Luo Qi tiba di rumah. Ibu keluar dari kamar.
Jiang Yifang melirik jam dinding, "Cepat sekali? Katanya mau makan santap malam?"
"Sudah." Terpaksa melanjutkan rantai kebohongan, "Beli sate di gang kecil sambil mengobrol, selesai ngobrol ya sudah habis juga."
Vas kaca yang disembunyikan ibu dikeluarkannya kembali, diisinya dengan air.
Jiang Yifang melihat bunga matahari di meja teh, sebenarnya dua tiga tangkai saja sudah cukup, lebih dari itu hanya membuang-buang uang, tapi dia tidak mengucapkan kata-kata yang merusak suasana.
"Bunga matahari hari ini dibungkus cantik."
Luo Qi membalas "Ya", membawa vas bunga keluar dari toilet, "Kebetulan toko tidak sibuk, bos punya waktu memilih kertas pembungkus."
Kertas pembungkus itu dipilih sendiri oleh Jiang Shenghe.
Besok Profesor Liang akan datang ke Suzhou, Luo Qi menanyakan rencana ibunya.
"Bu, Anda besok ada waktu kosong?"
"Ada. Kau mau jalan-jalan ke pusat kota?"
"Bukan. Profesor Liang besok datang, siang hari mungkin akan mengajak ibu bertemu."
Malam itu sepulang anak perempuannya, sudah diberitahu bahwa ibu Jiang Shenghe meminta desain padanya.
Entah mengapa dia merasa tertekan, meski semester lalu baru menyelesaikan proyek besar renovasi vila yang cukup memberinya pengalaman, tapi menghadapi Liang Zhen, hatinya masih kurang yakin.
“Jiang Yueru pernah membantu keluarga kami besar-besaran, biasanya juga selalu memberi perhatian khusus pada anak perempuan. Sekarang anak perempuanku menjadi asisten Jiang Shenghe. Meski aku tidak bisa menerima proyek ini, saat renovasi nanti aku akan berusaha sekuat tenaga di lokasi membantu mengawasi proses.”
Luo Qi menata bunga di vas, sambil memikirkan Jiang Shenghe yang akan datang menjenguknya sangat pagi besok, “Bu, besok Ibu tak perlu masak. Aku yang akan beli di luar.”
“Kau tidak mau tidur lebih lama?”
“Sudah terbiasa bangun pagi, tidak bisa tidur.”
“Ngomong-ngomong, tak perlu belikan sarapan ayahmu. Besok dia makan di perusahaan.”
Luo Qi berbaring di ranjang setelah mandi, gambaran Jiang Shenghe menggendongnya melewati jembatan terus terbayang dalam pikirannya.
Sarafnya tegang bersemangat, baru bisa tidur lewat tengah malam.
Subuh pukul lima setengah, matanya terbangun secara alami.
Luo Yu mengiriminya dua pesan: satu pukul dua subuh, satu lagi pukul lima dua puluh lima.
【AAAAAAAAA! Kakak, aku jadi gila!】
【Kakak, aku selesai hancur, kehidupan ini tidak akan ada hari baik lagi (menangis histeris)(menangis histeris)(hati hancur)】
Rupanya dia begadang semalaman.
Luo Qi menelepon, dering berakhir tapi tak ada yang mengangkat.
Pesan terbaru dikirim lima menit lalu, tidak mungkin cepat-cepat terlelap.
Ponsel terus bergetar, sampai bantal ikut berdengung.
He Xu terbangun, kesal mendengar suara itu, membuka mata, butuh beberapa detik mencari letak ponsel. Setelah diraih, terlihat catatan di layar: Kakakku tercantik sejagad
Melihat casing ponsel bermotif norak, ini pasti ponsel Luo Yu.
He Xu mematikan suara ponsel dan melemparkannya. Suara aliran air terdengar dari kamar mandi.
Ia tersadar, mengusap-usap batang hidungnya.
Semalam di bawah kantor ketemu Luo Yu, dia berapi-api dengan nada sinis, menyindirnya bukan pria sejati hanya karena sebuah ciuman yang terus dijadikan alasan menyulitkannya.
Bahkan menuduhnya tidak bisa main fair.
“Luo Yu, jangan sok keras kepala, kau bisa main fair?”
“Lagi pula aku lebih bisa main fair dibanding kau. Hanya karena satu ciuman, kau langsung kayak mau mati-mati gitu.”
