Jalan-jalan di kota Heidler ternyata tak seberantakan dan sekotor yang Donie bayangkan, dipenuhi potongan mayat membusuk. Sebaliknya, mereka bersih dan luas dengan cukup banyak pejalan kaki.
Tapi, jalanan ramai yang seharusnya hiruk-pikuk justru sangat sunyi, hampir tak ada yang berisik. Bahkan obrolan antarorang pun terdengar lirih seperti nyamuk, seolah ada kekuatan aneh yang melarang keributan di sini.
Setelah diamati, Tony baru sadar bahwa "pejalan kaki" yang lalu-lalang kebanyakan mayat hidup. Ada anjing mayat dengan mata bersinar merah menyala, manusia tak berkulit yang dagingnya terbuka, juga hantu, zombie dan kerangka yang umum terlihat.
Tentu saja, di antara makhluk-makhluk abadi ini, ada pula para nekromancer berbaju jubah sihir hitam pekat yang melintas. Kebanyakan mereka tidak seseram bayangan Tony, justru bercengkerama riang dengan rekan-rekan mereka meski dengan suara yang direndahkan.
"Sayang tidak ada lich..." Tony berbisik dengan nada haru.
Di kota Heidler, semangat Sami tampak sangat baik. Meski masih terlihat mengantuk, setidaknya dia tidak sering menguap. Dia mengusap rambutnya yang berantakan seperti sarang burung sambil tersenyum: "Tuan-tuan lich kebanyakan tidak suka jalan-jalan..."
Sebenarnya mereka hampir tidak punya keinginan dalam hal ini... Tony menyingkir memberi jalan pada anjing neraka berkepala tiga yang besar dan gagah, mulutnya meneteskan api membara, tapi di lehernya tergantung kalung yang dipegang oleh seorang Penyihir wanita bertubuh mungil, membuatnya berlari perlahan di depannya.
"Anjing neraka ini sebesar banteng..." Setelah Penyihir wanita itu pergi, Tony tak bisa menahan komentar. Kontras ukuran tubuh mereka terlalu mencolok.
Sami terkekeh: "Kemarin aku melihat Tuan lich sedang mengajak naga tulang jalan-jalan di langit, besarnya kira-kira seratus kali anjing neraka."
Dia tiba di kota Heidler kemarin, sementara tinggal di Jalan Mayat Hidup No.152, menunggu murid yang datang hari ini untuk bersama-sama menuju akademi.
"Luar biasa." Tony memandang langit dengan penuh kekaguman. Saat ini mereka telah sampai di Jalan Mayat Hidup, menara sihir yang menjulang hingga awan itu mustahil diabaikan kehadirannya.
Tiba-tiba, sebuah tengkorak berwarna gading melayang keluar. Di rongga matanya bersinar dua titik cahaya merah berbentuk jarum, aneh namun unik. Deretan giginya membuka dan menutup dengan ritme datar, mengeluarkan suara melengking yang menusuk: "Semua kehidupan baru berkumpul, menuju akademi. Yang terlambat menunggu sampai lusa."
Suara ini sedemikian mengerikannya seolah ada yang menggesek tulang dengan besi berkarat, membuat Tony gemetar ringan. Bersama Sami, dia memasuki aula untuk berkumpul.
“Tunjukkan surat penerimaan dan tanda identitas di dalamnya.” Tony belum sempat menstabilkan diri, seorang pria berwajah datar telah mendekat. Kulitnya kuning pucat dengan jejak pembuluh darah yang jelas terlihat, mata menyala merah berbentuk jarum persis seperti lich.
Tony segera mengeluarkan surat penerimaan dan seekor kumbang hitam kecil: "Ya, Guru."
"Panggil aku Tuan Robert." Suara pria ini justru terdengar ramah dan dalam. Sorot matanya mengawasi kumbang hitam itu, seakan memantulkan cahaya kemerahan samar. "Baik, Tony. Tak perlu mengajukan permohonan asrama. Langsung ikut kami ke akademi."
Usai mengembalikan surat dan kumbang, ia berhenti sejenak. "Kebetulan, aku salah satu mentor di bidang struktur tubuh dan genetika. Jangan sia-siakan nilai dan dasar yang sudah kau raih sekarang."
Setelah beberapa saat, Sami melihat Robert yang telah berjalan ke sisi lain aula, berbisik: "Konon Tuan Robert sudah sangat mendekati tingkat tinggi. Hmm, raganya telah dimodifikasi sendiri berkali-kali. Siapa yang tahu kemampuan khusus apa yang dimiliki fisiknya?"
"Hmm, tekanan dari Tuan Robert sangat besar..." Di lingkungan dingin kota Heidler, Tony juga mengeluarkan keringat dingin, lalu mengikuti pandangan Sami ke arah Robert. Ia melihat Robert berhenti di depan layar siar besar aula, menatap tak berkedip program hiburan komedi di dalamnya, sudut bibirnya membentuk ekspresi yang mirip senyuman.
