"Hadiah ulang tahun, kau suka?"
Suara Natasha terdengar parau, berusaha tampil elegan dan santai. Namun detak jantungnya tak bisa dibohongi, deg-degan keras seakan ingin mengungkap kecemasan yang tersembunyi: Akankah Lucien menyukainya? Menerimanya?
Sekalipun Sang Ratu, Ksatria Pemberani, di saat seperti ini ia tak kuasa menahan diri. Kegagahannya hanyalah topeng tipis.
“Bahkan jika dia menolakku, aku takkan menyerah! Suatu hari nanti pasti akan menaklukkannya!”
Natasha bertekad dalam hati, menyemangati diri sendiri, meyakinkan bahwa seorang pahlawan tak dinilai dari satu kekalahan.
Tiba-tiba, dia merasakan telapak tangan menghimpit pinggang dan punggungnya, suara Lucien yang agak serak terdengar di telinga:
“Sangat kusukai, tapi...”
Genggaman di punggungnya tiba-tiba menarik kuat. Natasha yang sedang linglung terhuyung ke depan, tubuhnya bersandar pada Lucien. Matanya yang biasanya dalam kini bagai diterpa badai dahsyat.
“…tapi belum cukup!”
Ha? Sebelum sempat memahami maksudnya, mulut Natasha sudah disekat Lucien. Napas panasnya membakar kulit wajahnya.
Bibir yang tidak tebal maupun tipis terpisah setelah dihisap dengan kuat oleh Lucien, rongga mulut yang manis dimasuki dengan tegas oleh lidahnya yang merajalela liar, mencari pasangan dansa yang sebelumnya berani dan tak terkendali.
Hmm? Natasha seolah memahami sesuatu, matanya perlahan terpejam, wajahnya menunjukkan ekspresi gembira dan bersemangat. Meskipun dihadapannya gelap total, seolah diterangi sepenuhnya oleh cahaya.
Lucien mengekspresikan emosi yang terpendam lama, ciumannya luar biasa liar. Tapi keresahan masih tersisa di hatinya: Benarkah Natasha tadi hanya hadiah ulang tahun? Tidak ada makna lain? Jangan-jangan aku salah paham?
Kegelisahan, harapan, kecemasan, ketegangan seperti dimasukkan semua ke dalam panci, direbus menjadi semangkuk perasaan yang tak terucapkan. Lucien memperlambat kecepatannya, menanti jawaban dari Natasha.
Tiba-tiba, Lucien merasakan lidah lembut nan licin itu bergumul dengan lidahnya. Begitu kuat, begitu manis, bahkan berusaha mendorong balik ke dalam mulutnya. Sementara itu, kedua telapak tangan Natasha menangkup kepalanya.
Boom! Seakan kembang api meletus berkilauan di hadapan Lucien. Jawaban Natasha terpancar tanpa tedeng aling-aling.
Hati menyatu, ciuman lidah kian memanas. Entah berapa lama, baru mereka terpisah dengan napas tersengal. Benang perak tipis masih menggantung di antara bibir mereka.
Lucien hendak bicara, tapi Natasha dengan pipi kemerahan dan mata berbinar sudah berseru gembira: "Lucien, kau lebih nikmat dari yang kubayangkan."
Lidah merah mudanya menjilat bibir dengan lincah.
Lucien langsung tersipu. Khas Natasha. Tapi justru ini sosok yang dicintainya.
Natasha bernapas agak tersengal-sengal: "Setelah mengatasi penolakan psikologis, baru aku sadar sudah lama menyukaimu. Bukan, Lucien, aku ingin memberitahumu dengan serius..."
Mata indah berwarna perak-ungunya memancarkan keseriusan yang khidmat: "Aku mencintaimu. Aku harap kita bisa mencoba untuk saling memahami, berbagi sisa hidup ini bersama, sampai maut memisahkan."
Sebagai gadis berpengalaman dalam hal cinta, Natasha sangat paham bahwa pengakuan perasaan harus dilakukan ketika kedua pihak telah memiliki dasar hubungan yang cukup kuat dan status hampir pasti. Jika tidak, mengungkapkan perasaan pada orang asing yang bahkan belum akrab hanya akan menakuti mereka. Orang yang menerima pengakuan seperti itu biasanya hanya mengincar harta atau ketampananmu.
Lucien tiba-tiba merasa kasihan pada rencana kencan yang susah payah disusunnya. Bahkan belum sempat digunakan, rencana itu sudah "terbuang" ke keranjang sampah. Bahkan urusan mengungkapkan perasaan pun sudah direbut langsung oleh Natasha.
