Matahari putih menyala menggantung di dekat cakrawala, menciptakan lapisan-lapisan api yang mempesona.
Di markas Sphinx yang panas dan kering, Lucien tiba-tiba merasakan hembusan angin sejuk.
Dengan perasaan bimbang dan ragu, Lucien berbalik badan. Sebelum sempat membuka mulut, Sphinx yang sebelumnya memerintahkannya tiba-tiba tersadar. Dengan amarah ia memekik, "Dasar keturunan Scorpion-man! Otakmu pindah ke XX-mu ya? Begitu lihat 'upacara' langsung matamu melekat, tak bisa berpikir?! Cepat mandi 'air matahari'! Mau jadi mayat hidup?!"
Gurun yang tandus membuat para bangsawan Kekaisaran Gustav enggan berekspansi ke selatan. Sejak runtuhnya Kekaisaran Meskhet kuno, musuh alami Sphinx tetaplah Scorpion-man. Makian mereka pun kebanyakan terkait makhluk itu.
Air matahari? Lucien teringat pengamatannya sebelumnya. Fer si Sphinx ini selalu menghabiskan waktu di gubuk batu yang terkena sinar matahari tegak lurus setiap kali akan berjaga di makam, sebelum akhirnya berangkat bersama Sphinx lainnya.
Sebelumnya, Lucien mengira ini adalah tempat yang disepakati Fer untuk berkumpul dengan sesama penjaga singa, namun saat menghipnosis untuk mendapatkan kenangan, dia lupa menanyakan hal terkait. Oleh karena itu, setelah dimarahi sosok yang diduga atasan, dia bergegas menuju makam dengan sikap yang dianggapnya sopan, namun hasilnya justru sebaliknya.
"Maaf, saya salah, saya akan segera pergi." Lucien pergi dengan "kegelisahan", hatinya mulai tenang. Dia tak lagi bingung memilih antara "Teknik Sugesti", "pesona monster", atau "Kekuasaan Kantung Busuk" yang lebih mudah mengelabui imam level sembilan. Meski kemungkinan besar tidak bisa memantau seluruh markas atau merasakan fluktuasi sihir kecil, namun kini malam tiba - saat pergantian penjaga makam dimulai. "Atasan penjaga singa" ini mungkin harus segera melapor ke imam senior.
Di dalam gubuk batu kecil, terpancar lapisan cairan berkilau keemasan di dalam kolam dengan pola di sekitarnya yang menyerupai sinar matahari.
Di samping kolam, seorang perempuan manusia singa yang kuat dan garang menggunakan sendok emas khusus untuk menciduk cairan aneh tersebut, lalu menyiramkannya ke para "Penjaga Makam" manusia singa yang sedang antre.
Melihat para manusia singa jantan yang kasar dan biadab patuh di hadapan "gadis" ini, dengan pandangan dan ekspresi yang jelas menunjukkan kekaguman, Lucien tak bisa menahan gumam dalam hati: "Apakah di mata manusia singa jantan, dia dianggap sebagai kecantikan yang luar biasa?"
Meski penggunaan kata "ekor" untuk menggambarkan "kecantikan" terasa aneh, ini benar-benar mencerminkan pikiran asli Lucien. Secara visual, ini jelas seekor singa betina yang berdiri tegak, dengan wajah kasar dan bulu keemasan yang lebat. Meski bentuknya mirip manusia, tetap terkesin sebagai evolusi yang belum sempurna, sama sekali tak memiliki keindahan.
“Perbedaan selera estetika benar-benar besar…” Lucien menggeram sambil menghadap gadis manusia-singa ini, membiarkannya menuangkan cairan keemasan yang terasa hangat seperti berjemur di bawah sinar matahari musim dingin, tanpa meninggalkan jejak basah sedikitpun.
“Fer, kau hari ini agak aneh.” Sanna, manusia-singa betina itu menatap Lucien sambil berbisik, “Apakah kau kehilangan nyali? Ternyata tak berani menatapku langsung?”
Lucien hampir terkejut lagi, paling benci disebut aneh saat sedang berakting! Haruskah kukatakan terus terang bahwa aku takut merusak mataku?
“Ya, aku kehilangan nyali.” Lucien memilih mengikuti keinginan manusia-singa betina yang merasa diri hebat ini.
Sanna tertawa kasar: “Aku penasaran apa yang membuat Fer si ceroboh kehilangan nyali? Bahkan dorongan untuk mengejar pasangan pun hilang?”
