Ekspresi Lucien tegang membatu. Tanpa sepatah kata, ia mengangkat tinggi tangan kirinya dengan jari-jari merapat membentuk formasi pedang.
Seketika, alam semesta di sekitarnya pun mulai berubah bentuk. Kegelapan sirna digantikan sinar keperakan yang menyelimuti, menciptakan kedamaian. Namun bulan perak di langit tiba-tiba lenyap.
“Setelah menyerap keilahian maut dari Ahsin, sepertinya pemulihanmu cukup signifikan, tapi ini masih belum cukup.” Suara Annatanas terdengar seperti kucing yang menggoreskan cakarnya di plat besi berkarat, parau namun menusuk telinga. Tuhan itu mengangkat martil perangnya yang menyala nyala api jiwa berwarna abu-abu keputihan nan tenang, lalu mengayunkannya dengan dahsyat.
Jarak ratusan meter seketika lenyap, martil perang itu tiba-tiba muncul di hadapan Lucien. Dunia monokrom hitam-putih-abu yang membeku ini tiba-tiba berkembang ke luar. Di setiap area yang terjangkau, segala benda kehilangan warna dan suara, seolah hendak kembali ke Ketenangan Abadi yang Tak Berubah.
Lucien memandang semua ini dengan tenang, mengawasi "Annatanas", mengawasi martil perang yang tak mengeluarkan suara maupun retakan. Bagaikan legenda yang menelan kedamaian dunia, tiba-tiba di belakang Lucien terbit bulan perak raksasa yang jernih memancar, seolah turun langsung dari langit ke bumi. Tangannya tiba-tiba dililit api pembinasan hitam, berubah menjadi pedang panjang sesungguhnya.
Tangan kiri mengayun keras, jubah Lucien berkibar ke belakang. Bulan perak pun membesar, menyilaukan mata, bertabrakan dengan hitam-putih-abu yang membeku.
Alam semesta seakan berubah menjadi kekacauan. Tak ada cahaya, tak ada suara, tak ada ruang, juga tak ada waktu.
Halusinasi ini lenyap sekejap. Natasha dan yang lain melihat lapisan hitam-putih-abu yang mengungkung mereka tiba-tiba retak. Retakan itu semakin banyak, semakin lebar, warna normal dan desir angin normal mulai masuk.
Tiba-tiba, dunia hitam-putih-abu yang membosankan dan membeku itu runtuh. Sekeliling kembali normal, namun Natasha dan yang lain merasa tubuh mati rasa, gerakan melambat, belum bisa bergerak leluasa.
Tapi mereka melihat hasil pertarungan tadi: Annatanas mengambang di langit, tebing kuil di bawahnya telah lenyap. Sungai membangkitkan pusaran raksasa, berusaha mengisi lubang gelap yang dalam.
Daging busuk di tubuh Tuhan berjatuhan sepotong-sepotong. Keilahian perang yang berkarat bernoda darah membuat tulang putih memancarkan warna serupa. Bola cahaya hitam-putih-abu yang membeku di mata kanan-Nya tampak lebih transparan, transformasi tak berujung di dalamnya banyak yang hilang.
Tampaknya dalam pertarungan kali ini, Tuhan menderita luka yang tidak ringan.
Namun, dibandingkan dengan Lucien Evans yang telah melayang ke seberang Sungai Solerna, kondisi Annatanas jelas jauh lebih baik. Lucien menabrakkan diri hingga meruntuhkan batu-batu raksasa di tepi sungai dan pepohonan tinggi, terbaring tak berdaya di tanah dengan tangan kirinya diselimuti warna abu-abu kematian.
"Haha, sudah kukatakan ini belum cukup!" seru Annatanas dengan suara serak menusuk yang bisa membuat orang gila.
Sepertinya karena entitas mistis dunia mayat hidup itu sendiri belum sepenuhnya bangun dari tidurnya sebelum disela oleh Aetna, kesadaran dan perasaan yang ditunjukkan-Nya kini lebih condong pada Tuhan Perang. Atau bisa dikatakan, Dia adalah Annatanas yang menjadi lebih gila dan ekstrem akibat pengaruh entitas mistis dunia mayat hidup.
Annatanas melangkah maju, memandangi Lucien yang berjuang bangkit namun gagal, menyaksikan tangan kirinya yang lunglai terjuntai. Suasana hatinya luar biasa gembira: "Menyerap tenagamu akan memulihkanku sepenuhnya! Meski tak bisa membunuhmu, cukup untuk membuatmu tertidur panjang! Aetna, kembalilah perlahan dari Sungai Takdir!"
Martil perang diayunkan, dunia hitam-putih-abu yang membeku kembali mendistorsi alam semesta, menginfeksi segala sesuatu.
Lonceng maut seakan telah berdentang di telinga Lucien.
