Splinter melirik Carterina, menggelengkan kepala dengan sikap acuh tak acuh, lalu berjalan menuju ruang ujian tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sejak masa di Stuurk, bahkan di atas kapal layar yang penuh bahaya, persaingan mereka tak pernah berhenti. Mereka kerap saling melempar pertanyaan rumit, dan saat bisa menggunakan sihir, mereka juga adu kecepatan mantra serta kontrol magis. Sayangnya Splinter sering keluar sebagai pemenang, membuat Carterina tak pernah rela.
Menyaksikan sikap angkuh dan meremehkan Splinter, Carterina menghentakkan kakinya pelan, mendengus keras, lalu menyusul masuk.
"Santai saja, ujiannya mudah kok." Lucien menganggukkan dagunya ke arah ruang ujian, mengisyaratkan ketiga murid itu segera masuk.
Annik dan yang lain mengangguk dengan kuat: "Ya, Tuan Ivens." Kemudian mereka pergi dengan masih terlihat agak gugup.
Lazare menyimpan kedua tangannya di saku jas panjang hitam berkancing ganda, melihat sikap hormat Annik dan kawan-kawan, ia tersenyum: "Lucien, ini tiga murid bimbinganmu? Bagaimana dasar Okultisme mereka?"
"Baru belajar sebulan lebih, sehebat apa mereka? Aku hanya membuat mereka menguasai bagian paling dasar melalui latihan berulang yang intensif. Dengan begitu pembelajaran Okultisme dan sihir mereka akan menapaki perjalanan sejati." Jawab Lucien santai, sama sekali tidak khawatir dengan hasil ujian mereka. Level mereka sudah unggul satu langkah dari murid lain.
Lazare yang periang menoleh ke arah Lucien: "Latihan berulang intensif? Kau tidak takir membunuh bakat Okultisme mereka?"
“Dibandingkan dengan bakat sejati yang membuat orang hanya bisa memandang tinggi, anak-anak dengan bakat Okultisme dan Sihir biasa hanya bisa melangkah lebih jauh melalui latihan keras, usaha, ketekunan, dan kegigihan. Tanpa bakat luar biasa itu, mereka harus menutupi kekurangan di aspek lain. Kalau tidak, bagaimana bisa menyamai orang lain?” Lucien tersenyum namun terlihat serius, “Pengasahan pola pikir harus terintegrasi dalam latihan keras, tidak bisa dipisahkan untuk dikembangkan. Kalau tidak, ibarat rumah tanpa fondasi, roboh saat disentuh.”
Lazare hanya mengobrol santai tanpa niat berdebat: “Hehe, Lucien, kamu punya bakat alami sebagai guru.”
“Tentu saja, julukanku adalah ‘Professor’.” Kalimat ini hanya bisa Lucien ucapkan dalam hati. Secara lisan ia mengalihkan topik, “Lazare, apa kamu punya banyak gaun panjang hitam berkancing ganda? Kok rasanya pakaianmu tidak pernah berganti…”
Lazare tertawa terbahak-bahak: "Ini jubah sihirkulah! Jangan-jangan kau mengira hanya jubah panjang suram dengan kerudung ala Kekaisaran Sihir Kuno yang disebut jubah sihir? Sekarang ada model jubah panjang hitam, gaun malam, tuksedo, bahkan rok lapis—semua gaya bisa dipesan. Tentu saja ada juga jubah sihir yang bisa diubah gayanya sesuka hati, tapi harganya lebih mahal."
"Kira-kira berapa harga jubah sihir tingkat dua? Kebetulan aku sedang butuh." Tanya Lucien yang matanya berbinar.
Lazare menunjuk jubah panjang hitam berkancing gandanya: "'Pujian Malam', jubah sihir standar tingkat menengah, harganya dua ratus Emas Taler atau poin okultisme. Dibuat oleh Bengkel Alkimia Wasim, kredibilitas seabad, kualitas bagus harga terjangkau."
"Kamu pantas memilikinya..." Lucien menambahkan dalam hati, sambil menghitung kekayaannya, "Aku hanya punya enam puluh Emas Taler dan sembilan poin okultisme. Omong-omong Lazare, apakah kurs tukar poin okultisme dengan Emas Taler satu banding satu?"
Dalam perjalanan dari Kadipaten Jibuti ke Stuurk, Lucien tidak pernah memperlakukan dirinya dengan buruk.
Lazare mengangguk: "Benar, tapi semakin tinggi levelnya, kegunaan poin okultisme semakin luas. Setidaknya di Alin, ini lebih berguna daripada Emas Taler. Menurut para bankir serakah itu, ini adalah jaminan kredit dari Dewan Sihir. Sebenarnya aku juga menabung lama untuk membeli jubah sihir ini. Untungnya setelah menjadi Penyihir Gelap Sejati, tidak sulit mencari pekerjaan di Alin. Sepuluh Emas Taler atau poin okultisme per bulan bukan masalah, ditambah pendapatan dari perbaikan sihir yang dipelajari orang, sekitar dua tahun bisa membeli barang sihir level dua menengah."
