Setelah pidato Douglas selesai, semua Penyihir Gelap yang hadir meninggalkan tempat dengan diam-diam namun mantap dari arah berbeda, mempersiapkan diri untuk menyelesaikan tugas yang telah dijadwalkan untuk mereka. Tidak ada kegembiraan berlebihan, tidak ada fanatisme, tidak ada hasutan atau motivasi artifisial. Yang ada hanyalah pilihan yang muncul dari dalam hati setelah berpikir rasional, serta tindakan tegas yang dilakukan dalam kesunyian.
Kita tahu apa yang kita inginkan, dan kita juga tahu harga yang harus kita bayar untuk itu!
Dengan ekspresi khidmat, Douglas mengawasi para Penyihir Gelap yang pergi secara terorganisir. Matanya mengikuti para Penyihir Legendaris seperti "Penguasa Dingin Mendalam" dan "Mata Kutukan" yang melintasi semiplanar untuk kembali ke organisasi masing-masing, menuju kota-kota yang harus mereka tuju. Setelah lama terdiam, dia menghela napas pelan dan berkata kepada Fernando dan yang lain di sisinya: "Saatnya kita bergerak."
Fernando dan yang lainnya tidak berbicara. Mereka mengikuti Douglas masuk lebih dalam ke gua bawah tanah itu.
Di pagi hari, mentari yang penuh semangat perlahan terbit, mengusir kegelapan dan membawa terang.
Pada saat yang sama, di dataran dekat Kota Lentat, tanah tiba-tiba berguncang hebat. Dari kedalaman bumi terdengar gemuruh mengerikan. Kawanan binatang buas berlarian panik menjauh dari area ini.
Boom!
Tanah runtuh membentuk lubang hitam, retakan-retakan besar menjalar ke segala arah.
Fluktuasi sihir mengerikan meletus dari lubang dalam, kilatan-kilatan cahaya menyilaukan melesat ke angkasa, hampir menyamai terang matahari pagi.
Gerakan sebesar ini mustahil tidak terdeteksi oleh Kardinal Valentin yang bertugas di Lentat. Dengan cepat ia mengaktifkan sistem pertahanan sihir ilahi seluruh kota, lalu terbang ke lokasi kejadian bersama para kardinal dan petinggi Tribunal.
Sebagai seorang Santo, tidak mungkin ia bersembunyi ketakutan di dalam kota tanpa melakukan penginderaan atau penanganan, membiarkan para penyihir berbuat semena-mena!
Di wilayah yang dikuasai Gereja Kebenaran, kapan pernah terjadi hal seperti ini?
"Dan selama tidak menghadapi legenda tingkat puncak, aku yakin kekuatanku benar-benar cukup untuk mempertahankan diri, bahkan jika ada lebih dari tiga penyihir legenda di seberang."
Saat terbang menuju Dataran Lentat, dia juga memerintahkan seorang kardinal yang tinggal untuk menyuruh ksatria bangsawan mengikuti dan membantu pertempuran.
Maka, para uskup dan pastor bergegas menuju markas-markas Ksatria "Pedang Kebenaran", Ksatria "Keputusan", dan Ksatria "Tanda Silang Suci" untuk mendesak mereka segera bergerak.
"Selama bertahun-tahun, inisiatif tempur para bangsawan semakin rendah. Tidak ada lagi semangat seperti dulu ketika ksatria langsung bergerak saat masalah muncul. Tren ini harus diatur!" Pikiran seperti ini muncul di benak petugas gereja sambil mereka mendekati markas.
"Segera berangkat dan kepung dataran!" Seorang uskup memerintahkan dengan keras kepada para ksatria "Pedang Kebenaran".
“Anugerah Biru Tua” Sharpe tidak ada di sini, “Hukuman Perak Murni” Cesck maju ke depan dan berkata dingin: "Perintah Yang Mulia Raja, semua ksatria dilarang meninggakan markas sebelum mendapat izin beliau!"
"Apa maksud kalian ini?" Uskup itu berteriak penuh amarah.
“Hukuman Perak Murni” Cesck tetap tanpa ekspresi: "Inilah maksudnya."
"Kalian berani mengkhianati Tuhan? Kalian bersekongkol dengan penyihir dan merosot moral!" Uskup itu benar-benar kehilangan kendali, "Kalian akan diadili di pengadilan agama dan dibakar di tiang hukuman!"
Cesck mengayunkan tangan kanannya, kilat keperakan seketika menggaruk tanah di depan uskup meninggalkan parit hitam legam.
Matanya menatap tajam ke arah uskup: "Satu kata lagi, mati; satu langkah maju, mati."
"Kamu!" Uskup itu terpaku, tak menyangka ksatria bangsawan berani bersikap tidak hormat dan penuh niat membunuh terhadap pelayan Tuhan.
Ia memandang sekeliling, berusaha mencari ksatria yang masih mau membela martabat Tuhan.
Satu per satu pedang indah berhiaskan ornamen mewah terhunus, berkilauan dingin diterpa sinar matahari. Semua ksatria di markas itu mengawasi Uskup dengan sorot mata penuh ancaman.
Kawanan brengsek ini, sudah lama kami menahan diri!
Gereja terpecah belah, lihat kalian masih berani sok jagoan atau tidak!
Uskup itu mundur ketakutan, tak percaya ini adalah Kerajaan Holm yang selalu dimandikan Anugerah Ilahi.
Di Istana Neckther, "Pedang Kebenaran" Hofenberg bertakhta megah. Sorot matanya menembus kehampaan di depan, retakan-retakan ilusi bermunculan, samar-samar memperlihatkan pemandangan di atas dataran.
Di luar aula, para adipati, pangeran, dan bangsawan yang berkumpul memandangi gerbang terkunci dengan fokus. Dalam keheningan mereka menanti perintah sang raja. Pada momen ini, mereka memenuhi sumpah kesatria dengan mempercayakan segalanya kepada atasan yang mereka setiai.
Tentu saja, jika bukan karena tekanan langkah demi langkah Gereja selama bertahun-tahun, pemusnahan brutal yang membuat mereka diliputi kecemasan siang-malam, mustahil mereka bisa bersatu seperti ini.
Di dalam lubang besar di dataran, kilatan cahaya semakin menyilaukan. Tekanan mengerikan dan dahsyat mengalir keluar, samar terlihat bayangan kota raksasa yang hendak terangkat dari bawah.
Ketika Santo Varentin bersama para kardinal dan pemimpin Tribunal tiba di lokasi, mereka menyaksikan kota sebesar gunung itu melampaui cakrawala diangkat oleh kilatan cahaya.
"Kota terapung? Ada penyihir mencoba membangun kota terapung lagi?" Varentin terkejut. Bukankah ini rencana kota terapung yang berulang kali terbukti gagal sejak era Kekaisaran Sihir?
"Namanya Alin, dalam bahasa Silvanas berarti 'Kota Langit'." Suara berat bergema. Seorang penyihir berjubah hitam yang berwibawa muncul di depan kota terapung yang terbungkus cahaya.
“Douglas, Ketua Majelis Sihir.” Hati Gregorian bergetar, mengenali identitas Penyihir Gelap ini.
Puluhan tahun terakhir, Douglas telah beberapa kali bertindak, menyelamatkan banyak penyihir dan membunuh sejumlah petugas gereja serta Night Watchers, tercatat dalam Daftar Pembersihan.
Douglas mengawasi mereka dengan sorot mata penuh haru dan serius, tiba-tiba sebuah astrolabe berdesain aneh muncul di hadapannya.
“Kerajaan Bintang!”
Sekeliling langsung berubah menjadi kegelapan tak bertepi, bintang-bintang terang berkelip mengurung Gregorian dan yang lain.
Di aula Istana Neckther, selain Hofenberg, tak ada seorang pun.
Namun dengan santai ia bersuara: “Douglas memang memiliki kekuatan yang mencengangkan, di level yang sama berani mencoba membunuh paksa Gregorian.”
“Hmph!” Tiba-tiba terdengar suara dengusan keras dari kehampaan di depan, berasal dari sosok yang sangat dikenali Hofenberg - Paus Gregorius yang sedang berperang melawan bidah di garis depan Utara.
