sepi lalu berputar ke sisi lain alun-alun kota.
Tak lama kemudian, bangunan klasik bergaya kokoh lima lantai muncul di depan mata.
“Balai Kota?” Joel seolah memahami sesuatu, tersenyum penuh arti. Ia selalu memperhatikan masalah pernikahan Lucien.
Lucien menggelengkan kepala sambil tersenyum: “Ayah Felice, Tuan Urban, adalah sekretaris balai kota. Dia mengundang kita ke lantai atas balai kota untuk menikmati konser di Aula Himne Suci.”
Dengan memiliki status, terbentuklah jaringan. Dengan jaringan, banyak hal menjadi mudah.
Di pintu belakang balai kota, Felice yang mengenakan gaun panjang merah sudah menunggu di sana.
Kursi di Aula Himne Suci terbatas, sementara tamu terhormat dari negara lain sangat banyak. Bahkan bangsawan seperti Urban dan Felice tidak mendapat undangan. Di dalam Asosiasi Musik, hanya musisi terkenal dan berwibawa yang berhak masuk, seperti Viktor yang berhasil masuk ke jajaran ini melalui konser sebelumnya.
Sebagai penasihat musik calon Adipati perempuan, Lucien sebenarnya juga diundang. Namun dia beralasan ingin menemani pamannya dan keluarganya, sehingga tidak pergi ke Aula Himne Suci. Apalagi konser malam ini bertema mazmur dan kidung pujian - pasti banyak Pastor, Uskup, dan kardinal yang hadir. Lucien yang merasa bersalah tentu sebisa mungkin menghindari situasi ini.
※※※
Pukul delapan petang, cahaya suci menyala redup di tengah alun-alun kota, megah dan penuh wibawa.
Warga Alto dan pendatang yang menyaksikan pemandangan ini serentak menundukkan kepala dalam-dalam, berdoa dan memuji dalam hening. Inilah wibawa Tuhan, inilah tenaga Tuhan!
Lucien tidak bertingkah aneh, ikut menundukkan kepala dan berdoa seperti mereka, penuh rasa ingin tahu dan takjujr terhadap kekuatan dahsyat yang terkandung dalam cahaya tersebut:
"Kekuatan sihir berasal dari alam, lalu dari mana asal kekuatan sihir ilahi? Jika benar ada Tuhan, mengapa Gereja bisa terpecah? Kapan aku bisa memiliki kekuatan sehebat ini..."
Cahaya semakin terang, perlahan mengeras dan menjadi transparan seperti dinding kristal raksasa. Dari sudut manapun orang memandang dinding kristal ini, mereka bisa langsung melihat panggung Aula Himne Suci melalui nya.
Di sana telah berdiri rapi paduan suara dari Katedral Emas.
"Ah, umat yang saleh..."
Nyanyian jernih nan indah, penuh kekuatan dan semangat bergema mengikuti alunan musik, begitu mempesona dan tak tertandingi bagaikan aria dari para malaikat.
Paduan suara terdiri dari penyanyi kastrato. Karena dikebiri sebelum pubertas, perubahan fisiologis membuat suara mereka lebih jernih dan lantang daripada wanita, menjadikan mereka penyanyi mazmur terbaik.
Lucien mendengarkan kidung pujian dan lagu Misa dengan apresiasi murni. Harus diakui, banyak melodi yang transenden dan menembus jiwa masih di luar kemampuan permainannya.
Tentu saja, Gereja juga memanfaatkan kekuatan formasi sihir ilahi untuk memperkuat kesan sakral dan keindahan musik agama, mengingat ini adalah momen penting untuk memperkuat iman.
“Setiap kali mendengar madah dari Festival Musik Alto, aku selalu merasakan getaran di seluruh tubuhku, ini adalah suara dari Sang Tuhan...” Setelah konser usai, alun-alun kota masih menyelami atmosfer suci yang membuat suasana terasa sangat hening. Felice menoleh ke Lucien sambil berkeluh dengan kekhawatiran mendalam: "Dengan konser seperti ini sebagai pembuka di hari pertama, pasti banyak yang akan membandingkan dengan pertunjukan terakhirmu Lucien. Meskipun konsermu sudah berada di atas standar, selama belum mencapai ketinggian seperti ini, kritik pedas pasti akan menghujam."