“Perlu kutawarkan pinjaman? Tiga puluh poin okultisme dari sihir Tangan Membara masih belum kugunakan. Hehe, aku yakin Lucien sanggup melunasinya. Sihir tingkat pemula itu pasti akan dipelajari banyak Ahli Sihir Oskur yang ingin meneliti dan memperbaikinya.”
Lucien terkekeh: "Lazare, terima kasih atas kebaikanmu. Tapi aku masih punya material yang bisa ditukarkan." Batu Hailan berkualitas tinggi saja sebagai bahan mentah sudah sangat berharga.
Lazare dengan keterusterangan tak menyembunyikan kekagumannya: "Kalian penerima warisan sihir kuno seperti Lucien benar-benar beruntung, pasti punya banyak material atau barang sihir."
Keduanya—satu bersandar di dinding, satu berdiri santai dengan tangan di pinggang—terus mengobrol sampai tiba-tiba pintu ruang ujian terbuka keras. Haiti berlari keluar sambil berseru girang: "Tuan Ivens, soalnya mudah sekali!"
Di belakangnya adalah Leirilya, kuncir kuda kecil hitamnya melompat-lompat mengikuti gerakannya: "Ya, latihan terakhir yang Tuan Ivens berikan jauh lebih sulit daripada ini!"
"Hehe, bagus kalau mudah. Annik, bagaimana menurutmu?" Lucien tersenyum mengangguk, bertanya pada Annik yang keluar ketiga dari ruang ujian.
Annik tersenyum malu-malu sambil menggaruk rambut halusnya: "Lumayan, lumayan. Berkat bimbingan Tuan Ivens."
"Kalian merasa mudah karena tidak bisa mengerjakannya, kan?" Seorang Murid yang keluar belakangan tidak bisa menahan kesal, "Splinter, bukankah begitu?"
Ekspresi sombong Splinter mulai memudar: "Sebagian besar cukup mudah, tapi beberapa bagian cukup menantang. Aku juga tidak terlalu yakin."
“Splinter kamu juga merasa begitu?” Ekspresi Carterina yang awalnya sedikit muram mulai mengendur setelah mendengar ucapan Splinter. Rupanya soal ujian memang terlalu sulit, bukan karena dirinya tidak belajar dengan baik.
“Iya, benar-benar sulit. Kepalaku sampai pusing mikirinnya.” Para magang sihir lainnya serempak menyetujui.
Carterina melihat pintu ruang ujian tertutup kembali. Setelah ragu sebentar, akhirnya bertanya: “Splinter, bagaimana caramu menganalisis dan menyusun mantra sihir tingkat pemula ‘Pukulan Mayat Hidup’ itu?”
“Aku...” Splinter yang tidak terlalu yakin dengan jawabannya mulai menanggalkan sikap arogan. Dengan cepat dia menjelaskan metodenya untuk dibandingkan dengan Carterina.
Magang-magang sihir lainnya juga buru-buru mencari tahu jawaban teman-temannya, berusaha mengevaluasi seberapa banyak jawaban mereka yang benar. Suasana pun ramai oleh keriuhan diskusi.
Haiti heran melihat mereka yang berkerumun: “Tapi ini benar-benar sederhana!”
Leirilya juga menunjukkan ekspresi kebingungan, tapi mendengar para murid berdiskusi jawaban, tak tahan mendekat:
"Soal ini seharusnya..."
"Salah, salah, perhitungannya seperti ini..."
"Bagaimana denganmu? Bagaimana kamu menyelesaikannya?"
Olmos, Annik, dan Haiti ikut bergabung dalam diskusi. Hanya Lucien dan Lazare yang tersenyum melihat mereka yang penuh semangat di koridor.
Setelah selesai membandingkan jawaban, waktu sudah hampir pukul setengah sebelas. Para murid menunggu hasil ujian dengan gelisah, tak ada suara sama sekali, suasana hening mencekam.
Tiba-tiba, pintu gerbang ruang ujian yang seakan merobek jantung mereka perlahan terbuka. Semua murid menatap penuh ketegangan.
Simeon yang keluar membawa selembar dokumen, membacakan dengan serius: "Setelah penilaian, saya umumkan hasil ujian."
Para murib seolah menahan napas. Bahkan Annik, Leirilya dan Haiti yang sebelumnya merasa ujiannya mudah, ikut terbawa ketegangan dan terlihat gelisah.
“Tingkatan pertama adalah dasar Okultisme yang sangat baik, energi spiritual dan pelepasan Sihir telah mencapai tingkat Murid resmi. Mereka adalah Annik, Leirilya, dan Haiti dengan kecenderungan Sihir pada aliran Astral dan Elemen.”
