Setelah menyantap mi rebusannya, Luo Yu membersihkan mangkuk dan kuali. Sepupu perempuannya masih belum naik. Dari balkon tak terlihat keberadaannya, malas rasanya turun lagi.
Mungkin rekan kerjanya datang berkoordinasi tentang pekerjaan. Masak iya liburan juga tidak tenang, nasibnya sama menyedihkan denganku.
Setengah jam kemudian, akhirnya terdengar suara membuka gembok giok di depan pintu.
Luo Qi bertanya seolah biasa: “Sudah makan?”
“Bahkan hampir tercerna semua.”
“......”
Luo Yu yang sedang berbaring di sofa sambil main ponsel, melirik sepupunya lalu mengernyitkan alis dalam: “Kau gila? Pakai baju sesedikit ini turun? Kenapa tidak bilang, kubawakan jaket!”
Luo Qi sama sekali tidak kedinginan. Setelah dipeluk erat oleh Jiang Shenghe selama lebih dari dua puluh menit, punggungnya sekarang berkeringat.
Dia mengganti sepatu dan menutup pintu, terpaksa berbohong pada sepupunya: "Berkoordinasi pekerjaan di mobil, tidak dingin."
"Tapi turun mobil juga kedinginan, orang-orang sudah pakai sweater, kamu cuma kaos." Luo Yu melempar ponselnya, pergi membuatkan air panas untuk sang sepupu, "Susah payah dapat liburan, jangan sampai flu."
"Tidak haus, aku mau mandi."
"Bukannya sudah mandi tadi?"
"...Dingin, mau berendam air panas."
"Kalau begitu naikkan suhu airnya, biar hawa dinginnya hilang."
Luo Qi masuk ke kamar mandi, mengunci pintu dari dalam, mengipasi diri dengan tangan, helai rambutnya mulai berkeringat.
Usai mandi, pertama kali langsung memeriksa ponsel.
Jiang Shenghe mengirim pesan beberapa menit sebelumnya: 【Aku sudah sampai rumah, tidur cepat ya.】
Dengan satu tangan mengeringkan rambut memakai handuk, tangan lain mengetik balasan: 【Ya. Selamat malam, Direktur Jiang.】
【Selamat malam.】
"Kak, kenapa tersenyum? Ada sesuatu yang seru dibagi dong."
"Aku tersenyum?" Luo Qi keluar dari kotak obrolan.
"Iya. Senyum misterius tadi."
“......”
Luo Qi hanya bisa terus berbohong: "Sedang baca komentar di Weibo."
Luo Yu sesekali menginap di rumah kontrakan, meninggalkan beberapa setel baju di sini. Ia pergi ke kamar ambil piyama dalam untuk mandi.
Barusan ia mengirim kabar bertanya pada He Xu apakah bisa minta cuti kembali ke Suzhou, sepupu perempuan akan menikah.
He Xu sama sekali tak percaya,【Kau yang menikah, aku yang akan setujui cuti.】
Luo Yu hampir memblokirnya karena geram, cuma sebuah ciuman, dia tidak bisa main fair. Sudah berhari-hari berlalu, tetap saja dia tak mau melepaskan.
Tengah malam, Luo Qi ditendang bangun oleh sepupu. Luo Yu masih bergumam dalam tidur:
"Berdasarkan apa!"
"Aku tak mau melanjutkan lagi!"
Luo Qi menepuk-nepuk punggungnya, liburan panjang cuma sehari, wajar dendamnya dalam.
Hari berikutnya, Luo Qi bertanya apakah Luo Yu masih ingat mimpi semalam.
Luo Yu menggelengkan kepala: "Samar-samar tak ada ingatan."
Sebenarnya ingat jelas, ia bermimpi tentang He Xu, bahkan menendangnya dua kali.
Setelah sarapan sederhana, Luo Qi pergi ke stasiun bersama sepupunya. Dia mengemudikan mobilnya sendiri, nanti sepupu yang mengemudikannya kembali.
Di perjalanan, mereka membahas pernikahan sepupu perempuan dari pihak bibi. Luo Yu bertanya, "Apa kita ikut menghadiri?"
Hubungan mereka dengan sepupu itu sebenarnya lumayan. Waktu kecil sering bermain bersama, tapi kemudian karena urusan orang dewasa, tanpa disadari timbul kecanggungan.