Soal bisa main fair atau tidak, omongan kosong tak ada gunanya. Maka terjadilah adegan seperti sekarang ini.
Sebelum ke hotel, mereka sama sekali tidak minum anggur, masih sangat sadar.
Sepuluh menit kemudian, Luo Yu keluar dari kamar mandi. Melihat pria yang sedang bersandar di bantal kepala ranjang sambil merokok, dia kaget. Tadi pria itu terlihat tidur sangat lelap.
Kini setelah mengenakan pakaian lengkap, kakinya sakit dan pinggangnya pegal, sulit berjalan.
Menahan rasa tak nyaman, dia berjalan mengambil telepon genggam, sama sekali menganggap He Xu seperti udara.
Sebenarnya jantungnya berdebar sampai ke kerongkongan, sama sekali tak berani menatapnya.
He Xu mematikan rokoknya, "Baru segini sudah takut?"
Luo Yu mendengus dingin. Meski takut, dia takkan mengaku kalah.
Dia mengambil telepon lalu mengoperasikannya sejenak, menyambar tasnya sambil menolehkan kepala dan pergi.
Telepon He Xu berbunyi ada pesan masuk. Saat dibuka, Luo Yu telah mentransfer ribuan keping padanya - separuh biaya kamar.
Keluar dari hotel, Luo Yu menepuk-nepuk dadanya dengan kuat, akhirnya bisa bernapas lega.
Ia membalas kabar sepupunya: 【Kakak, aku begadang menyelesaikan pekerjaan, akhirnya memarahi si picik klien itu. Tapi tak apa, bukan pertama kalinya aku memarahinya. Ngantuk banget, nanti setelah bangun baru aku ajak bicara.】
【Nah, Kak, mesin cuci di kontrakan baru terlalu usang. Aku beli mesin kecil khusus untuk mencuci baju yang menempel langsung di kulit. Simpan dulu di tempatmu, tunggu nonaku 202 mengosongkan barang-barangnya, baru aku langsung pindahkan kesana.】
Luo Qi: 【Silakan simpan. Sekarang cepatlah tidur, begadang terlalu menguras tenaga.】
Menapaki jembatan batu, Jiang Shenghe sudah menunggunya di bawah. Ia menyimpan telepon lalu bergegas menuruni tangga.
"Pukul berapa Profesor Liang tiba?"
"Tengah hari," jawab Jiang Shenghe. "Sore ini kita lihat vila dulu, lalu periksa rumah kita sendiri."
Ciuman kemarin seolah masih membekas di bibir. Luo Qi konsisten menghindari pandangannya, tak tahu kapan riak gelombang dalam hatinya akan kembali tenang.
Membeli sarapan dan kembali, Jiang Shenghe mengantarnya sampai ke mulut gang.
Luo Qi berbalik badan, ucapan perpisahan belum sempat terucap, raut wajahnya mengeras. Ia melihat ibu turun dari jembatan batu, mungkin sedang pergi membuang sampah.
"Ibu di belakangmu." Bisiknya pelan kepada Jiang Shenghe.
Jiang Yifang mengira pacar anak perempuannya mengejar sampai ke Suzhou untuk menemui sang putri. Baik tinggi badan maupun kelasan, cocok sekali dengan putrinya.
Bertemu dalam situasi seperti ini sungguh canggung. Baru saja hendak mundur ke sisi lain jembatan untuk menghindar, tak disangka anaknya dan sang pacar sama-sama menatap ke arahnya.
"Ibu!" Luo Qi memanggil keras, sambil melambaikan tangan.
Menunggu sang ibu mendekat, ia memperkenalkan dengan santai: "Ibu, ini Direktur Jiang kami. Beliau datang menjemput kita untuk melihat rumah."
Jiang Yifang: "......"
Rupanya salah paham.
"Halo, Tante. Saya Jiang Shenghe."
"Halo. Sering dengar Luo Qi menyebut nama Anda. Terima kasih sudah begitu merawat Luo Qi kami."
“Tante tak perlu sungkan, kewajiban kami.”
Luo Qi berdiri di samping menyimak diam-diam, dua menit sepenuhnya, akhirnya basa-basi keduanya selesai.
Jiang Yifang mengundang Jiang Shenghe ke rumah, "Masuk minum air."
Jiang Shenghe menolak halus. Ia tak lupa statusnya sebagai bos Luo Qi yang juga bawahan lawan jenis. Pagi-pagi begini tak pantang mengganggu keluarga.