"Apakah harus memainkan opera klasik dengan taktik mundur untuk maju, mengabaikan untuk membangkitkan rasa penasaran 'sang kecantikan'... Tapi 'kecantikan' seperti ini..." Lucien merasa sangat putus asa, untungnya pemeran pendukung yang hebat akhirnya muncul sesuai harapan.
Dari barisan belakang, seekor manusia singa setengah kepala lebih tinggi dari Fer berteriak: "Fer, jangan buang waktu semua orang, jangan coba menarik perhatian Sana dengan tingkah aneh! Hmph, semalam kau masih mengintip Sana!"
Saudara, kau benar-benar berpendidikan! Lucien pura-pura panik seolah rencananya terbongkar, memandang Sana dengan ketakutan dan harapan.
Sana tersadar, mendengus, lalu mengabaikan "Fer".
Lucien pergi dari gubuk batu kecil itu dengan rasa lelah yang lebih parah daripada mengalahkan penyihir tingkat tinggi.
※※※
"Ikuti aku masuk ke makam, jangan ganggu 'Sang Raja' yang sedang beristirahat." Seekor manusia singa tinggi berotot membawa tombak perang panjang berbicara keras pada Lucien dan para "Penjaga Liang Kubur".
“Siap, Tuan Herges.” Para "Penjaga Liang Kubur" menjawab serentak.
Lucien menundukkan kepala, membuka mulut seolah sedang berbicara, menyamar di antara kerumunan manusia singa tanpa mencolok. Secara bersamaan ia berhasil mengetahui nama sang Kapten "Penjaga Liang Kubur" di hadapannya. Pria ini tampaknya memiliki kekuatan setara Ksatria Besar, sementara dari puluhan "Penjaga Liang Kubur", lima-enam di antaranya berstatus Ksatria resmi, sisanya seperti "Fer" tergolong abdi ksatria tingkat tinggi.
Jangan terkecoh dengan "tingkat ksatria" yang jumlah relatifnya fantastis di sini. Ini karena sebagai penjaga makam, mereka mengumpulkan petarung-petarung kuat dari berbagai suku manusia singa di sekitarnya - selain penjaga turun-temurun, terpilih menjadi "Penjaga Liang Kubur" merupakan kejayaan bagi manusia singa biasa.
Di bawah pimpinan Herges, Lucien mengamati balok-balok batu raksasa di sekelilingnya, menginjakkan kaki di tangga kecoklatan, dan memasuki ruang bawah tanah makam.
Begitu masuk, iklim gurun yang panas dan kering langsung berubah menjadi suram dan dingin, seolah melangkah dari dunia orang hidup menuju taman kematian hanya dalam satu langkah.
Batu bata persegi panjang berwarna kelabu di lantai dan dinding sama sekali tidak menunjukkan jejak korosi. Dengan hiasan batu permata, mutiara, dan kristal yang tertanam, seluruh area memancarkan aura dingin dan senyap.
Makam piramida ini jauh lebih megah dan besar dibanding villa, manor, atau menara sihir mana pun yang pernah dilihat Lucien. Baik koridor maupun ruangan, semuanya dirancang untuk digunakan dengan leluasa oleh para raksasa.
Terpengaruh oleh Kekaisaran Meskhet, dalam legenda bangsa Sphinx, mereka diyakini menguasai Misteri kehidupan dan kematian. Kematian bukanlah akhir, melainkan permulaan keabadian sejati. Piramida makam dibangun sebagai bangunan sihir yang memungkinkan Sphinx perkasa mencapai surga keabadian, sehingga dirancang dalam skala begitu megah.
Di sisi lain, dalam legenda yang beredar secara pribadi, banyak Sphinx percaya bahwa Raja teragung mereka yang terlelap dalam tidur abadi, suatu hari nanti akan bangkit melalui piramida makam untuk memimpin bangsa Sphinx menjadi penguasa alam semesta.
Piramida yang akan disusupi Lucien ini adalah makam Raja Sphinx terhebat, Fenis.
Dengan membawa tombak raksasa, Lucien mengikuti Helges menelusuri berbagai bagian makam. Mereka melihat banyak aula menggantungkan deretan mayat membusuk - ada yang bertubuh kalajengking, manusia, dan ras-ras lain yang menjadi korban persembahan kehidupan setelah ditangkap.
Setelah naik beberapa lapisan, regu "Penjaga Makam" ini segera memasuki aula yang dipenuhi simbol-simbol mengerikan. Relief di dinding menampilkan adegan Sphinx perkasa membantai makhluk dari ras lain.