Sebenarnya tidak ada konflik besar. Saat bertemu tetap bisa mengobrol biasa, tapi tidak bisa benar-benar dekat.
Luo Qi menjawab, "Ayo. Aku akan menemani ibuku."
Sudah bisa dibayangkan, nanti di hari itu semua tante-tante akan berkumpul. Pasti mereka akan mempermalukanku di depan ibu, membanding-bandingkanku dengan si sepupu.
Luo Yu menghela napas, "Sayang aku tidak bisa pulang. Kalau tidak, pasti kuhajar habis mereka!"
Dia khawatir, "Kalau mereka bertanya tentang pacar palsu di circle friends-mu, gimana? Lebih baik siapkan strategi dari sekarang, jangan sampai bocor."
Luo Qi tersenyum, "Siapa bilang palsu? Ini asli banget."
Luo Yu tidak mengerti mengapa sepupunya tertawa, ikut tersenyum.
Dia memberi saran: "Sebenarnya yang palsu lebih mudah diurus. Circle friends juga tidak menampakkan wajah depan, terserah kamu mau memromosikannya sehebat apa, bahkan bisa dibualkan sebagai konglomerat. Kalau berani, bilang saja itu bosmu, pasti membuat mereka ciut nyali."
“......”
Luo Yu terus cerewet sepanjang jalan, memberikan berbagai ide.
Sampai di stasiun, Luo Qi tidak mengizinkan Luo Yu masuk. Dia mengangkat koper dan menyuruh Luo Yu langsung pergi dengan mobil.
Berbeda dengan perjalanan dinas yang selalu naik kelas bisnis, pulang kali ini dia harus berebut tiket ekonomi.
Luo Qi mendorong koper masuk ke stasiun. Baru beberapa langkah, terdengar teriakan dari belakang: "Luo Qi."
"Kenapa kamu datang?"
"Kemarin sudah bilang akan menjemputmu hari ini."
Jiang Shenghe mengambil koper dari tangannya.
Hari ini lebih dingin dari kemarin, dia menambahkan mantel tebal.
Kacamata hitam yang dipakainya membuat orang lain tak mengenalinya.
Luo Qi memandanginya lebih lama. Baru sadar, penampilannya dengan kacamata hitam ini begitu berkarisma.
Di tengah kerumunan orang, dia menemaninya menunggu pemeriksaan tiket sebelum naik mobil.
Jiang Shenghe mengeluarkan sebuah cincin dari saku mantelnya, kotak cincin diletakkan di mobil.
"Cincinnya sudah siap?" Luo Qi mengira itu cincin pertunangan yang dipesannya.
Jiang Shenghe berkata: "Belum. Bulan depan juga belum tentu siap. Aku langsung membeli satu dulu."
Dia mengambil tangan wanita itu, memasangkan cincin itu di jari tengahnya, "Ini sebagai cincin pertunangan."
Sesuai kesepakatan untuk tidak memberi hadiah mahal sebelum berstatus resmi, satu-satunya yang bisa dia beri adalah cincin - terpaksa memberinya dua.
Luo Qi menatap cincin di jari tengahnya, barang ini juga tidak murah.
Tapi cincin berbeda dengan hadiah lain, dia tidak bisa menolaknya.
Sampai di Suzhou, kedua orang tua sudah menunggu di stasiun, seolah kembali ke masa kuliah dulu saat pulang liburan dari luar negeri dan dijemput orang tua di bandara.
Ayahnya tampak lebih kurus, tapi semangatnya tetap baik, tersenyum melambai padanya.
"Ayah."
Sudah terlalu lama tak bertemu, Luo Zhiqiu memeluk anak perempuannya, "Hari ini Ayah yang masak untukmu."
Luo Qi tersenyum: "Baik."
“Cincin yang kamu beli mirip aslinya, pasti mahal ya. Uangnya Ibu yang ganti, baru saja biaya desain proyek besar Ibu masuk rekening.”
Orang tua tahu "pacar" di circle friends-nya cuma perisai manusia, mengira cincin ini dibeli untuk menangani keluarga.
Luo Qi sengaja bertanya: “Apakah bisa palsu yang mirip asli?”
Jiang Yifang: “Ibu hampir mengira itu asli.” Tahu anaknya tak mungkin punya uang sebanyak itu untuk beli yang asli, jadi tidak terpikir ke arah itu.
Luo Qi tersenyum, kedua tangan memeluk lengan ibu sambil berjalan.