"Tak perlu, kalian makan saja. Aku tunggu di mobil."
Jiang Yifang semula kikuk karena rumahnya kecil, takut tak bisa menjamu dengan baik. Tak jadi pun tak apa, rumah juga tak punya teh berkualitas.
"Aku dan Luo Qi sebentar lagi menyusul, merepotkanmu sampai harus secara pribadi lari sekali jalan."
"Tak repot, hotelnya dekat sini."
Jiang Shenghe berpamitan, sorot mata ke Luo Qi dingin dan sepi, "Nanti telepon sopirnya, mobil berhenti tak jauh di depan."
"Baik Direktur Jiang, Hati-hati di jalan."
“......”
Masuk ke rumah, Jiang Yifang lega, "Bagaimana caranya bosmu bisa menemukan pintu rumah kita?"
Luo Qi sudah menyiapkan draf mental sejak lama: "Bertemu di persimpangan jalan, dia melihat saya membawa sarapan di tangan, khawatir makanan dingin, lalu berjalan sepanjang jalan bersama saya untuk menjelaskan beberapa hal terkait pekerjaan."
Jiang Yifang percaya sepenuhnya, berkata dengan haru: "Kau beruntung, bertemu dua atasan yang baik."
Setelah buru-buru menyantap sarapan, Luo Qi dan ibunya pergi keluar rumah.
Profesor Liang belum sampai, sambil berjalan dia mengirim pesan ke Jiang Shenghe: 【Sekarang langsung ke vila? Tidak menunggu Profesor Liang?】
Jiang Shenghe: 【Pergi dulu ke kamar pengantin baru kita. Jika ada bagian yang tidak kau suka, kebetulan bisa meminta tante untuk mendesain ulang.】
Mobil menunggu mereka di depan toko bunga. Jiang Yifang duduk di kursi penumpang depan, Luo Qi dan Jiang Shenghe duduk di kursi belakang.
"Tante Jiang, saya akan mengajak Anda melihat rumah saya yang lain dulu."
Jiang Yifang menoleh, "Juga akan direnovasi?"
"Benar." Jiang Shenghe menjawab: "Rumah itu akan kami tempati saat berlibur ke Suzhou bersama istri."
Luo Qi: "......"
Pertama kalinya mendengar dia memanggil "istriku", itu pun di depan ibunya.
Jiang Yifang tidak tahu Jiang Shenghe sudah menikah, langsung mengucapkan selamat.
Rumah yang direncanakan sebagai kamar pengantin itu juga memiliki pemandangan danau, terletak di kompleks perumahan lain.
Jiang Yifang tidak melihat bagian mana yang perlu direnovasi ulang, ini kan desain dari desainer ternama.
Jiang Shenghe menatap Luo Qi: "Asisten Luo, nanti hubungi istriku untuk konsultasi revisi desain."
Luo Qi dengan serius menjawab: "Baik, Direktur Jiang."
"Sudah merepotkan."
“......”
Kapan hari-hari berakting ini akan berakhir.
Jiang Shenghe menerima telepon, Luo Qi menemani ibunya berkeliling memeriksa setiap ruangan seluas ratusan meter persegi selama hampir satu jam.
Jiang Yifang berbisik ke anak perempuannya: "Menurutku tidak perlu diubah, revisi parsial justru merusak efek keseluruhan. Merombak total itu proyek besar, lagipula sungguh tak perlu."
Luo Qi juga setuju, toh tidak untuk ditinggali permanen - setahun paling hanya pulang 10-8 hari, seperti kata ibu, memang tak perlu.
“Nanti setelah pulang aku akan bicara lagi dengan Direktur Jiang.”
Apartemen seluas ini memiliki total tiga teras dengan pemandangan danau 360 derajat.
Jiang Yifang berdiri di teras dengan perasaan kehilangan sesuatu. Dulu dia juga ingin membelikan anak perempuannya rumah pemandangan danau, bahkan uang mukanya sudah disiapkan, tapi akhirnya perusahaan mengalami masalah.
“Ibu, sedang memikirkan apa?” Luo Qi menyandar di bahu sang ibu.
Jiang Yifang tersenyum: “Sedang memikirkan, bagaimana menyesuaikan teras ini tanpa merusak gaya keseluruhan, jangan sampai menyia-nyiakan pemandangan danau yang indah ini.”