Di aula, terdapat peti mati hitam berjejer. Saat melewatinya, Lucien dengan tajam merasakan tenaga jahat dan dingin yang terkandung di dalamnya!
"Inikah orang berkepala singa yang dikurbankan?" Lucien melanjutkan perjalanan dengan bingung, "‘Penjaga Dunia Bawah’ berkepala singa yang diawetkan seperti mumi?"
Karena sedang menyusup ke makam dan khawatir "Mahkota Matahari" memicu masalah, Lucien sementara menyimpannya sehingga sensasi terhadap tenaga maut tidak begitu kuat.
Meninggalkan aula yang agak mengerikan ini, Helges membawa "Penjaga Makam" terus berpatroli. Setelah melewati banyak koridor, mereka tiba di depan dua pintu batu raksasa.
Di pintu batu, satu sisi terpahat matahari simbol kehidupan, sisi lain tergambar bulan perak lambang kematian.
Meski tidak membuka medan energi spiritual, Lucien jelas merasakan aura kematian yang mengerikan yang membeku di balik pintu batu!
Inilah pintu batu itu. Di baliknya, Rhine diam-diam telah mempersiapkan sebuah Formasi Sihir yang mengerikan dengan memanfaatkan makam itu sendiri!
Di depan pintu batu itu, berdiri dua "penjaga pintu" setingkat Ksatria Besar. Setiap kaki mereka jauh lebih besar daripada Fer.
Di samping mereka, terdapat sebuah pondok batu. Seorang Imam Besar berbadan singa yang penuh wibawa duduk di dalamnya, berdoa untuk "regenerasi Sang Raja Agung".
Bagaimana cara menyusup masuk? Lucien akhirnya berhasil memahami tata letak makam. Pikirannya bekerja cepat, merenungkan cara——Rhine, sebagai vampir legenda, setelah berubah menjadi angin ringan, masuk ke pintu batu tanpa kesulitan sama sekali, sama sekali tidak bisa memberikan detail tata letak makam atau rute patroli. Lucien hanya bisa mendapatkan sebagian dari kenangan Fer.
Imam Besar berbadan singa adalah entitas tingkat tinggi. Tindakan langsung sangat mudah memancing perhatian imam yang diberkati Tuhan. Dengan koordinasi tata letak makam, mereka bisa membasmi sebagian besar petarung kuat di bawah tingkat legenda.
Dan, di hadapan Imam Besar, Lucien tidak bisa menyergap "penjaga pintu" lalu melakukan transformasi untuk menyamar sebagai mereka.
"Kami kembali." Helges selesai memberi hormat kepada Imam Besar, lalu memimpin regu "Penjaga Liang Kubur"nya untuk pergi, mengakhiri patroli putaran pertama.
Belum menemukan cara yang baik untuk sementara waktu, Lucien terpaksa mengikuti mereka sambil terus berada di posisi paling belakang. Saat melewati tikungan koridor, sebongkah kecil batu hitam jatuh dari tubuhnya tanpa suara, menggelinding pelan ke sudut ruangan yang gelap.
Setelah melewati koridor demi koridor, saat hampir mendekati aula tempat sarkofagus berada, Lucien melihat dua sosok Sphinxs berpenampilan "penjaga pintu" datang dari arah berlawanan.
"Pergi menjaga pintu batu?" Hati Lucien berdesir. Ia menundukkan kepala dan terus mengikuti "pasukan besar", melewati kedua "penjaga pintu" tersebut.
Setelah melewati beberapa koridor lagi, mereka memasuki aula yang mengerikan. Helgors berbisik, "Beristirahatlah di sini sambil menunggu regu penjaga lain datang patroli."
Maka semua "Penjaga Liang Kubur" berhenti, berkumpul dalam kelompok kecil untuk beristirahat.
Aula dipenuhi aura seram yang menyusup ke dalam raga Lucien bagai zat nyata, namun terhalang oleh "sensasi hangat". Helgors tampak sangat tidak menyukai aura kematian yang jahat ini, sehingga melangkah beberapa meter ke depan dan berdiri tegak di luar aula.
Melihat kesempatan ini, Lucien diam-diam bergerak ke sudut ruangan, lalu menyelinap menuju koridor yang mengarah ke Pintu Batu.
"Apa yang kau lakukan?" Suara Helgors tiba-tiba menggema begitu Lucien menginjakkan kaki di koridor tanpa suara!
