Setelah Lucien menurunkan tongkat konduktor, lagu tidak langsung dimulai seperti yang dibayangkan orang. Sebaliknya, mereka melihat tubuh Lucien sedikit membungkuk dengan kedua tangan dan lengan yang jelas bergerak naik turun dengan cepat, menciptakan perasaan genting dan penuh semangat yang membuat tubuh para penonton seolah dipenuhi tenaga.
Perasaan bingung dan heran mereka belum sempat muncul, setelah kedua tangan Lucien bergerak cepat, tongkat konduktor diangkatnya dengan penuh tenaga ke atas. Seketika, not-not Serenade Gesek G Major yang langsung to the point, singkat namun mengesankan, meledak keluar. Persis menggerakkan tenaga yang terakumulasi dalam tubuh mereka dan emosi yang mendesak untuk meluap, langsung menyelami suasana ceria dan terang yang dibawa oleh serenada ini.
Dengan senyum penuh sukacita, Lucien menggerakkan tongkat konduktornya berirama. Baik emosi, ekspresi wajah, maupun gerakan tubuhnya jelas memancarkan kegembiraan. Hal ini membuat penonton yang sudah terseret oleh musik semakin terpengaruh oleh penampilannya, makin larut dalam atmosfer musik.
"Teknik mengarahkannya sangat unik!" Adipati Woriot menggelengkan tubuhnya pelan mengikuti irama serenada sambil berbisik kagum.
Christophorus dan Natasha sebelumnya tidak pernah menonton latihan kelompok musik, saat menikmati musik mereka muncul pemikiran serupa: "Sepertinya Lucien sedang mencoba gaya konduktor yang sama sekali berbeda dari sebelumnya?"
Karena keterbatasan tren musik masa lalu, simfoni tidak memiliki tema utuh yang mengandung pemikiran dan emosi musisi itu sendiri. Oleh karena itu, saat mengarahkan hanya sekadar memberikan tempo sederhana, tidak perlu memahami dan mengekspresikan makna serta emosi yang ingin ditunjukkan oleh komposer. Bahkan ketika Viktor dan Christophorus sebelumnya mengarahkan "Takdir" dan "Perang Fajar", meskipun menunjukkan ekspresi sangat bersemangat dan liar, tetap terbatas pada tongkat konduktor di tangan kanan dan ekspresi wajah. Mereka tidak pernah - dan juga tidak berusaha - menggunakan penampilan mengarahkan mereka untuk membangkitkan gairah kelompok musik, menggugah emosi penonton, atau menjelaskan makna musik yang terkandung.
Hanya ketika musik telah berkembang ke tahap tertentu, gaya dirigen baru akan mengalami perubahan. Lucien yang membawa klasisisme menuju puncak kematangan dan mengarahkannya ke romantisme, mulai memamerkan pesona dirigennya melalui konser ini - sebuah seni dirigen yang sesuai dengan tren musik saat ini!
Karena tidak ada materi visual di perpustakaan jiwa, Lucien hanya bisa mempelajari pertunjukan para dirigen legendaris seperti Toscanini dan Karajan melalui artikel-artikel deskriptif, lalu membentuk gaya dirigennya sendiri.
Di bawah arahan Lucien, setiap kelompok instrumen dalam orkestra tampil sangat menonjol. Mereka berhasil menggambarkan atmosfer lincah, segar, dan penuh sukacita dari bagian pertama dengan sempurna. Para penonton di Alun-alun Kota yang pernah mendengar serenada ini sebelumnya pun terbenam dalam musik, tubuh mereka bergoyang halus mengikuti aliran melodi, seolah ingin mulai menari.
Penyair pengembara di tavern dan seniman jalanan di jalanan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kelompok musik orkestra yang mampu tampil di Aula Himne Suci. Terlebih lagi di depan kelompok musik tersebut berdiri seorang musisi berbakat yang sedang memimpin dengan gaya unik dan khas miliknya sendiri.
Ekspresi Lucien terlihat sangat menikmati, gerakan dirigennya berubah semakin lembut. Di bawah arahan seperti ini, melodi lembut nan memikat dari bagian kedua Serenade Gesek G Major mengalun anggun di Aula Himne Suci, bergema di Alun-Alun Kota dan distrik administratif, serta bergetar di relung hati setiap pendengarnya.
Melihat Lucien seperti ini dan mendengarkan musik seperti ini, para bangsawan dan musisi seolah mengalami halusinasi romantis nan tenang: menunggang kuda pelan-pelan bersama sang kekasih di tengah pemandangan indah pedesaan. Sementara rakyat biasa merasa seperti mendayung perahu kecil bersama gadis ceria yang berseri-seri di bawah mentari terang, ringan dan berayun-ayun.
Melodi yang menyenangkan mengalir lincah mengikuti gerakan tangan, bahasa tubuh, dan emosi Lucien. Kadang penuh vitalitas, kadang liris nan lancar, menghadirkan keanggunan bergaya tarian kecil. Andai ini bukan konser, mungkin banyak pria akan bangkit mengajak wanita sejati dan gadis-gadis untuk menari.