“Baik, Buatkan rancangannya, nanti akan kuserahkan ke Direktur Jiang untuk dilihat.”
Dari rumah pemandangan danau kembali ke Old Town hampir tengah hari. Liang Zhen sudah sampai di stasiun, sopir menjemputnya untuk bertemu Jiang Shenghe dan rombongan, janji makan siang bersama.
Dua keluarga besan yang sama-sama tertipu ini akhirnya bertemu muka.
Restoran yang dipilih masih sama dengan tempat makan mereka setelah konser Chu Lin tahun lalu.
Memesan meja untuk empat orang, Luo Qi duduk mendampingi Jiang Yifang, sementara Jiang Shenghe berdampingan dengan Liang Zhen.
Meski baru pertama kali bertemu, namun berkat lapisan hubungan melalui Jiang Yueru, Jiang Yifang dan Liang Zhen memiliki topik pembicaraan.
Luo Qi bertanya pada Jiang Shenghe: "Direktur Jiang, apakah Anda ingin teh?"
Liang Zhen yang sedang mengobrol dengan Jiang Yifang mendengar kesopanan Luo Qi ini tiba-tiba kehilangan semangat. Memanggil 'Direktur Jiang' saja sudah lumrah, tapi masih menggunakan sapaan hormat 'Anda', kapan anaknya bisa mendekati sang target.
Saat makan hampir selesai, Luo Qi menerima telepon dari Chu Lin.
Chu Lin baru saja keluar dari stasiun kereta cepat, menanyakan apakah dia ada waktu siang ini untuk jalan-jalan di pusat kota dan meneguk kopi.
Luo Qi: "Harus agak sore, Profesor Liang dan Direktur Jiang datang hari ini untuk membincangkan rencana desain. Lagipula, kamulah yang merekomendasikan ibuku."
Chu Lin sudah lupa hal ini, "Kalau begitu selesaikan urusanmu dulu, aku tunggu teleponmu."
Jiang Shenghe berbisik padanya: "Aku akan mengantarkan mereka, kau ikut Chu Lin jalan-jalan saja."
Liang Zhen juga mendukung putranya, berkata tak perlu ditemani.
Luo Qi dan Chu Lin membuat janji pertemuan rahasia di suatu tempat.
Dia datang lebih awal ke kafe, sementara Chu Lin masih dalam perjalanan.
Luo Qi memesan secangkir kopi, Kakak Sepupu meneleponnya menanyakan keberadaannya.
"Aku janjian jalan-jalan dengan teman, Kak, ada apa?"
Luo Yuli bertanya lebih dulu: "Janjian dengan teman atau pacar?"
"...Teman, Chu Lin, pianis itu. Bukannya dulu aku pernah bilang ke Kakak nonton konsernya? Kami masih sering kontakan. Hari ini dia datang ke Suzhou, aku temani dia jalan-jalan."
Telepon itu tak mendapat jawaban.
"Kak?"
"Lagi nyetir, katakan."
"Kakak cari aku ada keperluan apa?"
"Beli dua tas, untukmu dan Luo Yu masing-masing satu."
Luo Yuli menjelaskan: "Sekalian beli dua lagi."
Seharusnya dia membeli tas untuk pacarnya, sekalian membawakan satu untuknya dan Luo Yu.
Luo Yuli bertanya lagi: "Di mana? Sekarang aku antar."
"Aku ambil nanti malam saja."
"Kamu nggak bawa mobil, nggak praktis. Sore ini aku juga nggak ada acara."
Luo Yuli ternyata di sekitar lokasi, tak lama kemudian datang mengantarkan tas ke kafe.
Kakak Sepupu hari ini mengenakan setelan jas abu-abu dengan kemeja hitam di dalamnya. Begitu masuk, langsung menarik beberapa sorot pandangan.
Luo Yuli menyerahkan dua tas belanja padanya, "Temanmu sudah pergi?"
Luo Qi menerima tas belanja itu dan meletakkannya di kursi sebelah, "Belum datang."
"Kalau gitu kau tunggu pelan-pelan ya." Luo Yuli meninggalkan kafe.
Baru saja dia pergi, Chu Lin masuk melalui pintu lain kafe.
Luo Qi tersenyum, "Andai datang 30 detik lebih awal, kau bisa ketemu kakakku. Lain kali kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan."