Jiang Yifang mengamati baju tipis yang dikenakan anaknya, “Kedinginan?”
“Lumayanlah. Dua hari lagi suhu naik, tidak pakai yang tebal-tebal.”
Ibu menarik tangannya yang dingin, menggosok-gosokkan untuk menghangatkannya.
Rumah masih seperti dulu, agak sempit namun bersih.
Sarung sofa sudah diganti baru, ditambah beberapa bantal motif burung gereja.
Ranjangnya dialasi seprai baru, selimut baru dijemur hari ini.
Tahun ini Imlek tidak pergi ke keluarga paman, mereka bertiga merayakan sederhana di rumah.
Nenek Qian tetangga memberinya beberapa bakcang isi daging segar yang baru keluar dari tungku, juga memetik beberapa buah delima untuknya.
Setelah makan malam, ia mengambil sebuah kue bulan, berkata pada ibunya: "Ibu, aku pergi ke jembatan batu menikmati bulan, sekaligus menelepon rekan kantor."
"Pergilah."
Jiang Yifang kembali memanggil anak perempuannya: "Kau tunggu sebentar."
Khawatir anak perempuannya kedinginan, ia menyampirkan syal di bahu anaknya, "Ini untuk menahan angin."
Jiang Yifang membereskan dapur, menyalakan TV dan menonton acara malam bersama suaminya.
Sudah bertahun-tahun mereka tidak merasa selega ini.
Luo Qi mengirim pesan ke Jiang Shenghe: 【Selamat Festival Musim Gugur.】
Telepon Jiang Shenghe segera masuk, "Sudah makan?"
"Ya." Ia menggigit kue bulan, "Baru saja makan. Sedang menyantap bakcang isi daging segar."
Jiang Shenghe mendengar suaranya sedang makan, hal yang sama sekali tidak mungkin terjadi sebelumnya, dia tidak akan berbicara dengannya sambil makan.
“Di rumah?”
“Tidak.” Katanya: “Aku sedang melihat bulan di luar.”
“Di mana?”
“Di jembatan timur rumah kami. Kau mungkin tidak tahu.”
“Aku tahu.”
Pernah juga melewatinya, bahkan lebih dari sekali.
Luo Qi berjalan ke jembatan, bersandar di pilar batu abutmen, posisi ini paling ideal untuk menikmati bulan.
“Direktur Jiang, kau pernah ke sini rumahku ya?”
“Ya, cuma lewat.”
Di halaman tinggal beberapa keluarga, tidak tahu rumahnya menghadap ke arah mana.
Luo Qi: “Nanti, aku akan ajak kau ke sini, biar kau merasakan bagaimana tinggal di atas air. Tapi rumahku sempit, kamarku cuma tujuh delapan meter persegi.”
“Tidak apa, cukup untuk kami berdua.”
Entah bagaimana pembicaraan sampai ke topik tinggal bersama.
Suasana tiba-tiba canggung di telepon selama beberapa detik.
Jiang Shenghe mengalihkan topik: “Tidak dingin di jembatan?”
“Tidak, aku pakai banyak lapisan.” Luo Qi berkata: “Menikmati bulan di jembatan ini simbol keberuntungan.”
“Apa simbolnya？”
“Jembatan Batu menjaga keselamatan.”
Dia juga menambahkan secara spontan: “Nenek Qian, tetangga rumahku, yang bilang. Katanya kalau lewat jembatan ini saat menikah, pernikahan akan bahagia dan berlangsung seumur hidup. Tidak peduli akurat atau tidak, ini hanya untuk keberuntungan.”
Ucapannya yang panjang lebar itu hanya untuk mengalihkan kecanggungan tadi.
Luo Qi mendengar suara Profesor Liang dari ujung telepon, kira-kira ada urusan yang perlu dibicarakan.
“Direktur Jiang, saya tutup telepon dulu.” Dia mengulangi: “Selamat Festival Musim Gugur.”
Liang Zhen tidak tahu putranya sedang menelepon, dikiranya sedang merokok di halaman, lalu memanggilnya masuk untuk makan kue bulan.
Jiang Shenghe: “Aku menelepon dulu, sebentar lagi masuk.”
Liang Zhen mengira itu panggilan untuk Luo Qi, dia tidak mengganggu dan berbalik masuk ke dalam.
Jiang Shenghe memasukkan nomor satu per satu ke layar, lalu menekan tombol panggilan.
