Setelah istirahat sebentar, Jiang Laotou menunjuk sudut barat laut halaman, berkata pada orangtuaku: "Berdirilah di sana, agar tidak tertimpa energi negatif nanti."
Begitu mendengar, orang tuaku segera berjalan mendekat. Siapa yang mau cari masalah dengan benda itu kalau tidak sedang kekenyangan?
Sebenarnya menyusun formasi dan menggambar jimat hanyalah persiapan. Baru kali inilah Jiang Laotou benar-benar mulai bertindak mengusir roh jahat.
Ia membakar tiga batang dupa, mengangkatnya tinggi melebihi kepala sambil terus bergumam mantra. Setelah selesai, dengan penuh khidmat ia menancapkan dupa ke dalam tempat dupa menggunakan teknik khusus. Bersamaan dengan hentakan kedua kakinya dan getaran seluruh tubuh, sorot matanya tiba-tata menjadi lebih berkilau, aura keseluruhannya semakin kuat, bahkan memancarkan tekanan misterius.
Masih dengan gerakan khas menyentuh titik antara alis, Jiang Laotou menutup matanya. Tampak lebih rileks dari sebelumnya. Saat teriakannya "Buka!" menggema, kilatan cahaya merah samar terlihat di antara alisnya.
Tanpa membuka mata, Jiang Laotou tetap berdiri di tengah halaman sambil terus melantunkan mantra. Ia membuat gerakan aneh dengan menyentuh tiga titik di tubuhnya, membuat semua aura dan tekanan yang sebelumnya terpancar lenyap seketika.
Akhirnya, Jiang Laotou mulai melangkah dengan pola khusus sambil terus bermantra. Langkahnya tak menentu dan acak, hingga saat langkah terakhir mendarat, kedua kakinya berpijak dengan sudut aneh yang tak bergerak lagi.
Memohon restu para dewa.
Membuka penglihatan spiritual.
Menyegel tubuh dan menetapkan jiwa.
Menyegel Tujuh Bintang untuk Menenangkan Jiwa.
Sebelum mulai membentuk mudra sejati, Pak Jiang menyelesaikan serangkaian gerakan persiapan dengan lancar. Tanpa dasar ini, menggerakkan tangan sembarangan untuk membentuk mudra merupakan tindakan yang sangat berbahaya.
Kedua tangan Pak Jiang terangkat sekitar tiga inci dari dada, mulai menyusun mudra pertama. Gerakan jari-jarinya yang rumit tetap tak terbaca, disertai mantra yang bergumam. Saat mudra ini terbentuk, tiba-tiba memancarkan aura spiritual yang tak terungkapkan.
Di antara jemari yang saling menjalin, satu jari menjulang tinggi sementara yang lain mengelilinginya seperti konstelasi bintang, menciptakan kesan energi yang terkonsentrasi.
Tepat saat suku kata terakhir mantra Pak Jiang menggema, angin pusaran tiba-tiba berputar-putar di halaman, semua mengarah ke tempat beliau berdiri.
Menyaksikan angin pusaran bergerak ke arah Pak Jiang, Ibu menggenggam ujung bajunya gugup. Dia pernah menyaksikan fenomena serupa di rumah Janda Zhou - angin berpusar tiba-tiba muncul saat arwah gentayangan datang mengambil uang kertas sembahyang.
Orang biasa saja takut ketempelan, meski Pak Jiang ahli spiritual berani, bukankah ini terlalu riskan? Tak kurang dari dua puluh pusaran angin!
Tapi kekhawatiran ibuku tidak terjadi. Kakek Jiang bahkan tidak membuka matanya. Kedua lengannya mendorong ke depan, dan tangannya dengan cepat membentuk segel tangan baru. Pada saat yang sama, dia mulai melangkah dengan pola langkah yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Langkahnya terlihat lebar dan dinamis, hampir seperti menari, namun tetap terlihat kacau tanpa pola yang jelas.