"Oh ya?" Chu Lin memaksakan senyum di sudut mulutnya, pura-pura teringat: "Dasar otakku, HP-ku masih di mobil. Tolong pesankan kopi untukku, terserah jenisnya."
Begitu keluar dari kafe, dia hampir berlari ke tepi jalan, matanya menyapu sekeliling - tak ada bayangan yang familiar.
Luo Yuli masih berada di mobilnya yang tak jauh, jarinya ragu di tombol kaca jendela.
Dengan wajah kecewa Chu Lin kembali ke kafe, tapi begitu melihat Luo Qi senyumnya langsung merekah.
Dua bulan berikutnya, Chu Lin sengaja tidak menjadwalkan pekerjaan. Dia bertanya kabar terbaru Luo Qi sambil lalu.
Luo Qi memberi tahu Chu Lin, dia dimutasi dari kantor direktur ke RuiPu Medical, kedepannya sulit punya hari santai lagi.
“Atas perintah perusahaan ke RuiPu?”
“Permohonan saya sendiri.”
Chu Lin tak paham Grup Yuanwei maupun RuiPu Medical, mengira posisi baru lebih prospek naik pangkat.
“Luo Yu mau pindah rumah? Lihat circle friends-nya bilang tanaman hiasnya akan pindah lagi.”
“Ya, disewa di unit sebelah.”
“Wah praktis sekali. Aku lagi gabut, weekend bisa ke Luo Yu belajar baking. Kan kamu sibuk, kami berdua yang jamin logistikmu. Jujur sih aku suka kamar kecilmu itu.”
Luo Qi：“......”
Jiang Shenghe pasti tersinggung.
Liburan separuh jalan, orang tua mulai sibuk. Kencan di rumah Luo Qi jadi tak nyaman. Tanggal lima dia kembali ke Beijing dari Suzhou. Tahun ini libur delapan hari, masih tersisa tiga hari untuk menemani Jiang Shenghe.
“Setelah masa liburan usai, dia pergi bekerja di Rui Pu, bukan setiap hari bisa bertemu.”
“Jiang Shenghe pulang bersamanya, tiket perjalanan kembali dibelinya, kelas bisnis.”
“Dulu saat perjalanan dinas, tempat duduk mereka terpisah koridor dan sekat, kali ini Jiang Shenghe membeli dua tiket yang kursinya berdampingan.”
“Luo Qi duduk di kursi dekat jendela bagian dalam, merasakan tatapan Jiang Shenghe. Dia mengarahkan telepon genggamnya ke luar jendela memotret pemandangan sepanjang jalan yang sudah sering difoto di musim berbeda.”
“Jiang Shenghe ingat pertama kali datang ke Suzhou untuk urusan bisnis bersamanya, dia juga terus memotret ke luar jendela.”
“Luo Qi.”
“Dia memanggilnya, Luo Qi terpaksa menoleh.”
“Direktur Jiang, ada apa?”
“Jiang Shenghe sekarang sudah tidak lagi mempermasalahkan cara dia memanggilnya, biarlah dipanggil apa saja.”
“Dia bertanya: 'Mau buat album foto bersama?'”
“Luo Qi ragu sejenak, lalu mengangguk, 'Setuju.'”
“Direktur Jiang, Anda juga suka memotret?”
“Tidak sampai level suka. Dalam beberapa tahun hanya memotret tiga empat lembar.”
Segera, album foto bersama selesai dibuat.
Jiang Shenghe memintanya mengunggah semua foto pemandangan yang biasa diambil ke album foto bersama.
Luo Qi memiringkan kepala melihatnya, "Teknologi fotoku biasa saja, cuma foto pemandangan, mungkin agak membosankan."
"Tidak membosankan." Katanya: "Nanti kuberi komentar setelah kau foto aku."
Foto pertama yang dibagikan Jiang Shenghe ke album bersama adalah foto sosok mereka berdua yang menjauh di Suzhou malam hujan itu.
Luo Qi memilih beberapa foto yang diambilnya untuk Jiang Shenghe selama KTT Keuangan hari itu.
"Direktur Jiang."
"Ya."
Dalam beberapa menit, dia memanggil "Direktur Jiang" sebanyak tiga kali.
"Wallpaper ponselmu itu gambar dari internet atau hasil jepitan sendiri?" Tanya Luo Qi.
Jiang Shenghe menjawab, "Hasil jepitanku."
