Dengan tiga kesempatan melakukan kesalahan, Luo Qi langsung merasa lega. Biasanya dia paling sering mengucapkan 'terima kasih Direktur Jiang', khawatir nanti tanpa sadar langsung terbawa kebiasaan.
Kemampuan menyanyinya sebenarnya cukup, tapi di hadapan bos dia tak ingin tampil.
Sekretaris Ju menonton keramaian tidak ingin masalah besar: "Tidak boleh, aku masih khawatir. Aku akan membuatkan plakat untuk kau pegang."
"Plakat apa?"
"Nanti kau akan tahu."
Sekretaris Ju memanggil pelayan, meminta spidol papan tulis, gunting, dan selembar karton dari tutup kotak bir.
Dia memotong karton menjadi bentuk bet pingpong, lalu menulis dengan aksara besar:
Jangan ucapkan "Terima kasih Direktur Jiang"!
Jangan gunakan kata "Anda"!
Sekretaris Ju menutup spidol, menyodorkan gagang plakat peringatan ke tangan Luo Qi melalui meja, "Dengarkan aku, pegang terus ini, pasti tidak akan dihukum menyanyi."
Xiao Jiang paling antusias: "Ini pasti sangat praktis. Kak Luo, malam ini kita harus saling membantu. Setiap kali aku mau bicara, angkat plakatnya untuk mengingatkanku."
Luo Qi mudah diajak bicara: "Tidak masalah."
Sekretaris Ju punya banyak ide: "Peringatan plakat masih kurang. Bagaimana kalian lupa mengangkatnya saat minum-minum? Jika ada yang salah bicara, yang lain harus cepat mengalihkan percakapan dengan suara keras, sampai ucapan salah itu terlupakan."
Xiao Jiang mengangkat kedua tangan setuju, "Ini harus dilakukan, tidak bisa berjuang sendirian, kita harus perhatikan strategi dan taktik. Kakak Luo, kemungkinanmu salah bicara paling besar, tenang saja, aku akan memberimu kamuflase. Di staf sekretariat, suara kulah yang paling keras."
Luo Qi tersenyum, "Baik. Besok aku traktir kalian minum kopi."
Dia menggunakan plakat pemberitahuan sebagai kipas, mengipasi diri sendiri beberapa kali.
Beberapa helai rambut tertiup angin.
Jiang Sishun bersandar di sandaran kursi, malas-malasan makan permen, menyaksikan sekelompok 'aktor' ini berakting dengan gigih. Saat plakat itu selesai dibuat, dia bahkan memotretnya dengan telepon genggam.
Jiang Shenghe duduk diam sambil melepas kancing manset, mendengar mereka berdiskusi keras-keras tentang cara menyontek secara massal.
Setelah melepas kancing manset, dia langsung menaruhnya di meja, lalu melipat lengan bajunya ke atas.
Mereka masih terang-terangan berdebat tentang cara menipunya.
Jiang Shenghe menyandarkan diri di tepi meja, minum dari gelas, "Kalau mau berdiskusi nyontek, suaranya kecil sedikit. Seperti takut aku tidak dengar."
Mereka tertawa terbahak-bahak, tawa Luo Qi yang paling pelan. Karena posisinya paling dekat dengan bos, harus menahan diri sedikit.
Di sela canda, pelayan menghidangkan semua makanan.
Menu yang diatur Xiao Jiang mencakup masakan Barat dan tradisional, menjaga preferensi setiap orang.
Jiang Shenghe memiringkan kepala sedikit, memandang pipi Luo Qi: "Aku menggunakan sumpit dengan tangan kiri, mudah menyentuh sumpitmu. Maukah kau bertukar tempat dengan Jiang Sishun?"
Jika harus memilih antara duduk di sebelahnya atau berhadapan dengannya, Luo Qi tanpa ragu memilih skenario pertama - setidaknya bisa menghindari saling tatap.
"Tak perlu, terima kasih..."
Baru saja kata "terima kasih" mengudara, Jiang Shenghe mengangkat tangan menunjuk plakat di genggaman Luo Qi.