Keajaiban terjadi. Begitu segel tangan berikutnya Kakek Jiang terbentuk, pusaran angin tiba-tiba berhenti seketika, seolah membeku di tempat. Baru sekarang ayahku bisa melihat jelas segel tangannya: posisi jari-jarinya begitu aneh sampai sulit dibedakan, satu-satunya yang terlihat jelas adalah telapak tangan menghadap depan dengan ibu jari dan kelingking saling menyentuh.
Kakek Jiang terus berjalan dengan pola langkah misterius di halaman. Kejadian semakin ajaib: di setiap titik yang ditunjuk segel tangannya, muncul pusaran angin baru. Kali ini semua pusaran angin bergerak menuju altar upacara.
Altar itu tidak jauh dari tempat orangtuaku berdiri. Melihat pusaran angin mendekat, wajah ayahku memucat ketakutan. Tapi di hadapan fenomena gaib yang melampaui akal sehat ini, orangtuaku tidak berani bergerak. Mereka tetap diam di tempat, bahkan menahan napas, khawatir mengganggu konsentrasi Kakek Jiang.
“Tapi tak lama kemudian orang tuaku tidak khawatir lagi, sekaligus semakin terkejut. Angin puyuh itu ternyata tidak bisa melewati altar upacara. Meski terlihat jelas kain kuning di sisi altar yang menghadap angin puyuh tertiup hingga berkibar-kibar, namun sama sekali tidak sampai ke sisi seberangnya. Hingga seluruh altar menampakkan fenomena aneh: kain kuning di satu sisi terus-menerus tertiup angin, sementara di sisi lain tetap diam tak bergerak.”
“Gerakan tangan Jiang Laotou terus-menerus menunjuk ke berbagai arah, angin puyuh pun terus bertiup, semua mengarah ke altar upacara. Setelah cukup lama baru reda.”
“Saat itu, orang tuaku serentak menghela napas lega. Meski tidak paham, mereka bisa melihat bahwa ritual Jiang Laotou tampaknya sudah selesai. Baru saja mereka hendak melangkah keluar, tiba-tiba suara Jiang Laotou mengguntur di halaman.”
“Bandel keras kepala, sungguh kau mau kubuat rohmu tercerai-berai?”
“Teriakan ini penuh wibawa. Ibu sampai merinding sekujur tubuhnya, seolah ada sesuatu dalam hatinya yang terkejut. Ayah pun merasakan hal serupa.”
“Mereka tidak tahu, teriakan Jiang Laotou ini mengandung kekuatan kungfu dan metode 'penaklukkan'-nya, yang secara alami menekan arwah-arwah gelap. Bahkan roh orang hidup biasa pun akan merasakannya.”
“Kakek Jiang mengaum, namun di halaman tidak ada reaksi. Kakek Jiang menutup mata, tampak marah, terus-menerus tertawa sinis. Tiba-tiba ia mengangkat kedua tangannya di atas kepala, seluruh tubuhnya tegak lurus seperti tombak, sementara mulutnya terus mengucapkan mantra.
Saat mantra berhenti dan gerakan tangan selesai, ayahku yang melihat gerakan tangan Kakek Jiang terpana oleh kekuatan yang mengerikan. Gerakan tangan itu sulit digambarkan, namun dua jari yang tegak dan agak merapat itu memberi kesan seperti pedang besar yang berat, memaksa orang untuk menghindari tajamnya.
"Kau mau Kuputuskan?" Suara Kakek Jiang bergemuruh seperti guntur di halaman, sementara seluruh energi tubuhnya terkumpul hingga puncaknya, bagaikan jenderal perang yang akan menghunjamkan pedang ke musuh.
Bersamaan dengan pertanyaan Kakek Jiang, tiba-tiba angin puyuh yang belum pernah terjadi sebelumnya muncul di halaman. Kali ini angin mengarah ke altar persembahan, bahkan membuat air jernih di atas altar tumpah sedikit. Namun akhirnya tidak bisa melewati altar dan berangsur reda.