Ini pertama kalinya dalam bertahun-tahun dia proaktif menelepon ayahnya.
Yang mengangkat adalah sekretaris, beberapa menit kemudian telepon genggam baru sampai di tangan sang ayah.
Ayah Jiang mendengar itu telepon dari anak bungsunya, sempat meragukan apakah sekretaris salah membaca catatan kontak.
“Anak sulung dan anak kedua sering menelepon, anak bungsu delapan ratus tahun tidak pernah menelepon sekali pun.”
“Tahun lalu saat Festival Pertengahan Musim Gugur, anak bungsu bilang mau dinas ke luar negeri, tapi jelas-jelas mencari orang untuk bermain kartu di grup chat keluarga Jiang. Tahun ini tidak tahu jurus licik apa lagi yang akan dipakainya untuk membuatku kesal.”
Ayah Jiang mempersiapkan mental, lalu menerima panggilan telepon.
“Halo, Ayah, sudah makan malam?”
“......Sudah...”
Suara lantangnya yang biasa hampir berubah gagap.
Ayah Jiang membersihkan tenggorokannya, “Ada keperluan apa?”
“Tidak apa-apa. Hari ini hari raya, ingin menelepon Ayah.”
Ayah Jiang yang awalnya ingin memarahi anak durhaka itu tiba-tiba kehilangan bahan omelan.
“Kalau begitu Ayah sibuk saja, saya tutup telepon dulu.”
Jiang Shenghe memaksakan diri menyelesaikan panggilan ini. Jika bukan karena ibu yang mengusulkan untuk saling berusaha, mustahil dia mau berkompromi dengan ayahnya.
Pada hari pernikahan sepupunya, Luo Qi tidak bermalas-malasan. Ia mencari baju yang pantas dan berganti pakaian.
Jiang Yifang menyiapkan beberapa hidangan untuk anak perempuannya yang bisa langsung dipanaskan.
“Pintu kamar anak perempuan terbuka, “Kenapa tidak tidur lebih lama?”
Luo Qi menyingsingkan rambutnya pergi mandi, “Aku ikut Anda ke pernikahan.”
Jiang Yifang ingin orang lain melihat kondisi putrinya baik-baik saja, tapi juga khawatir putrinya akan terkenang kenangan menyakitkan melihat adegan pernikahan.
“Kau di rumah saja, tak perlu mengantarkan saya.”
“Di rumah tidak ada hal penting.”
Luo Qi masuk ke toilet sebelah dapur, “Bu, tenang saja, tak ada yang bisa melukai saya. Seandainya saya ingin menikah, sudah lama saya menikah.”
Jiang Yifang tak bisa memaksa mencegah putrinya, “Pernikahan malam hari, tak perlu bangun pagi-pagi begini.”
“Temani Ibu beli baju baru di pusat kota.”
Jiang Yifang menolak, tapi tak kuasa menolak keinginan putrinya.
Luo Qi berkata: “Jika Ibu tidak mau pergi, saya akan beli sendiri. Seandainya ternyata tidak cocok, Ibu bisa menukarnya nanti.”
Luo Zhiqiu menimpali: “Lebih baik Ibu ikut jalan-jalan saja, kebetulan sedang ada promo liburan, lebih hemat kalau beli sekarang.”
Luo Qi membeli satu set untuk masing-masing orang tua，senja hari，ia mengemudikan mobil ayah mengantar orang tua ke hotel pernikahan.
Sepupu hari ini terbenam dalam kebahagiaan，semakin banyak orang yang ikut pernikahan semakin Adil ia senang.
Dia dan Luo Qi sudah setengah tahun tidak berhubungan. Luo Qi memutuskan tunangan, sementara dirinya sibuk mempersiapkan hari pernikahan. Menghubunginya malah berisiko terkesan pamer.
“Semoga Kakak dan Kakak Ipar bahagia langgeng selamanya.”
“Terima kasih, Qi harta karun.” Sepupu memeluknya erat.
Sepupu masih harus menyambut tamu undangan. Luo Qi bersama orang tua masuk lebih dulu ke balai jamuan.
Pesta pernikahan digelar bersama kedua pihak. Di sebelah kiri duduk tamu dari keluarga mempelai pria, sementara sebelah kanan diisi kerabat pihak wanita.
Luo Qi termasuk keluarga penting pengantin, kursinya di barisan depan, tepat di belakang meja utama.