Luo Qi tersenyum, menyangga dahinya dengan tangan. Andai bos tak segera memberi isyarat untuk mengingatkan, kata "Terima kasih Direktur Jiang" hampir terucap.
Sejak putus, hari inilah ia paling banyak tersenyum.
Di dalam hatinya akhirnya tak lagi sesak.
“Pelayan mengantar dua teko anggur, Jiang Shenghe bangkit berdiri, memberi isyarat pada pelayan untuk menyerahkan teko anggur itu. Setiap pengunjung warung anggur ini wajib mencicipi minuman fermentasi khas mereka.”
Ia mengambil teko anggur, mendekati sisi Sekretaris Ju, menuangkan anggur untuknya. "Gelas pertama, selamat atas promosi Direktur Ju. Terima kasih atas dedikasi penuh selama ini di kantor direktur."
Sekretaris Ju masih terkejut sekaligus tersanjung, mengangkat gelas dengan kedua tangan. "Thank you. Ini tugas wajib saya."
Setelah itu dia menjelaskan, "Saya tidak melanggar aturan, kan? Empat kata itu tidak saya ucapkan."
Yang lain serempak tertawa terbahak-bahak.
Xiao Jiang mengacungkan jempol pada gurunya.
Jiang Shenghe menuangkan anggur satu per satu untuk semua orang, kecuali Luo Qi.
Semua meniru Sekretaris Ju, mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris untuk berhasil mengelak dari aturan.
Jiang Shenghe berkata: "Menjelang akhir tahun, kami akan meminta kalian bekerja keras lagi."
"Direktur Jiang terlalu sopan. Itu kewajiban kami."
“Kalian boleh minum dengan siapa saja, tak perlu ikuti skenario jamuan makan malam itu.” Jiang Shenghe kembali duduk di kursi singgasananya, berkata pada Luo Qi: “Kau minum teh saja.”
Luo Qi tak ingin membuat pengecualian, “Minum setengah gelas tak masalah.”
Jiang Shenghe tak kuasa menolaknya, menuangkan setengah gelas kecil untuknya. Ia mengangkat gelas anggurnya sendiri untuk menghormatinya, malam ini dia menuangkan anggur untuk semua orang tapi hanya memberi hormat padanya seorang, “Semoga kerja sama kita menyenangkan.”
Luo Qi menghabiskan setengah gelas anggur itu, mengucapkan terima kasih dengan logat daerah Suzhou.
Jiang Shenghe menyukainya saat dia berbicara dengan dialek lokal, apapun yang diucapkan, tak peduli apakah dia paham atau tidak.
Acara makan baru separuh jalan, meja terbagi menjadi dua kelompok, terlihat seperti meja gabungan.
Luo Qi akrab dengan Jiang Sishun, keduanya punya topik obrolan. Jiang Shenghe sesekali menyetujui beberapa kalimat, ketiganya membentuk satu kelompok.
Sekretaris Ju bergabung dengan kelompok lain, bahkan kursinya dipindahkan ke sana. Enam orang mengambil setumpuk kartu poker dan bermain permainan, yang kalah harus minum anggur.
Tawa riang tak henti-hentinya.
Jiang Shenghe menyuruh pelayan mengantar teko anggur terbaik untuk permainan mereka, berpesan, "Jangan minum terlalu banyak."
Xiao Jiang memberanikan diri bertanya: "Direktur Jiang, mau main dua ronde?"
Jiang Sishun tak ketinggalan mengeluh: "Direktur Jiang ini paling tidak asyik, suka merusak suasana. Biasanya makan bareng aku, nggak pernah mau ikut permainan."
Jiang Shenghe mengulurkan tangan, "Kasih kartunya ke sini." Bertanya: "Siapa yang mau lawan? Kalau aku kalah aku minum sendiri, kalau kalian kalah, Jiang Sishun yang minum."
Mereka berteriak riuh: "Boleh boleh!"
Jiang Sishun: "......"
Dia menggigit rokok di mulutnya, hendak pergi merokok. Mendengar tantangan Jiang Shenghe, semangat kompetitifnya bangkit. Melepas rokok, memutuskan turun tangan langsung, "Aku yang lawan. Kamu kocok dulu kartunya."