"...Tak kusangka Tuan Robert dengan ekspresi datar seperti mayat juga suka menonton TV..." Ekspresi Tony menunjukkan keterkejutan.
Sami bingung memandangnya: "Apa orang dengan wajah mayat tidak boleh menonton TV?"
"Hah..." Tony kewalahan menghadapi Sami, buru-buru mengalihkan topik: "Kita segera pergi ke akademi. Katanya akademi tidak berada di dalam kota, tapi di tempat mistis?"
Sami mengangguk dengan serius: "Konon itu tempat yang sangat cocok untuk Nekromansi."
Membahas hal ini, rasa penasaran yang kuat muncul pada keduanya. Mereka berspekulasi, mungkin di dalam liang kubur raksasa?
Tak lama kemudian, lich berwarna gading itu terbang kembali. Dengan suara tidak enak didengar, ia berkata: "Ikuti aku dari belakang, jangan sampai terpisah. Jika terpisah, aku anggap kalian sudah mati dan tidak akan mencarimu."
Kalimat ini membuat jantung Tony berdebar kencang. Bahkan Sami yang biasanya lamban pun membelalakkan matanya. Seluruh pasukan menjadi sangat hening.
Mengikuti lich ini, Tony dan yang lain melewati Jalan Mayat Hidup, menelusuri Jalan Jiwa, melintasi Alun-alun Substansi Otak, hingga tiba di bangunan yang tampak mirip menara sihir biasa.
"Ini akademinya?" Tony memandang menara sihir di depannya dengan agak kecewa.
Lich berhenti, mengambang di depan pintu menara sihir, melantunkan mantra serak dan rumit dengan nada kuno.
Lapisan bayangan muncul dari batu marmer bermotif yang menghampar di tanah, menyebar dan tumbuh, segera menutupi gerbang hingga menjadi gelap dan dalam, permukaannya bergoyang lembut.
"Ikuti aku," lich memerintahkan dengan dingin, tanpa membuka gerbang, langsung menyelam ke dalam bayangan dan menghilang.
Kengerian ini membuat Tony dan Sami kembali menahan napas, mengikuti murid di depan dengan sedikit kecemasan sambil bergerak perlahan, tak tahu ke mana bayangan akan membawa mereka.
Sayangnya, betapa pun perlahan mereka bergerak, akhirnya tiba di depan 'Gerbang Bayangan'. Dengan menggertakkan gigi, Tony melangkah masuk.
Raga seolah terendam di kedalaman air danau, terasa menekan dan mencekam. Itulah sensasi saat masih kecil hampir tenggelam. Kemudian, Tony tiba-tiba merasa tubuhnya ringan, terlepas dari "air", dan dihadapannya hanya ada warna hitam putih kelabu.
Di sini berdiri kota yang kacau balau dan membusuk. Selain kombinasi monoton dan membosankan hitam-putih-abu, tak ada warna lain sama sekali. Bahkan angin pun membeku di langit, bagai sketsa yang sunyi sekaligus mengerikan.
Tony menatap langit dengan bingung. Di sana terlihat sama suramnya dengan kota Heidler yang abu-abu keputihan, namun matahari telah menghilang tanpa jejak!
Pengetahuan dasar tentang Dimensi alternatif membanjiri otak Tony. Dengan lantang ia berteriak pada Sami yang terkagum-kagum di sampingnya: "Dunia mayat hidup!"
Namun setelah teriakan itu keluar, Tony tak mendengar suara apapun. Segalanya sunyi senyap, seolah kegelapan abadi dan tertidur abadi yang tak pernah berubah.
Benar dunia mayat hidup, Tony menghela nafas. Tubuhnya mulai merasakan "halusinasi" pembusukan bertahap. Hanya tempat ini yang pantas disebut sebagai tempat terbaik bagi Nekromansi untuk beraksi. Tapi katanya, tempat ini sangat berbahaya. Bahkan penyihir tingkat tinggi pun bisa runtuh. Bagaimanapun juga mayat hidup tak berakal tak peduli latar belakangmu, kekuatan mana yang kau ikuti, atau apakah keluargamu kaya. Mereka hanya dipenuhi hasrat akan daging dan darah segar.
"Ikuti aku, kuingatkan lagi, jangan sampai terpisah." Lich menggunakan mantra tak dikenal, suaranya bergema di hati setiap orang.
Tony menepuk bahu Sami yang masih bengong. Dengan kewaspadaan dan fokus penuh, dia mengikuti Lich sambil takut terpisah dari pasukan. Di dunia mayat hidup ini, menghadapi mayat hidup yang datang bergelombang sendirian adalah mimpi buruk.
