Langit suram, gerimis halus mulai turun, menyelimuti seluruh Alto dalam kabut hujan seperti tabir tipis. Seolah-olah alam pun tenggelam dalam kesedihan, tak kuasa menahan air mata dan isak tangis.
Kereta jenazah hitam yang ditarik empat ekor banteng bergerak perlahan. Semakin banyak warga yang berdiri di tepi jalan di tengah gerimis samar, memandang dengan kesedihan saat iring-iringan melintas.
Baru beberapa hari berlalu sejak konser gila yang nyaris memicu kerusuhan kota. Melodi seakan masih bergema di hati setiap pendengar lagu itu. Maka kabar meninggalnya Lucien Evans membuat getaran emosi yang belum terlupakan itu meluap, secara spontan timbul perasaan duka yang mendalam.
Demi semangat pantang menyerah yang diceritakan Lucien Evans kepada mereka, demi kegembiraan murni berharga yang dibawanya, mereka berduyun-duyun memenuhi jalanan untuk mengantarkan kepergian Lucien Evans - kebanggaan Alto, musisi berbakat yang jenius.
Rintik-rintik hujan menghujam wajah mereka, membasahi pipi seolah bercampur air mata, menambah suasana duka dalam prosesi pemakaman.
Seandainya waktu mundur seminggu, atau lokasinya bukan di Alto, mungkin sulit tercipta pemandangan sebesar ini - jalanan yang dilalui seakan dipadati seluruh penduduk kota.
Menyaksikan kereta jenazah menjauh, para pengagum fanatik Lucien Evans yang emosional menerobos jalanan, membiarkan diri kehujanan sambil bergabung dalam iring-iringan pemakaman.
Satu demi satu orang berbaju hitam yang dilanda kesedihan spontan menyusul dari berbagai jalur, membuat rombongan pengantar semakin membesar.
Saat mobil jenazah memasuki area bangsawan, sebagian besar bangsawan yang diundang ke pemakaman Lucien Evans tertegun melihat kerumunan hitam di sisi kiri-kanan dan belakang mobil jenazah. "Pengawal jenazah" yang tak terhitung jumlahnya itu bergerak perlahan bagai air pasang hitam yang membawa aura kesedihan mendalam.
Mungkin selain di Alun-alun Kota konser Alto, mereka belum pernah melihat begitu banyak orang berkumpul dengan tujuan yang sama. Para bangsawan ini seolah mengalami ilusi bahwa ribuan orang biasa ini, ketika bersatu, melepaskan tenaga dahsyat yang tak terbendung - seolah mampu menelan segala rintangan di perjalanan mereka.
"Tak disangka Lucien Evans ternyata begitu dicintai dan dikagumi." Seorang bangsawan berlevel Ksatria tetap tenang dalam situasi ini, diam-diam berkomentar, "Andai di pemakamanku nanti ada sebanyak ini orang yang mengantar dan mengiringi jenazah, itu pasti kehormatan terbesar selain turunnya Tuhan Sang Pencipta atau atasan yang mengusung peti mati. Bahkan kematian pun tak akan meninggalkan penyesalan."
Setelah kereta jenazah lewat, para bangsawan pun bergabung dalam iring-iringan pengantar. Ini merupakan bagian dari ritual pemakaman Gereja Kebenaran - semua yang akan menghadiri upacara terakhir wajib mengawal kereta jenazah menyelesaikan perjalanan terakhirnya. Bukan karena mereka terlalu mengagumi Lucien Evans dan musiknya sampai rela merendahkan status untuk bersama orang biasa mengiringi jenazah.
Kardinal Gotha di depan Katedral Emas memandang lautan manusia yang mengerikan itu dengan perubahan ekspresi halus. Tangannya tanpa sadar membuat lambang salib di dada, berbisik pelan: "Hanya Kebenaran yang Abadi!"
Ketika peti mati memasuki Katedral Emas, orang-orang biasa dalam rombongan pengawal peti mati yang tidak mendapat undangan enggan beranjak pergi. Mereka tetap berdiri di bawah gerimis halus, mengelilingi gereja sambil berdoa dan memberikan restu.
Hal ini membuat para uskup dan pastor merasakan perasaan tak terungkapkan, seolah yang akan dimakamkan di dalam adalah seorang santo.
※※※
Di aula utama, peti mati ditempatkan di bawah lambang salib, melambangkan dirinya sebagai umat beriman setia.
Musik duka berhenti. Kardinal Gotha mengangkat salib suci berwarna putih susu, berkata dengan khidmat dan serius: "Ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, hari ini kami berkumpul untuk mendoakan saudara Lucien Evans. Ia telah menyelesaikan perjalanan duniawinya dan Kau terima kembali. Kami percaya, semua yang percaya pada-Mu, menerima-Mu, beriman pada-Mu, memuliakan-Mu, dan meniti jalan-Mu akan mendapat penebusan-Mu, beristirahat dengan damai di Gunung Surga."