Kedatangan Luo Qi di luar dugaan semua orang.
Bibi Besar mendengus dingin, kelopak matanya bahkan tidak berkedip.
Penghinaan di hari itu akan diingatnya seumur hidup.
“Beberapa tante-tante memiliki perasaan yang sangat kompleks terhadap Luo Qi. Saat dia bersama Pei Shixiao dulu, mereka ingin mengobrak-abrik hubungan dengan Keluarga Pei ini, tapi dalam hati tidak ingin Luo Qi hidup lebih baik daripada anak mereka sendiri.”
“Setelah Luo Qi putus dengan Pei Shixiao, meski menyesal hubungan yang bisa dimanfaatkan sudah hilang, tapi memikirkan Luo Qi tidak menikahi Pei Shixiao, hati mereka merasa nyaman tanpa alasan jelas.”
“Hampir semua orang di meja itu masuk dalam daftar hitam Luo Qi, hingga kini belum dikeluarkan.”
“Luo Qi hanya menyapa paman dan San Shu serta San Shen, sama sekali tidak menghiraukan yang lain.”
“San Shen: ‘Yu Bao setiap hari merepotkanmu, jangan terlalu memanjakannya.’”
“‘Justru aku yang merepotkan Yu Bao. Dialah yang selalu merawatku.’”
“‘Sudahlah, dari kecil dia sudah malas sekali, mana mungkin aku tidak tahu.’”
“......”
“Pukulan paling kejam datang dari keluhan ibu kandung sendiri.”
“Sambil mengobrol dengan San Shen, Luo Qi mengambil gelas dan minum air.”
“Dia lupa tangan kiri masih memakai cincin berlian. Saat ingat, dia memamerkan cincin itu dari segala arah.”
“Kerabat yang diblokirnya langsung naik pitam.”
“Awalnya ingin menyindir di depan Jiang Yifang, kini Luo Qi sendiri yang datang. Mereka khawatir Luo Qi akan marah di depan umum, tak berani bicara banyak.”
“Bibi kedua tak tahan: ‘Xiao Qi sudah bertunangan? Orangtuamu juga tak bilang. Kapan traktir? Amplop merah wajib diberikan.’”
“Luo Qi: ‘Baik, besok ayahku akan menyiapkan satu meja hidangan. Kalian semua datang saja.’”
“......”
“Berlian sebesar itu seharusnya bukan palsu. Andai hari ini pakai yang palsu lalu ketahuan, alangkah memalukan.”
“Bibi kedua menahan emosi bertanya: ‘Pacarmu kerja di bidang apa?’”
“‘Terlibat di terlalu banyak industri, sulit dijelaskan sekaligus.’”
“‘... Kalau begitu dia bos besar?’”
“‘Benar.’”
Bibi tak bisa menahan amarah: "Orang sekaya itu biasanya tak ingin menikah. Kalaupun menikah pasti dipaksa cari yang sepadan. Kau harus sigap, jangan sampai lengah."
Luo Qi menyesap air hangat: "Kemampuannya luar biasa, keluarganya tak ikut campur. Pernikahan bebas. Dia memang beda, sangat ingin menikah. Sudah beberapa kali mendesakku."
Yang lain mendengar jadi geram tanpa alasan, sang bibi sampai memutar mata putih.
"Xiao Luo?"
Suara itu terasa sangat familiar.
Luo Qi buru menoleh, terkejut: "Direktur He."
Ia berdiri, "Lama tak bertemu. Kebetulan sekali."
He Wancheng adalah teman sekelas ayah pengantin pria. Saat kuliah dulu mereka sangat akrab. Belakangan He Wancheng menjadi orang terkaya di Suzhou, sementara perusahaan ayah pengantin biasa saja. Status sosial mereka bagai langit dan bumi, komunikasi pun makin jarang.
Tapi He Wancheng menghargai pertemanan lama, masih memberi muka pada mantan teman sekelasnya. Ketika tahu anak temannya menikah, ia datang sendiri ke resepsi pernikahan.
Ayah pengantin pria merasa antusias sekaligus tersentuh, namun tamu yang datang ke pernikahan hari ini tidak ada yang punya pengaruh untuk menemani He Wancheng minum. Saat sedang bingung mencari siapa yang akan menemani di meja utama, tiba-tiba He Wancheng bertemu kenalan, akhirnya memecahkan masalah genting.