Sebelumnya Luo Qi sempat menyapu pandang wallpaper itu dua kali, variasi warnanya membuat mata terasa segar. Langit biru cerah dengan awan putih hari itu, menara tinggi berjejal rapi, angle bidikannya pun pas.
"Bisa dikirim ke saya?"
"Bisa." Jiang Shenghe mencari foto tersebut lalu mengirimkannya padanya.
“Sosoknya yang menjauh bercampur dalam aliran orang di kejauhan. Tanpa diperbesar dan diperhatikan seksama, sulit dikenali.”
“Luo Qi sama sekali tak menyangka dirinya ada di dalamnya. Dia mengubah foto ini menjadi latar belakang obrolan.”
“Setelah mengatur latar belakang, dia membagikan foto kedai minuman kecil favoritnya kepada Jiang Shenghe.”
“Direktur Jiang, saya akan mengajakmu ke kedai minuman kecil lagi.”
“Suara Jiang Shenghe penuh dengan manja: ‘Baik.’”
“Melihat plakat kedai ‘Kau Datang, Aku Masih di Sini’, dia berkata: ‘Aku juga pernah memfoto satu.’”
“Kau juga memfoto nama kedai minumannya?”
“Bukan.”
“Tunjukkan padaku.”
“Lengan Luo Qi menekan sandaran kursi di antara tempat duduk, ingin melihat dari sudut mana Jiang Shenghe memotret kedai itu.”
“Jiang Shenghe menyender ke arahnya, memperbesar foto.”
“Dalam foto, dia sedang memotret plakat kedai minuman.”
“Dia memotret kedai, sementara dia memotretnya.”
Pandangan Luo Qi beralih dari layar ponsel ke wajahnya, "Terima kasih Direktur Jiang. Nanti aku yang akan memotretmu."
Ucapannya belum kering, Jiang Shenghe langsung menciumnya.
Tubuhnya menghalangi sisi kanan, orang di seberang koridor tak bisa melihat apa yang mereka lakukan.
Jiang Shenghe memegang telepon genggam, tangannya tetap diletakkan di situ tak bergerak.
Luo Qi sedikit mengangkat kepala, membalas ciumannya.
Dia berusaha mencari titik tumpuan, tangan kiri meraba lengan bajunya dan menggenggam erat.
Ciuman ini dipenuhi nafsu kepemilikan.
Luo Qi menarik tubuhnya mundur, bibir mereka terpisah. Dia mencium pipinya sekali lagi, mengakhiri ciuman yang datang tiba-tiba dan tak sesuai waktu ini.
Usai berciuman, dahinya menempel di bahunya berpura-pura tak ada kejadian, memandangi foto-foto dalam album bersama.
Jiang Shenghe duduk tegak, lengannya tidak bergerak, meminjamkan bahunya untuk sandaran. Kakinya dilipat, membuka foto yang diambilnya di konferensi puncak keuangan.
Setelah memperlambat tempo, Luo Qi juga duduk rapi.
“Selama setahun terakhir, semua foto yang kujepret kushare ke album foto bersama, Jiang Shenghe menatapnya sepanjang jalan.”
Jiang Shenghe akhirnya memberikan komentar padanya: “Master edit foto.”
Kembali ke rumah kontrakan, Luo Qi membuka jendela untuk ventilasi, sementara Jiang Shenghe mengangkat kopernya ke kamar.
Dia menerima telepon dari perusahaan cabang luar negeri, ada email mendesak yang harus segera dibalas.
Khawatir bertemu orang dari Grup Yuanwei jika makan di luar, nanti tidak tahu desas-desus apa yang akan beredar, akhirnya mereka memutuskan makan sederhana di rumah.
Jiang Shenghe berencana memasak daging gulung daun bawang untuk Luo Qi, dulu pernah belajar pada Nyonya Chen, kini sudah bisa dianggap lulus.
Luo Qi mengenakan jas lalu pergi membeli bahan makanan.
Jiang Shenghe: “Tunggu sebentar, setelah kuselesaikan email ini akan kutemanimu.”
“Tak usah.” Luo Qi berganti sepatu, “Kebetulan mau kucuci mobil juga. Kau urus pekerjaan saja.” Dia menunjuk buku catatan di meja: “Kalau tidak nyaman pakai ponsel, pakai saja komputerku.”
Dibisikkannya kata sandi komputer itu.