Tangannya menggoyang-goyangkan rokok, membawa pemantik api keluar.
Xiao Jiang mengantarkan kartu, yang lain berdiri berpisah di belakang kursi bos dan Jiang Sishun menyaksikan keramaian.
Jiang Shenghe meletakkan sumpit, menerima kartu.
Di atas meja penuh makanan, Luo Qi membantu mengumpulkannya ke sisi dirinya, membawa piring makan bos ke sini juga, mengosongkan area yang cukup luas.
Sekretaris Ju mengambil taplak meja, melipatnya beberapa kali, menjadi alas di meja untuk meletakkan kartu mereka.
Luo Qi mengeluarkan tisu dari tasnya, membentangkannya di atas meja, meletakkan kancing manset hitam bos di atasnya agar mencolok dan tidak tertindih piring.
Pandangan samping Jiang Shenghe menangkap setiap gerak-geriknya.
Tak lama kemudian, Jiang Sishun kembali.
Jiang Shenghe selesai mengocok kartu, permainan pun dimulai.
Hampir seimbang, Jiang Sishun kalah dua kali berturut-turut, berikutnya Jiang Shenghe kalah tiga kali, setelah itu giliran Jiang Sishun yang berada di posisi inferior.
Mereka bermain kartu dalam keheningan, yang kalah langsung menenggak segelas anggur habis, Xiao Jiang bertugas menuangkannya.
Pelayan mengantarkan iga kambing panggang yang sengaja dipesan Xiao Jiang untuk Luo Qi. Saat di Kota Hai, bos memesan iga kambing, dia menyimpulkan itu adalah makanan favorit Luo Qi.
Mereka tidak formalitas, langsung mengambil iga kambing dan berdiri sambil mengunyah, melihat kartu adalah hal terpenting.
Total dimainkan sembilan putaran, Jiang Shenghe menang lima kali kalah empat. Putaran terakhir dia kalah lagi.
Jika main sekali lagi, mungkin bisa imbang.
Jiang Sishun melempar kartunya, "Lain kali kita lanjutkan saat kumpul-kumpul lagi."
Jiang Shenghe memberikan kartunya ke Xiao Jiang, "Kalian lanjutkan saja."
Saat berbalik menyerahkan kartu, gerakannya agak besar tanpa sengaja menyenggol sumpit. Dia sendiri tak menyadari.
Luo Qi memunguti sumpit bos, menaruhnya di lemari makan sebelah, lalu mengganti dengan sumpit bersih.
Jiang Shenghe menoleh, Luo Qi tak ada di sampingnya. Matanya mencari-carinya. Perempuan itu berdiri di depan lemari makan, memegang sumpit tak jelas sedang apa.
Dengan licin dia menarik kembali pandangannya.
Tadi bermain kartu dengan Jiang Sishun, dia meneguk empat gelas anggur berturut-turut tanpa menyentuh makanan. Di piring sebelah ada sepasang sumpit. Piring kosong ada dua-tiga, tapi sumpit hanya ini satu-satunya. Jiang Shenghe secara alami mengira itu sumpitnya, langsung mengambilnya dan menjepit sayuran ke mulut.
Luo Qi yang baru mengganti sumpit kembali, sedang menggigit tulang kambing. Melihat bos ternyata makan sayuran, sementara sumpitnya sendiri menghilang, bukannya menggigit daging malah mengenai ujung lidah.
Sakit yang menusuk jantung.
Untunglah, sinar temaram membuat yang lain tak ada yang memperhatikan sumpit bos terjatuh.
Sudah begini, dia hanya bisa mengubur rahasia ini dalam-dalam.
Di ujung meja, Xiao Jiang dan Sekretaris Ju mulai bermain kartu lagi.
Luo Qi membawa sumpit baru langsung menuju ke sana, berdiri di belakang Sekretaris Ju seolah tak ada yang terjadi sambil melihat permainan.
Setelah mengamati beberapa menit, kembali ke tempat duduk dengan wajah tenang.