Sebagai raja dari sebuah kerajaan besar, dia memiliki cara rahasia untuk menghubungi Paus.
Para petugas gereja yang kembali dengan kegagalan dari markas-markas Ksatria, diliputi kemarahan dan ketakutan. Setelah berdiskusi, mereka memutuskan untuk langsung menuduh Raja Hofenberg - apakah dia berani mengakui secara frontal bahwa telah mengkhianati Tuhan!
Pada saat itu, cahaya suci yang menyelimuti seluruh "kota" tiba-tiba menyusut, segalanya kembali normal.
“Apa yang terjadi?”
“Bagaimana mungkin ini terjadi!”
Para petugas gereja saling memandang bingung. Gelombang mengerikan di luar masih berlanjut, mengapa sistem pertahanan sihir ilahi tiba-tiba menghilang?
“Istana Neckther!”
“Hofenberg!”
Mereka tiba-tiba tersadar. Sistem pertahanan sihir ilahi memiliki dua inti kendali - satu di Gereja Besar, satu lagi di Istana Neckther!
“Apakah dia benar-benar memihak Penyihir Gelap?” Pikiran penuh takut dan kebingungan melanda para petugas gereja.
Boom!
Dentuman keras menggema di area bangsawan dekat Istana Neckther. Para petugas gereja yang panik menoleh ke arah sumber suara, menyaksikan sebuah menara sihir menjulang dari tanah dan terbentuk dengan cepat di bawah efek mantra!
Ini sepertinya telah dipersiapkan sejak lama, jika tidak, Formasi Sihir dan sejenisnya mustahil bisa diselesaikan secepat ini!
Membangun menara sihir di area bangsawan?!
Dingin yang menusuk tulang merasuki para petugas gereja.
Boom!
Sebuah menara sihir hitam pekat dengan puncak runcing bertumbuh dengan kecepatan kasat mata. Pastor Suci Zachary dari ibu kota Kadipaten Gallia, Kukxes, hanya bisa bersembunyi di dalam gereja dengan sistem pertahanan maksimal. Dengan perpaduan kemarahan dan ketakutan, ia menyaksikan pemandangan ini sambil melihat Raymon "Angin Tak Kenal Lelah" berdiri berdampingan dengan Atlant "Mata Kutukan"!
Boom!
Di ibu kota Kerajaan Brianne, Salival; di ibu kota Aliansi Kota Koridor Pesisir Utara Keswick; di ibu kota Kerajaan Collet—menara-menara sihir serupa menjulang satu per satu, mengumumkan kepada dunia kembalinya para Penyihir Gelap!
Sementara para Kardinal (bukan legenda karena pusat Gereja tidak berada di sini) di beberapa wilayah tersebut, ada yang terbunuh, ada yang bersembunyi di dalam gereja besar dengan mengandalkan pertahanan formasi sihir ilahi sambil meminta bantuan ke Gereja. Namun Gereja yang sedang berperang total dengan Gereja Utara hanya bisa mengerahkan beberapa legenda sementara, tidak mampu membentuk keunggulan.
Sedangkan Tribunal di Kukxes telah dipenuhi mayat.
Tidak, mayat-mayat ini bangkit kembali, mengikuti di belakang Vinsent.
Dia berjalan di Tribunal yang dikepung pasukan mayat hidup, di dalam ruangan "Hakim", menyaksikan "Anjing Gila" yang kehilangan akal.
“Vinsent?” Peristiwa pembantaian di kota kecil sebelumnya membuatnya tahu bahwa Vinsent tidak hanya hidup, tetapi telah kembali untuk membalas dendam.
Vinsent memandangi "Anjing Gila", pria setengah baya yang wajahnya telah dihiasi liku-liku kehidupan, berkata dingin: "Kau terhormat, akan menjadi persembahan ritual pertama untuk regenerasi Shelly."
Di tengah ucapan itu, "Anjing Gila" mengangkat kedua tangan mencengkeram lehernya sendiri, berteriak kesakitan dengan suara parau, namun tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Kemudian, tubuhnya mulai kaku, dimasukkan Vinsent ke dalam peti mati aneh.
※※※※
Satu per satu penyihir memasuki Lentat, memandang menara sihir yang menjulang tinggi, merasakan kesedihan yang tak terkatakan - akhirnya menara sihir dan mereka sendiri bisa muncul secara terbuka!
Di atas dataran, langit berbintang nan luas tak bertepi menghilang, mayat-mayat berjatuhan. Hanya Douglas yang tetap mengambang di udara, sementara kota terapung di belakangnya mulai melesat naik dengan kecepatan tinggi!
“Benar-benar cabang dengan kemampuan tempur legenda tingkat puncak.” Hofenberg berkomentar datar.
Dari kehampaan, suara Gregorius kembali terdengar: "Apa yang kalian butuhkan?"
Saat ini harus mengandalkan tenaga bangsawan, maka Tuhan tidak bertele-tele, langsung bertanya.
"Butuh Gereja introspeksi, butuh Gereja paham batas diri mereka." Nada bicara Hofenberg tetap datar tanpa gelombang, seperti sedang berdiskusi cuaca hari ini.
"Introspeksi? Paham batas diri?" Suara Gregorius mulai terdengar kesal.
"Ya." Hofenberg tidak mundur sedikitpun, tangan kanannya membelai lembut Pedang Kebenaran di sisinya.
※※※※
Kota terapung yang seperti gunung terbalik semakin tinggi terbang, bangunan di atasnya telah direnovasi dengan baik, semua retakan menghilang.
Boom!
Saat mencapai posisi yang ditentukan, letusan cahaya terjadi, kota terapung mulai bergetar lembut naik turun.
Para Penyihir Gelap di dekat dataran, para Penyihir Gelap di dalam Kota Lentat, semuanya menahan napas mengawasi pemandangan ini, khawatir kota itu akan jatuh.
Getaran berhenti, kota raksasa itu mengambang dengan stabil di langit, garis-garis pola sihir menyala satu per satu, membentuk desain-desain yang membentuk Kunci Sihir!
"Benar... benar-benar terbang..."
"Inilah kota terapung..."
Para penyihir menutup mulut mereka, takut akan meledak dalam tangisan. Karya agung yang tak pernah terselesaikan oleh Kekaisaran Sihir, justru berhasil diwujudkan di era tergelap ini! "Penerbangannya" juga menandai berakhirnya kehidupan seperti tikus dalam kegelapan bagi mereka!
Masa depan mungkin akan lebih berdarah, tapi sama sekali tak kekurangan cahaya!
Para petugas gereja, bangsawan, dan orang biasa tertegun seperti patung menyaksikan pemandangan ini. Kota di angkasa - apakah ini tempat tinggal Tuhan? Mengapa direbut oleh penyihir?
Douglas mengambang di depan kota terapung, menggunakan mantra untuk mengeraskan suaranya, lalu memproklamasikan dengan khidmat:
“Ini adalah markas besar Majelis Sihir, 'Kota Langit' Alin!”
Sederhana dan polos, penyampaiannya langsung, namun membuat para Penyihir Gelap yang mendengarnya meneteskan air mata.
（Selesai）
Epilog Karakter
Epilog Karakter 1
"Hiyah!"
Seorang anak kecil berusia delapan sembilan tahun mengangkat pedang kayu tinggi-tinggi, menghela napas sambil melangkah dan mengayunkan pedang ke bawah.
Braak!
Anak laki-laki lain dengan usia yang hampir sama dihadapannya menangkis dengan pedang, dua bilah kayu bertabrakan mengeluarkan suara berat.
Sinar matahari yang terik membakar, keringat mengucur deras dari dua anak itu. Butiran air menetes dari pipi ke leher, namun meski begitu mereka tetap mengatupkan gigi dengan tatapan fokus melanjutkan latihan pedang.
Di tangga samping, seorang pria berambut pirang dan bermata cokelat mengangguk pelan, menunjukkan kepuasan atas latihan kedua anak itu. Wajahnya tampan dengan aura kemudaan, namun memancarkan kedewasaan dan ketenangan yang membuat sulit menebak usia pastinya.