Tiba-tiba, api hijau pekat menyala dalam dunia hitam-putih-abu yang tanpa warna dan suara, seketika hancur berantakan.
Annatanas muncul kembali di dunia yang dikelilingi abu-abu keputihan yang senyap. Warna ini berbeda total dengan hitam-putih-abu pada dirinya, membawa aroma busuk yang menyengat, disertai jiwa-jiwa yang hancur menjerit berputar-putar.
Ah! Ahsin tiba-tiba menjerit keras, vitalitas putih susu di tubuhnya terlihat jelas tersedot cepat ke langit. Dalam hitungan detik, ekspresi wajahnya berubah pucat kehijauan luar biasa. Mata hijau transparannya menyala dengan dua titik api merah segar, memancarkan aura mayat hidup yang pekat dari tubuhnya.
Serupa dengan Dia, El yang kepalanya hancur seperti semangka pecah mengerang kesakitan. Pendarahan berhenti berubah menjadi cairan mayat kuning muda. Namun tampaknya karena memiliki jabatan keilahian seperti regenerasi dan benar-benar abadi di bidang arwah kematian, penurunan vitalitasnya sangat lambat, tidak langsung berubah menjadi mayat hidup.
Berpusat di Kuil Perang, area seluas dua ratus meter di sekitarnya dipenuhi pohon Husum hijau pekat yang layu dan membusuk. Sedikit demi sedikit vitalitas segar melayang ke langit. Tanah subur yang lembab seketika kehilangan semua cairan tubuh, retak-retak kering. Air Sungai Solerna yang mengalir ke area ini berubah menjadi abu-abu kelam mengeluarkan bau busuk menyengat.
Petugas gereja tingkat tinggi berjubah putih berteriak bingung: "Ritual Pengorbanan Kehidupan? Semi-dewa liche?"
Baru saja selesai bicara, kilatan sihir ilahi di tubuhnya memicu serangan aura kematian di sekeliling. Gelombang abu-abu membusuk dan cahaya suci yang bertubrukan seolah menghasilkan "reaksi alkimia" mengerikan. Dengan suara 'bang', kardinal setidaknya tingkat delapan ini mengembang lalu meledak, vitalitasnya melayang ke langit.
"Api Pemurnian" Daniel, yang dikelilingi api putih, tiba-tiba tampak suram. Kakinya tidak mampu menopang tubuhnya sendiri, dia berlutut satu kaki. Dengan tergesa, dia menyandarkan pedangnya ke tanah agar tidak terjatuh, sementara vitalitasnya terus terkuras cepat.
Namun Natasha bereaksi paling cepat. Tanpa disadari, dia telah berdiri di samping Camille, memegang replika Perisai Kebenaran yang mulai retak-retak halus di depan mereka.
Di atas perisai hitam kecil nan indah itu, warnanya perlahan-lahan mengelupas seolah kehilangan nyawa. Dalam satu dua menit, perisai ini akan membusuk dan compang-camping. Tapi Natasha tak punya pilihan lain selain bertahan dalam kesulitan ini.
Dewa Matahari Bello matanya kehilangan fokus, tatapannya kosong. Saat vitalitasnya tersedot, seluruh tubuhnya gemetar tanpa alasan yang jelas.
Lucien yang berjuang keras untuk berdiri, tangan kirinya semakin terlihat berwarna abu-abu kematian, aura perlahan-lahan melemah.
Francis yang terbaring tak berdaya di tanah dengan susah payah memutar leher dan menggerakkan bola matanya, mengawasi wilayah seperti Dataran Kerangka di kejauhan. Tiba-tiba ia merasa bersyukur sang Ksatria mistis telah melemparkannya cukup jauh sebelumnya, sehingga berada di luar radius 200 meter sekitar Annatanas.
Di wilayah ini, langit telah dipenuhi awan hitam pekat yang mengeluarkan aura najis. Dengan suara gemuruh, kilat hitam menyambar-nyambar sementara hujan abu-abu keputihan mulai turun. Bau busuk akibat pembusukan membuat El yang terluka berat langsung pingsan.
Tetesan hujan seperti air limbah ini menghujam tanah, seketika permukaan bumi berubah menjadi abu-abu keputihan. Mayat-mayat yang terkubur tak diketahui berapa tahun lamanya mulai bangkit dengan limbung, mandi dalam hujan yang membuat aura mereka semakin menguat.
Segala yang terkena hujan ini, termasuk api pemurnian Daniel dan replika Perisai Kebenaran Natasha, menunjukkan tanda-tanda pembusukan yang jelas. Untungnya mereka bukan sasaran utama serangan. Hujan turun tak menentu, setetes demi setetes. Namun di sekitar Annatanas, banjir air abu-abu keruh menggenangi segalanya, mencemari dan melumerkan dunia hitam-putih-abu yang membeku di sekitar-Nya.