Tapi, ini bukan saatnya untuk mempermasalahkan hal seperti ini, Lucien menatap mata Natasha dengan lembut, berusaha agar kebahagiaannya tidak membuat suaranya gemetar: "Natasha, aku juga mencintaimu. Entah sejak kapan, aku mulai menyukai perasaan saat bersamamu. Ketetapan hati yang sesungguhnya terjadi saat kembali ke Alto dulu. Beberapa tahun terakhir ini, aku terus berusaha mendekatimu, mengejarmu. Aku juga berharap bisa berbagi kehidupan masa depan bersama, berharap kau mau menjadi istriku."
Mengingat baik-baik kalimat "pacaran yang tidak bertujuan menikah adalah tindakan preman", Lucien menyatakan sikap seriusnya.
Senyum Natasha merebak, cantik mempesona. Perasaan menyukai seseorang yang ternyata juga menyukaimu adalah hal terindah di dunia ini.
Ia tampak lelah setelah lama membungkuk, lalu merentangkan kaki yang melayang, memegang bahu Lucien dan meluncur cepat ke bawah, langsung duduk di pangkuan Lucien. Ekspresi kebingungan bercampur keanehan terpancar di wajahnya.
Lucien buru-buru menjelaskan dengan canggung: "Ini, ini respons normal."
Celaka, nuansa romantis sedikit terkikis.
Natasha tiba-tiba tersadar, memutar pinggangnya dan berhasil melihat ekspresi aneh Lucien. Kepalanya maju ke depan, hembusan nafasnya seperti harum anggrek, berbisik dengan suara serak penuh pesona di telinga Lucien: "Bom Iwan Besar Lucien?"
"Ya." Wajah Lucien memerah membara, tak tahu harus menjawab apa.
Natasha membuka mulutnya, mengulum daun telinga Lucien hingga rasa geli menyebar ke seluruh tubuhnya. Kemudian melepaskannya sambil tertawa rendah: "Aku suka responsmu seperti ini. Jangan malu-malu."
Lucien marah malu, juga memiringkan kepala dan menggigit daun telinga putih lembut Natasha, mulai menyedot dengan lembut. Di luar dugaan, ia melihat tubuhnya sedikit gemetar, semburat merah merona cepat naik dari leher ke wajah.
Apakah ini titik sensitifnya?
"Aku juga suka kamu memperlakukanku seperti ini." Mata Natasha berkabut, tanpa rasa malu, langsung mengatakannya. Lalu dengan penasaran dan gembira ia tertawa: "Kamu bilang sudah menyukaiku sejak beberapa tahun lalu, terus mengejarku, tapi kenapa aku tidak merasakannya?"
"Karena khawatir kamu hanya suka perempuan, jadi aku perlahan-lahan melatih perasaan, berusaha mengubahmu." Jawab Lucien jujur.
Natasha tersenyum, seolah sedikit tersentuh: "Lucien, sampai sekarang aku masih menyukai perempuan. Tapi di dunia ini hanya ada satu kamu, tidak terkait gender. Kontak fisik denganmu sama sekali tidak membuatku tidak nyaman, seperti dulu aku sangat tidak suka pria melakukan cium tangan padaku, tapi menghadapimu sama sekali tidak ada penolakan."
Sambil berkata, dia memutar pinggangnya dengan lebih kuat untuk memperkuat persuasi, membuat Lucien semakin tersiksa menahan diri.
"Hehe, kalau kamu sudah berusaha membangun perasaan, pasti ada persiapan untuk pesta ulang tahun ini kan? Bahkan jika aku tidak mengungkapkan perasaan, kamu yang akan melakukannya?" Natasha sepertinya sangat menikmati ekspresi Lucien yang berusaha menahan diri, sambil terus memutar pinggangnya dengan gerakan lambat namun konsisten, dia bertanya dengan senyum nakal.
"Ya, sudah ada persiapan bahkan menyusun rencana lengkap. Mulai dari menyiapkan bahan makanan, mengarahkan topik pembicaraan, cara memainkan piano, hingga cara mengungkapkan perasaan." Otak Lucien dipenuhi darah, ternyata dia menjawab dengan jujur seperti ini.
Natasha tertegun sejenak. Pertanyaannya hanya sekadar basa-basi, tak menyangka Lucien benar-benar punya rencana. Dengan penuh minat, dia mulai melakukan pemeriksaan detail.
Karena tanpa sengaja telah membocorkan hal memalukan ini, Lucien terpaksa menjelaskan isi rencana tersebut secara rinci. Di akhir penjelasannya dia berkata: "Hasilnya, tidak satupun yang terpakai."
Natasia tertawa terbahak-bahak: "Ini benar-benar sifat aslimu, sangat lucu!"
Di tengah tawanya, suaranya tiba-tiba terhenti. Matanya menjadi gelap dan dalam, dengan suara agak serak berkata: "Tapi, aku suka, sangat suka, benar-benar suka!"