He Wancheng tersenyum bertanya pada Luo Qi: "Tidak membawa pacar pulang bersama?"
Mengingat sudah mengumumkan pacar di circle friends, Luo Qi tidak bisa menyangkal. Dengan lapang dada ia menjawab: "Dia sedang di luar negeri." Lalu menambahkan ucapan protokoler: "Akan berkunjung ke Anda bila ada kesempatan."
"Selalu diterima. Saya tadinya ingin menunggu dia luang untuk bertemu."
“......”
Luo Qi tiba-tiba ragu seberapa banyak sebenarnya yang diketahui He Wancheng.
"Ayo pindah ke meja saya. Saya tidak akrab dengan mereka."
"Baik."
Luo Qi mengambil gelas dan tasnya lalu pindah ke meja utama keluarga pengantin pria.
Tante Besar dan beberapa bibi yang awalnya meremehkan pacar Luo Qi, mengira dia hanya membual, tapi melihat orang terkaya Suzhou saja mau bertemu, pasti latar belakangnya besar.
Uangnya sudah dikeluarkan untuk datang minum anggur pernikahan, akhirnya malah jadi kesal.
Luo Qi duduk mendekat, berbisik ke He Wancheng: "Direktur He kenal pacar saya?"
He Wancheng tidak main Tai Chi, "Saya suka lukisan dan kaligrafi, sudah lebih dari dua puluh tahun kenal dengan Sang Guru Yu. Sudah saya tanya, tahun ini Sang Guru Yu hanya melukis satu potret minyak untuk seseorang, potret itu ada di circle friends-mu."
Ternyata begitu.
Sepertinya hanya tahu kalau orang di lukisan minyak itu Jiang Shenghe, tapi tidak tahu mereka sudah mendaftarkan pernikahan.
Hati cemas Luo Qi akhirnya bisa tenang.
He Wancheng bercanda: "Tak disangka dia juga bisa menciptakan teman dari kekosongan." Mengaku punya teman yang ingin mendekati Luo Qi.
Luo Qi tersenyum, mengangkat gelas menghormati He Wancheng: "Saya menghukum diri sendiri dulu, nanti akan ganti dengan anggur."
Makan malam ini sangat menyenangkan, berkat pengaruh He Wancheng, malam ini keluarga pengantin pria secara khusus memberi hormat padanya berkali-kali, bahkan orang tua pengantin pun khusus datang memberi hormat.
Dengan kehadirannya, keluarga di rumah tidak berani bicara hal-hal tidak jelas yang membuat ibu risi.
“Hampir pukul sembilan, pesta pernikahan baru bubar。”
Yang mengemudi pulang adalah Luo Zhiqiu. Malam ini dia sama sekali tidak minum alkohol. Sebelumnya kondisinya kurang baik sampai dirawat inap, jadi tak ada yang lagi menasihatinya minum。
Sepanjang malam Jiang Yifang diliputi kebingungan. Sesekali merasa anak perempuannya tidak punta pacar, lalu menyangkal sendiri pemikirannya. He Wancheng jelas tak mungkin berbohong untuk membela putrinya. Pertama, dia bukan tipe orang yang suka mengurus urusan orang lain. Kedua, putrinya juga tidak punya gengsi sebesar itu。
“Jujurlah pada Ibu. Apakah kau memang punya pacar? Sekali pun ada, Ibu tidak akan mendesakmu menikah. Yang penting kau bahagia。”
Beberapa hal mustahil disembunyikan selamanya. Luo Qi memutuskan memberi bocoran kecil: “Bisa dibilang ada。”
“...Apa maksudmu 'bisa dibilang ada'? Masih dalam tahap pendekatan?”
“Artinya kami sudah bersama, masih dalam masa penyesuaian. Setelah masa penyesuaian ini berakhir, akan kubawa dia pulang ke rumah。”
Jiang Yifang mengusap-usap kepala putrinya, “Kau masih juga membohongiku soal cincin itu palsu. Ibu benar-benar mempercayaimu。”
“Pantas saja kondisi anak perempuanku bagus,” dia berujar legah, “Tidak perlu terburu-buru membawanya pulang untuk kami lihat, berinteraksilah baik-baik dulu. Bolehkah bertanya, berapa usianya tahun ini?”
“Dua tahun lebih tua dariku, orang Beijing. Ayah dan Ibu pasti akan menyukainya, dia sangat baik padaku.”