Namun saat ini, pandangannya agak kosong, seolah melihat anak di depannya sembari memandang jauh ke masa lalu.
"John, sedang memikirkan apa?" Seorang wanita cantik bertubuh langsing dan tinggi mendekat dari belakangnya. Aura lembutnya dengan rambut pirang dan mata biru berbeda dari gaya umum Holm.
Sorot mata John kembali jernih. Ia menoleh sambil tersenyum pada sang istri, Kaelin: "Melihat anak-anak berlatih pedang dengan semangat seperti ini, aku teringat masa kecil dulu. Waktu itu, aku dan Lucien juga berlatih bersama di tanah lapang kawasan kumuh Alto. Hanya saja raganya tidak sekuat aku, ditambah tanpa asupan nutrisi yang memadai, setiap kali berlatih pedang kayunya selalu terpental..."
Kaelin berdiri di belakangnya, kedua tangan memeluk pinggangnya, tersenyum lembut: "Siapa sangka, dua anak dari kawasan kumuh Alto itu, satu menjadi Pangeran Kekaisaran, Ksatria Langit, Wakil Panglima Ksatria 'Pedang Kebenaran', sementara yang lain bahkan lebih mengerikan, mirip dewa, Arkanis Agung, Pangeran Kekaisaran, musisi besar..."
"Benar, kehidupan bagaikan drama panggung." John menepuk lengan istri yang melingkari tubuhnya, penuh perasaan haru, "Awalnya aku hanya ingin menjadi Ksatria resmi, mengubah hidup keluarga, melindungi mereka, melindungi Kadipaten. Tak pernah kubayangkan bisa mencapai Ksatria Langit, apalagi mendapat istri sepertimu."
Postur tubuh Kaelin yang jenjang memungkinkannya menyandarkan dagu di bahu John. Mendengar ucapan suaminya, senyum tipis tak terbendung mengembang di wajahnya.
John menatap ke depan, ekspresinya kembali menjadi kosong sambil tersenyum: "Lucien bahkan lebih tidak menyangka akan meraih pencapaian seperti sekarang. Saat itu, keinginan terbesarnya hanyalah menjadi rakyat biasa dengan penghasilan tetap. Takdir memang ajaib, bahkan para astrolog pun sulit memprediksinya. Aku ingat, kami sering berdiri di luar Aula Himne Suci, berkhayal suatu hari bisa menonton konser di dalamnya. Terkekeh, aku agak lupa bagaimana wujud Aula Himne Suci itu..."
"Rindu Alto?" tanya Kaelin dengan tanggap.
John menjawab dengan tenang: "Ya, rindu Aula Himne Suci, rindu rumah tua itu, rindu Hutan Gelap tempatku berlatih menjadi ksatria, rindu para penyair pengembara dan seniman jalanan yang mudah ditemui di jalanan. Terkekeh, orang yang sudah berumur memang selalu merindukan kampung halaman dan masa kecilnya."
“Usia lanjut? Maksudmu aku juga sudah tua? Usiaku hanya terpaut beberapa tahun darimu.” Kaelin sengaja merajuk, “Apa kau menyesal tidak memilih tanah warisan di sekitar Alto, malah memilih tetap tinggal di Lentat?”
Saat diangkat menjadi Pangeran, John pernah mendapat kesempatan memilih tanah warisan turun-temurun. Kala itu, Natasha yang telah merangkap jabatan sebagai Adipati Woriot bisa menobatkannya dengan tanah di sekitar Alto, namun John akhirnya memilih bertahan di sekitar Selat Badai.
John tidak menjawab. Ia bertepuk tangan memberi isyarat pada anak-anak untuk berhenti, lalu memberikan beberapa perintah sebelum menarik Kaelin menuju lantai atas villa.
“Aku harus melakukan patroli rutin,” ucap John dengan nada bicara yang tenang.
Kaelin mengangguk: “Baju ksatria dan baju zirahmu sudah kusiapkan.”
Melewati aula, John menarik lengan Kaelin sambil menunjuk ke dalam: “Dengar, alunan musik yang indah. Ibu sedang mengadakan jamuan makan lagi.”
“Ya.” Kaelin tidak begitu mengerti maksud John, Ibu sering mengundang para nyonya bangsawan untuk menghadiri jamuan makan, apa yang aneh dari itu?
John menunjuk ke arah ruang baca di lantai atas: “Ayah seharusnya sudah pergi ke Asosiasi Musik.”
“Ya.” Kaelin masih belum mengerti.
John tersenyum: “Lentat memiliki Magic Recorder, AC Sihir, televisi rumahan, kulkas sihir, mobil alkimia, serta berbagai item alkimia yang telah mengubah kehidupan. Ini adalah wilayah terdepan dalam universalisasi sihir. Ayah dan Ibu sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini, menikmatinya, bahkan memiliki hobi sendiri. Memaksa mereka kembali ke Alto adalah siksaan bagi mereka. Lagipula, sekarang sudah ada kapal udara langsung. Bahkan tanpa teleportasi, kita bisa mencapai Alto untuk liburan dalam beberapa hari. Karena itu, aku tak pernah menyesali pilihanku.”
Akhirnya, dia menambahkan: "Bagiku, di mana ada kalian, di situ ada rumah. Di mana kalian suka, di situlah aku akan memilih. Barusan lebih karena merindukan masa kecil, mengenang waktu yang telah berlalu, bukan karena kangen pada Alto."
Pipi Kaelin memerah malu. Tanpa berkata-kata, dia menarik John kembali ke kamar utama di lantai dua untuk membantu mengganti pakaiannya.
Braak!
Saat John sedang merapikan pakaian di depan cermin panjang, suara ledakan berat bergema dari ujung koridor.
John dan Kaelin sama sekali tidak menunjukkan reaksi khusus, seolah itu hanyalah hal biasa seperti membuka dan menutup pintu.
"Eksperimen Evan bermasalah lagi..." John menyandarkan telinganya, mendengar langkah kaki yang masih bergerak di laboratorium. Merasakan aura kehidupan Evan, dia menghela napas pasrah. "Dia menjadi Penyihir lingkaran dua hanya berkat bantuan ramuan, tapi tetap enggan serius mempelajari Okultisme."
Evan sifat aslinya lincah, tidak terlalu menyukai penelitian Okultisme dan Sihir yang membosankan, lebih memilih mantra yang serba bisa dan item alkimia yang dipopulerkan secara beragam. Seperti kata Lucien, dia lebih mirip penemu daripada Ahli Sihir Oskur.
Kaelin menghiburnya: "Evan itu cerdas, hanya minatnya tertuju pada item alkimia yang dipopulerkan. Begitu dia paham tanpa dasar Okultisme dan Sihir yang kuat mustahil memodifikasi karyanya secara efektif, pasti dia akan berusaha."
Kaelin sendiri adalah Ahli Sihir Oskur level dua sekaligus penyihir empat lingkaran.
"Hm." John mengangguk, mengenakan komponen terakhir baju zirahnya.
※※※※
Di atas Hutan Sterproep, John memerintahkan ksatria bawahannya berpatroli dengan Alat Terbang, sementara dirinya sendiri berjalan di udara sambil mengamati kondisi hutan dengan fokus dan teliti.
Karena banyak elf yang telah menyatu ke dalam masyarakat manusia, penjagaan celah Abyss saat ini ditanggung bersama oleh Istana Elf, Dewan Tetua Druid, dan Majelis Sihir. Sementara kelompok ksatria elit utama Kekaisaran bertugas membereskan makhluk terdemonsiasi atau iblis yang lolos di hutan sekeliling.
Penanganan celah Abyss ini sebenarnya selalu dipenuhi kontroversi. Para elf berharap untuk menyegelnya sepenuhnya, begitu pula bangsawan dan rakyat biasa dari beberapa kabupaten sekitar. Bagaimanapun, sistem penjagaan yang paling terperinci pun masih menyisakan celah - tidak hanya area hutan terpolusi yang perlahan meluas, tetapi beberapa makhluk terdemonsiasi atau iblis yang kabur berhasil memasuki desa, kota kecil, atau "kota". Meski selalu tertangani tepat waktu tanpa dampak besar, tetap ada yang mengalami cacat bahkan kehilangan nyawa.