Luo Qi mengambil ponsel dan kunci mobil lalu turun ke bawah. Saat menutup pintu, ia melirik sekali lagi ke arah Jiang Shenghe. Ada seseorang di rumah, jadi ia tak perlu membawa kunci saat pergi.
Jalan di bawah rumah itu tidak terlalu lebar. Ketika banyak skuter listrik dan pejalan kaki, kendaraan dari kedua arah harus melaju pelan-pelan untuk menghindari gesekan.
Luo Qi mengemudi sangat hati-hati. Dari arah berlawanan datang sebuah mobil off-road hitam yang gagah. Bayangan pepohonan bergoyang di kaca depan, ditambah silau pantulan cahaya dan kacamata hitam yang dikenakan pengemudi, Luo Qi tak bisa mengenali siapa orang di dalam mobil itu.
He Xu menyandarkan satu tangan di luar jendela mobil, tangan satunya memegang setir dengan gelisah melewati bagian jalan yang paling macet ini.
Akhirnya sampai di tujuan, ia memarkir mobilnya di pinggir jalan.
Berhari-hari telah berlalu, bahkan wajahnya pun tak ia perlihatkan, pura-pura mati menghindariku.
【Turun! Katanya tidak enak badan sampai tak bisa lembur, ini kubawakan dokumen yang kau perlukan.】
Luo Yu:【Kenapa kau terus-terusan menghalangiku? He Xu, kalau memang tak bisa main fair, katakan langsung!】
Dalam amuknya langsung memanggil nama besar klien.
He Xu: 【Jangan banyak bicara, turun ambil dokumen!】
Dia mengaku sakit, dia datang memeriksa apakah benar sakit atau pura-pura sakit.
Lima menit kemudian, Luo Yu membalas: 【Kau di mana?】
【Di bawah rumahmu!】
【Aku memang di bawah rumahku, tak ada siapa-siapa!】
He Xu tersenyum getir menatap deretan rumah yang terlihat jelas hingga ujung, tak ada bayangan orang di depan pintu.
【Baik, tak perlu repot turun, akan kuantarkan ke atas.】
Dia mengambil map dokumen turun mobil, membanting pintu mobil 'Bang!'.
Dengan api kemarahan membara, mengetuk pintu 301.
"Ini aku!"
Pintu terbuka, He Xu tertegun.
“…Direktur Jiang.”
Ternyata alasannya tidak mau turun, di rumah masih ada satu orang lagi.
Jiang Shenghe tak tahu kapan Luo Qi menjadi begitu akrab dengan He Xu sampai berani mengizinkannya datang ke rumah, apalagi saat dirinya ada di situ.
Dia mempersilakan: "Masuk duduklah."
Di rumah hanya ada sepasang sandal pria, Jiang Shenghe mencari sarung kaki sekali pakai untuknya: "Lumayan."
He Xu kini terjepit tak bisa maju mundur, merasakan keterpasifan yang belum pernah dialami sebelumnya.
Jika Luo Yu selama liburan tidak hanya tidur denganku saja, lebih baik langsung kucekik dia.
"Direktur Jiang, kenapa kau di sini?"
Jiang Shenghe balik bertanya: "Lalu urusan apa yang membuatmu datang?"
He Xu kesal: "Aku sama sepertimu."
Jiang Shenghe: "......"
Dalam hati bergumam, mana mungkin kau bisa menyamaiku.
He Xu melirik ke kamar tidur, kosong.
"Mana Luo Yu?"
Jiang Shenghe mengambil cangkir dan menuangkan air untuk He Xu, "Kau bosnya, kau saja tidak tahu, apalagi aku."
"Bukan..." Melihat ketenangan Jiang Shenghe, He Xu memilih blak-blakan: "Direktur Jiang, beberapa hal... mungkin kita sama-sama korban, Luo Yu main dua kaki. Kalau kau tidak tahu dimana dia sekarang, bagaimana caramu masuk? Punya kunci rumahnya?"
Lupa mempermasalahkan harga diri pria, beberapa kalimat berikutnya terasa iri yang tak terungkapkan.
Jiang Shenghe mengerutkan dahi, menatapnya tajam, "Ini rumah Luo Qi, kau salah alamat."
He Xu: "......"
Rela memberikan retakan tanah untuk mengubur diri sendiri.
"Maaf, kukira ini rumah sewa baru Luo Yu."
Hari itu dia mencari Luo Yu ke kantornya, saat itu ia sedang menelepon, entah membeli barang besar apa, sedang mengatur waktu pengiriman dengan kurir, meminta mereka mengantarkan ke Gedung XX Unit 301 pukul enam.