Senyum di sudut mata Luo Zhiqiu melunak, tak banyak bertanya.
Ponsel Luo Qi bergetar, pesan dari Jiang Shenghe: 【Masih di lokasi pernikahan?】
【Sudah bubar, sedang dalam perjalanan pulang.】
Jiang Shenghe: 【Aku di bengkel sepeda motor, carilah tempat yang nyaman untuk turun, akan kujemput.】
【Kau sudah sampai di Suzhou?】
【Ya, sampai siang tadi.】
【Profesor Liang ikut datang bersamamu?】
【Tidak, ibuku ada urusan, besok baru datang. Aku datang sehari lebih awal.】
Jiang Shenghe bertanya lagi: 【Di mana kau nyaman turun?】
Luo Qi: 【Di bengkel sepeda motor saja, lewat jalan itu pulang juga searah.】
Luo Qi memberitahu ayahnya untuk lewat jalan gerbang sekolah pulang, dia ingin menemui Sang Guru Lu, menjelaskan secara detail siapa Sang Guru Lu itu pada mereka.
Jiang Yifang ingat bos bengkel sepeda motor di gerbang sekolah, dulu cukup mengasihani anak perempuan bos yang tidak bisa bicara.
Luo Qi berkata: "Sang Guru Lu adalah teman Direktur Jiang kami, ada hal yang perlu dibicarakan denganku, makan santap malam bersama pasangan suami-istri mereka."
Makan santap malam adalah alasan yang dibuat-buatnya, mungkin nanti benar-benar akan makan santap malam.
10 menit kemudian sampai di gerbang sekolah, Luo Qi turun dari mobil, menelepon Jiang Shenghe, "Direktur Jiang, aku sudah sampai."
Jiang Shenghe: "Lihat mobil saya tidak？"
Luo Qi berbalik badan, melihat sekeliling, sebuah mobil off-road yang terasa familiar mendekat.
Di mobil hanya ada Jiang Shenghe, Luo Qi duduk di kursi penumpang, "Sang Guru Lu mana？"
"Sudah pulang, anaknya sudah terlelap." Jiang Shenghe bertanya padanya: "Mau makan santap malam tidak？"
"Tidak bisa menghabiskan." Dia bercerita tentang pertemuan dengan He Wancheng di pesta pernikahan, duduk semeja dengannya, "Dia tahu lukisan minyak itu kau yang menugaskan Sang Guru Yu untuk melukis."
Jiang Shenghe: "Aku tidak menyuruh Sang Guru Yu sengaja menyembunyikan, mengetahuinya itu wajar."
“Direktur Jiang mau ke mana? Aku yang menyetir.”
“Tak perlu. Aku masih menginap di hotel yang dulu, jalan sekitar sini sudah kuketahui.”
Tidak berkeliling, langsung menyetir balik.
Dia hanya ingin menemuinya sebentar, terlalu malam orang tuanya pasti khawatir.
Sampai dekat rumah Luo Qi, mobil tidak masuk, mereka turun di depan minimarket.
Dia dan Jiang Shenghe pernah sengaja bertemu di sini sekali.
Tahun lalu bulan Juni ke Suzhou untuk dinas, saat itu dia belum jadi asistennya. Pagi-pagi itu dia membelikan sarapan untuk ibunya, sekalian membeli seikat bunga matahari, persis di minimarket ini bertemu Jiang Shenghe yang sedang lari pagi, dia baru keluar dari minimarket membeli air.
Pagi hari itu dia akan mencoba gaun pengantin, dia bahkan menanyakan jadwal pernikahannya.
Entah dengan perasaan apa dia saat itu mengucapkan dua kata 'Selamat'.
Sebelah minimarket ada toko bunga yang masih buka.
Jiang Shenghe bertanya padanya: “Kau yang suka bunga matahari atau Tante Jiang?”
Luo Qi kembali sadar, “Ibu saya suka, rumah terlalu monoton.”
“Kalau begitu aku beli seikat, bawa untuk Tante Jiang.”
“Jangan terlalu banyak, nanti Ibu merasa sayang uang terbuang sia-sia.”
Jiang Shenghe menyuruh bos membungkus enam tangkai, puluhan yuan, seikat kecil yang indah.
Luo Qi memeluknya di dada, berjalan berdampingan dengan Jiang Shenghe pelan-pelan menuju rumah.