Namun sebagian besar penyihir dan ksatria berharap mempertahankan celah ini, menjaga "kota kecil Tanpa Nama", karena tempat ini membatasi kekuatan iblis yang menginvasi, tidak perlu khawatir akan makhluk mengerikan seperti Raja Iblis atau adipati, serta menjadi lokasi pengasahan yang ideal untuk memperoleh berbagai material tingkat tinggi, jauh lebih baik daripada langsung mengambil risiko masuk ke Abyss.
Menurut pengetahuan John, Majelis Parlemen Tertinggi telah membuat resolusi untuk membentuk kelompok penelitian dengan target memisahkan kedua dunia, sekaligus mempertahankan zona penyangga di lapisan pertama Abyss untuk memudahkan petualangan dan pelatihan.
Aduh!
Dari earphone komunikasi John terdengar erangan kesakitan. Ekspresinya langsung berubah serius, lalu menerjang ke bawah seperti elang.
Di dalam hutan, beberapa ksatria Berpunggungan menahan serangan seorang wanita cantik. Di dahinya tumbuh tanduk iblis kecil yang imut, sebagian tubuhnya tertutup sisik kehitaman, dengan lekuk tubuh menggairahkan - jelas ini adalah seekor yang sangat kuat.
Para ksatria itu masing-masing terluka. Baru saja mereka terkejut oleh serangan mendadak, ada yang mengalami luka berat hampir mati dan sangat membutuhkan pertolongan.
itu memegang cambuk kulit penuh duri, menyerang dengan kecepatan luar biasa. Berbagai mantra bakatnya menyebar membentuk kabut merah muda dan kegelapan.
Tiba-tiba, pedang indah berhiaskan ornamen mewah yang dililit sinar hitam menyambar dari langit. Seketika kabut menghilang, semua efek mantra yang diperkuat iblis itu lenyap.
John tidak mengubah tubuh menjadi elemen maupun cahaya. Seluruh sosoknya tampak biasa layaknya Ksatria Besar pada umumnya. Namun setiap arah pedangnya diayunkan, semua kemampuan supernatural langsung menjadi biasa belaka!
"Penghilang darah!" (succubus) terkaget-kaget, sayap di punggungnya mengepak, berbalik dan kabur.
Tapi kecepatannya sudah berkurang drastis, John menyusul dan menjatuhkannya dengan sabetan pedang.
"Tidak, jangan bunuh aku! Aku bisa mengakui-Mu sebagai Tuhan, menandatangani kontrak, dan melayani-Mu dengan baik!" sengaja mendistorsi tubuh menggoda untuk mendapat kesempatan hidup.
"Saat kau serang anak buahku, kau tak berpikir untuk tidak membunuh." Sorot mata John tetap tenang, pedangnya menghunjam langsung memenggal .
Ekspresi terkejut membeku di wajah, sementara para ksatria di belakang juga menunjukkan penyesalan.
Boom!
Tanah tiba-tiba bergetar hebat, membuat para ksatria hampir kehilangan keseimbangan.
"Apa yang terjadi?" John memandang ke arah sumber getaran dengan ekspresi bingung. Di kejauhan, hamparan dataran berwarna darah samar-samar muncul di cakrawala. Di depannya, ruang berdistorsi saling melilit membentuk celah mengerikan yang eksesif. Di baliknya terpampang lapisan demi lapisan panorama Abyss yang berbeda-beda.
Di depan celah Abyss yang menonjol, seorang pria muda berbaju gaun panjang hitam berkancing ganda mengambang di udara. Dasi hitam formal menghiasi kerahnya, mata kanannya mengenakan kacamata monocle. Tampangnya tampan dan berkesan intelek, dikelilingi kegelapan yang berpusar kacau bagaikan Abyss yang terdistorsi.
"Lucien?" Seru John spontan saat melihat siluet yang familiar itu.
Pada saat itu, Lucien mengulurkan kedua tangannya ke depan. Seluruh tubuhnya mulai samar, seolah berada di dimensi lain yang tak tersentuh, tak bisa didekati. Di belakangnya, hamparan langit berbintang yang tak bertepi menampakkan diri dalam keagungan kosmik yang memesona.
Boom!
Di sekitar celah, kabut hitam sangat pekat, tidak diketahui perubahan apa yang terjadi. John hanya melihat ruang sekelilingnya runtuh, dataran berwarna darah bersama Abyss di belakangnya perlahan terlepas dari celah!
Bersamaan itu, badai raksasa menyapu dataran berwarna darah, menyelubunginya sepenuhnya. Ular listrik keperakan yang tebal dan panjang bagai hutan memisahkannya dari lapisan kedua Abyss yang terhubung!
Langsung mendorong "Abyss" pergi?
John memandang Lucien yang bagaikan Tuhan di ketinggian, lama tak bisa berkata-kata. Sedih yang samar tiba-tiba membanjiri hatinya.
Epilog Karakter 2: Maskelyne
Cahaya terang mengalir dari langit-langit, menerangi dinding putih pucat dengan dingin dan bersih. Alvin mengenakan pakaian longgar bergaris vertikal biru-putih, berjalan hati-hati ke pintu. Melalui jendela kecil di atasnya, ia mengintip ke koridor dengan kewaspadaan dan kesiagaan penuh di wajahnya.
Melihat koridor hanya diisi orang-orang yang mengenakan pakaian serupa—ada yang jongkok, berdiri, atau mondar-mandir—Alvin memancarkan kilatan tajam di matanya. Ia berbalik menuju tempat tidur lain di ruangan itu, menepuk-nepuk lembut pria yang tertidur lelap sambil berbisik, "Clement! Clement!"
Pria itu refleks menyempitkan diri ke belakang, sepasang mata menyala bagai api yang waspada mengawasi Alvin: "Kau... kau mau apa?"
Ucapannya terbata-bata seperti anak kecil yang baru belajar bicara.
"Clement, jangan terus berpura-pura. Tak ada yang mengawasi di luar. Kita harus berdiskusi tentang cara kabur dari sini dan masalah memulihkan tenaga." Tatapan Alvin penuh kesungguhan dan desakan kepada rekan di depannya, sementara sepasang sayap putih bersih menjulur dari retakan khusus di bajunya, terkembang di dalam ruangan.
Pria bermata api itu menunjukkan sedikit kebencian, berkata dengan terbata-bata: "Aku, aku bukan Clement, sudah kukatakan berkali-kali! Mereka, mereka bilang, aku adalah Mc, McLeod, seorang penyihir hebat, ahli alkimia agung, pria yang ditakdirkan menciptakan keajaiban!"
Sepertinya karena terlalu sering mengulang, separuh kalimat terakhirnya terdengar lebih lancar dibanding sebelumnya.
"Kau!" Alvin berseru dengan campuran kaget dan marah, "Kau benar-benar tidak berpura-pura? Bagaimana mungkin kau melupakan identitas sucin yang mulia! Kita adalah malaikat Tuhan! Makhluk paling dekat dengan Sang Kebenaran! Yang berwenang membinasakan atau menyelamatkan alam semesta!"
Suaranya tak terkendali membahana.
Pria yang mengaku McLeod itu gemetar ketakutan, berpeluk diri di sudut tempat tidur seperti anak kecil: "Aku, aku tidak mau bicara lagi denganmu. Kau jahat!"
Alvin menatap malaikat tampan dan matang ini yang menunjukkan ekspresi "kekanak-kanakan yang polos", tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menggelengkan kepala dengan penuh belas kasihan: "Kalian, kalian benar-benar lupa? Bagaimana bisa sampai seperti ini? Apakah hanya aku yang masih mengingat Tuhan, masih mengingat kemuliaan masa lalu, masih ingin kembali ke Gunung Surga..."
Semakin dia berbicara, semakin sedih hatinya. Alvin mendorong pintu, memasuki koridor, mondar-mandir bolak-balik untuk meredakan perasaannya.