“Apa? Kenapa mereka?!”
“Annik? Leirilya? Haiti?”
“Mengapa bukan Splinter dan Carterina?”
Para Murid seketika ramai memprotes, hasil ujian ini sama sekali tidak sesuai perkiraan mereka.
Wajah Splinter dan Carterina langsung pucat pasi, mereka ternyata dikalahkan oleh orang-orang yang bahkan tidak dianggap sebagai saingan!
Mata mereka menatap tak berkedip ke Simeon dengan harapan dan kebingungan yang menyala-nyala, berharap mulutnya mengucapkan kata "salah baca".
Sayangnya suara tegas Simeon menghancurkan ilusi mereka: “Jika tidak percaya, kalian bisa berdiskusi tentang dasar Okultisme dengan ketiga Murid tersebut.”
Tidak ada murid yang berani meragukan kredibilitas seorang Ahli Sihir Oskur level dua dan Penyihir Gelap level dua. Mereka menerima fakta ini dalam diam sambil melirik ke arah Lucien yang berdiri santai di luar koridor. Emosi mereka bercampur-aduk: ada yang menyesal karena dulu tak mau mengakui kesalahan, ada yang membenci diri sendiri karena tak berani maju, juga yang iri pada keberuntungan bodoh Annik dan kawan-kawan. Andai saja waktu itu mereka berani, mungkin merekalah yang mendapat hasil ujian terbaik hari ini.
"Kategori kedua adalah mereka yang memiliki dasar Okultisme solid, energi spiritual dan pelepasan sihir mencapai tingkat murid resmi. Mereka adalah Splinter, Carterina, dan Olmos. Kecenderungan sihir Splinter dan Carterina adalah aliran Gaya, listrik-magnet, dan Elemen. Sedangkan kecenderungan sihir Olmos adalah Pemanggilan dan Nekromansi."
※※※
Saat Simeon membacakan hasil ujian yang membuat sebagian murid gembira dan sebagian lain kecewa, dia akhirnya berkata: "Annik, Leirilya, Haiti, Splinter, dan Carterina masuk ke Sekolah Sihir 'Douglas', sedangkan Olmos masuk ke Sekolah Sihir 'Alin'..."
Dia mengatur penempatan murid-murid ke berbagai sekolah sihir di Alin berdasarkan tingkat okultisme, kemampuan sihir, dan kecenderungan mantra, tanpa mengirim mereka ke sekolah sihir di kabupaten lain atau negara lain yang lebih jauh.
Saat mengikuti Simeon ke kantor "Departemen Ujian Murid" untuk mengurus administrasi masuk sekolah sihir, tiba-tiba Leirilya teringat sesuatu. Dengan raut rindu dia menatap Lucien: "Tuan Ivens, apakah Anda akan menetap di Alin? Bisakah kami bertemu lagi?" Matanya yang hitam berkabut seperti tertutup lapisan embun.
Haiti dan Annik juga memandangi Lucien dengan mata berkaca-kaca, penuh emosi perpisahan yang kuat.
"Selama tidak ada kejadian tak terduga, kurasa aku akan tinggal di Alin untuk waktu yang lama. Jika ada waktu, aku akan mengunjungi kalian di Sekolah Sihir 'Douglas'." Lucien tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Benarkah? Itu luar biasa!" Haiti dan Leirilya berpelukan sambil tertawa gembira, meski masih terlihat jejak air mata.
Annik menyeringai, memalingkan wajahnya, tak ingin orang melihat ekspresinya.
Emosi remaja seusia ini selalu meluap-luap.
Di belakang mereka, Splinter terus menunduk memandangi ujung kakinya sendiri, sangat sunyi tanpa sepatah kata pun, perlahan mengikuti murid-murid lain ke dalam kantor. Sementara Carterina menatap Lucien sambil mengatupkan bibir, tiba-tiba membungkuk dalam-dalam saat murid lain telah masuk: "Ini kesalahanku sendiri."
Kemudian deng deng deng cepat-cepat lari masuk ke kantor, tidak memberi kesempatan Lucien untuk berbicara.
"Betapa irinya melihat kemudaan seperti itu!" Lazare menghela napas dengan kagum.
※※※
Setelah mendapatkan surat penyelesaian tugas bimbingan dari Simeon, Lucien dan Lazare berjalan menuju "Departemen Manajemen Penyihir".
"Ngomong-ngomong Lucien, sudahkah kau putuskan kata apa yang akan ditambahkan di belakang namamu di makalah?" tanya Lazare penasaran di perjalanan.
Lucien menjawab tanpa ekspresi: "Lucien·D·Evans."
"Ha?" Lazare memandanginya dengan bingung.
Lucien tersenyum: "Bercanda. Aku ingin menggunakan Lucien·Evans·X."
X memiliki makna misterius yang tak diketahui, sekaligus singkatan marga dari kehidupan sebelumnya.