Kakek Jiang perlahan menutup gerakan tangannya, lalu membuka mata pelan-pelan. Wajahnya menunjukkan kelelahan ekstrem, tapi tetap memberi isyarat pada orangtuaku untuk bisa bergerak bebas.
Melihat situasi ini, Ibu saya segera masuk ke dalam rumah mengambil secangkir teh dan menyerahkannya kepada Jiang Laotou. Setelah melihat Jiang Laotou menerima dan meminumnya, beliau kembali sibuk masuk ke dalam untuk mengambil bangku. Sambil itu, beliau melirik ke arahku yang ternyata tidur dengan sangat lelap di dalam kamar. Ekspresi wajahku terlihat jauh lebih tenang dan santai dibanding biasanya. Ibu saya menggelengkan kepala, tak yakin apakah ini hanya halusinasinya semata.
Sementara Ayahku menghampiri Jiang Laotou yang sedang membereskan barang-barang di depan altar upacara. Dengan raut wajah penuh kekaguman, Ayah bertanya: “Guru Jiang, apakah makhluk-makhluk itu sudah berhasil Kaupusnahkan?”
Jiang Laotou langsung meraih jimat biru di altar upacara, menyodorkannya ke depan Ayahku sambil berkata: "Semuanya kujaga di dalam sini? Kau mau tidak, kubawakan untukmu?"
Ayahku kaget sampai hampir terjatuh ke belakang, sambil terus menggelengkan tangan: "Jangan, jangan! Lebih baik Guru Jiang saja yang menyimpannya. Aku tak sanggup mengurus benda ini."
Ibu saya mengeluarkan bangku. Jiang Laotou duduk di atasnya, beristirahat sejenak sebelum melanjutkan: "Kali ini aku ingin memberikan beberapa jasa kebajikan untuk si Anak ketiga, sebagai upayaku sengaja mengumpulkan berkah untuknya. Karena itu perlu bantuan seorang sekutu, sekalian menyelesaikan masalah Janda Zhou. Aku akan pergi beberapa hari, tak terlalu lama. Kondisi si Anak ketiga sudah stabil, pastikan kalian memberinya asupan untuk menguatkan tubuh."
Orang tua saya mengangguk terus, Ibu saya bahkan bertanya: “Guru Jiang, malam ini kita masih makan larut malam di sini ya, tetap vegetarian!”
Begitu mendengar, Kakek Jiang langsung melompat berdiri dan berteriak marah, "Makan apa pantat! Aku sudah bekerja keras seharian, cuma nunggu makan malam daging dan minum arak!"
Malam itu, setelah makan malam Kakek Jiang langsung kembali ke gunung. Sebelum pergi dia berkata, "Besok aku berangkat. Setelah urusan ini selesai, aku mau cerita tentang si anak ketiga pada kalian."
Sehari setelah kepergian Kakek Jiang, ibuku mengunjungi rumah Janda Zhou untuk menyampaikan pesannya. Janda Zhou langsung bersukacita mendengar Kakek Jiang bersedia membantu.
Tapi kondisinya semakin memburuk. Mukanya pucat, makannya sedikit, badannya terus terasa dingin. Ibuku sampai menghela napas sedih melihatnya.
Tapi kabar baiknya, kondisiku membaik drastis. Kata ayahku, "Hampir tidak bisa membesarkanmu!"
Kenapa? Sejak ritual Kakek Jiang, nafsu makanku meledak. Selain menghabiskan susu yang diberikan ayah, aku juga makan bubur encer.
Sejak itu susu tidak pernah cukup. Harus ditambah bubur. Ayahku ingin memberiku susu saja, tapi sayangnya keluarga kami belum mampu.
Meski begitu, kondisi tubuhku semakin membaik setiap hari. Dulu tidak terlihat pertumbuhan, tapi dalam 7-8 hari ini berat badanku naik lebih dari 7 kati, wajah menjadi kemerahan, tangisan lebih kuat. Tidak terlihat lagi kelemahan sebelumnya, benar-benar mirip bayi laki-laki yang sehat.