Dia sama sekali tidak memperhatikan orang-orang asing di sekitarnya, sikap ini berasal dari kesombongan Malaikat Api. Pernah dia mencoba kabur dari tempat yang mengurung mereka, tapi kekuatannya telah tersegel oleh tenaga yang mengerikan dan tak terbayangkan. Dengan mudah dia ditangkap kembali oleh penyihir penjaga.
Saat itu, seorang pria berambut pirang dengan baju longgar bergaris vertikal biru-putih mendekat. Matanya waspada mengamati sekeliling. Saat berpapasan, dia berbisik pelan ke Alvin: "Tuhan."
Alvin merasa terkejut di dalam hati, lalu dilanda kegembiraan luar biasa. Apakah mereka masih ingat Tuhan? Mereka adalah umat beriman yang ditangkap penyihir.
Maka, dia mengangguk halus sebagai jawaban kepada pria itu.
Pria itu mengarahkan tangan kanannya dengan gerakan hampir tak terlihat, memberi isyarat agar Alvin mengikutinya.
Alvin mengamati sekeliling, lalu mengikuti pria tersebut ke ruangan lain.
"Kau masih ingat Tuhan?" tanya Alvin sambil menutup pintu dengan wajah berseri.
"Wahahahaha!" Pria berambut pirang itu menghilangkan ekspresi hati-hati, menaruh tangan di pinggang sambil tertawa terbahak, "Aku selalu percaya masih ada yang mengingat-Ku! Akulah satu-satunya Tuhan sejati, Penguasa langit dan bumi! Hari ini Kuajarkan jalan-Ku padamu!"
Alvin memandangnya dengan bingung, lalu amarah menyembur dari hatinya: "Dasar orang gila!"
Tenaga fisiknya cukup kuat, dia mendorong pria itu ke tepi dinding, lalu kembali ke koridor. Hatinya dipenuhi kesedihan, kepiluan, dan keputusasaan tanpa alasan: "Tuhan, apakah mereka semua telah melupakan-Mu? Apakah mukjizat-Mu tidak akan pernah lagi turun ke tanah ini?"
"Ssst." Seorang pria berambut hitam yang sedang meringkuk gemetar di sudut ruangan menempelkan jari telunjuknya di bibir.
Dia juga mengenakan pakaian bergaris vertikal biru-putih.
"Apakah kau masih ingat Tuhan?" Alvin bertanya tanpa harapan, sekadar melontarkan pertanyaan.
Pria itu ketakutan melihat ke kiri-kanan, lalu berbisik sangat pelan: "Ingat, aku adalah umat beriman Tuhan. Aku ditangkap ke sini dan diinterogasi tentang rahasia besar. Ssst, jangan tatap aku seperti itu. Para penyihir jahat itu sedang bersembunyi di sekeliling dan mengawasi."
Raga-nya semakin hebat gemetar, seolah-olah jika dia keluar dari sudut ini, para penyihir akan langsung menangkap dan menyiksanya.
"Kau benar-benar ingat?" Alvin bertanya dengan kejutan.
Pria itu dengan khidmat membuat tanda salib di dadanya: "Hanya Kebenaran yang Abadi!"
Alvin merasakan kabut tipis muncul di matanya, lalu membuat tanda salib dengan penuh kesakralan: "Semoga jalan-Mu terlaksana di bumi seperti di kerajaan-Mu."
Pria berambut hitam memberi isyarat agar Alvin mendekat: "Karena kita sama-sama umat beriman setia Tuhan, akan kuberitahu rahasia 'itu'. Carilah cara kabur lalu selamatkan aku."
Alvin berjongkok dengan wajah serius di samping pria berambut hitam: "Apa penyihir tidak akan mendengar?"
Pria berambut hitam tersenyum bangga: "Sudut ini telah kupasang Kunci Sihir terkuat sejagat raya, tempat paling aman. Makanya aku sembunyi di sini!"
Alvin bingung memandang sekitar yang kosong melompong: Bagaimana mungkin aku tak merasakan keberadaan Kunci Sihir? Sekalipun tenagaku tersegel, kemampuan bawaan biologisku masih ada!
Pria itu tak menghiraukannya, mendekatkan mulut ke telinganya: "Akan kuberitahu rahasia 'itu'."
“Bagus.” Alvin tidak punya waktu untuk memikirkan soal Kunci Sihir, fokus mendengarkan rahasia.
Suara pria berambut hitam itu direndahkan: "Sebenarnya, sebenarnya aku adalah Tuhan Kebenaran!"
Ah? Alvin tertegun seperti patung memandangnya, sementara ekspresi pria berambut hitam itu menjadi penuh belas kasih dan sucini: "Aku turun ke bumi untuk menyelamatkan alam semesta yang kotor ini. Kaulah manusia biasa pertama yang mengetahui identitasku. Aku nobatkan kau sebagai malaikat-ku..."
Sebelum kalimatnya selesai, dua pria berpakaian jubah sihir hitam mendekat, menyandarnya lalu menyeretnya ke depan.
"Cepat cari cara untuk kabur, lalu selamatkan aku!"
"Aku akan membakar diri di lambang salib untuk menebus alam semesta yang kotor ini!"
Alvin masih tertegun, sementara salah satu penyihir itu melemparkan mantra menyebabkan pria berambut hitam itu diam-diam, berkata dingin: "Sudah waktunya minum obat."
"Orang gila, di sini semuanya orang gila!" Alvin berpikir dengan perasaan sakit hati dan kemarahan, "Penyihir Gelap sialan, ternyata mengurung kami para Malaikat suci bersama sekumpulan orang gila! Sungguh keterlaluan! Sangat menghujat!"
Saat itu, dua penyihir lain datang dan menggandeng Alvin: "Nyonya Rachel ingin bertemu denganmu."
Alvin tidak melawan karena dia tahu perlawanan sia-sia belaka.
Sambil berjalan, tanpa sengar kakinya menyentuh seorang pria yang terbaring di lantai.
Namun pria berpakaian garis-garis biru-putih vertikal ini tetap diam, berusaha mempertahankan posisi semula.
"Maaf." Alvin meminta maaf dengan kewibawaan, tapi pria itu sama sekali tidak merespons.
Ketika Alvin sedang kebingungan, penyihir di sampingnya berbisik sambil tersenyum: "Jangan pedulikan, mayat tidak bisa bicara atau merasakan sakit."
"Dia arwah kematian?" Alvin merasa ini sama sekali tidak masuk akal, jelas-jelas manusia hidup!
Penyihir Gelap mendengus: "Dia menganggap dirinya sebagai mayat busuk yang tak berkesadaran, jadi..."
"Orang-orang macam apa ini!" Alvin merasa dirinya hampir gila.
Melewati koridor rumit, Alvin dibawa masuk ke ruangan berhias elegan. Seorang wanita dengan wajah biasa namun penuh vitalitas tengah berada di dalam.
Wanita di balik meja kerja itu mengangkat kepala, bola mata linen-nya mengawasi Alvin sambil tersenyum: "Bagaimana perasaanmu belakangan ini?"
"Tidak terlalu baik." Alvin yang terikat di kursi seberang menjawab dengan hati-hati.
Lencana Penyihir Gelap di dada Rachel telah berubah menjadi sembilan cincin hitam, sedangkan Lencana Okultisme memiliki delapan bintang perak. Ia mengangguk: "Ini normal. Karena kamu masih menyimpan kenangan asli, tidak bisa seperti Yang Mulia McLeod dan mereka yang langsung menghapus semua ingatan, lalu membentuk ulang kepribadian mereka berdasarkan data sejarah. Sebab cara ini berisiko menghapus kenangan aslimu juga, bahkan jika Yang Mulia Ivens turun tangan, tidak ada jaminan pasti."
"Kalian menghapus ingatan mereka!" teriak Alvin kaget dan marah.
Rachel mengerutkan kening bingung: "Ini proses pemulihan dan penelitian normal. Sebenarnya, ketika kamu sudah pulih ke tahap tertentu, Yang Mulia Ivens akan memiliki kemampuan lebih besar untuk menghapus kepribadian dan ingatan Alvin tanpa melukai kenangan aslimu. Tunggu, sekarang namamu siapa?"