Jiang Sishun mengambil handuk di samping tangannya, dengan tenang mengeringkan tangan. Ia tersenyum kecut sendiri, lalu menaruh kembali handuk dan menjepit sepotong iga kambing untuk dikunyah. Dengan satu tangan, ia membuka ponsel dan mengetik: 【Kau pakai sumpit Luo Qi.】
Ponsel Jiang Shenghe bergetar. Setelah membaca pesan, ia menatap ke seberang meja. Jiang Sishun sedang memeriksa iga kambing di tangannya, tidak memandangnya.
Pantas saja Luo Qi pergi melihat permainan kartu. Setelah kembali, dia juga tetap sunyi.
Rupanya dia kesal karena hal ini.
Dia membalas Jiang Sishun: 【Tak apa.】 Hanya saja tak bisa memberi tahu Luo Qi bahwa dia tak keberatan.
Keluar dari obrolan, Jiang Shenghe sekadar menaruh ponselnya di atas meja makan.
Tanpa sengaja, Luo Qi melirik layarnya. Latar belakang layar kunci adalah Lapangan Zaman, belum sempat melihat keseluruhan gambar, layar ponsel sudah gelap.
Selain insiden sumpit itu, acara makan malam ini berlangsung sangat menyenangkan.
Di minggu terakhir bulan Oktober, Luo Qi kembali naik kereta cepat menuju Suzhou.
Bos tidak memberikan arahan berapa hari perjalanan dinas ini, dia meminta bantuan Luo Yu untuk merawat tunas mentimun kecilnya di kontrakan ketika ada waktu.
Kemarin, Direktur Jiang pergi ke luar negeri bersama Jiang Sishun, belum pasti kapan kembali.
Ada perasaan sedih yang tak masuk akal.
Luo Qi memotret beberapa gambar di luar jendela mobil, membalik-balik album foto hingga menemukan gambar rumah minum kecil itu.
‘Kau datang, aku masih di sini’.
Dia datang, tak tahu siapa yang menunggu.
【Kak, kamu pulang?】
Luo Yu bertanya padanya.
【Pulang, hotel cuma lima ratus meter dari rumah. Tidak pulang tidak baik. Aku ingin lihat bagaimana ekspresi Ayah dan Ibu setelah kusakiti ()】
Luo Yu: 【Apapun yang Paman Kedua dan Bibi Kedua katakan, jangan dipikirkan. Orang tua memang begitu, suka menggunakan pengalaman orang lain untuk menasehati.】
【Kak, nanti saat suasana hatimu membaik, akan kuperkenalkan teman baru padamu ()()()】
Luo Qi: 【Klienmu yang itu lagi?】
Luo Yu mengetik serangkaian hahaha, mengaburkan fokus: 【Ada seorang teman yang cukup baik, ingin kuperkenalkan padamu. Kira-kira kau akan berkembangan jangka panjang di Beijing, setelah proyek selesai aku tetap kembali ke Shanghai. Aku tidak tenang membiarkanmu sendirian, nanti siapa yang akan merawat si Kecilmu? Tambah teman berarti tambah jalan. Oh ya, dia juga orang Suzhou, aku bisa nyambung bicara dengannya berkat logat daerah Suzhou.】
【Sudah dulu, kepemimpinan memanggilku. Tenang, aku akan merawat si Mentimun Kecilmu dengan baik.】
Sesampainya di Suzhou, Jiang Shenghe mengajak Lu Baisheng, malam hari tetap membiarkan mereka menyusun jadwal sendiri.
Seperti biasa, dia sendiri yang mengendarai mobilnya.
Luo Qi sudah membuka pintu mobil bisnis, tiba-tiba teringat sesuatu, menoleh menghampiri Jiang Shenghe, "Direktur Jiang."
Sejak malam itu di kedai minuman saat dia menggunakan sumpitnya, kini dia tidak bisa menatapnya langsung.
Mobil Jiang Shenghe perlahan menjauh, dari kaca spion terlihat Luo Qi mendekatinya, dia menginjak rem, membuka jendela, "Ada apa?"
“Ini saya lupa berikan kepada Anda.”
Tanpa kacamata, penglihatannya tidak jelas saat mengemudi malam hari. Pernah sekali dia mengatakannya, dan Luo Qi selalu mengingatnya. Meski di mobil ini sudah ada kacamata cadangan, Jiang Shenghe tetap menerimanya.