“Direktur Jiang.”
Tak ada pelukan atau gandengan tangan, panggilan ini tidak melanggar aturan.
Jiang Shenghe menoleh memandangnya, “Ada apa?”
Luo Qi saling bertatapan dengannya sejenak, lalu menoleh ke jalan depan, “Besok ada agenda apa?”
“Tidak ada acara sosial atau urusan lain, waktumu terserah.”
Mendengar ini, Luo Qi bingung melanjutkan pembicaraan, memilih diam tak menjawab.
Jiang Shenghe melihatnya terdiam, “Besok akan kubawa lihat rumah lain, tempat itu akan jadi kamar pengantin kita, kita tinggal di sana saat hari pernikahan. Jika tidak suka gaya dekorasi sebelumnya, Tante Jiang bisa mendesain ulang.”
“...Kau memang beli berapa rumah di Suzhou?”
“Tidak banyak unit.”
Sebenarnya banyak.
Sambil mengobrol, tanpa sadar mereka sampai di depan jembatan batu.
Luo Qi baru saja mau menginjakkan kaki di tangga jembatan, tiba-tiba ditarik oleh Jiang Shenghe.
“Ada apa?” Luo Qi hampir kehilangan keseimbangan, tubuhnya terdorong ke belakang menempel pada Jiang Shenghe.
Jiang Shenghe membuka kancing jasnya dengan satu tangan, membungkuk, lalu merangkul erat pinggangnya mengangkatnya dengan gaya princess carry.
Tiba-tiba digendong seperti itu, jantung Luo Qi berdenyut kencang hingga ke kerongkongan.
Dia memandanginya sambil berkata: “Saat mendaftarkan pernikahan dulu aku tidak sempat menggendongmu melewati jembatan ini, hari ini aku menebusnya.”
Malam Festival Pertengahan Musim Gugur itu dia pernah berujar, menikah sambil melewati jembatan batu akan membawa kebahagiaan seumur hidup. Ucapan santainya itu ternyata melekat di hati Jiang Shenghe.
Tanpa sadar Luo Qi mencengkeram jas di bahunya, berusaha berpura-pura tenang.
Saat tiba di tengah jembatan, Jiang Shenghe bertanya: “Malam Festival Pertengahan Musim Gugur dulu, di mana kau melihat bulan?”
“Luo Qi masih ingat: ‘Tiang batu kedua di bawah jembatan.’”
Jiang Shenghe menjaga keseimbangan saat menuruni tangga, berjalan menuju tiang batu kedua lalu berhenti.
Luo Qi tidak memahami maksudnya, menatapnya. Bahkan siluet wajahnya yang dalam tak terlihat jelas, ciumannya yang beraroma segar tiba-tiba menempel di bibirnya.
“Pada hari pernikahan nanti aku akan menggendongmu menyusuri jembatan batu sekali lagi.”
Dominan namun lembut.
Perkasa dan penuh kewibawaan pria.
Semuanya menggoda dirinya.
Malam lamaran dulu, dia masih berhutang sebuah ciuman padanya.
Jiang Shenghe tidak mencium dalam-dalam. Saat hendak menarik diri, dia menyambung bibir mereka.
Napas hangat mereka kembali terjalin.
Dia menyedut lembut bibirnya, cepat-cepat menarik diri lalu menolehkan kepala ke lampu jalan di pinggir jembatan.
Wajah Jiang Shenghe tetap tenang, tapi jakunnya bergerak tak henti. Dia membawanya turun ke bawah jembatan.
Luo Qi berdiri tegak, bingung bagaimana memecahkan keheningan yang menggoda ini.
Jiang Shenghe tidak berkata apa-apa. Buket bunga matahari dalam dekapan Luo Qi sempat terhimpit, tampilannya sedikit deformasi. Ia merapikannya.
Luo Qi masih menghindari kontak mata, kehilangan arah.
Ia menyerahkan bunga itu. Jiang Shenghe dengan hubungan tidak menanyakan maksudnya. Luo Qi mengangkat tangan, merangkulnya dari luar setelan jas, mengaitkan pinggang berototnya dengan lembut.
"Direktur Jiang, sampai jumpa besok."
"Ya. Besok pagi aku akan menjemputmu lebih awal." Jiang Shenghe memanfaatkan momentum menariknya kembali ke pelukan, berusaha memperpanjang momen ini.