Bangsawan, musisi, dan pemain musik profesional yang memenuhi aula besar serentak menutup mata mengikuti doa.
"Dia adalah pribadi murni, beriman, dan mulia. Musiknya sesuai ajaran-Mu telah memberikan tenaga dan kegembiraan sejati bagi manusia. Semoga di kerajaan-Mu dia terus mempersembahkan kidung pujian tercantik untuk-Mu..."
Setelah selesai berdoa, Gotha memandang Natasha, Joel, Elisa, John, Viktor dan yang lain dengan penuh kasih. Matanya kemudian menyapu seluruh aula, "Tuhan mengajarkan kita bahwa maut bagai malam hari. Namun setelah malam, cahaya pasti datang. Maut tak perlu ditakuti, karena saudara-saudari kita yang telah berpulang akan naik ke Gunung Surga, tetap berada dalam satu kerajaan bersama kita, masih bisa saling berhubungan dan mendoakan."
Setelah berkat dan doa, dilanjutkan dengan kenangan dari keluarga dan teman. Joel, Elisa, John, dan Viktor serta yang lain maju ke depan untuk menyampaikan kenangan tentang masa hidup Lucien Evans. Beberapa terisak-isak, ada yang menahan kesedihan dengan tenang, sementara yang lain menghibur sesuai ajaran Tuhan untuk memulihkan ketegaran hati dan melanjutkan hidup ke depan.
Saat sesi kenangan hampir berakhir, Natasha menghampiri kardinal Gotha.
Dengan mengenakan gaun panjang hitam yang konservatif dan rambut tertutup kerudung hitam, ia mulai bercerita dengan ekspresi sendu tentang kebahagiaan saat bersama Lucien Evans. Perlahan suaranya menjadi tenang: "Dulu dia pernah berkata padaku, jika suatu hari ia meninggal tanpa meninggalkan wasiat, manor Brons atas namanya harus disumbangkan kepada Asosiasi Musik untuk dijaga."
Saat mendengar ini, Othello dan para musisi lainnya mengangguk pelan. Ternyata Lucien Evans memang seorang yang murni mencintai musik, sampai-sampai rela menyumbangkan sebagian besar hartanya—manor—kepada Asosiasi.
Natasha melanjutkan, "Dia berharap semua keuntungan dari manor digunakan untuk membentuk sebuah penghargaan dan kompetisi. Penghargaan ini ditujukan untuk karya musik terbaik di seluruh benua dalam kurun tiga tahun, yang akan dipilih oleh seluruh anggota resmi Asosiasi Musik Alto. Sedangkan kompetisi adalah lomba piano se-benua yang diadakan setiap tiga tahun sekali, bertujuan mempromosikan perkembangan piano sebagai alat musik baru, serta memotivasi lebih banyak penggemar piano untuk benar-benar menapaki perjalanan musik."
Manor "Blons" adalah hadiah dari Natasha kepada Lucien setelah dipilihnya, bernilai ribuan Emas Taler dengan pendapatan tahunan sekitar 100 Emas Taler - setara dengan penghasilan tahunan seorang musisi terkenal. Dalam tiga tahun, totalnya mencapai 300 Emas Taler. Bagi banyak musisi yang hidup miskin atau pemula di jalan musik, bahkan separuhnya saja sudah menjadi hadiah yang sangat besar.
"Tuan Lucien Evans memiliki hati yang mulia seperti emas. Setiap saat ia selalu memperhatikan perkembangan musik dan para pemula yang mencintai musik," kata Othello yang berdiri mewakili Asosiasi Musik. "Saya usulkan untuk menamai penghargaan ini 'Penghargaan Musik Evans' dan kompetisinya 'Kompetisi Piano Seluruh Benua Evans'. Selain itu, Asosiasi Musik Alto akan mendirikan patung batu bagi setiap maestro yang memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan musik atau menciptakan karya klasik abadi."
“Mereka akan dibangun di puncak Gunung Kasia di tepi Sungai Belen, sehingga setiap orang yang datang ke Alto, serta setiap anak yang bermain, dapat melihatnya dan mengetahui nama-nama gemilang tersebut.”
Christophorus dan Viktor serta yang lain mengangguk: "Saya tidak keberatan."
Tepuk tangan yang rapi namun tidak terlalu meriah bergema sesuai suasana pemakaman, menghormati karakter mulia dan kecintaan mendalam seorang musisi besar terhadap musik.
Saat itu, Natasha menambahkan: "Saya juga akan menyumbangkan keuntungan dari satu manor milik pribadi saya agar hadiah 'Penghargaan Musik Evans' dan 'Kompetisi Piano Seluruh Benua Evans' stabil di tiga ratus Emas Taler."