Mengeluarkan kacamata dan memakainya, dari kaca spion dia mengawasi Luo Qi masuk ke mobil bisnis dan menutup pintu, barulah dia menginjak gas pergi.
Sesampai di hotel, setelah menyelesaikan prosedur check-in dan menaruh koper di kamar, hari belum gelap. Luo Qi memutuskan pulang ke rumah.
Membeli setangkai kecil bunga matahari untuk ibunya, di atas jembatan batu kenangan masa lalu tumpah tak terbendung, dia berusaha menekannya.
Dari Juni hingga Oktober, benda masih sama namun manusia sudah berbeda.
Di mulut gang, bertemu dengan Nenek Qian, tetangganya.
Nenek Qian tahu dia telah membatalkan pertunangan. Melihatnya, “Sayang pulang ya.” Nenek berbalik, “Kebetulan ya, hari ini aku bikin yogurt. Ambilkan satu kotak untukmu.”
“Terima kasih, Nek.”
“Nenek Qian memberikan yogurt padanya, memilih kotak terbesar di kulkas, 'Ayahmu sedang perjalanan dinas, ibumu mungkin belum pulang kerja.'”
“Bagaimana kabar mereka belakangan ini？”
“‘Baik-baik saja.’ Nenek Qian tak memberitahukan masalah rumit itu, ‘Kau mengurus, makan lebih banyak.’”
Mengenai dirinya dan Pei Shixiao, Nenek Qian walau penasaran, tak mengajukan satu pertanyaan pun.
Luo Qi membuka pintu rumah, mengambil vas bunga, mengisinya air lalu menancapkan bunga matahari.
Di balkon ibu menjemur pakaian, satu per satu dilipatnya rapi, dimasukkan ke lemari batu di kamar ibu.
Baru membuka yogurt pemberian Nenek Qian, di pintu terdengar suara obrolan.
“Apa Qiqi sudah pulang？” Suara Tante Besar.
Mereka semua tahu Luo Zhiqiu sedang perjalanan dinas di Shanghai, lampu rumah menyala, kecuali Luo Qi tak mungkin ada orang lain.
Jiang Yifang lebih memilih anak perempuannya tidak pulang. Siapa sangka Tante Besar datang hari ini. Kini Tante Besar sesekali menjenguknya, setiap kali selalu dengan berbagai tuduhan - menuduh mereka tidak bisa mendidik anak, hanya tahu memanjakan.
Sesekali menyelipkan dua patah kata tentang utang 10 juta dolar AS yang belum dikembalikan ke keluarga mereka.
Pintu terbuka. Luo Qi sedang makan yogurt, tidak mengangkat kepala sama sekali.
"Wah, ternyata benar Qiqi." Tante Besar teringat kejadian terakhir kali teleponnya ditutup sepihak oleh junior, perutnya penuh kejengkelan yang tak tersalurkan.
Jiang Yifang melihat putrinya yang mengurus begitu banyak, air matanya hampir tumpah. Syukurlah, sang putri tidak tahu hari-hari seperti apa yang dialami keluarga selama sebulan ini.
Tante Besar duduk di sofa. "Dengar dari Luo Yu, kamu menyewa rumah di Beijing, berangkat-pulang kerja memakan waktu lebih dari dua jam. Kenapa kamu menyiksa diri sendiri? Hari baik tidak kamu nikmati, malah sengaja hidup susah."
"Kamu bodoh ya? Syarat-syarat Shi Xiao begitu baik, nantinya seluruh Keluarga Pei akan jadi miliknya. Pegang erat-erat! Ngapain kasih murah ke selingkuhan itu?"
Luo Qi menutup yogurt, mengambil yogurt dan tasnya, melirik Bibi Besar, "Kalau Anda benar-benar tidak ada kerjaan, bersihkan saja rumah kami."
'Bang!' Suara pintu dibanting hingga bergetar.
Bibi Besar hampir kena serangan jantung, menepuk-nepuk dadanya, "Lihatlah anak perempuan yang kau besarkan ini, sudah tidak bisa ditegur lagi. Aku belum pernah melihat anak yang...!" (diam sejenak) "Tidak tahu terima kasih!"