“Aku adalah Alvin! Kalian para Penyihir Gelap yang jahat, tidak hanya mengurung kami para Malaikat suci yang normal bersama orang gila, tapi juga ingin menghapus semua kenanganku!” Alvin berjuang lebih keras, namun cincin sihir mengikatnya erat-erat.
Rachel mengetuk meja pelan: "Sepertinya metode terapi sebelumnya bermasalah, menyebabkan kekambuhan. Hmm, Maskelyne, eh, Alvin, nanti koordinasi dengan minum obat."
"Maskelyne..." Alvin seperti tersambar petir, otaknya dipenuhi kekacauan, seolah ada dirinya yang lain sedang bertarung dalam hati.
"Meski penyebab kondisimu sekarang 'luar biasa', penyakitmu tidak rumit. Ini kasus klasik split kepribadian. Nanti aku akan berdiskusi dengan Maskelyne, lihat apakah dia mau mempertahankan asimilasi atau langsung dibersihkan total." Ekspresi Rachel tetap datar.
"Aku... aku ini orang gila?" Alvin merasa kepalanya hampir meledak.
Saat itu, beberapa Penyihir Gelap masuk sambil membawa ramuan berwarna Langit Biru.
Rachel mengangguk pelan, berkata pada para Penyihir Gelap: "Ingat, obatnya tidak boleh dihentikan."
Alvin bingung-bingung meminum obat, tiba-tiba sorot matanya melihat plakat nama di meja Rachel: "Lembaga Penelitian Kelima Majelis Sihir - Pusat Pemulihan Qing Shan, Wakil Direktur..."
Epilog Karakter 3 Viscount Carlondia
Klik, bunyi gembok yang berputar terbuka terdengar nyaring di tengah malam yang sunyi.
Seorang anak kecil berambut pirang dengan mata keemasan yang semula berbaring di sofa dalam keadaan setengah tidur, tiba-tiba bangkit dan berlari cepat ke pintu dengan wajah penuh kegembiraan, langkah kakinya berdengung "deng deng deng".
Gerbang terbuka, seorang wanita berambut pirang berbaju gaun istana ungu muda masuk. Cantik mempesona, bertubuh jenjang, pipinya kemerahan samar dengan senyum anggun nan menggoda.
“Edward, kamu belum tidur?” Wanita cantik dan mempesona ini menunjukkan ekspresi terkejut saat melihat anak kecil itu berlari ke arahnya.
Anak kecil itu tersipu malu sambil tersenyum, "Ibu, aku ingin menunggumu pulang..."
Tiba-tiba, ucapannya terhenti. Matanya menatap lelaki tinggi berdiri di belakang sang ibu. Fitur wajahnya tajam bagai diukir pahat, tampan namun kejam seperti gunung es abadi, dengan rambut pendek keperakan yang sangat unik.
Pria itu tiba-tiba menunjukkan senyum lembut bagai musim semi mencairkan salju. Ia memegang tangan wanita berambut pirang itu dan menciumnya dengan anggun, "Merupakan kehormatan bisa berkenalan denganmu. Semoga mimpi indah menyertaimu malam ini."
"Aku juga senang berkenalan, Viscount." Wanita pirang itu membalas senyum sambil menyaksikan pria berbaju resmi itu pergi.
"...Ibu, siapa dia?" Edward kecil tak mengerti mengapa ia merasa agak tidak suka pada pria tadi.
“Beliau adalah seorang Viscount asing yang kukenal di pesta dansa hari ini, marga Carneldia.” Wanita berambut pirang itu berusaha terdengar biasa-biasa saja, namun sudut bibirnya tak kuasa terangkat. Tiba-tiba wajahnya langsung berubah serius, “Edward, sekarang sudah hampir pukul dua belas. Kamu melebihi waktu tidur normal selama dua jam! Di mana Eidelin? Aku harus menanyakan mengapa dia mengizinkanmu menungguku! Kamu adalah darah keturunan langsung terakhir keluarga ini, jangan terlalu manja.”
“A...Aku menyelinap keluar dari kamar... Ini bukan salah Eidelin...” Anak kecil itu membuat ekspresi memelas. Dia tahu ibunya hanya sekadar memberi pelajaran lewat kata-kata.
……
“Tuan Muda, mungkin Anda akan segera memiliki ayah baru.” Seorang pelayan perempuan berbisik kepada Edward yang sudah bertambah tinggi.
Edward yang masih belia menunjukkan ekspresi suram dengan kegelisahan yang menguar. Dalam dua tahun terakhir, sang ibu semakin dekat dengan Viscount Carlondia itu, seolah ada kecenderungan untuk bersatu. Dirinya semakin jarang mendapat kasih sayang ibu, waktu untuk mengobrol dan bermain bersama pun menyusut. Benar-benar pria terkutuk!
"Meski setelah Tuan dipanggil Tuhan, Nyonya telah berjuang keras menopang keluarga ini, dan pantas mendapat restu dalam mencari kebahagiaannya," bisik pelayan setia itu, "Tapi ingatlah Tuan Muda, Andalah pewaris tunggal gelar bangsawan dan warisan ini. Jangan biarkan Viscount Carlondia menggerogoti harta keluarga sedikit demi sedikit."
Dengan spontan Edward berseru: "Dia mendekati ibu hanya untuk harta dan gelar? Tidak boleh! Aku harus menghentikannya!"
"Setelah berkata, bocah ini langsung berlari deng deng deng menuju aula, meninggalkan pelayan perempuan yang tertegun seperti patung. Aku, aku hanya mengingatkanmu untuk berhati-hati, bukan bermaksud begitu."
"Hiks, Ibu, aku salah! Seharusnya aku tidak bersikap tidak sopan pada Viscount!" Tak lama kemudian, teriak tangis Edward terdengar dari ruang tamu. Dia ditelungkupkan di sofa oleh ibunya dan dipukul pantatnya dengan keras, menangis tersedu-sedu.
Wanita berambut pirang itu mengeluarkan suara "Hmph!" lalu berkata pada Viscount Carlondia yang dingin bagaikan gunung es: "Maaf, aku belum mengajarkan tata krama yang baik pada anak."
"Tidak apa-apa. Anak-anak seusianya memang biasanya nakal seperti ini," ujar Viscount Carlondia dengan sorot mata lembut.
"Edward, cepat minta maaf pada Viscount!" perintah wanita berambut pirang itu.
Edward mengucapkan permintaan maaf sambil tersedu, lalu saat ibunya lengah, dia membuat ekspresi garang dan berbisik sangat pelit: "Aku takkan membiarkanmu merebut Ibu!"
Viscount Carlondia tetap tanpa ekspresi, seolah mengawasi kucing kecil yang bergerak-gerak seperti cakar tapi sama sekali tidak menggentarkan.
……
"Mulai sekarang kau harus memanggil Viscount sebagai Ayah," ucap wanita pirang itu agak malu kepada Edward.
Edward menyembulkan bibir, berusaha keras menahan ekspresinya: "Ya, Ibu."
Viscount Carlondia di seberang meja makan memotong steak berdarah, berkata khidmat layak seorang ayah sejati: "Pelatih ksatriamu saat ini tidak memadai. Besok aku sendiri yang akan melatihmu."
"...Aku pasti akan berusaha keras." Edward diam-diam menggenggam tinju, bersumpah akan membuat pria sialan ini marah selama pelatihan.
……
Blek! Edward terhempas ke tanah, menangis kesakitan.
“Kalau menangis bisa berguna, untuk apa belajar ilmu pedang?” Viscount Carlondia berkata tanpa sedikitpun belas kasihan, “Jadi kau hanya anak kecil, bukan laki-laki sejati. Laki-laki sejati takkan menangis meski darah mengalir.”
Edward bangkit berdiri, matanya menyala-nyala mengawasi pria itu dengan garang.
Viscount Carlondia mengayunkan pedang kayunya: “Bukankah kau membenciku? Ingin mengusirku? Kalau begitu gunakan pedang ksatria di tanganmu untuk melakukannya! Atau kau pengecut yang suka gagal?”
Edward meneriakkan pekik perang, mengangkat pedang kayu dan menyerang Viscount Carlondia. Berkali-kali ia terjatuh, tapi selalu bangkit kembali.