Melewati "kota" yang sunyi, pasukan memulai padang tandus yang dipenuhi Mayat hidup berkeliaran, wajah membusuk, ekspresi mengerikan, seolah bisa "mencium" bau busuk yang tak terlukiskan.
Di wilayah yang lebih jauh, terdapat banyak hantu samar-samar yang melayang di langit, jubah hitam berubah-ubah di tubuh mereka.
Lingkungan seperti ini, sekelingnya seperti ini, membuat hantu di belakang Sami bersemangat, menegakkan kepala mengeluarkan jeritan tanpa suara, kedua tangan terangkat tinggi mengayunkan kuat ke depan-belakang.
Terkekeh, Tony mengawasi adegan ini dengan lucu, Sami juga menggelengkan kepala tanpa daya.
Tiba-tiba, langit abu-abu keputihan menjadi gelap, seolah terlapisi hitam - bukan, itu bukan hitam, melainkan hantu yang berkumpul dari segala penjuru!
Mereka juga mengeluarkan jeritan tanpa suara, menyelimuti langit dan bumi menuju Sami. Tekanan yang mengerikan, aura kematian pekat, dan tayangan dahsyat membuat banyak murid limbung. Apa ini Bencana Mayat Hidup?
Tony gemetar ringan, menarik lengan Sami dan memberi isyarat agar dia segera mengendalikan hantu di belakangnya.
Tiba-tiba, lich di depan mengeluarkan suara "Hmph!", tirai hitam muncul dari udara menutupi seluruh kelompok.
Saat tirai menghilang, Tony baru menyadari mereka telah masuk jauh ke padang gurun, jauh dari "pasukan hantu" sebelumnya.
"Kendalikan hantumu," ujar lich dengan dingin.
"Baik, Tuan." Sami menjawab dengan suara bergetar. Hantu di punggungnya meringkuk seperti anak ketakutan, seolah mengeluarkan tangisan "hu hu hu" tanpa suara.
Tony bingung antara ingin tertawa dan menangis melihat hantu ini. "Kamu juga ketakutan oleh 'pasukan hantu' itu? Baru saja kau hampir mengubah kita semua jadi Mayat hidup."
Menarik Sami yang kakinya lemas, mereka tidak berjalan lama ketika tiba-tiba pandangan Tony terang-benderang. Di tengah alam semesta hitam-putih-abu yang membeku, terpampang sebuah "kota" megah dengan menara-menara sihir berpuncak runcing berwarna gelap, keperakan, dan putih bersih yang memancarkan warna ekstra. Antara menara-menara sihir itu menjulang jembatan langit langka yang terhubung ke segala penjuru, rumit namun indah.
Di sekeliling "kota" tersebut terbentang pemakaman sunyi dipenuhi makam yang berjejal sangat rapat, dengan nisan-nisan hitam terpasang miring.
"Nisan yang terpasang miring..." Hati Tony berdesir.
Setelah melewati pemakaman ini, Tony dan rombongan tiba di pinggiran kota dipimpin oleh lich. Saat mereka melintasi gerbang kota setinggi puluhan meter, perasaan beku dan tertekan tiba-tiba menghilang. Suara-suara ramah kembali terdengar di telinga, seolah-olah mereka tiba-tiba kembali dari wilayah arwah ke kerajaan orang hidup.
"Saudara sekalian, seperti yang kalian lihat, tanpa bimbingan mentor tingkat tinggi, kalian tidak bisa meninggalkan tempat ini. Jadi, kalian harus belajar dan meneliti dengan sungguh-sungguh. Yang tertinggal setiap tahun tidak boleh pulang. Baik, selamat datang di Akademi Sihir Heidler. Ambil jubah akademi dan lencana dengan menunjukkan tanda identitas dan surat penerimaan, lalu temukan asrama kalian sesuai petunjuk di lencana." Setelah berkata demikian, lich itu menghilang di tempat.
Tony menarik Sami yang masih gemetar dan hantu itu ke menara sihir terdekat. Mereka mengambil jubah sihir hitam dan lencana "api pucat", sambil bertanya jalan menuju asrama mereka.
Saat hampir tiba di asrama, Sami baru menarik napas panjang sambil meremas-remas rambutnya: "Dunia mayat hidup sungguh mengerikan, tadi aku benar-benar ketakutan..."
Sambil berkata demikian, Dia mendorong pintu kamar terbuka, lalu membeku di tempat sambil menghalangi pandangan Tony di belakangnya.
"M-minta maaf, k-k-kami salah kamar!" Sami berkata terbata-bata sambil membungkuk meminta maaf.
Tanpa sadar Tony mengangkat kepala melihat nomor pintu: "Area Origin, Menara Kehidupan nomor 202. Tidak salah."