Lucien merasakan napas Natasia yang semakin panas membara. Saat saling bertatapan, dia memahami keterharuan dan kebahagiaan yang dirasakan Natasia saat ini.
Tanpa pengalaman menghadapi kondisi seperti ini, tiba-tiba dia merasa rencana itu tidak sepenuhnya sia-sia. Meski semua konten di dalamnya tidak terpakai, keberadaan rencana itu sendiri telah berhasil menyentuh Natasia. Perasaan manis dan bahagia Lucien langsung dihancurkan oleh deklarasi Natasia.
"Lucien, mari kita punya anak!" Natasia sepertinya juga tidak nyaman dengan keadaan sentimental tadi, buru-buru mengubah ekspresi lalu berkata dengan penuh semangat.
Lucien hampir menyemburkan air liur ke wajahnya. Apakah ini terlalu cepat?
Natasha tidak menyadari apa pun, melanjutkan dengan gembira, "Aku awalnya berencana meminjam darahmu, melalui metode pembuahan buatan yang kau sebutkan untuk memiliki keturunan, tapi sekarang, tidak perlu repot-repot lagi, kita bisa langsung saja, hahaha!"
Lucien kembali merasa canggung, "Natasha, tidakkah kau merasa suasana romantis dan penuh perasaan tadi sudah kau hancurkan sama sekali?"
Natasha baru tersadar, berkata dengan sedikit kesal, "Benar juga..."
Tapi dia segera bersemangat lagi, tersenyum menatap Lucien, "Sebenarnya, kurasa kita cocok dengan suasana seperti ini, bagaimana menurutmu?"
"Aku juga suka, tidak ada tekanan sama sekali, santai dan nyaman." Jawab Lucien dengan jujur.
Natasha menggigit bibirnya, melanjutkan topik sebelumnya: "Lucien, aku benar-benar berharap suatu hari kita bisa bersama secara terbuka, anak kita bisa tumbuh dengan restu kedua orangtua. Inilah tekadku saat ini, dan aku akan berjuang untuk mewujudkannya. Perlindungan ini berasal dari emosi tulus hatiku, dari Tuhan sejati yang bersemayam di sana, tetap abadi tak tergoyahkan oleh hal-hal eksternal."
Sorot matanya jernih dan tegas, seakan telah menemukan jalan hidup yang akan ditempuhnya.
"Aku juga, kuharap anak kita bisa besar dalam keluarga utuh." Saat pasangan bercengkerama, berkhayal tanpa batas tentang masa depan adalah fenomena normal. Lucien pun tak kuasa menahan senyum.
Natasha mendengus: "Tapi, pertama-tama kita harus punya anak dulu!"
"Masalah itu akan terselesaikan nanti." Jawab Lucien sambil tertawa geli.
Tapi Natasha kembali menggerakkan pinggangnya: "Benarkah? Ivan Besarmu sepertinya menentang, dia ingin menyelesaikannya sekarang juga."
Tanpa menunggu jawaban Lucien, Natasha menarik kembali kedua tangannya, hanya mengandalkan kekuatan pinggang untuk duduk tegak, lalu menggenggam tangan kiri dan kanan Lucien.
"Natasha..." Lucien agak tidak nyaman dengan percepatan ini.
Begitu kata-katanya habis, Lucien tiba-tiba merasakan tangan kanannya ditarik Natasha untuk menggenggam sesuatu yang montok, samar-samar terasa sedikit tonjolan.
"Suka?" Suara Natasha semakin serak, sepertinya juga mulai terbawa perasaan.
Darah langsung membanjiri kepalanya, Lucien tak bisa menahan diri mengangguk. Kemudian tangan kirinya ditarik Natasha menembus lapisan-lapisan sifon tipis, menyentuh sutra halus yang menyelimuti kulit kenyal nan elastis.
“Suka?” Natasha condongkan tubuh ke depan, menyandar pada Lucien, bertanya kembali dengan suara serak dan sensual.
“Suka.” Lucien merasa jika masih bisa menahan diri berarti dia bukan lelaki sejati. Kedua tangannya mulai bergerak-gerak, “Ayo ke ruang istirahat...”
“Di sini saja. Bisa di meja makan, di karpet, atau di kursi.” Natasha berbisik rendah dengan tawa, suaranya mengandung pesona yang tak tergambarkan.
Lucien berpikir lebih baik pertama kali di ranjang. Saat mencoba mengangkat Natasha, tiba-tiba merasakan tangan yang agak dingin menyusup ke bajunya, meluncur dari dada ke bawah, menggenggam erat barang itu.
“Aku sudah tak sabar ingin mencicipi rasamu.”
Mata perak-ungu Natasha seakan berembun, bibirnya kembali menyatu dengan bibir Lucien.