Pada bagian keempat, Lucien kembali penuh semangat, membawa kelompok musik menampilkan karya ronde yang jernih mempesona dan penuh keceriaan remaja dengan sempurna. Para penonton pun larut dalam musik yang liris dan indah bagai suara surgawi, baru tersadar ketika Lucien berbalik memberi hormat memasuki istirahat panjang pertama, lalu meledakkan tepuk tangan yang bergelora dan penuh gairah.
"Tak kusangka serenada bisa memberikan efek seperti ini!" Piola bertanya kepada rekannya dengan rasa heran dan penuh kebingungan.
Di masa lalu, serenada bernuansa jamuan makan seperti ini tak layak tampil di panggungkonser, dan sekalipun dipentaskan, takkan mendapat sambutan hangat dan tulus seperti hari ini. Hanya pada konser Lucien Evans inilah tercipta sebuah keajaiban kecil.
Sharon merenungkan lagu yang baru saja didengar: "Dulu setelah mendengar bagian pertama dari serenada ini, kami pernah mencoba menggubah melodi untuk bagian selanjutnya. Tapi hari ini, setelah mendengar tiga bagian terakhir dari Tuan Ivens, barulah aku mengerti mengapa dia disebut jenius musik! Bagaimana mungkin di bawah usia delapan belas tahun dia sudah menggelar konser pertamanya di Aula Himne Suci? Sungguh megah dan anggun, indah dan seimbang!"
Karena kejadian sebelumnya, kelompok musik kecil ini memiliki kesan mendalam pada Lucien. Kemampuannya berkomunikasi tentang musik dengan keterusterangan dan ketulusan tanpa sedikitpun kesombangan atau ejekan, membuat Lucien Evans benar-benar seorang musisi yang bersinar baik dalam karakter, moralitas, maupun musik.
"Haha, sebenarnya yang paling membekas dalam ingatan saya bukanlah melodi musik, melainkan gerakan tangan aneh dan intens yang dilakukan Tuan Ivens saat mulai memimpin orkestra." Grace mengingat dengan senyum, "Saya belum pernah melihat gaya konduktor seperti itu. Saya rasa selama bertahun-tahun ke depan saya takkan bisa melupakan momen itu."
"Saya juga. Gerakan itu seolah mempengaruhi emosi kita." Piola dan Sharon berseru serempak.
Di ruang VIP, Christophorus berkata pada Adipati Woriot dan Uskup Salder sambil tersenyum: "Tampaknya Lucien benar-benar memberi kejutan. Rupanya cara memimpin orkestra bisa seperti ini."
"Benar. Gayanya seolah membuat musik lebih hidup dan kita lebih terbawa suasana." Adipati Woriot mengangguk pelan sambil mengingat lagu tadi.
Meski Natasha mengatakan dia sangat percaya pada Lucien dan memang bersikap demikian, sebenarnya sebelum konser sukses, pasti ada sedikit kegelisahan. Tapi sekarang hatinya benar-benar tenang. Dengan senyum, dia mendengar diskusi mereka sambil berpikir, "Gagasan baru apa lagi yang disembunyikan Lucien?"
Viktor, Felice, John, dan yang lainnya juga menghela napas lega. Setidaknya serenada ini sangat sempurna dan merdu, sehingga Lucien tidak akan dikritik karenanya. Hanya saja gaya konduktornya yang tadi sangat berbeda dari yang biasa dilihat!
Konser pertama Lucien dimulai dengan Serenade Gesek G Major, berhasil membangkitkan semangat penonton. Kini semua orang semakin tidak sabar menantikan lagu berikutnya dan gaya konduktor anehnya!
※※※
Dengan stamina fisik Ksatria seperti Lucien, konser tadi sama sekali tidak melelahkannya. Setelah istirahat singkat, dia kembali ke panggung agar suasana yang telah terbangun tidak mereda.
“Cara dirigenmu sebelumnya tampaknya mendapat respons yang baik.” Saat melewati kelompok musik, Rhine berbisik sambil tertawa ringan, “Tapi ini masih serenada yang riang, nanti pada ‘Takdir’ mereka mungkin akan lebih terkejut.”
Lucien membalasnya dengan senyuman, berjalan ke depan kelompok musik, sedikit menunduk, menutup mata, mengangkat kedua tangan, ekspresi tenang bagai lukisan minyak yang membeku, atau patung batu yang terpahat.
Suasana seolah mengeras mengikuti persiapan Lucien, membuat orang menahan napas.
Musik tanpa resonansi emosional adalah musik yang pucat dan tak berdaya. Setelah Lucien menutup matanya, dalam atmosfer yang benar-benar hening, ia seolah berada di dunia lain. Ia teringat kehidupan lampau yang sederhana namun hangat, serta orang tua yang mungkin tak akan pernah bisa dijumpai lagi. Saat masih bersama mereka, ia tak tahu menghargai, menyia-nyiakan kebahagiaan itu dengan sembarangan. Kini, saat kerinduan itu datang, selalu ada rasa sakit yang mengoyak jiwa seperti tubuh terkuras kosong - berasal dari penyesalan yang tak tergantikan.