Siapa sangka Luo Qi tinggal di sini.
Jiang Shenghe mengambilkan air untuknya, "Sudah datang, minumlah dulu sebelum pergi."
He Xu tak mengambil gelas, tak sanggup bertahan sedetik pun, "Tak mau mengganggu kalian. Aku masih ada urusan dengan Luo Yu."
"Direktur Jiang, tolong jangan beri tahu Luo Qi. Luo Yu pun pasti tak ingin orang lain tahu, terima kasih. Anggap saja aku tak pernah ke sini, dan aku juga pura-pura tak melihatmu di sini. Kita saling tutup mata sekali."
"Mengganggu."
Dia bahkan tidak sempat melepas sarung sepatu, langsung terburu-buru berpamitan.
Satu langkah menaiki dua anak tangga, sarung sepatu plastiknya tergelincir hampir terjatuh, tangannya menyambar sandaran kursi yang berdebu karena tak pernah dibersihkan di rumah tua ini.
Kalau hari ini Luo Yu tidak dibunuhnya, rasa benci di hatinya takkan terobati.
Jiang Shenghe menutup pintu, kini mengerti hubungan antara He Xu dengan Luo Yu.
Luo Qi baru kembali lebih dari satu jam kemudian, membawa dua kantong bahan makanan.
Jiang Shenghe tidak melanjutkan pembicaraan tentang kedatangan He Xu, juga tak tahu akhir hubungan He Xu dengan Luo Yu.
"Apakah Luo Yu sering datang ke sini?"
"Ya, hampir tiap minggu. Dia punya kunci penjara rumahku, langsung kuberikan saat baru menyewa rumah ini."
Luo Qi menambahkan: "Kontrakan Luo Yu sebelumnya habis masa sewanya, rumah sewaan barunya di Unit 202 sebelah."
Jiang Shenghe: "......"
Berarti ke depannya akan sering bertemu He Xu di bawah rumah.
"Setelah Luo Yu pindah ke sini, aku jadi tak nyaman datang ke tempatmu." Katanya.
Luo Qi mengangguk, memang tidak praktis, kencan pun jadi tidak tenang.
"Kalau bertemu nanti di vila kita?"
"...Boleh saja."
Setelah Hari Nasional, dia harus ke Rui Pu. Lokasi kantor Rui Pu berjarak puluhan kilometer dari Gedung Yuanwei. Saat sibuk, bertemu pun sulit, mungkin weekend pun harus lembur.
Jiang Shenghe bertanya: "Pernah terpikir pindah kesana? Tidak perlu tinggal bersama dulu, kamar terserah kamu pilih." Memberikan masa transisi psikologis.
Baru sepuluh hari sejak mendaftarkan pernikahan, Luo Qi memang belum memikirkan sejauh itu.
Jiang Shenghe berdiskusi: "Bagaimana kalau Jumat dan weekend di vila, hari lain tetap di sini. Tidak harus weekend, waktunya terserah kamu."
Jika selalu weekend yang datang, lama-lama Luo Yu pasti curiga. Alasan untuk Luo Yu mudah dicari, bilang saja perjalanan dinas - di Rui Pu sering ada tugas luar.
Sudah menikah secara hukum, hidup terpisah terus jelas tidak realistis. Tinggal bersama baru bisa saling menyesuaikan.
Setelah kupikir-pikir, Luo Qi menjawab: "Usahakan tetap Jumat dan weekend saja."
Hari kerja tak ingin satu atap dengan bos, tekanan terlalu besar, apalagi baru sampai di Rui Pu, urusan rumit pasti banyak.
Jiang Shenghe membiarkannya pilih waktu, dia memutuskan akhir pekan ya akhir pekan. Dia berkata: "Mulai Jumat ini."
Luo Qi tiba-tiba teringat, hari ini adalah Jumat.
Ia menggantung jas, berjalan mondar-mandir menghampirinya, "Direktur Jiang."
"Ya." Semakin lama ia membiarkan panggilan itu, "Ada apa lagi?"
"Aku minggu depan baru ke sana?"
Jiang Shenghe memandanginya, "Apakah ada hal lain malam ini?"
"......" Luo Qi berdesir pelan, "Tidak."
Jiang Shenghe berkata: "Kalau begitu malam ini ke sana."