“Terima kasih atas kedermawanan Yang Mulia Putri Mahkota.” Terhadap permintaan Natasha, Othello tidak menentang kesamaan jumlah hadiah kompetisi dengan penghargaan musik, karena tiga ratus Emas Taler tersebut pasti akan dibagi menjadi hadiah pertama, kedua dan ketiga. Jika tidak, hadiah itu tidak akan mampu memotivasi dan menginspirasi generasi penerus.
Joel, Elisa, John dan yang lainnya juga tidak keberatan dengan keputusan Natasha mengelola manor "Brons" secara sepihak. Mereka percaya Yang Mulia Putri Mahkota tidak akan memalsukan wasiat hanya demi sebuah manor, apalagi manor itu sendiri dahulu adalah pemberian Natasha kepada Lucien.
Hanya kardinal Gotha yang sedikit mengernyitkan alisnya: "'Penghargaan Musik Ivens'? Format seperti ini sangat mirip dengan 'Penghargaan Mahkota Holm' dan 'Penghargaan Takhta Abadi' milik para Penyihir Gelap. Sepertinya Lucien mendapatkan inspirasi dari Yang Mulia Putri atau Professor."
Namun dalam suasana seperti ini, dia tidak mungkin menentang secara terbuka. Lagipula sebuah penghargaan di bidang musik tidak ada yang perlu diperhatikan secara khusus.
Dengan penetapan "Penghargaan Musik Ivens" dan "Kompetisi Piano Seluruh Benua Ivens", segi peringatan pemakaman telah selesai. Para hadirin mulai menyanyikan himne dan lagu pujian dipimpin paduan suara, menciptakan atmosfer sakral dan megah di seluruh prosesi pemakaman.
Setelah semua prosedur selesai, Kardinal Gotha memercikkan air suci ke peti mati, membersihkan segala kejahatan dan dosa yang melekat selama di dunia.
Peti mati kembali diangkat menuju pemakaman di sekitar Katedral Emas. Natasha, Joel, John, Elisa, Viktor, Felice serta keluarga dan teman baik Lucien mengiringi, sementara para bangsawan dan musisi lainnya pulang dari Katedral Emas.
Baru saja keluar dari gereja, para bangsawan terkejut melihat kerumunan yang masih berkeliaran di sekitar. Ternyata masih banyak orang yang menunggu?
Melihat para bangsawan keluar, kerumunan orang yang menunggu bagian terakhir pemakaman segera berduyun-duyun menuju pemakaman bangsawan terdekat. Dari balik pagar besi, mereka menyaksikan keranda hitam perlahan diturunkan ke dalam liang kubur.
Hujan saat itu agak mereda. Beberapa sinar matahari menembus lapisan awan. Namun saat menyaksikan penjaga gereja mengisi liang kubur dengan tanah, atmosfer duka dan kesedihan kembali menyelimuti.
Tanah coklat kekuningan sedikit demi sedikit menutupi keranda, seolah memutus benang terakhir antara yang hidup dan yang mati. Elisa, Felice, Elina dan lainnya tak bisa menahan air mata yang mengalir deras. Joel, John, Viktor, Natasha juga menutup mata dalam kesunyian yang mengharu.
Tak tahan dengan suasana perpisahan yang menekan ini, para saksi mata pun ikut menutup kelopak. Beberapa bahkan tak kuasa menahan isak tangis.
Tiba-tiba, suara serak dan tersedak seorang gadis terdengar lembut:
“Malaikat Kegembiraan yang suci nan indah, sinarnya menerangi bumi.”……
Lagu penuh kegembiraan dan khidmat ini terasa tak selaras dengan suasana duka pemakaman, namun semangat yang terkandung justru sangat sesuai. Teriakan Lucien Evans yang tak henti-henti dimaksudkan untuk menyampaikan pesan: jangan menyerah menghadapi penderitaan, tetaplah berjuang meraih terang dan kebahagiaan.
Perlahan-lahan orang-orang terbawa perasaan, semakin banyak yang mulai ikut menyanyikan:
“Di atas tanah indah ini, semua makhluk berbagi sukacita.”……
Nyanyian kian menggema hingga masuk ke area pemakaman. Felice dan Alena semakin tersedu-sedu mendengarnya, namun Natasha justru ikut bernyanyi. Alunan lagu ini menghibur jiwa dan mengobarkan semangat hidup mereka.
“Semua manusia tanpa peduli derajat, dikaruniai anugerah suci.”……
Mereka menangis, tersedu-sedan, sambil menyanyikan lagu ini untuk mengucapkan selamat tinggal pada Lucien.
“Malaikat kegembiraan yang suci dan indah, sinar gemilang menyinari bumi...”
Nyanyian yang membawa duka samar dan harapan, bercampur keheningan jiwa dan air mata, terus bergema tanpa henti.
Dalam nyanyian, pemakaman selesai. Sebuah nisan berdiri dengan epitaf singkat yang ditulis Natasha:
“Di sini terbaring seorang malaikat musik.”
※※※
Malam sunyi di villa bangsawan.
John dan keluarganya duduk di sofa, rasa kantuk tak kunjung datang.