Annatanas mengangkat martil perangnya, namun tak lagi memiliki aura mengerikan seperti saat bertarung dengan Lucien. Seolah-olah seperti Aetna, Dia hanya memiliki kemampuan serangan setara legenda dalam waktu singkat.
Namun sebagai entitas mistis dari dunia mayat hidup, begitu martil perang diangkat, jiwa-jiwa yang hancur di sekitarnya langsung tunduk, tidak lagi menghalangi gerakan-Nya.
Tepat saat Annatanas hampir terbebas dari ikatan, suara suram dan dingin bergema dari langit:
"Jiwa dikungkung."
Jiwa-jiwa hancur di sekitar Annatanas, prajurit jiwa dalam bidang perang, semua berdistorsi wajahnya. Mereka berubah menjadi aliran cahaya jiwa yang menyusup ke dalam raga-Nya, menyebabkan raga-Nya terus mengembang serta mengempis. Cairan abu-abu keputihan mengalir dari sudut mata-Nya, menjadikan tubuh ilahiah-Nya membeku bagai patung batu.
"Ritual Pengorbanan Kehidupan." Suara kelam itu kembali terdengar.
Awan najis di langit tiba-tiba ambruk menyelimuti Annatanas. Ribuan mayat hidup yang baru bangkit di sekelilingnya berhamburan mendekat, menyatu dengan awan tersebut.
Aura kehidupan yang pekat mengalir deras dari tubuh Annatanas, membuat raga-Nya yang tinggi besar membusuk dan hancur total. Martil perang yang sudah seperti lumpur jatuh tak berdaya, tengkorak berderak pecah menjadi beberapa fragmen.
Bola cahaya hitam-putih-abu yang membeku lepas dari soket mata-Nya, berubah menjadi beberapa fragmen berukuran sama yang berjatuhan di tanah.
Benda itu seolah-olah kehilangan kesadaran karena tak ada pengharapan terakhir. Masih memancarkan aura kekekalan yang angkuh, namun kekurangan sedikit spiritualitas, tanpa sadar mengubah sekeliling menjadi warna hitam-putih-abu yang monoton dan sunyi.
Tangan Penyihir ilusif tiba-tiba muncul mencoba mengambil fragmen bola cahaya hitam-putih-abu itu. Namun mereka seakan berada di alam semesta paralel, membuat Tangan Penyihir langsung menembusinya.
"Hah?" Suara kebingungan terdengar di langit. Seorang lich berjubah hitam muncul. Wajahnya tanpa daging, langsung menampakkan tulang putih. Rongga matanya gelap, dua titik cahaya merah berbentuk jarum berkilauan.
"Ternyata benar dia, Semi-dewa liche Kangus." Lucien menghela nafas dalam hati.
Kangus tidak terburu-buru mengumpulkan fragmen-fragmen entitas mistis dunia mayat hidup. Alih-alih, pandangannya beralih ke Lucien. Dia bukan bodoh yang memberi kesempatan Aetna pulih. Adapun yang lain, sama sekali bukan ancaman.
"Pengelupasan Kehidupan..." Kangus mengucapkan dua kata pendek aneh - tulisan sihir purba.
Tak ada kelengahan, langsung menggunakan mantra legenda untuk menghadapi Lucien dan "tangan kiri"-nya.
Kata kedua belum selesai diucapkan, kilatan cahaya menyilaukan menyambar punggung Kangus. Membawa perasaan teratur, jujur, baik hati dan segala hal mulia.
Pertahanan sihir yang terstimulasi sendiri lenyap tanpa suara di bawah kilatan cahaya ini, namun Kangus tiba-tiba menghilang dari tempatnya dan muncul di lokasi lain. Sebagai Penyihir Legendaris, mustahil bertahan hidup jika tak memiliki kemampuan pertahanan kapan saja di mana saja terhadap serangan mendadak!
Baik melalui Pemicu Mantra, Pengurutan Mantra, Daftar Mantra, maupun Astrologi dan ramalan magis, semua bisa mencapai tujuan yang sama.
Dua titik jarum merah menyala mengarah ke lawan yang baru saja menyerang diam-diam. Kangus menyadari itu adalah Bero sang Dewa Matahari yang sebelumnya tak berdaya di bawah Ritual Kehidupan. Saat ini, aura-Nya mengerikan saat berwibawa berseru: "Tusukan ini hanya peringatan bagimu."
"Siapa kau?" Kangus merasakan keakraban yang familiar, menyadari ini bukanlah Bero sang Dewa Matahari, namun belum bisa mengenali petarung kuat mana gerangan ini.
“Bero” tidak menjawab, di belakang-Nya seolah sayap-sayap putih bersih tak terhitung jumlahnya membentang, Ia bersabda dengan khidmat: "Maut harus tidur nyenyak, ini adalah tatanan kehidupan. Kau makhluk jahat kacau yang melanggar hukum ini, terimalah penghakiman!"