Dengan empat kaki yang mendorong kuat, ia muncul di samping Lucien secepat angin.
Tertangkap basah sedang menyelinap pasti bukan pengalaman yang menyenangkan!
Lucien mengangkat kepalanya, dengan "kegelisahan" di wajahnya: "Tuan Helges, batu permata saya jatuh di koridor depan. Saya takut ada yang mengambilnya..."
Sambil berbicara, dia menunjukkan kantong yang robek kepada Helges.
Mata dalam nan suram dipenuhi permohonan. Entah mengapa, Helges tiba-tiba merasa lemah hati, berbisik pelan: "Pergi ambil diam-diam. Jangan ganggu Imam Besar."
Seorang "Penjaga Makam" yang bahkan belum mencapai level Ksatria resmi, apa yang bisa dia lakukan?
Lucien "bersyukur sampai menangis", berulang kali mengungkapkan perasaannya dengan kalimat kacau. Kemudian berbalik dan melangkah perlahan.
Dengan bimbingan psikologis dan koordinasi kejadian nyata, Teknik Sugesti tidak perlu digunakan sepenuhnya. Fluktuasi sihir menjadi sangat kecil!
※※※
Lucien mempercepat langkah menyusul dua "Penjaga Pintu" yang sedang berganti shift. Kemudian mengikuti dari belakang dengan tenang hingga mereka mencapai suatu bagian koridor.
Kecepatan menjadi sangat cepat, Lucien terburu-buru melewati dua penjaga pintu. Karena terlalu panik, ia menyenggol lengan salah satu "penjaga pintu" dengan keras.
"Berhenti!" Suara penjaga pintu terdengar suram, menahan amarah. Si "penjaga kuburan" hina ini ternyata ingin pergi begitu saja setelah menabraknya?
"Ah, maaf, maaf." Lucien berpura-pura baru menyadari kesalahannya.
Sikap Lucien ini membuat semakin marah. Matanya berkilat: "Berkeliaran sendirian di makam, perilakumu sangat mencurigakan! Lagipula menabrakku, cukup hanya bilang maaf?"
"Aku dapat izin dari Tuan. Aku harus mengambil kembali batu permata milikku." Lucien bertingkah seperti orang bodoh yang kaku, "Hanya tabrak sedikit, maaf sudah cukup!"
menggeram dengan amarah tertahan: " tak punya hak! Merunduk dan minta maaf!"
“Aku adalah bawahan Tuan Helges, perintahnya adalah kualifikasi! Aku sudah minta maaf dan tak akan meminta maaf lagi!” jawab Lucien dengan raga sedikit gemetar, tetap bersikap keras kepala.
Setelah beberapa kali bertengkar dengannya, Ascar yang melihat nada bicara dan gerak-gerik Lucien penuh "provokasi" seolah berkata "pukul aku, pukul aku jika berani", amarahnya langsung memuncak. Ia mengayunkan tinju untuk memberikan pelajaran pada manusia-kalajengking sialan ini.
“Ascar, tunggu! Ada formasi pengawasan di sini. Hati-hati dilihat Imam Besar,” bisik rekan Ascar, Inck, sambil menunjuk sudut di depan, “Ke sana, area itu tidak terpantau.”
Ascar tersenyum mengerikan, menggamit kerah Lucien: “Aku akan mengajarimu arti hierarki!”
“Ma, maaf…” Lucien terlihat seperti membeku ketakutan.
Ascar tertawa puas, menyeret Lucien melewati sudut dinding, lalu menghujamkan tinjunya ke tubuh manusia-kalajengking menjijikkan itu.
"Dug!" Asuka hanya merasakan sakit perut yang hebat, pandangannya turun kebingungan. Ia melihat sebuah tinju yang berkilauan samar kembali menghantam.
Jeritan diredam di leher, tak jelas terdengar. Mata Asuka gelap gulita, langsung pingsan.
Di sisi lain, Inker mendengar suara pukulan "dok-dok-dok" dan jeritan samar dari seberang. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak, "Asuka benar-benar kejam!"
Beberapa saat kemudian, Inker melihat Asuka kembali dengan wajah penuh senyum. Penasaran, ia bertanya, "Bagaimana?"
"Haha, sudah kuhajar si bajingan sampai ibunya pun tak mengenalinya!" Asuka menjawab dengan bangga.
"Apa yang kalian lakukan tadi?" Tiba-tiba suara Imam Besar bergema dari ujung koridor!