“Aku takkan berkompromi denganmu!” tekadnya membara dalam hati.
……
Di alun-alun gereja, sebuah lambang salib menjulang. Seorang wanita berambut pirang yang cantik dan mempesona terikat di atasnya.
"Ibu! Ibu!" Edward berjuang ke arah lambang salib di bawah kendali beberapa pelayan ksatria, wajahnya basah oleh air mata dan dipenuhi kepanikan.
Uskup memegang Lambang Suci Kebenaran, membuat tanda salib di dadanya sambil menunjuk wanita pirang itu: "Sebagai bangsawan, dia telah terjerumus dalam kegelapan, menjadi budak vampir, berusaha mengubah domba tak berdosa Tuhan menjadi persediaan makanan penghisap darah."
Wanita pirang itu terlihat kehilangan jiwa, menatap kosong ke arah uskup tanpa sepatah kata. Edward berteriak membantah: "Tidak! Tidak! Ibuku tak pernah melukai siapa pun!"
Uskup sama sekali mengabaikan Edward dan melanjutkan: "Kau jahat, kau najis. Tapi Tuhan Maha Pengasih, akan memberikan anugerah pemurnian sebagai jalan menuju Kerajaan Surga. Aku bertanya: Apakah kau mau bertobat? Apakah kau ingin kembali merangkak di bawah kaki Tuhan?"
“Jika, jika aku bertobat, bisakah Edward mendapatkan pengampunan khusus? Dia hanya anak kecil yang tidak mengerti apa-apa!” Wanita berambut pirang itu tiba-tiba hidup kembali seolah mendapat kekuatan.
Uskup membuat tanda salib: "Tuhan Maha Adil dan Tegas. Selama Edward bisa bertahan hidup dalam hukuman bakar, itu membuktikan dia tak bersalah."
Wanita itu tertawa pahit dengan suara melengking: "Hahaha! Maka kuberi jawaban: Lebih baik terus mencari di Neraka daripada kehilangan jati diri di Surga!"
"Pendosa, pergilah bertobat di Neraka." Dengan nada dingin, Uskup mengarahkan cahaya suci yang langsung membakar tiang hukuman.
"Tidak!!" Edward menjerit histeris. Suara menyayat hatinya seolah menembus kobaran api, masih bisa melihat sepasang mata penuh kasih yang memandangnya.
Entah berapa lama, Edward menangis hingga pingsan. Tiba-tiba, suara misterius terdengar di telinganya: "Maaf, aku terlambat."
Edward berusaha membuka matanya, melihat lelaki yang menyebabkan ibunya dibakar hingga mati. Dia menggigit giginya: "Semua salahmu! Jika bukan karenamu, bagaimana mungkin ibu bisa diikat di tiang hukuman bakar!"
"Maaf, aku terlambat." Ekspresi Viscount Carlondia muram, bagaikan gunung es yang mengalami longsoran salju.
"Terlambat?" Edward yang melampaui usianya menyeringai dingin, "Alasan yang bagus!"
Kemudian dia mengucapkan kata demi kata: "Kaulah pembunuh ibu!"
Viscount Carlondia menghela napas: "Apapun yang kau katakan, aku akan merawatmu dengan baik."
Dia menunduk, mendekat ke leher Edward. Empat giginya tiba-tiba memanjang: "Mulai sekarang kau adalah Viscount Carlondia."
Rasa perih menyengat dari lehernya. Ekspresi Edward tetap tumpul, sorot matanya masih penuh percikan kebencian.
※※※※
Bulan perak yang dingin dan mistis menggantung tinggi di langit, menciptakan riak keperakan di permukaan danau yang mulus bagai cermin.
Viscount Carlondia berambut pirang bermata emas berdiri tenang di depan jendela lantai sambil memegang gelas anggur merah, menyaksikan pemandangan indah ini.
"Tuan, kembali mengenang masa lalu?" Sang butler Nide masuk dari luar.
Viscount Carlondia mengangguk tanpa ekspresi: "Kebencian takkan pernah terlupakan."
Sang butler bingung mencari kata-kata penghibur, akhirnya mengambil pendekatan praktis: "Tuan, kekuatan Tuan baru setingkat Ksatria Besar, sedangkan almarhum Viscount hampir mencapai level Ksatria Langit tingkat delapan."
"Jika bahkan maut tak kutakuti, apa lagi yang perlu ditakuti?" Viscount Carlondia yang tampan maskulin tiba-tiba tersenyum, "Lelaki tak bertanggung jawab seperti itu pasti akan menemui ajalnya. Aku juga akan berlatih keras, berharap segera menjadi Ksatria Langit."
"Tapi Tuan adalah keturunannya. Menghadapinya, keinginan untuk melawan pun sirna." Nide kembali mengingatkan.
Viscount Carlondia menghela napas, tidak melanjutkan topik ini lagi. Ia berbalik memasuki sebuah ruang rahasia, menatap sosok pria tampan berambut perak dengan mata perak di lukisan itu: "Kakek, meski tak sering bertemu, aku bisa merasakan kasih sayangmu. Kuharap bisa mengikutimu dan mendapat bimbinganmu..."
Setelah "berdoa", tiba-tiba sorot mata Viscount Carlondia menajam. Di atas meja muncul sebuah gelas anggur berisi cairan merah menyala yang kental, di dalamnya berenang simbol-simbol ilusif bagai halusinasi.
"Ini?" ujarnya dengan bingung.
Sang butler Nird membelalakkan mata: "Ini... ini sumber darah asli vampir generasi pertama! Apakah... apakah almarhum Pangeran pernah datang?"
"Kakek?" Viscount Carlondia menengok ke sekeliling namun tak menemukan apapun. Tapi segera ia tertawa lebar, "Dengan mengasimilasi darah ini, aku takkan takluk lagi pada penindasan darah dari pria itu!"
Sang butler menghela napas: "Hobi dan kebiasaan almarhum Pangeran tidak berubah sedikit pun, bagaimana tragedi semacam ini bisa dianggap menarik?"
"Kamorechuk, apakah kamu memperhatikan sesuatu tadi?" tanya Viscount Carlondia.
Dengungan berat bergema, seakan mengguncang seluruh kastil: "Tidak, hanya hidungku... hidungku agak gatal, Hachoo!"
Suara bersin keras menggema, kaca jendela berderak-derak tak beraturan.
Viscount Carlondia terdiam sejenak, lalu berkata setengah bergurau: "Kesan paling mendalam yang kudapat dari kakek adalah kecintaannya mengamati segala sesuatu secara diam-diam, seperti seorang voyeur."
Hachoo!
Tiba-tiba terdengar suara bersin dari pegunungan di kejauhan.
Epilog Karakter 4: Helen
Kota Langit, Menara Sihir Alin.
Berkeley telah terbiasa dengan bangunan megah ini, tak lagi terkesima pada bentuk luarnya yang berbeda dari menara sihir lain, hanya menyisakan rasa suka dan apresiasi yang tulus dari hati.
Selain itu, begitu melihat menara sihir ini, Berkeley merasakan kedamaian dan ketenangan, tak lagi takut atau gentar, tak lagi sering terbangun dari mimpi buruk seperti dulu, khawatir ditemukan Night Watchers dan dikirim ke tiang hukuman bakar.
"Di sini adalah surganya para penyihir..." Berkeley menutup matanya, berucap penuh haru, lalu seolah api membara di hatinya: Akankah dia masih ada di sana hari ini?
Langkahnya dipercepat, melewati aula menara sihir, langsung memasuki Area Satu lapisan pertama yang menyimpan "Perpustakaan Okultisme Umum".
Karena banyak Ahli Sihir Oskur yang terbiasa langsung membaca atau mendalami buku yang dipinjam di perpustakaan agar bisa secepatnya memahami materi apa yang masih kurang, Majelis Sihir membangun "ruang baca" di area kosong Area Satu untuk menyediakan ruang belajar yang tenang bagi para Ahli Sihir Oskur.
Belakangan banyak Ahli Sihir Oskur menemukan lingkungan di sini sangat cocok untuk mempelajari buku-buku yang tidak memerlukan eksperimen, sehingga mereka pun mulai berdatangan untuk belajar.