Di hadapan-Nya tiba-tiba muncul timbangan berwarna putih di kiri dan hitam di kanan. Setelah bergoyang beberapa kali, keseimbangan pulih. Pemandangan mengerikan berwarna abu-abu keputihan di sekitar dan awan najis di langit langsung menghilang, sementara tanah yang tercemar dan pepohonan layu masih tetap ada, sulit dipulihkan.
"Timbangan Keteraturan, kau adalah Rudolf II!" Kangus tidak memahami metode penurunan ini, tapi itu tidak menghalanginya menggunakan mantra legenda yang tadinya ingin dipakai terhadap Rudolf II:
"Pencabutan Kehidupan!"
Ia turun dari jarak jauh, sekalipun membawa "Timbangan Keteraturan", pasti tidak mampu menandingi kekuatanku!
Tanpa suara, wajah "Bero" mulai menua seolah diterpa waktu yang panjang, sementara sayap putih di punggung Rudolf II tiba-tiba menutup rapat, menyatu menjadi kilatan cahaya yang penuh hierarki ketertiban:
"Kembalilah pada ketertiban, Kangus."
"Cahaya Ketertiban!"
Kilatan cahaya ini seakan memenuhi seluruh alam semesta, membuat segala keberadaan yang tak alami cepat-cepat menghilang.
Kangus pun membuka mulutnya, mengeluarkan raungan yang mampu membinasakan langit dan bumi, "Raungan Semi-Dewa Liche"!
Sorot mata Natasha kembali pudar, telinganya tak lagi mendengar suara, hidungnya seolah kehilangan penciuman. Perisai Kebenaran di depannya mulai retak dengan kecepatan yang kasat mata.
Tiba-tiba, cahaya bulan purnaya yang dingin muncul dalam pupil mereka. Di seberang sungai, Lucien yang tak diketahui kapan mulai mengambang mengenakan gaun panjang hitam, tangan kirinya terangkat tinggi dengan api membinasakan yang melingkari diam-diam.
“Bukankah dia dan Aetna bulan perak sudah tak punya kemampuan untuk menyerang?” Pertanyaan serupa muncul di benak Francis dan Camille.
Sebelum menyerap keilahian Penguasa Segalanya dunia bawah, Aetna masih memiliki satu kesempatan serangan. Kini setelah menyerap dua kali keilahian, tertidur panjang selama lebih dari setengah bulan tanpa pernah bertindak, mana mungkin kekuatannya habis hanya dengan satu serangan?
Lucien bersembunyi di dekat Kuil Perang untuk memancing konflik antara Penyihir Legendaris yang memantaunya dengan Annatanas, sehingga bisa lolos dari kesulitan. Sebelum bentrok, dia sudah memperhitungkan variabel Kanggus, sengaja tidak mengerahkan seluruh kemampuan Aetna yang tersisa - mengorbankan luka berat demi memancing mereka berebut duluan.
Aetna yang terluka parah tak berdaya versus entitas mistis dunia mayat hidup yang masih punya kemampuan bertarung, jelas ke arah mana Kanggus akan menyerang.
Demikian pula, Lucien yang sebelumnya telah bertemu Sophia, juga memperhitungkan variabel Kaisar Rudolf II. Dia mengetahui bahwa kaisar Kekaisaran ini telah mulai menyentuh rahasia turunnya tujuh setan kuno!
Kemampuan pemulihan super bulan perak memulihkan raga Lucien dengan cepat. Bulan raksasa di belakangnya kembali terbit, sepenuhnya menutupi bulan perak kenyataan di langit.
Kangus dan Rudolf II tercengang melihat Lucien sedikit membungkuk, tangan kiri mengayun. Cahaya bulan perak tiba-tiba mengembang, memenuhi seluruh bidang pandang mereka.
Apakah Lucien lebih cerdas dan lebih berpengalaman daripada mereka?
Bukan, ini hanya karena Lucien mengetahui lebih banyak informasi tentang adanya legenda yang menyusup di sekitar dibandingkan Annatanas, hanya karena dia mengetahui lebih banyak variabel yang bisa turun seperti Rudolf II dibandingkan semi-dewa liche Kangus, dan hanya karena dia mengetahui lebih banyak tentang adanya Penyihir Legendaris yang memantau segalanya dibandingkan Rudolf II, sehingga bisa sengaja terluka parah, menyimpan kekuatan, dan menunggu kesempatan.
Inilah keunggulan yang dibawa oleh asimetri informasi!
Malam ini cahaya bulan perak begitu berkilauan cerah dan terang, Kangus dan Rudolf II merasa mereka takkan pernah bisa melupakan "pemandangan indah" ini.