Beberapa kata terakhir ditahannya berulang kali, tidak diucapkan, "Tidak tahu diri!"
Jiang Yifang berpikir dalam hati, bantingan pintu putrinya memang pantas.
Dia dan suaminya selamanya tidak akan bisa menjadi 'raja' karena utang. Sejak perusahaan bangkrut, semua yang pernah membantu mereka rela mereka balas seratus kali lipat.
Jika dulu dia dan suaminya jujur pada putri mereka, memahami dan mendukung putusnya hubungan Luo Qi dengan Pei Shixiao, demi orang tua pun putrinya tidak akan memblokir keluarga besar, apalagi membanting pintu.
Luo Qi menuruni jembatan batu, menarik napas panjang, membuka yogurt sambil berjalan.
“Berjalan tanpa tujuan menyusuri jalan kecil, tanpa sadar ternyata sampai di gerbang sekolah lulus ujian kerajaan, masih dengan wajah yang sama seperti dulu, seolah-olah tak ada yang berubah.”
“Bengkel sepeda motor itu berada di gang kecil, Luo Qi berbelok masuk.”
“Orang yang duduk di mobilnya mengira matanya berkunang-kunang, bertanya pada sopir: 'Itu Luo Qi, kan?'”
“Nyonya Pei masih menatap ke luar mobil, bayangan itu semakin menjauh.”
“Sopir pernah melihat Luo Qi, sangat yakin: 'Benar.'”
“Nyonya Pei berpikir sejenak, lalu menelepon putranya.”
“Pei Shixiao berada di luar negeri, di sana pagi hari, dia baru saja bangun tidur.”
“'Ibu, ada hal apa?'”
“'Aku melihat Luo Qi, di ujung gang lulus ujian kerajaan kalian, dia sendirian. Sudah sangat mengurus.'”
“Pei Shixiao sedang membungkuk mengambil gelas, tangannya berhenti. Memoar menggelora datang menerpa, pertama kali dia bertemu Luo Qi adalah setelah ujian universitas berakhir, dia mengajak teman sekelas bermain bola ke sekolah, Luo Qi waktu itu kelas dua SMA, belum liburan musim panas.”
“Di gang itulah, pertama kali dia melihatnya, dengan sekali pemeriksaan, dia sudah masuk ke dalam hatinya.”
Nyonya Pei bertanya, "Cui Peng sudah resign?"
"Tidak tahu. Sudah diserahkan ke sekretaris untuk diurus, aku tidak ikut campur." Cui Peng menghapusnya, dia tidak menambahkannya lagi.
Bukankah dia mau cari jodoh?
Justru bagus, tak perlu lagi menghubungi.
"Lebih baik tidak ikut campur, kedepannya juga jangan. Kalau tidak, aku akan mengurusmu juga." Perselingkuhan sama sekali tak bisa ditoleransi di matanya, ini batas toleransi.
Sekalipun itu anak sendiri, prinsip ini takkan dilanggarnya.
"Ibu, ada perlu apa menelepon?" Pasti bukan sekadar memberitahu bahwa Luo Qi di Suzhou, ibunya tak pernah senggang sampai segitunya.
"Kalau kau masih ingin rujuk dengan Luo Qi, Ibu bisa bantu. Dengan tetap menjaga harga dirinya, memperhatikan perasaannya."
Pei Shixiao tak percaya, "Ibu... Bukankah Ibu tidak menyukai Luo Qi?"
Dugaannya, putus dengan Luo Qi justru sesuai keinginan ibu.
"Sekalipun Ibu tak puas padanya, tak bisa menghalangimu meminta maaf padanya." Sepanjang hidup anaknya, hanya dalam hal Luo Qi inilah dia tak pernah mau berkompromi dengan ibu dan ayahnya.
“Perusahaan Luo Yuli, pekerjaan Luo Yu, perusahaan startup Luo Xin, semua kerabat jauh keluarga Luo, semua masalah rumit itu akan kutenangkan. Aku bahkan bisa mengesampingkan gengsi untuk berbincang dengan ibu Luo Qi.”