Berkeley mengeluarkan dua buku berkulit hitam tebal dari tas penyimpanannya, menarik napas dalam-dalam, lalu berpura-pura akan serius mempelajari isinya sambil melangkah pelan memasuki "ruang baca".
Begitu masuk, sorot matanya langsung menuju posisi dekat jendela, berharap bisa melihat siluet cantik di sana.
"Dia benar-benar datang lagi!" Hati Berkeley dipenuhi kejutan yang luar biasa, ekspresinya berseri-seri bagai mulut ember yang tak terbendung.
Sinar matahari dari jendela menyinari seorang gadis remaja berwajah luar biasa cantik. Dengan Fokus dan sikap dingin, fitur wajahnya sempurna nan memesona. Bibir kebiruan justru memancarkan daya tarik aneh, ditambah cahaya redup dari sinar matahari yang membuat seluruh tubuhnya bagai Elf Salju yang tak tergambarkan.
Inilah perempuan tercantik dan paling memikat yang pernah dilihat Berkeley dalam pelariannya melintasi berbagai benua. Hingga sebagian besar minggu ini ia habiskan dengan membuang-buang waktu di "ruang baca", diam-diam menyaksikan gadis ini tanpa bisa melepaskan diri.
"Tidak, tidak boleh begini terus..." gumamannya seolah bertekad untuk serius belajar. "Siapa tahu apakah minggu depan dia masih akan datang ke sini? Sebelumnya jarang muncul. Harus kenalan, jangan sampai kehilangan kesempatan!"
Dengan genderang semangat dalam diri, setelah beberapa puluh detik akhirnya ia menguatkan hati. Mengambil buku, langkahnya mulai mendekati sang gadis.
"Jangan takut, ini cuma perkenalan normal antara teman!"
“Keluarkan keberanianmu saat menghubungi wanita bangsawan di masa lalu!”
Berkeley merasakan gemuruh berbagai niat di otaknya, langkah kaki limbung tak berdaya bagai isi hatinya sendiri.
Gadis remaja itu fokus mengawasi buku-buku di tangannya, sesekali melakukan kalkulasi di naskah analisis, tak menyadari kedekatan Berkeley.
Rambutnya bagai terbuat dari kristal es, transparan dan jernih di bawah sinar matahari, memantulkan cahaya redup berwarna pelangi yang membuat Berkeley silau.
"Wanita sejati yang terhormat, bolehkah aku duduk di sini?" bibir Berkeley terasa kering, suaranya gemetar.
Suara gesekan bulu angsa di atas kertas tak berhenti. Gadis secantik peri itu bahkan tak mengangkat kepala, tetap fokus seperti semula.
"Wanita sejati yang terhormat, bolehkah aku duduk di sini?" Berkeley menahan diri untuk tidak berbalik pergi, bertanya lagi.
Gemerisik halaman buku yang dibalik. Gadis bagai elf itu mengangguk hampir tak terlihat.
Halusinasi? Berkeley berpikir dengan kurang percaya diri, tapi segera dia menyuruh dirinya sendiri, tidak peduli! Selama dia tidak langsung menentang, itu berarti setuju!
Dengan hati-hati dia duduk berseberangan dengan gadis itu, melirik diam-diam. Sekali lagi wajah sempurna yang tak nyata itu membuatnya terkejut, sambil memperhatikan dua lencana di jubah sihirnya: satu lencana Ahli Sihir Oskur berbintang empat, dan satu Lencana Penyihir Gelap dengan dua cincin hitam.
Separah itu sudah jadi Ahli Sihir Oskur tingkat menengah? Berkeley terkesima sebentar, lalu otaknya mulai beroperasi keras, berusaha memulai percakapan.
"Wanita sejati, saya sudah beberapa tahun di Dewan Sihir tapi belum pernah melihat orang dengan level okultisme jauh melebihi level sihir seperti ini. Anda benar-benar seorang bakat Okultisme." Berkeley berusaha membuat senyumnya tampak elegan dan tampan.
Gadis itu terus menulis dengan bulu angsa, bahkan tidak mendengus sekalipun.
Senyum Berkeley membeku di wajah. Apakah dia tidak suka topik ini?
Lalu, dia berkata lagi: "Nyonya, sepertinya Anda memiliki garis keturunan elf salju? Ini sangat langka, saya ingat hanya ada di wilayah Utara."
Begitu kata-katanya selesai, tangan kiri gadis itu tiba-tiba terangkat, membuat Berkeley sangat gembira - akhirnya ada respons!
Alis tipis gadis itu berkerut, tangan kirinya menopang pipi, jari telunjuk tanpa sadar menyentuh bibirnya. Tapi matanya tetap tak menatap Berkeley, tak sepatah kata pun terucap.
Berkeley pertama terpesona oleh pemandangan indah ini, kemudian dilanda kekecewaan besar. Kegagalan seperti duri menusuk-nusuk jiwanya.
Tidak! Tidak boleh menyerah begitu saja!
Jika dilewatkan tak akan ada kesempatan lagi. Siapa yang tahu asalnya dari Utara? Siapa yang tahu kapan dia akan kembali!
Beberapa menit kemudian, Berkeley kembali mengumpulkan keberanian. Senyum kakunya mencair: "Nyonya, fokus Anda mengagumkan. Saya penasaran sedang mempelajari apa?"
Begitu kata-katanya terucap, dia langsung ingin menampar dirinya sendiri karena melihat buku-buku di depan gadis itu penuh dengan simbol matematika yang familiar, tidak sulit menebak jenis buku apa ini.
Jari telunjuk tangan kiri gadis itu seolah telah menyentuh bibirnya, sorot matanya terpaku pada naskah analisis, bulu angsa di tangan kanannya terus menari-nari seakan seluruh alam semesta hanya menyisakan dirinya bersama buku-buku, kertas, dan tinta di hadapannya, sama sekali tak mengakui keberadaan orang lain meski duduk berseberangan.
Berkeley kembali diam beberapa menit, hati yang panas membara tak kunjung padam, akhirnya mengumpulkan nyali lagi: "Wanita sejati, dari yang kulihat Anda sedang mempelajari Kalkulus. Jika ada kesulitan, mari kita diskusikan bersama. Meski baru beberapa tahun di Dewan Sihir, aku cukup menguasai Kalkulus yang berkaitan dengan solusi model sihir ini..."
Dia berusaha mendekati dari aspek yang paling mendapat perhatian sang gadis.
Sebelum Berkeley selesai bicara, gadis itu tiba-tiba mengangkat kepala. Sepasang mata semi-transparan seperti kristal es menatapnya dengan penuh keseriusan, membuat hatinya gemetar dan pikirannya kacau tak terkendali.
"Bagaimana seharusnya limit didefinisikan secara ketat untuk menghindari masalah sebelumnya? Bagaimana dengan kontinuitas? Derivatif? Infinitesimal? Bagaimana mereka harus didefinisikan secara konsisten dalam matematika..." Suara gadis itu dingin menyegarkan bagai salju musim dingin yang berjatuhan, dipenuhi nada keseriusan.
Berkeley tertegun seperti patung, mulutnya menganga separuh. Pertanyaan-pertanyaan macam apa ini? Apa sebenarnya yang sedang dipelajarinya? Ini... ini benar-benar mengerikan!
Otaknya terasa seperti dihantam Badai Semangat sihir legenda, kosong melompong tak menemukan sedikit pun barang. Gadis itu terus menatapnya dengan fokus dan keseriusan, memaksanya menjawab tanpa sadar: "Aku... aku belum pernah memikirkan masalah-masalah ini..."
Gadis remaja itu mengeluarkan suara "oh" tanpa sedikit pun cemoohan, hanya kekecewaan samar yang terpancar, lalu kembali menunduk menuliskan niat mereka.
Melihat gadis remaja yang dingin itu bermandikan sinar matahari berkilauan di depannya, Berkeley merasa hatinya terganggu hingga tak ada semangat juang tersisa. Ia adalah Sang Dewi di bidang okultisme, hanya bisa dilihat dari jauh, dikagumi dengan penuh kekaguman, tak bisa didekati.