“Bukankah 'Takdir' sudah mendapat penilaian tertinggi? Dengan kehadirannya, kurasa tak akan kalah jauh dengan konser ini.” Lucien tersenyum menatap Felice, berusaha menenangkannya.
Felice menggigit bibirnya yang penuh: “Lucien, kau tahu maksudku bukan 'Takdir', tapi komposisi piano solomu itu. Ah, entahlah bagaimana kau bisa tetap tenang, aku saja merasa tertekan sampai hampir tak bisa bernapas.”
“Nona Felice, pengalaman Lucien jauh lebih sulit dan berbahaya daripada yang kau bayangkan. Inilah ketenangan yang diberikan kehidupan padanya.” Seorang prajurit penjaga yang berada di samping menyela, tak lain adalah John.
Meski ditugaskan untuk menjaga keamanan, berkat perlindungan Sir Wynn, sejak pukul delapan malam setiap hari ia bertanggung jawab di lantai atas balai kota tanpa mengganggu waktu menikmati konser.
Felice mengangguk: "Baiklah, aku terlalu gugup. Lucien, jangan terpengaruh oleh perasaanku. Pertahankan ketenanganmu ini. Bahkan jika ada sedikit kesalahan, itu takkan mempengaruhi statusmu. Lagipula partitur 'Pathétique'-mu sangat menonjol."
"Felice, tidakkah kau sadar semakin kau berkata begitu justru membuat orang lain semakin gugup?" Lucien tertawa.
Felice tak bisa menahan diri melototi Lucien.
※※※
4 April, pukul delapan malam.
Di bawah desakan keras Viktor, Lucien akhirnya duduk di Aula Himne Suci.
“Ini mungkin konser terakhir dari Ketua Christophe, lebih baik jangan dilewatkan.” Viktor di sebelahnya berkata dengan wajah masam kepada Lucien, “Jika saja Felice, Loth dan yang lain tidak memenuhi syarat, pasti akan kusuruh mereka datang ke Aula Himne Suci untuk menikmati konser ini. Lucien, kau benar-benar tidak tahu menghargai kesempatan ini.”
Lucien yang tahu maksud baik Viktor pun menjawab dengan bercanda: “Guru Viktor, tidakkah Anda khawatir jika setelah mendengar konser sempurna dari Ketua Christophe, saya akan merasa tertekan dan tidak mampu menanggung beban itu sehingga konser besok gagal total?”
"Kamu bisa mengatakan hal seperti itu, aku rasa aku tidak perlu khawatir tentang mentalitasmu menghadapi tekanan." Setelah hampir sembilan bulan bersama, Viktor sudah cukup memahami karakter Lucien. Di balik permukaan yang tenang dan tertutup sebenarnya terdapat selera humor yang cukup baik. "Selain itu, komposisi pianomu 'Pathétique' menunjukkan kemajuan besar dalam struktur musik dibanding sonata sebelumnya, semakin mendekati kesempurnaan. Secara pribadi, ini akan menjadi lagu revolusioner dalam sejarah perkembangan sonata."
Karena khawatir tentang Lucien, setelah mengetahui ia menentukan repertoar dan mendaftarkan partitur, Viktor dan Felice masing-masing meminta salinan untuk ditinjau.
“Namun, banyak teknik yang kamu gunakan dalam dua komposisi ini tidak sesuai dengan standar penulisan komposisi piano sebelumnya. Selain itu, permainannya sangat sulit. Aku sudah mencoba memainkannya sekali dan menemukan bahwa setidaknya perlu latihan beberapa bulan untuk bisa mengalir dengan lancar. Jadi aku khawatir publik tidak bisa menerima, dan takut kamu melakukan kesalahan saat memainkan...” Viktor masih diliputi kecemasan dan ketegangan yang kuat, Lucien adalah murid kesayangannya.
Lucien baru saja hendak menjawab, ketika seorang pria muda berusia dua puluhan berjalan di lorong. Rambut hitam, mata cokelat, wajah biasa namun beraura menawan.
“Guru Viktor, selamat malam.” Pria itu berhenti di depan Lucien dan Viktor, menyapa: “Apakah ini teman sekelasku Lucien Evans?”
Viktor tersenyum berdiri memperkenalkan: “Ini adalah mantan muridku Markus. Setelah tur konser, dia mulai menjabat sebagai penasihat musik istana Kerajaan Syakh. Baru kembali ke Alto beberapa hari lalu karena festival musik.”