Nyonya Pei berbicara terus terang: “Tentu, bukan tanpa syarat. Kau anakku, satu-satunya yang kuperdulikan. Ibu tak ingin menggunakan dalih 'untuk kebaikanmu' sambil diam-diam memanfaatkanmu. Jadi kali ini, mari kita kesampingkan ikatan emosional ibu dan anak, berbicara bisnis sebagai pebisnis, bagaimana?”
Pei Shixiao mengambil gelas, menyesap beberapa teguk. “Syarat apa?”
“Tahun depan ada pergantian dewan direksi. Aku ingin menjadi Chairman. Hak suaramu adalah yang tertinggi selain aku dan ayahmu. Jika kau memilihku, kemenanganku atas ayahmu pasti.”
“......”
“Saat kau sepuluh tahun, ayahmu punya wanita lain. Ingin bercerai tapi tak bisa. Meski punya saham di perusahaan, posisiku belum stabil. Jika bercerai, sekalipun ayahmu mengizinkanku tetap di perusahaan, si selingkuh tak akan menerimaku. Jika dia menikah lagi dan punya anak, berapa banyak warisan keluarga yang akan menjadi bagianmu?”
Karena itulah dia tidak rela.
Dia menahan diri selama 20 tahun, semua orang di perusahaan sudah tidak lagi berjaga-jaga terhadapnya, termasuk suaminya.
"Aku ingin kendali penuh atas grup, menginjak-injak ayahmu sampai hancur. Setelah balas dendamku selesai, beberapa tahun lagi perusahaan ini akan kuberikan padamu."
"Kau masih lebih baik dari ayahmu, setidaknya belum sampai tahap sembilan sapi pun tak bisa menarikmu kembali. Dulu ayahmu memaksakan perceraian demi selingkuhannya, bahkan hak asuhmu pun tak diperjuangkannya. Aku yang tak peduli malu menunda perceraian itu. Kedepan perlakukan Luo Qi dengan baik, perasaan sebaik apapun bisa memudar. Kau harus punya tanggung jawab."
Pei Shixiao masih ingat kejadian saat remaja, ketika rumah berantakan oleh teriakan, suara barang-barang pecah dari kamar orang tuanya, tapi waktu itu ia tak tahu penyebabnya.
Yang ia ingat hanya ibunya yang bermata merah keesokan harinya mengantarkannya sekolah, sementara sang ayah bisa menghilang selama beberapa bulan tanpa kabar.
Dia sama sekali tidak tahu, ibu telah menanggung begitu banyak kesedihan untuknya. Meski orang tua sering bertengkar, ibu tak pernah menjadikannya tempat pelampiasan emosi. Kewajiban mengantar sekolah tetap dilaksanakan, aktivitas bermain di luar juga tetap diadakan. Tak pernah sekalipun menelantarkannya pada pengasuh atau sopir.
"Ibu, maaf."
"Kecuali masalah Cui Peng itu, tak ada alasan bagimu untuk merasa bersalah. Aku yang memilih mengorbankan diri sendiri. Karena kau tak menghalangiku memecat Cui Peng, bisa dibilang kau telah menggunakan prestasi untuk menutupi kesalahan. Bercerita tentang masa lalu bukan untuk membuatmu menyesal, tapi agar kau memahami situasi sebenarnya. Dengan begitu transaksi kita lebih adil. Sebenarnya, andai kubuat kau menyerahkan hak voting tanpa penjelasan, pasti kau tetap tak akan ragu."
Tapi ia tak ingin membohongi anaknya.
"Ibu akan bercerai dengan ayah?"
“Harus bercerai. Aku akan bercerai dengannya di puncak kejayaanku. Ingin kulihat dia merendahkan diri memohonku untuk tidak cerai, baru puas. Anggap saja kau tak tahu rencanaku. Saat waktunya tiba, serahkan hak suaramu padaku. Paling-paling ayahmu masuk rumah sakit karena marah, toh dia tak bisa berbuat apa padamu. Biarkan dia menanggung konsekuensi kesalahan masa lalunya. Meski mati kaget pun dia harus menahan diri. Nanti kau temani dia beberapa hari di rumah sakit, tunjukkan bakti sebagai anak kandung.”
“......”