Permainan takdir telah membuangnya ke dunia ini, mengucapkan selamat tinggal pada sanak saudara. Kekejaman takdir membuatnya dan teman-temannya berkali-kali berhadapan dengan bahaya maut, menghalangi keinginannya untuk belajar sihir dengan tenang. Baik preman geng, Night Watchers, maupun umat sekte sesat - semuanya menampakkan wajah garang, mencemooh dan mengintimidasi dengan keras: "Terimalah! Jangan melawan! Ini adalah ketetapan takdir!"
Maukah menerima takdir seperti ini?
Maukah menyerah melawan apa yang disebut takdir?
Maukah meninggalkan usaha, perjuangan, dan ketekunan diri sendiri?
Tidak! Tidak akan pernah menerima! Tidak akan pernah menyerah! Selama masih hidup, pantang menyerah!
Ekspresi Lucien berubah garang, menggigit gigi dengan keras sambil mengayunkan kedua lengannya ke bawah.
Dang! Dang! Dang! Dang!
Ayunan lengan yang kuat dan lebar membuat seluruh tubuh Lucien bergetar, lalu dengan sengaja ia menggetarkan seluruh tubuhnya mengikuti ritme mendebarkan, seolah mengalami kejang!
Pertunjukan penuh daya ledak ini, not-not yang menggemparkan dan penuh kekuatan, membuat semua penonton baik bangsawan maupun rakyat biasa seolah jantung mereka diremas kuat-kuat, mendengarkan ketukan takdir dengan panik dan ketakutan.
Bahkan Kardinal Salder pun membuka matanya, memandang penampilan hampir gila Lucien di bawah.
Lucien mengayunkan tangan kanannya yang memegang tongkat konduktor dengan penuh tenaga mengikuti melodi, sementara tangan kirinya terkadang mengepal seperti cakar elang, terkadang ditarik kembali, terkadang diayunkan ke depan. Tubuhnya melengkung dan berguncang hebat mengikuti gerakan dirigen, wajahnya menunjukkan ekspresi menggertakkan gigi seolah ingin mencabik daging musuh di hadapannya. Meski sesekali ada momen yang lebih tenang, itu hanya sebagai persiapan untuk ledakan kegilaan berikutnya, membuatnya terlihat seperti akan kolaps karena serangan jantung kapan saja.
Dibandingkan dengan konser Viktor, Simfoni Takdir yang diarahkan Lucien memiliki tempo lebih cepat, lebih bersemangat, lebih penuh kekuatan, dan lebih menggemparkan!
Setiap musisi dalam kelompok musik terpengaruh oleh bahasa tubuh gila dan ekspresi emosional Lucien, mereka sendiri tenggelam dalam atmosfer yang dibangun Simfoni Takdir, menyatukan perasaan mereka ke dalam permainan musik.
Maka, seluruh kelompok musik menjadi liar, seluruh Simfoni Takdir memancarkan warna yang tak terbayangkan, melepaskan tenaga yang tak tertandingi, membentuk citra yang belum pernah ada sebelumnya.
Bahkan selama dua jeda singkat di empat bagian, penonton tak kunjung sadar dari guncangan yang dibawa lagu ini. Natasha tetap tegang dan bergelora dalam pertarungan melawan takdir dan musuh, sementara banyak bangsawan seolah akan pingsan mengikuti pingsannya Lucien yang histeris.
Lucien sekali lagi mengayunkan seluruh tenaga jiwa raganya, melepaskan kehendak tak kenal kompromi menghadapi takdir dan cobaan, meledakkan sukacita kemenangan akhir bersama melodi klimaks yang membungkus Aula Himne Suci, alun-alun kota, hingga distrik administratif dalam atmosfer musik!
Musik berhenti. Bahkan dengan tubuh Ksatria dan semangat Penyihir Gelap-nya, Lucien merasakan kelelahan samar yang berasal dari lubuk hati.
"Pada saat ini, tidak ada tepuk tangan, hanya keheningan yang menyelimuti."
Ketika Lucien berbalik dan memberi hormat ke arah penonton, mereka seakan terbangun dari mimpi. Natasha mulai bertepuk tangan dengan penuh semangat, diikuti oleh semua orang yang hadir. Seluruh Alto bergema oleh gemuruh tepuk tangan yang tak terbayangkan.
"Bagaimana mungkin seseorang bisa memimpin orkestra seperti ini! Benar-benar cara yang tak terduga!"
"Ini adalah penampilan Simfoni Takdir paling sempurna yang pernah kudengar!"
Kedua pemikiran ini, tanpa memandang status sosial, muncul bersamaan dalam benak Adipati Woriot, Viktor, Piolar, Lily, dan lainnya.
Inilah seni memimpin orkestra!
